Hari hari terakhir minggu lalu, SBY memang disibukan dengan pilihan politik yang mungkin membingungkannya. Jangan salah, ini bukan masalah ragu ragu – seperti banyak orang menuding sifat dasarnya. Jika beberapa Presiden sebelumnya gemar bermeditasi ke petilasan atau tempat tempat sakral untuk mencari jawaban. SBY mungkin lebih mempercayai nalarnya, juga bisikan staff khususnya yang juga rajin memantau gejolak di jejaring sosial media.
Begitulah ia membatalkan kunjungannya ke Belanda. Sementara para wartawan, peserta rombongan yang sudah berada di atas pesawat semakin gelisah. Tambahan ransum pop mie dari pramugari untuk mengganjal perut, hanya menenangkan mereka beberapa saat.
“ Dalam waktu 45 menit, setelah konfirmasi dan mendengar pendapat Wapres dan menteri terkait. Saya memutuskan untuk menunda dan membatalkan “ Kata Presiden.
Ada untungnya anak lanang saya, mendadak googling Republik Maluku Selatan dan ingin tahu mahluk apa RMS itu. Bagus buat pelajaran sejarah. Tentu saja, SBY sangat mengenal sejarah gerakan separatis ini. Mertuanya, Jenderal Sarwo Edhie sangat mengagumi Slamet Rijadi – pendiri pasukan khusus, kelak RPKAD – yang gugur tertembak di depan Benteng Victoria, Ambon saat menumpas pemberontakan RMS tahun 1950. Saat itu ia baru berusia 23 tahun.
Ketika ‘ngapel’ semasa taruna di Magelang, SBY pasti mendengar cerita dari calon mertuanya, bagaimana keberanian Letkol Slamet Riyadi, mantan komandan Brigade Komandan Brigade V Wehrkreise I, menduduki Solo selama 4 hari pada masa perang Kemerdekaan.
Slamet Riyadi tak pernah takut datang, ke markas RMS di Ambon sana. Sedikitpun tak ragu ketika ia tak diijinkan membawa pasukan brigadenya yang sudah sehidup semati sejak perang kemerdekaan. Ia hanya diberi brigade pasukan eks KNIL untuk menumpas pasukan RMS – sebagian besar juga eks KNIL.