Simbol

Dalam surat kabar ‘ Indonesia Raya ‘ minggu keempat bulan Juni 1968, Soe Hok Gie menulis pengalamannya saat duduk sebagai pimpinan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saat itu ada resolusi dari golongan nasionalis kiri dan komunis untuk membersihkan senat dari golongan kontra revolusi, yakni HMI – Manikebu.
Ia membela mati matian dan mengatakan bahwa prinsip yang harus ditegakan adalah prinsip kepemimpinan yang sehat dalam dunia mahasiswa. Seorang mahasiswa tidak dinilai oleh afiliasinya, agamanya, sukunya,keturunan maupun ormasnya. Penilaian satu satunya yang dipakai adalah benar atau salah, jujur atau maling, mampu atau tidak mampu.
Mereka saat itu setuju semuanya.

Apa yang ditulis Soe Hok Gie kini merefleksikan hiruk pikuk kampanye di Indonesia. Bahwa opini dan keberpihakan selalu diarahkan kepada kelompok mayoritas ( Jawa dan Islam ). Kita akhirnya terjebak dalam simbol simbol pembenaran absolut.

Paling mudah dalam kampanye adalah membuat stigma yang bukan mewakili Islam, maka tidak layak dipilih. Tahun 1999, para ulama membuat fatwa tidak memilih PDI karena calon legislatifnya dianggap banyak orang Kristen.
Gara gara isteri isteri SBY dan Budiono tidak memakai jilbab, juga dianggap kurang Islami. Sehingga Jaffar Umar Thalib harus menulis opini khusus mengcounter Tifatul Sembiring yang mengatakan, Mengapa mempersoalkan selembar kain.
JK dianggap tidak mewakili mayoritas Jawa, karena berasal dari Bugis.

Ibunya Prabowo, yang orang Manado dan beragama Kristen dipersoalkan. Sekarang istrinya Budiono diissuekan beragama Katolik. Apakah penting ? memang kalau ia beragama Katolik kenapa ? bukankah seorang pria muslim bisa saja mengawini wanita dari golongan ahli kitab.

Sejarah bangsa kita mengajarkan persamaan nasib yang membentuk negeri ini. Bukan karena agama, suku atau golongan. Bung Karno mengutip Otto Bauer yang mengatakan bahwa suatu bangsa terbentuk karena kesamaan watak yang muncul dari kesamaan nasib.

Saya – beragama Islam – terpaksa harus sepakat dengan pendapat Soe Hok Gie, bahwa seseorang dinilai kemampuan yang mumpuni bukan karena beragama Islam . Ironisnya para anggota dewan yang terjerat kasus korupsi sekarang, seluruhnya beragama Islam atau berasal dari partai partai Islam.

Ini memang masih mimpi yang teramat jauh di Indonesia. Katakanlah memiliki presiden asal pulau Rote, dan beragama Katolik. Kata almarhum Timbul Srimulat. Suatu hil yang mustahal. Sementara di India, seorang muslim bisa menjadi Presiden.
Namun setidaknya dengan usia negeri ini semakin banyak. Sudah semestinya ada pembelajaran politik tentang kedewasaan. Mereka yang menyatakan kebenaran atas dasar prinsip prinsip kebenaran, dan tidak menyatakan kebenaran atas neraca Islam atau Kristen dan pertimbangan praktis lainnya. Konstitusi kita menjelaskan bahwa semua penduduk memiliki hak yang sama dalam kehidupan berbangsa.

Kampanye presiden di Indonesia tidak pernah menawarkan pembelajaran politik. Selalu digembar gemborkan keunggulan diri sendiri, gagasan yang dangkal dan menyerang kandidat lain dengan black campaign. Apalagi kalau bukan urusan Islam dan Kristen. Asli atau tidak. Jawa atau bukan.

Tak ada salahnya melihat kampanye Obama di Amerika. Ia menang bukan karena kampanye menonjolkan kemampuannya, tetapi karena menawarkan sesuatu perubahan. Inilah pembelajaran politik yang elegan. Amerika yang sebelum tumbuh karena keterbukaan tiba tiba menjadi paranoid dengan dunia luar. Menciptakan musuh musuh yang dianggap bibit teroris.
Sosiolog Ignas Kleden mengatakan Amerika melakukan embargo mental terhadap dirinya sendiri. Obama tidak mampu menyelesaikan semua masalah. Tapi dia bisa meyakinkan rakyat Amerika bahwa penyelesaian bisa dilakukan dengan perubahan, karena sikap yang berubah akan mengubah identifikasi masalah dan memperbaharui pendekatan yang diterapkan.

Indonesia sepertinya masih akan terus berkutat dengan simbol simbol ini. Masalah kepemimpinan nasional hanya merupakan kompromi disana sini. Seperti Soe Hok Gie, saya memimpikan masyarakat Indonesia yang memahami politik dengan dengan huruf P besar, bukan P kecil yang merupakan politik praktis untuk kepentingan sesaat.

Padahal dulu saya mempunyai mimpi yang lebih ekstrem. Kalau ujung ujungnya untuk membawa kemakmuran rakyat. Lupakan kampanye kampanye. Sewa saja Lee Kuan Yew sebagai Presiden Indonesia setelah dia pensiun dari kursi Perdana Menteri Singapura.
Barangkali saya terlalu apatis.

You Might Also Like

38 Comments

  • dewanto
    July 3, 2009 at 8:34 am

    dan dunia pun penuh warna, bukan?
    juga indonesia….

  • didut
    July 3, 2009 at 8:41 am

    atau memang negri ini sdh terbiasa dgn tdk adanya perubahan

  • edy
    July 3, 2009 at 8:44 am

    kita masih percaya dng simbol

  • bangsari
    July 3, 2009 at 8:58 am

    begitulan endonesah. semakin dipikir, semakin menyesakkan.

  • Fenty
    July 3, 2009 at 9:00 am

    Semoga aja Indonesia akan menjadi lebih baik (unsure)

  • Pemilih.com
    July 3, 2009 at 10:16 am

    Iman Brotoseno: Simbol…

    Gara gara isteri isteri SBY dan Budiono tidak memakai jilbab, juga dianggap kurang Islami. Sehingga Jaffar Umar Thalib harus menulis opini khusus mengcounter Tifatul Sembiring yang mengatakan, Mengapa mempersoalkan selembar kain.
    JK dianggap tidak …

  • andrias ekoyuono
    July 3, 2009 at 10:18 am

    kemenangan Obama adalah refleksi yang menarik, soalnya memilih afro-america jadi presiden di US sama halnya dengan memilih seorang tionghoa jadi presiden RI. Dibutuhkan keberanian dan kedewasaan dari para pemilihnya.

    Saya rasa pola kampanye yang serang-menyerang selalu ada, bahkan nama tengah obama sempat jadi bahan serangan di US. Tapi bedanya, disana hal itu bukan menjadi bahan utama kampanye. Yang menjadi bahan serangan utama adalah rencana kebijakannya. Presiden US dipilih berdasarkan posisi dan pandangannya atas isu2 sensitif yang membelah rakyat US. Sementara disini, yang ditawarkan sering normatif dan atau mimpi setinggi langit yang tidak realistis.

    Tapi aku optimis kita udah OTW kesana. Debat capres dengan segala kekuranangannya nampaknya makin menarik. Sementara black campaign nampaknya lebih dihebohkan di kalangan elite dibandingkan di perbincangan kantor.

  • gagahput3ra
    July 3, 2009 at 11:47 am

    Kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip peninggalan penjajah yang mendadak pergi, mulai dari politik simbol, diskriminasi kampung halaman, dan hukum yang melindungi ego ketersinggungan hati.

    Dan sepertinya gak bakalan pernah berubah kecuali kita ingat sejarah dan yg jadi Presiden sadar bahwa yang namanya pola pikir dalam kebangsaan itu penting. 🙁

  • Kem
    July 3, 2009 at 2:03 pm

    hmm..entahlah, sampai kapan negri ini bisa berubah. smoga saja anak cucu kita bisa menikmati perubahannya kelak. amiin

  • Ismawan
    July 3, 2009 at 2:28 pm

    Emang susah Mas, karena mayoritas pemilih yang ada saat ini masih tetap pemilih tradisional yang lebih melihat simbol2 yg Mas sebutkan itu daripada melihat kemampuan…

    Tapi saya juga masih menyimpan sedikit optimisme kalau kita sedang menuju ke arah yang benar. Kalau kita lihat di kampanye2 / debat para capres-cawapres kita, terutama yang di media cetak & TV di mana target audience-nya bisa dibilang adalah ‘kaum terdidik’ dan lebih melek politik, kampanye yg mereka bawakan (menurut saya) sudah menunjukkan pemikiran2 mereka dan tidak hanya sekedar slogan atau jargon seperti jaman kampanye dekade yg lalu…

    Tinggal elite politik di sekitar mereka ini, apakah bisa juga jadi lebih baik atau tidak…

  • mitra w
    July 3, 2009 at 6:02 pm

    hahahha… saya juga pernah mikir gitu mas… kita beli aja apa yak presiden dari luar negeri… 😀

  • birojasa
    July 3, 2009 at 7:53 pm

    negara outsource..sampe-sampe presiden aja terpikir untuk outsorcing..gagasan brilian mas..orisinil

  • Abihaha
    July 3, 2009 at 8:24 pm

    “…suatu bangsa terbentuk karena kesamaan watak yang muncul dari kesamaan nasib.”

    Pencerahan dan penjelasan besar! Berarti nama itu selama ini adalah kata ‘sifat’ yang menjelaskan watak. Bukan kata ‘benda’. (nasiiib….)

    Artikel bagus mas.

  • bangaip
    July 3, 2009 at 9:05 pm

    Nyewa Lee Kuan Yew bayarnya berapa yaa Mas Iman?

    saya bener-bener tertarik untuk menyewa beliau sebagai Lurah Cilincing. Sapa tau, kami bisa kaya dan lalu merdeka. Hihi

    (*Kalau sudah merdeka, kami sewakan lagi Paman Lee pada penawar tertinggi. Makin ngaco dah komen saya nih. Hehe*)

  • zam
    July 3, 2009 at 10:34 pm

    kalo mau nyontreng Lee Kuan Yew, nomer berapa ya?

  • funkshit
    July 4, 2009 at 11:16 am

    Lee Kuan Yew kan bukan orang jawa ?? apa dia muslim ? istrinya pake jilbab nggak ??

  • lady
    July 4, 2009 at 12:25 pm

    binun. golput lagi? katanya haram.
    kalo nama saya masih blm cantum dalam DPT Solo, bisa jadi ini kesempatan emas untuk golput yang halal 😛

  • Sarah
    July 4, 2009 at 1:31 pm

    Sewa Obama saja,..

  • iman brotoseno
    July 4, 2009 at 1:32 pm

    pangsit,
    masalahnya isterinya lee kuan yew, nggak suka dengan model ibu ibu dharma wanita

  • Lance
    July 4, 2009 at 1:34 pm

    simbo ini membuat bangsa semakin terkotak kotak, herannya para kandidat capres lebih senang berkunjung ke pondok pesantren meminta restu daripada menjelaskan program kampanye

  • kw
    July 5, 2009 at 8:57 pm

    setuju mas…. sayang sekali… orang-orang keren jarang yang mau masuk ke politik. 🙂
    ayo mas iman maju….

  • kombor
    July 5, 2009 at 11:46 pm

    Penutupnya yang membuat saya penasaran, Mas. Apakah Lee Kuan Yew menyatakan dengan tegas bahwa etnis apa pun bisa menjadi Perdana Menteri di Singapura? Menurut saya, bahkan pengganti Yew, yaitu Goh Tjok Tong hanyalah PM sementara sampai BG Lee siap jadi PM.

    Simbol di Indonesia akan tetap sulit untuk dihilangkan. Bisa diterima atau tidak, orang Islam di Indonesia yang sampai saat ini masih mayoritas hanya bisa menerima muslim sebagai pemimpinnya. Sedangkan, sebagian orang Jawa sudah ada yang dapat menerima bukan orang Jawa sebagai pemimpin. Tentunya, asalkan dia Islam, hehehe.

    Inilah Indonesia, Mas. Negara bukan-bukan. Bukan sekuler, bukan agama. Hasilnya ya simbol tetap berjaya.

  • aRuL
    July 6, 2009 at 1:30 am

    saya sepakat, kalo di indonesia jg memilih capres yg menawarkan perubahan…
    tapi tetap jg santapan SARA menjadi makanan empuk slama kampanye, terang-terangan maupun sembunyi2…

  • DV
    July 6, 2009 at 5:40 am

    Hehehe, tulisannya menarik.
    Hal apa sih yang nggak bisa dipolitisasi di negara kita?
    Soal caddy aja bisa, apalagi agama 🙂

  • adi
    July 6, 2009 at 9:42 am

    eh itu hil yang mustahal bukannya berasal dr asmuni? *hihihi, komen gak penting*

  • warm
    July 6, 2009 at 9:48 am

    bawa-bawa rakyat dan orang banyak,
    padahal ujung-ujungnya ya tetap saja untuk kepentingan pribadi dan golongan tertentu ..

    smoga besok lebih baik,
    saya masih optimis ..

  • Silly
    July 6, 2009 at 9:49 am

    Masalahnya Lie kwan Yew mau gak ke Indonesia, negara yang kotor kayak gini. Bininya mau gak jadi ibu2 Drama Wanita yang mesti ngajarin PKK… 😛

  • IMan
    July 6, 2009 at 9:51 am

    Kombor,
    ya itulah negeri kita
    Adi,
    ha ha iya aslo the legend ‘ Asmuni ‘

  • adipati kademangan
    July 6, 2009 at 11:25 am

    akhirnya sampeyan menggulirkan juga presiden outsourching ini. Kalau sepakbola bisa, kenapa presiden tidak?

  • nirwan
    July 6, 2009 at 2:54 pm

    Saya ingin yg Islam jadi Presiden di negeri ini, dan bukan orang Jawa. Karena saya orang Islam dan bukan orang Jawa. Hanya karena itu? Mungkin. Yang bukan Islam dan orang Jawa, kemungkinan besar gak setuju sama saya. So, marilah kita bicara.

    Identitas tak mungkin dihilangkan. Semua boleh membawa kebenaran masing-masing. Tapi kita sering lupa dan malas untuk bicara satu sama lain.

  • KangBoed
    July 6, 2009 at 4:25 pm

    Salam Cinta Damai dan Kasih Sayang Saudaraku yang baik

  • edratna
    July 7, 2009 at 1:14 pm

    Ya itulah mas…sekarang simbol dan pencitraan tokoh masih pegang peranan…mudah2an kedepannya yang dipentingkan adalah kemampuannya untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik, tak peduli apa agamanya, maupun sukunya

  • iks
    July 8, 2009 at 8:32 am

    jangankan milih presiden, milih calon suami aja masih dilihat bibit, bebet, bobotnya sampe hal yang sebenernya ga berpengaruh langsung. Mungkin adat kita yang begitu, kebiasaan, ga bisa langsung ke point nya, suka menghubung-hubungkan hehe…

  • Bisnis
    July 9, 2009 at 12:18 am

    apapun pilihannya tetep damai dan semangat membangun negeri yang indah ini ya kan “damai”

  • alfaroby
    July 9, 2009 at 10:10 pm

    tulisan yang menarik,
    sebuah jeritan dari hati yang dalam mengenai dunia politik Indonesia

    saya setuju, politik di Indonesia memang jauh dari kesempurnaan, tetapi bukan berarti tidak bisa menuju “lebih” sempurna.

    mari bersama-sama saling menjaga dan saling intropeksi diri menuju bangsa yang adil dan beradab….

    LANJUTKAN….

  • neilhoja
    July 17, 2009 at 1:26 pm

    setuju mas.. rakyat indonesia masih terjebak dalam simbol2 normatif, demokrasi dan politik pun gak jauh2 dari kampanye citra diri… beuh

    perlukah reformasi jilid dua?

  • Partisimon.Com
    October 19, 2009 at 8:40 am

    Semoga negara kita tetap utuh, bukannya tinggal kenangan.

  • haha
    August 29, 2010 at 7:15 pm

    mas, mental demokrasi orang indonesia sekarang masih jauh dibelakang mental orang amerika sebelum merdeka 300an tahun lalu
    harus kita akui mas
    contoh unik nih..
    masih ada orang2 indonesia yang sirik ngeliat orang lain yang keturunan tionghoa
    hahaha
    coba aja liat putera2 bangsa yang mengharumkan nama bangsa di Olympiade Internasional.
    bisa dibilang hampir semua anak2 keturunan tionghoa
    saya salut buat mereka.. walaupun kurang dianggap sbg “saudara” oleh orang indonesia sendiri..
    yang keturunan pribumi berkoar2 sok gaul dengan gaya glamour, pamer mobil, handphone BB, game Online, dll.. sedangkan putera/i yang keturunan tionghoa sedang berkutat di negara lain demi demi emas sebatang yang mengharumkan nama bangsa.. mulai dari Olympiade fisika, kimia, matematika, kontes Robot, dll..
    ah… jadi malu saya sebagai pribumi asal jawa mas..

Leave a Reply

*