Pagi hari itu, tanggal 13 Agustus 1956, Menteri luar negeri Ruslan Abdulgani baru saja makan pagi dan bersiap siap untuk lawatan dinas ke luar negeri. Menurut rencana hari itu ia akan terbang menuju London, untuk sebuah konferensi Internasional tentang masalah nasionalisasi Terusan Suez.
Ia tercekat ketika ada 2 orang perwira AD dari divisi Siliwangi menemuinya dengan membawa surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh Kol.Kawilarang dalam kedudukannya sebagai penguasa perang Jawa Barat. Waktu itu Jakarta masih berada dalam teritori divisi Siliwangi.
Situasi sangat genting. KASAD Nasution merencanakan akan mengganti para panglima panglima pada tanggal 14 Agustus, sementara Kawilarang sehari sebelum pergantian, justru mengeluarkan surat penangkapan. Sebelumnya berdasarkan laporan dan beberapa investigasi surat kabar, Menteri Luar Negeri menerima uang dari seorang pengusaha Tionghoa sebesar satu setengah juta rupiah sebagai bagian dari ongkos cetak kartu suara pemilu.
Istri Ruslan Abdul Gani langsung menghubungi Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, yang segera memberitahu Nasution tentang penangkapan ini. Kasad Nasution yang tidak mengetahui tentang insiden ini – menyebutnya perbuatan koboi – segera memerintahkan komandan garnizun Jakarta segera membebaskan Menteri Luar Negeri.
Hari itu juga Ruslan Abdulgani berangkat dari lapangan terbang Kemayoran menuju London. Peristiwa itu disebut sebut sebagai kegagalan pertama bangsa ini, memerangi korupsi karena intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo.
Pemerintah melalui Perdana Menteri menuduh ini merupakan pembangkangan untuk mencegah pergantian Kawilarang. Namun sesungguhnya masa itu banyak perwira Siliwangi yang cemas dengan perbuatan korupsi oleh pejabat negara, dan mereka bertekad memberantasnya. Apalagi mereka banyak tak percaya Panglima baru kelak – Suprajogi – merupakan kaki tangan Nasution.