London tahun 1579. Seantero Kerajaan Inggris Raya heboh karena ada pamflet yang berisi menanyakan benar tidaknya desas desus perkawinan Ratu Elizabeth I dengan seorang bangsawan Perancis. John Stubbe sebagai penulis dan Hugh Singleton sebagai pencetak mempertanyakan apa logikanya bersatunya dua pemimpin yang selalu berperang itu.
Ratu menjadi marah karena ada orang yang berani mengomentari kekuasaannya. Keduanya masuk penjara dengan tuduhan pemberontakan, dan kemudian dijatuhi hukuman potong tangan kanan.
Stubbe tetap setia terhadap ratu. Bahkan ia menghormati ratu dengan tangan kirinya kelak. Sementara hukuman untuk Singleton dibatalkan.
Cerita itu adalah salah satu catatan sejarah ketika pertama kali hukum – yang berkuasa – bisa menuntut seseorang ke dalam penjara atas dasar tulisan yang dibuatnya. Sejak itu perjuangan untuk mengemukakan pendapat secara bebas terus disuarakan. Sampai sekarang gaung itu masih menjadi perdebatan yang tertatih tatih.
Minggu minggu ini, jelas hukum di Indonesia menunjukan ketidakberpihakan kepada mereka yang telah menggunakan media tulisan, baik internet dan surat pembaca, sebagai penyampaian ekspresinya.
Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan menghukum Prita, sebesar Rp 314 juta dan memasang iklan permohonan maaf kepada penggugat di dua surat kabar nasional. Lalu Fifi, seorang ibu rumah tangga. Divonnis penjara 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Kesialan mereka hanyalah mengirim keluhannya melalui media. Prita menceritakan pengalaman buruknya ketika menjadi korban pelayanan yang tidak professional dari Rumah sakit Omni International Hospital Alam Sutera, Tangerang. Ia merasa bahwa Rumah Sakit ‘ mengakali ‘ agar ia dipaksa di rawat inap dengan hasil lab yang tidak pernah ia lihat
Melalui email, curhatnya yang tadinya hanya beredar di kalangan terbatas, dengan cepat beredar di berbagai milis dan blog.
RS Omni marah bukan kepalang. Mereka bahka mengumumkan bantahannya di surat kabar nasional. Ujung ujungnya RS Omni menggugat Pitra secara hukum.
Sementara Fifi lebih apes lagi. Ia berkeluh tentang kekecewaannya terhadap pengembang PT Duta Pertiwi, karena apartemen yang dibelinya berada di atas tanah Negara yang merupakan Hak Pengelolaan Lahan. Jadi sewaktu waktu Pemerintah daerah Jakarta tidak memperpanjang hak ini, selesai sudah.
Ini tidak sesuai dengan perjanjian dengan pengembang sewaktu ia dan penghuni apartemen Mangga Dua membeli unit apartemen. Dikatakan tanah itu berada di atas tanah Hak Guna Bangunan.
Fifi lalu mengirim surat pembaca di sebuah harian nasional. Surat ini ternyata membuat PT Duta Pertiwi tersinggung, lalu menggugat wanita ini secara perdata, dan pidana, karena dianggap telah mencemarkan nama baik.
Kejadian dua kasus ini telah membuat sebuah juripridensi hukum yang bisa menjadi acuan para hakim untuk memutuskan kasus kasus serupa kelak kemudian hari. Ini menggelisahkan, karena bisa jadi mengancam kebebasan berekspresi para blogger, yang selama ini selalu menggadang gadangkan blog sebagai media jurnalisme baru ketika media jurnalisme mainstream tidak sanggup atau terlalu lambat menampung semua keluhan warga.
Vonnis itu juga berlebihan karena memasung kebebasan mengemukakan pendapat dan ekspresi.
Bisa jadi kita harus hati hati mempermasalahkan penanganan banjir di Jakarta. Siapa tahu Gubernur marah lalu menuntut kita ke meja hijau.
Saya juga menjadi cemas, kalau ada yang tidak menerima bentuk tulisan kritis atau remah remah curhat dalam blog ini. Apakah saya harus mendekam di bui karena tulisan opini saya pribadi ?
Palu godam itu tidak berhenti disini. Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan uji materil dua pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diajukan sejumlah pengguna internet.
Mereka Eddy Cahyono , Nenda, Amrie Hakim, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen serta Lembaga Bantuan Hukum Pers, menuntut pembatalan pasal 27 ( ayat 3) yang menyebutkan. ‘ Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ‘.
Sedangkan Pasal 45 ( ayat 1 ) ‘ Jika ketentuan ini dilanggar, pengguna internet dapat dikenai sanksi hukuman penjara paling lama 6 tahun atau denda hingga 1 milyar’.
Walau kuasa hukum mereka Anggara , mengemukakan bahwa soal pencemaran nama baik atau penghinaan telah diatur oleh KUHP pasal 310 dan 311. Tetap saja sidang Mahkamah Konstitusi yang dipimpin sang ketua sendiri. Moh. Mahfud MD tidak bergeming. Alasannya, korban yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu lama.
Dampak pencemaran nama baik ini atau penghasutan lewat internet begitu luas. Tak ada batas ruang dan rentang waktu. Demikian dalil MK.
Ada persoalan yang menarik. Bagaimana melihat sebuah tulisan mengandung muatan pencemaran atau penghinaan. Bisa sangat relatif dan berpretensi dari kaca mata personal. Ini seperti pasal pasal karet semacam Hatzaai Artikelen yang kerap dipakai penguasa orde baru.
Saya teringat dosen saya di Univ Indonesia, Prof Oemar Seno Adjie. Ia tokoh yang dulu mengatakan pers yang bertanggung jawab hanya jika isinya tidak menyinggung masalah penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama, pornografi, berita bohong, tidak menyiarkan berita yang mengganggu keamanan nasional dan pemberitaan yang menghambat jalannya peradilan.
Saya juga teringat Menkominfo menjawab pertanyaan ketika penandatanganan Pesta Blogger 2008. Ia menjawab, “ Pemerintah tidak menuntut para blogger sepanjang dia tidak menulis yang bisa merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia “.
Kontsitutusi kita telah mengenal dan mengakui adanya kekebasan pers. Dalam pasal 28 UUD 45 menegaskan adanya kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang lain tidak lain adalah kemerdekaan pers.
Jika ini induk dari segala bentuk undang undang di negeri ini mestinya UU yang yang bertentangan harus batal demi hukum.
Kita bisa merujuk kepada Konstitusi Amerika yang berbunyi : ‘ Kongres tidak dapat membuat Undang Undang yang membatasi kekebasan mengemukakan pendapat atau kebebasan pers ‘.
Bahkan Thomas Jefferson, mengemukakan bahwa kebebasan mengemukakan pendapat tidak cukup disebut secara umum dalam konsitusi. Ia harus diikuti oleh jaminan hukum secara tertulis untuk menghormati dan melindungi sepanjang masa.
Kita sepakat bahwa tidak bisa sebebas Amerika, seperti masalah pornografi dan agama misalnya. Namun ada ruang gerak bagi blogger yang harus dihormati dalam ranah dunia maya.
Setelah mengacu pada kasus kasus diatas, blogger mungkin menjadi takut untuk menulis karena ada ancaman hukuman. Padahal Blog bisa menjadi wadah untuk menyalurkan keluhan terhadap keseharian, pelayanan publik, penipuan produk atau hak warga Negara.
Kita bisa mengkaji apakah jika ada kasus menimpa blogger bisa dimasukan dalam Undang Undang Pers ? dengan memakai acuan delik pers jika terjadi perselisihan. Jika tidak puas baru maju ke pengadilan.
Ketidakberpihakan terhadap kebebasan ekspresi ini tidak bisa dianggap remeh. Yurisprudensi hukum yang baru terjadi bisa memasung kekuatan blogger yang selama ini kita banggakan. Sebagai suara media alternatif. Suara baru masyarakat Indonesia.
Kepada para kandidat capres. Sepertinya banyak blogger akan berkampanye gratis untuk anda, jika anda berani menjamin kebebasan ekpresi ini.
foto Gedung Mahkamah Konstitusi : Detik foto
56 Comments
Cerita Di Balik Prita Mulyasari « Dunia Anggara
June 9, 2009 at 7:07 pm[…] kekalahan di MK tersebut, saya membaca tulisan dari mas Iman, saat itu saya langsung terpikir untuk menelpon keluarga Ibu Prita, untuk menanyakan kabarnya. Saya […]
David Pangemanan
June 10, 2009 at 11:09 pmPT. TUNAS FINANCE MENYENGSARAKAN KONSUMEN
Singkat kronologisnya, saya kredit truk dengan 36 X cicilan @ Rp. 3,5 jt-an. Setelah 14 X nyicil, truk hilang. Ternyata penggantian dari perusahaan asuransi (PT. Asuransi Wahana Tata) hanya cukup untuk menutup 22 X pelunasan (cicilan + bunga) yang belum jatuh tempo. Akhirnya saya yang telah mengeluarkan biaya lk. 115 juta (uang muka + cicilan + perlengkapan truk), dipaksa untuk menerima pengembalian yang jumlahnya lk Rp. 3,4 jt.
Menurut petugas PT. Tunas Finance (Sdr. Ali Imron), klaim asuransi yang cair dari PT. Asuransi Wahana Tata, sebagian digunakan untuk membayar pengurusan Surat Laporan Kemajuan Penyelidikan di Polda Jawa Tengah di Semarang. (atau dengan kata lain, konsumen telah dipaksa melakukan suap di Polda Jateng). Jelas dalam hal ini PT. Tunas Finance (PT. Tunas Financindo Sarana) telah memaksa konsumen taat pada perjanjian susulan yang sebelumnya tidak diperjanjikan. Tentu saja kondisi perjanjian susulan itu sangatlah memberikan keuntungan
maksimal bagi pelaku usaha, tidak perduli berapapun kerugian yang diderita konsumen. Sebagai catatan, perjajian yang dibuat tidak didaftarkan di kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia di tempat domisili debitur/konsumen.
Dan melalui surat terbuka ini saya ingin mengajak segenap komponen bangsa yang perduli terhadap masalah Perlindungan Konsumen, untuk menuntut PT. Tunas Finance secara pidana maupun perdata. Setidaknya hal ini untuk mencegah jatuhnya korban lainnya oleh PT. Tunas Finance (PT. Tunas Financindo Sarana).
Saya nantikan bantuan/partisipasi Anda sekalian. Terima kasih.
David
HP. 0274-9345675.
Bangga Indonesia
June 11, 2009 at 11:59 amHidup Indonesia, ..bocorkan dana BOS, BOP .. tutup telinga terhadap warganegara kita yang disiksa di malaysia, yang penting kantong pribadi penuh!! I love Indonesia
antyo.rentjoko.net » Blog Archive » Cara Media dan Kita Menempatkan Manohara dan Prita
July 11, 2009 at 4:22 am[…] tak semua bloggers, termasuk saya, membahas Prita lebih awal seperti halnya, untuk sekadar contoh, Iman Brotoseno pada 18 Mei […]
electric cigarettes on airplanes
September 3, 2010 at 5:32 pmThe Best Electronic Cigarettes – All type of Brand and Flavor/Taste- Safe – Cost Effective – 30 Days Money Back – New Health Formula Smoke and increase your SEXUAL DESIRE !
Ksaday
January 13, 2012 at 8:41 pmwaduh, kaget apa judulnya,blogger dipenjara, ahahahah jangan kopas nanti sama dengan korupsi