SAMPAI DIMANA BATAS KOMPROMI SUTRADARA IKLAN

Saya pernah sekali waktu lepas dari kesibukan film iklan, dan mengambil pekerjaan Film Televisi, semacam sinetron beberapa tahun yang lalu. Karena ada sponsor dari sebuah produk, maka mereka meminta salah seorang creative dari biro iklan untuk ikut datang di hari syuting, walau si pekerja creative itu sendiri juga bingung, apa yang akan dikerjakan selama proses syuting. Bagaimana tidak, scenario yang membuat si Joko anwar yang saat itu belum jadi sutradara film kondang. Sampai akhirnya suatu saat ia berkata, “ Mas bisa nggak kalau anglenya dari sisi sini “. Saya bisa membayangkan kalau seorang Garin Nugroho atau Rudi Soejarwo diberi pengarahan di tengah tengah syutingnya. Bencana ! Hanya karena saya terbiasa bekerja di film iklan, maka saya hanya tersenyum padanya dan berbicara lebih lanjut untuk berusaha menangkap esensi apa yang dia pikirkan. Memang dalam film iklan sosok sutradara bukanlah menjadi peran utama sebagaimana yang sutradara film layar lebar atau musik video sekalipun. Disini seorang sutradara iklan harus menjadi bagian dari team kreatif dari sebuah campaign produk yang dikerjakan. Karena konsep berasal dari creative biro iklan, maka sah sah saja mereka berkepentingan untuk melihat konsepnya terdelivery dengan baik, sesuai strategi komunikasi yang sudah dirancang bersama klien mereka.

Ini susahnya bagi sutradara yang terbiasa di layar lebar, atau sinetron. Bisakah mereka menyingkirkan ego mereka dan membuang jauh jauh idealisme sebagai “ sutradara “. Maruli Ara sendiri sebagai sutradara sinetron jaminan mutu yang selalu tinggi ratingnya, mengatakan pada saya kalau ia tidak mau untuk berkompromi terhadap hal hal seperti ini. Namun banyak teman dari biro iklan sendiri yang pada akhirnya kebablasan dalam menempatkan posisinya dalam sebuah produksi syuting, seolah olah maha tahu mengenai prinsip prinsip dasar sinematografi. Scott Whybin dari Whybin TBWA & partner Melbourne mempunyai kiat sendiri mengenai wewenang sutradara, “ I’ve got this theory about directors. The more I put the trust in them, the harder they work for me. I don’t believe the creative team who sit behind the directors and look through the lens. You don’t need the cast of thousands at the shoot. Its waste of time, except maybe in the case of dialogue spot where there intonation the writer need to hear. The critical part of hiring director, building up the trust, and pre producing so he’s got the clear mind “.

Lebih lanjut Neil French, dedengkot creative Ogilvy & Mather melanjutkan, “ .. to be fair most directors have an exact feeling of what they want to shoot before they get there and a good director will have a shooting board including all the cutaways. They’re prepare for it. But what they’’re not prepared for is some spotty youth comimg up to them, halfway through the shoot, and saying, oh can we try it this way ? or somebody from the agency or client saying , oh can we covered it from this angle, just in case ? And I’ll say …No you cant try it like that. Im sorry little spotty youth, but the angle we are going to use is this one. Why would I want to do thirty five takes wrong when I could do thirty takes of which one is right ? option should be decided in pre production. Even the producers I admire have said to me on the shoot, Neil…you’d better shoot a cutways. And I know why they’re saying it, because if something goes wrong you’ve got a safety net. BUT I CAN WORK WITHOUT A SAFETY NET.

Akhirnya saya berpikir, kompromi memang mutlak diperlukan,karena pekerjaan film iklan adalah pekerjaan teamwork, bukan semata mata sutradara sendiri. Tetapi mestinya masing masing pihak mempunyai batasan batasan. Sutradara juga jangan terlalu merubah konsep yang sudah dipersiapkan sekian lama oleh biro iklan, dan mestinya menambah suatu nilai pada iklan ini dan pihak kreatif juga jangan terlalu mendikte atau memaksa suatu ide yang mungkin menurut pertimbangan sutradara agak sulit secara teknis, budgeting maupun logistik. Yang paling penting jangan takut membuat suatu keputusan sebuah shoot atau adegan, sepanjang itu secara visual memiliki nilai art dan yang paling penting adalah relevan dengan konsep strategi komunikasi klien. Memang sebuah komposisi gambar film sangat subjektif dari mana kita melihatnya. Seni tak mutlak bulat bulat kok.

You Might Also Like

3 Comments

  • mamed_mumed
    January 6, 2008 at 9:32 am

    Sutradara harusnya kayak KAPTEN TIM sepak bola ya…….
    bisa memotifasi, memimpin, memecah kebuntuan dll.
    piye dab……………

  • fuad
    November 2, 2008 at 10:22 am

    mas, saya kebetulan lagi bikin thesis yg berkaitan dengan periklanan. dan saya butuh data kongkrit untuk budgeting iklan. apa saya bisa dibantu berapa budget rasional untuk iklan sebuah produk. mulai iklan tv sampai kalo hanya untuk iklan di billboard saja. tolong dikirimkan ke email saya ya mas?fuad_hw@yahoo.co.id thq b4..

  • Zoel Hz
    September 29, 2009 at 7:15 pm

    salam kenal,…
    trims mas tulisannya ringan namun sangat bermanfaat buat saya yang baru mencoba ‘kembali’ menekuni dunia periklanan. karena didaerah perkembangannya terasa jauh sekali. sesekali boleh saya konsultasi dengan mas Iman?..mudah-mudahan tidak berkeberatan ya..trims
    salam kreatif!

Leave a Reply

*