Hani Saputra, teman saya yang sudah lama sekali tak pernah bertemu karena kini sibuk dengan layar lebarnya, seperti ‘ Virgin ‘ dan ‘ Heart ‘, konon dianggap sebagai sutradara kejam di kalangan pekerja film. Saya juga tidak begitu paham mengapa ia mendapat stigma kejam, mungkin karena ia begitu perfeksionis dalam melihat shoot shootnya. Lalu apa hubungannya dengan isi tulisan ini ? Begini ceritanya, beberapa tahun yang lalu saya mendapat tawaran mengerjakan sebuah sinetron FTV yang tentu saja sangat menarik, karena isi ceritanya juga bisa mengurangi kejenuhan mengerjakan iklan iklan melulu. Kemudian saya meminta kepada produser agar setidaknya dapat membawa beberapa crew inti saya yang biasa bekerja sama di iklan, seperti DOP dan art director, sisanya saya tidak berkeberatan dengan kombinasi crew yang biasa di sinetron.
Permasalahannya tidak berhenti disini saja, lama kelamaan dalam proses shooting saya melihat ketimpangan yang sangat jauh dari crew iklan dan crew sinetron. Dari segi kecepatan pergerakan / speed, sampai dari pemahaman estetika gambar, dan yang paling menyebalkan adalah disiplin waktu. Kadang seorang VTR recorder bisa datang jam 10 pagi sementara call time tetap jam 6 pagi, atau seorang 1st assistant director bisa baru datang setelah makan siang, dengan alasan terlalu capai. Rupa rupanya mereka tidak terbiasa dengan cara kerja saya yang sangat cepat, detail dan disiplin dengan breakdown shoot. Mereka merasa sangat tertekan dan mengalami pressure yang sangat tinggi, misalnya untuk pindah dari lokasi satu ke lokasi lain. Walhasil semakin lama mereka semakin kedodoran dan ketinggalan speed. Tak lama kemudian, saya mendengar gossip di kalangan pekerja sinetron,..” Ada seorang sutradara baru sinetron, dia lebih kejam dari Hani Saputra ! “
Dari cerita diatas, tentu saja saya memiliki pembelaan, karena apa yang saya lakukan merupakan refleksi yang biasa dikerjakan dalam sebuah produksi film iklan. Kita terbiasa dengan dead line waktu, pressure yang tinggi, serta kesempurnaan visual sebuah produk jualan dari klien. Crew iklan sudah jamak dengan wrap tengah malam dan sudah berada di lokasi pada jam 6 pagi esok harinya. Tentu saja seorang sutaradara iklan tidak akan menerima begitu saja barang barang props milik pemilik rumah seperti perabotan meja kursi tanpa memperhatikan dengan estetika gambar. Tak heran sinetron sinetron yang ada dari satu seri ke seri lainnya, selalu menampilkan kesan rumah yang sama, dengan perabotan yang sama pula, walaupun itu scene mengenai perkantoran tetapi suasana ambience yang ditangkap tetap saja sebuah rumah.
Lalu apakah itu salah ? tentu saja tidak, kita harus memiliki kebanggaan atas profesi pekerja film iklan yang mana mempunyai standard tinggi dalam pelaksanaan sebuah produksi. Manajemen produksi iklan disatu sisi telah melahirkan kualitas pekerja yang tangguh dan mumpuni. Tak heran jika dahulu sewaktu masih di bekerja di iklan, produser Mira Lesmana juga mengajak teman teman sekolahnya di IKJ seperti Garin Nugroho, Riri Riza, Enison Sinaro dan lain lain untuk belajar mengenai Manajemen produksi dan pemahaman teknologi film di Katena Films. Tak heran , walau jenis pekerjaan film iklan tidak terlalu prestige dibanding film layar lebar atau music clip sekalipun, namun pekerja iklan diakui memiliki standar kualitas yang tinggi. Ini tercermin dari upah kerja yang relatif lebih tinggi diantara pekerja film lainnya. Namun masih banyak dari kita semua yang tidak menghargai kebanggaan profesi yang kita miliki ini, dan merusaknya dengan budaya aji mumpung, tidak disiplin dan korupsi. Saya merasa trenyuh melihat crew yang baru selesai syuting jam 4 pagi, tetapi masih saja mengambil pekerjaan lain yang call timenya jam 6 pagi. Bagaimana ia bisa bekerja dengan segar dan maksimal jika ia sendiri tidak beristirahat tidur yang cukup ? art director yang jarang datang menghadiri pre production, hanya mengirim assistant atau prop masternya mengantar disain gambarnya. Lalu crew datang ke lokasi syuting dengan mengenakan sandal jepit , padahal potensi kecelakaan karena peralatan berat bisa saja terjadi. Juga sutradara atau DOP yang makan minum sambil merokok disekitar area kamera. Bisa dibayangkan jika abu rokok masuk ke dalam gate magazine, tentu akan merugikan sebuah proses produksi secara keseluruhan.
Industri film iklan modern di Indonesi sudah berjalan selama lebih dari 15 tahun, dan muka muka baru mulai bermunculan. Janganlah proses regenerasi ini dirusak dengan memberi contoh racun kepada mereka mereka yang ingin bereksistensi di dunia film iklan. Kebanggaan profesi wajib kita jaga dengan sebaik baiknya dan yang lebih penting adalah bahwa ketrampilan teknis yang tinggi jika tidak dibarengi dengan akhlak dan karakter kepribadian dalam bekerja sama saja akan menjadi bumerang di kemudian hari.
2 Comments
ain
May 20, 2008 at 11:22 ammoga2 perusak ini musnah di muka bumi…
Polish Pottery
April 7, 2010 at 10:31 amThis a little bit funny. I found your site via search engine a few moment ago, and luckily, this is the only information I was looking for the last hours.