Browsing Category

SEJARAH

Apakah Bung Karno seorang marxis ?

Apakah Bung Karno seorang Marxis ? Dari karangan karangannya jelas dia sangat terpesona dengan ajaran Marxis. Jika kita melihatnya berdasarkan perspektif sejarah pada masa sebelum kemerdekaan, khususnya uraian Sukarno tentang ekploatasi negara negara jajahan oleh Pemerintahan kolonial, Bung Karno dapat dikatakan seorang marxis.

Era tahun 1920an, hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak ulama dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Fenomena ini juga dikatakan oleh Dawam Raharjo dalam sebuah diskusi tentang Marxisme, bahwa pertautan Islam dan Marxis tersebut sebagai “ pertemuan di jalan “. Islam dan Marxis bergandeng tangan untuk satu tujuan. Kemerdekaan. Jadi memang para ulama memakai marxis sebagai ideologi perjuangan, karena di Islam sendiri tidak ada ideologi yang dibutuhkan seperti bagaimana melepaskan penjajahan.

Bung Karno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme seperti Semaun, Alimin, Muso atau Sneevliet. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Dalam artikel berjudul ‘ Menjadi Pembantu “Pemandangan”. Sukarno, oleh…Sukarno sendiri’ di Surat Kabar Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah penemuan : Marhaenisme.

Continue Reading

Carmel Budiarjo

Sebuah hari di periode 1968, Carmel Budiarjo dijemput tentara ketika sedang memberikan les bahasa Inggris di rumahnya. Saat itu memberi les bahasa adalah salah satu cara mencari penghidupan setelah ia kehilangan pekerjaan pada Kementerian Luar Negeri, tak lama setelah Soeharto menguasai keadaan pada bulan Oktober 1965. Suami Carmel, Budiarjo, seorang pejabat di Departemen Angkatan Laut juga baru lepas dari penjara karena dituduh komunis. Kelak Budiarjo masuk penjara lagi, dan menjalani 12 tahun tahanan tanpa dakwaan pengadilan.

Carmel mengingat setelah mencatat semua keterangan tentang dirinya, ia dibawa ke sebuah ruangan dimana ditengah tengahnya tergantung sebuah lampu listrik yang terang benderang. Begitu terangnya sehingga ia harus memicingkan mata karena silau. Tembok sekelilingnya dikapur putih dan bersih. Lantainya bertegel dan tidak ada ada meja kursi. Hanya tikar jerami di pojokan. Ruangan itu memiliki dua jendela yang bisa melihat jalanan lorong yang baru saja dilewati. Ada dua perempuan duduk di atas tikar di sudut sudut yang berlawanan. Seorang sedang menulis. Seorang lagi sedang menyusui bayinya. Mereka pucat pasi tanpa ekspresi memandang kepada orang yang baru masuk.

Perempuan yang sedang menulis lalu menghentikan tulisannya lalu menghampiri Carmel dan berbisik,
“ Saya pernah hadir dalam ceramah ekonomi yang kau berikan. Saya juga melihat kau di kantor SOBSI. Masak kau tidak ingat ? “
Carmel berpikir keras, apa perempuan ini berusaha menjebak ? Apakah dia agen yang ditanam untuk mengorek tahanan lain.
“ Mereka mengetahui semuanya tentang dirimu Zus Carmel. Lebih baik kau mengatakan semua dengan jujur “
Tak berapa lama seorang prajurit mengambilnya dan membawa keluar. Carmel bertanya kepada tahanan yang sedang menyusui bayi, kemana dia akan dibawa.
“ Ke lantai atas untuk diinterogasi. Kasihan dia akan disiksa dengan kasar “

Tak berapa lama, tiba tiba terdengar suara kunci pintu diputar dan daun pintu didorong. Seorang wanita muda kusut sambil menangis terisak isak masuk lalu duduk di tikar . Seorang pengawal, bertolak pinggak sambil mendesis marah
“ Kau punya waktu berpikir sampai besok “
Wanita duduk berdiam setelah pengawal itu keluar. Pakaiannya berantakan dan keluar dari roknya. Kancing kancing bagian bawahnya terbuka. Dengan sebelah tangan dikibaskan helai rambut yang berantakan, dan sebelah tangannya lagi mencoba memijit payudaranya.

Continue Reading

Impian Nuklir Sukarno

Sukarno membentuk Lembaga Tenaga Atom berdasarkan usulan Dr Siwabessy, agar Pemerintah memberi perhatian kepada pengembangan nuklir. Dokter ahli radiologi ini kemudian dipercaya menjadi ketua, serta membuat cetak biru nuklir nasional serta mengirim mahasiswa Indonesia belajar nuklir di luar negeri.
Ketika Lembaga Tenaga Atom Indonesia ( sekarang BATAN ) didirikan Desember 1958, Bung Karno mengindikasikan bahwa teknologi nuklir harus dikuasai oleh bangsa Indonesia. Bagaimana caranya ?

Yakni dengan memanfaatkan persaingan perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet. Kepada Kennedy, Sukarno berhasil membujuk Amerika menyediakan reaktor kecil berkuatan 250 kilowatt untuk tujuan riset, yang kemudian dibangun tahun 1961 di Institut Teknologi Bandung. Di bawah persetujuan bilateral rencana kerja 5 tahun, Amerika menyumbang dana US $ 451.900,- sebagai bantuan finansial guna pengembangan reactor untuk tujuan damai.

Sukarno sudah menyinggung tentang bom atom ketika diperkenalkan kepada Charles Wilson Menteri Pertahanan Amerika.
Ia membetulkan ikatan dasi sang Menteri pertahanan yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”

Namun Indonesia harus membuat perjanjian dengan mengizinkan reaktor nuklirnya diinspeksi IAEA. Hal tersebut bertujuan untuk mengendalikan Indonesia yang dikhawatirkan tak mengembalikan uranium suplai dari AS dan menggunakannya untuk membuat bom.

Pinternya Bung Karno. Dia gosok negeri beruang merah. Tak mau kalah dengan Amerika, maka Uni Sovyet juga menawarkan pembangunan 2 reaktor untuk tujuan riset. Reaktor pertama selesai dibangun pada November 1962, dengan perjanjian untuk memperoleh reaktor lain berkekuatan 2000 kilowatt yang ditandatangani tahun 1964.

Continue Reading

Kesaktian Pancasila. Masih relevan ?

Apa yang terjadi seandainya, Mayjend Pranoto menolak perintah MayJend Soeharto, dan tetap menghadap Bung Karno di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, lalu Bung Karno memerintahkan menonaktifkan Panglima Kostrad yang mbalelo itu. Tapi sejarah tidak mengenal kata ‘ seandainya ‘. Bung Karno sudah kehilangan momentum dan kelak berujung dengan runtuhnya kekuasaannya. Kenangan akan momentum itu, yang membuat penguasa orde baru menjadikan 1 Oktober sebagai ‘ Hari Kesaktian Pancasila ‘. Sebuah legitimasi ketika Pancasila menjadi pemenang melawan komunis.

Selanjutnya penguasa negeri – tidak hanya Soeharto tapi pengganti seterusnya – selalu memperingati tanggal 1 Oktober di Monumen Lubang Buaya. Sebuah diorama sejarah dihadirkan lengkap dengan sumur yang menjadi kenangan bagaimana kejamnya para kaum komunis.
Sejak itu Pancasila dipakai sebagai propaganda dan justifikasi “kebenaran” rezim penguasa. Bagi rezim Orde Pancasila diposisikan sebagai alat penekan. Atas nama Pancasila, demokrasi bisa dipasung. Atas nama Pancasila, aparat boleh membunuh warga. Tidak heran, dalam sebuah film horror era 80an, ada adegan Kuntilanak berceramah tentang Pancasila didepan warga desa yang anehnya tidak ketakutan melihatnya.

Betapa seriusnya mempertahankan kesaktian Pancasila, bisa dilihat dari serangkaian pembelaan terhadap penumpasan pemberontakan komunis. Untuk menandingi “ Cornell Paper “ yang terungkap melalui Washington Post edisi 5 Maret 1966. Maka Nugroho Notosusanto dan seorang jaksa dalam Mahmilub, Letkol Ismail Saleh dikirim ke Amerika untuk melakukan penulisan. Dengan dibantu Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dengan CIA, maka keduanya berhasil membuat buku ‘ The coup attempt of September 30 Movement in Indonesia ‘ yang dibagikan kemana mana. Prestasi ini membuat keduanya mendapat tempat dalam pemerintahan Soeharto.

Continue Reading

Penguburan Bung Karno

Setelah dijebloskan dalam tahanan rumah di Wisma Yaso, akhirnya Bung Karno menhebuskan nafas terakhir di RSPAD, pagi dini hari tgl 21 Juni 1970. RRI menyiarkan berita sekitar pukul 7 pagi tentang kematiannya. Buruknya penanganan terhadap penyakit Bung Karno juga mempercepat kematiannya. Beberapa bulan di awal 1969, Bung Karno tidak boleh menerima tamu, termasuk keluarganya, karena harus menjalani serangkaian pemeriksaan dan interograsi. Keluarganya hanya bisa mengantar makanan melalui penjaga. Bung Karno yang suka keramaian dan selalu membutuhkan bicara menjadi makin depresi karena diasingkan. Sementara dulu penjajah Belanda saat membuang tahanan politik ke luar Jawa, tidak melarang mereka bergaul dengan lingkungannya.

Setelah keluarga boleh menengok. Itupun dengan pembatasan, harus mengantungi izin dan cap instansi militer Itupun tidak serta merta memudahkan. Rachmawati dibentak dan dimarahi penjaga, karena mengajak Bung Karno jalan jalan di halaman Wisma Yaso.
Jika penjaga sedang baik, keluarga boleh ke Wisma Yaso. Tapi kalau sedang tdak baik, mobl di tahan di gerbang. Sangat sering Ibu Hartini harus berjalan kaki menenteng rantang makanan melintasi halaman yang sangat luas.

Bung Karno sempat menulis surat ke Presiden Soeharto tgl 3 Nov 1968 untuk meminta kelonggaran agar keluarganya bisa mengunjungi. Ia juga meminta agar Ny. Sugio yang selama ini mengurusi rumah Wisma Yaso, dijinkan membantu lagi. Pembantu rumah tangganya tidak diijinkan masuk ke Wisma Yaso, sehingga untuk urusan dapur, Bung Karno harus mengurusnya sendiri.

Ketika akhirnya ia menembuskan nafas terakhirnya. Diantara sayup sayup suara seorang Ibu yang membacakan surat Yasin dekat jenasah Bung Karno, terdengar Ibu Wardoyo kakak kandung Sukarno terus meratap. “ Karno, kowe kok sengsoro men “.

Continue Reading

Bagaimana bisa Bung Karno menyetujui Peraturan rasis ?

Aksi demo ( sebagian ) mahasiswa terhadap Pemerintahan Jokowi, menarik perhatian karena ada organisasi KAMMI yang mengusung sentimen keberpihakan kepada pribumi. Ini dianggap sebuah kampanye rasis, sehingga ada yang mention saya di TL untuk memperbandingkan dengan kebijakan jaman Presiden Sukarno.
Tepatnya Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 / 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan Rachmat Muljomiseno yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.

Peraturan yang diberlakukan mulai 1 Januari 1960, serta merta mematikan para pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing yang melakukan usaha ditingkat desa. Lebih jauh lagi, menggoncangkan sendi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia, karena saat itu UU Kewarganegaraan tahun 1958 belum dilaksanakan, sehingga membuat kebingungan mana yang waga asli dan warga asing.

Orang Tionghoa tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun dilarang tinggal di tempat tersebut. Penguasa milter dengan sewenang wenang mengusir warga Tionghoa. Mereka yang diusir, bukan orang Tionghoa asing, tetapi juga orang orang Tionghoa yang berdasarkan UU Kewarganegaraan Tahun 1946 telah menjadi warga negara Indonesia.

Dampak dari kebijakan ini, ada 136 ribu lebih warga Tionghoa menuju daratan Tiongkok, setelah Pemerintah RRT mengirim kapal dan mengundang mereka kembali ke tanah leluhur. Banyak kisah penderitaan mereka yang pindah akhirnya tidak betah, karena kendala bahasa serta budaya. Merasa tidak betah, mereka berusaha keluar dari daratan Tiongkok dan bermukim di Hongkong. Kisah kisah ini bergulir di Indonesia sehingga menurunkan minat mereka yang ingin pindah, sampai akhirnya surut sama sekali di akhir tahun 1960an.

Continue Reading

Supeni, diplomat andalan Bung Karno

Tahun 1949 Supeni diangkat menjadi anggota dewan Partai, dan langsung diserahi tugas untuk menyiapkan sistem pemilihan umum yang hendak dilakukan untuk pertama kalinya tahun 1955. Untuk mempelajari pengalaman pemilihan umum yang kondisi masyarakatnya tidak banyak berbeda dengan Indonesia, yakni masih banyak buta huruf, maka Supeni diikutsertakan dalam misi Indonesia untuk memantau pemilihan umum di India.

Selama 2 bulan ia tinggal dan mempelajari sistem pemiihan umum disana. Sepulangnya dari India, Supeni menulis buku “ Pemilihan Umum di India “ ( 1952 ). Kemudian Supeni juga diundang Pemerintah Amerika, untuk mempeajari pemilihan Presiden disana yang saat itu dimenangi Eisenhower.

Pengalamannya sebagai diplomat dimulai pada saat Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Supeni ditugaskan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untul melobi negara negara peserta konperensi untuk mendukung Indonesia dalam masalah Irian Barat. Negara negara yang tadinya meragukan sikapnya akhirnya berbalik mendukung setelah lobby Supeni yang intensif.

Negara seperti Filipina, Pakistan dan Turki yang merupakan sekutu Amerika ( secara tidak langsung juga sekutu Belanda ) akhirnya mendukung Indonesia, walau secara pasif.
Setidaknya kesulitan kesulitan lobby yang dilakukan Supeni bisa menghasilkan rumusan “ The Asian African Conference support the position of Indonesia on West Irian “.

Walau mendapat dukungan dari Konperensi Asia Afrika, namun belum cukup untuk mendapatkan suara mayoritas dalam sidang sidang PBB untuk memaksa Belanda memasuki meja perundingan untuk penyerahan Irian Barat. Bung Karno sekali lagi mengutus Supeni untuk berbicara di Konperensi konperensi Uni antar Parlemen di London dan Rio De Janeiro. Lalu di Asia Pacific Relations Conference di Lahore, Pakistan serta sidang sidang di PBB.

Continue Reading

Kisah Supersemar yang tercecer

“ Harto, saya sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa bangsa di dunia, Sekarang saya harus membubarkan PKI. Dimana muka saya harus ditaruh ? “

Bung Karno tentu bersikeras menolak untuk membubarkan PKI. Pertama ia juga tidak yakin PKI yang merencanakan kudeta ini. Ia lebih mempercayai bahwa hanya oknum oknum PKI yang keblinger bersama anasir kekuatan luar yang merancang semuanya. Soeharto sendiri sudah bosan dan hampir menyerah untuk membujuk Bung Karno membubarkan PKI. Posisinya sulit, karena disatu pihak, dia menghormati Presiden tapi disisi lain, para mahasiswa, demonstran, bahkan jenderal jenderal seperti HR Dharsono, Kemal Idris atau Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie juga mendesak untuk mengambil tindakan keras kepada Bung Karno.

Asisten Soeharto, Jend Alamsyah mempunyai usul untuk memakai orang non ABRI, orang sipil yang dikenal dekat dengan Bung Karno juga. Jadilah Alamsyah mengutus Hasyim Ning dan Dasaad untuk membujuk Bung Karno. Usaha ini juga gagal, bahkan Hasyim Ning harus terkena asbak yang dilempar Bung Karno
“ Kamu orangnya Soeharto “ Begitu Bung Karno berteriak.

Jenderal Amir Mahmud, Pangdam Jaya waktu mengakui bahwa semuanya serba khaos, bahkan bisa dibilang tidak ada disiplin militer. Karena ada tarik menarik kekuatan diantara ABRI sendiri. Mana yang pro Bung Karno dan mana yang mendukung Pak Harto. Waktu Bung Karno membetuk kabinet baru. Banyak nama nama jenderal yang sebenarnya tidak dalam ‘ persetujuan ‘ ABRI.
Jenderal Nasution misalnyanya juga memerintahkan untuk tidak mengijinkan Jend Moersid dan Jend Sarbini masuk ke Departemen Hankam untuk serah terima jabatan.

Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, Jend Sabur sudah menelpon Pangdam Jaya, Amir Mahmud menanyakan jaminan keamaan pada sidang kabinet hari itu. Tentu saja Amir Mahmud menjamin keamanan, padahal dia juga tidak tahu bakal ada pasukan liar dari Jenderal Kemal Idris. Bahkan Pangdam Jaya juga ada di beranda Istana menemani Bung Karno bersama Waperdam Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh sebelum bersama sama ikut masuk ke dalam sidang.

Saat Bung Karno sedang membacakan pidato. Tiba tiba Jenderal Sabur mengirimi nota ke Amir Mahmud yang memintanya keluar sebentar. Nota itu didiamkan oleh Amir Mahmud, karena ia tidak mungkin main slonong boy keluar dari rapat yang dipimpin Presiden. Rupanya Brigjen Sabur tidak sabar dan tak mau ambil resiko, lalu dia menyampaikan sendiri nota ke Bung Karno.

Dalam catatan Amir Mahmud.
“ Saya lihat tangan Bung Karno gemetar membaca notanya, lalu berbicara dengan Subandrio. Setelah itu sidang diserahkan kepada Pak Leimena. Bung Karno dan tergopoh gopoh meninggalkan istana, diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh “.

Continue Reading

Serangan Oemoem 1 Maret

Dalam ‘ Laporan dari Banaran ‘, sebuah catatan perang kemerdekaan yang ditulis Jenderal TB Simatupang, mantan Kepala staf angkatan Perang, menyebutkan radio menjadi sangat langka dalam masa itu. Pemancar radio di pulau Jawa hanya ada di Wonosari yang kemudian dipindahkan dekat Banaran, disamping yang ada di sekitar Gunung Lawu dan Madiun. Pemancar itu yang kemudian merelay segala berita perjuangan kemerdekaan, atau menangkap berita berita radio luar negeri.

Kisah Radio ini menjadi penting, karena selama sejarah ditulis orde baru, selalu dikisahkan bagaimana Letkol Soeharto, seorang komandan Brigade di sekitar Jogja yang kerap mendengarkan berita sidang PBB tentang perkembangan invasi Belanda ke Indonesia. Hasil dari kebiasaan mendengarkan radio itu, menghasilkan ide pemikiran untuk melakukan serangan mendadak ke Jogjakarta, sebagai isyarat bahwa Republik Indonesia masih eksis.
Sekian lama penokohan ini masuk dalam buku buku pelajaran, termasuk melalui akting Kaharudinsyah sebagai pahlawan pembebas alias overste Soeharto dalam film ‘ Janur Kuning ‘.

Sementara Sri Sultan HB IX mengatakan bagaimana mungkin seorang komandan brigade di pedalaman bisa mendengarkan radio – yang menjadi barang langka, terutama siaran radio berbahasa asing tentang sidang PBB. Cerita ini dikisahkan dalam biografi Oei Tjoa Tat, seorang Menteri negara jaman Sukarno yang ikut ditahan rezim orde baru.

Sri Sultan HB IX tidak secara khusus menyatakan dia yang merancang sebuah Serangan Umum. Namun setelah agresi militer Belanda II, Sultan telah melakukan komunikasi perundingan dengan utusan utusan Panglima Besar Soedirman yang hadir ‘ melebur ‘ menjadi bagian abdi dalam Keraton.

Dalam buku ‘ Laporan dari Banaran ‘ itu, tidak ditemukan nama Soeharto. Justru TB Simatupang menyebut dirinya membicarakan dengan Bambang Sugeng tentang Serangan 1 Maret itu. Diantaranya, termasuk skenario menugaskan Sumali dan Dipokusumo untuk menyiarkan berita SO – Serangan Oemoem, melalui pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi. Lebih jauh Jenderal Sim mencatat, sebuah berita yang sensasional mengenai serangan umum atas Jogjakarta pasti akan mempunyai efek yang sangat baik di dunia Internasional.

Continue Reading

Tangis Donald, Pilihan kita

“ Tahu tadi ada atlit terjung payung yang meninggal ? Hati saya hancur sekali. Sebagai sesama atlet, peristiwa ini sangat membekas “

Itu adalah komentar yang keluar dari mulut Donald Pandiangan dalam PON 1977 di Jakarta setelah para wartawan menyerbunya untuk mengucapkan selamat karena berhasil melampaui rekor dunia 70 meter ronde FITA.
Donald Pandiangan sama sekali enggan berbicara tentang prestasinya. Padahal semua orang tahu, dia saat itu dijuluki ‘ Robin Hood dari Indonesia ‘.

Donald memiliki pribadi yang sentimental. Ia mudah marah, gembira, tersinggung dan memaafkan. Diantara rekan rekan pemanahnya, Donald dianggap angkuh. Mungkin karena dia sosok pendiam. Donald memang tidak banyak bicara di lapangan. Langkah dan geraknya anggun sebagai cara untuk memelihara konsentrasinya.

Donald Pandiangan boleh dikatakan terlambat untuk belajar panahan. Awalnya bermula ketika ia diberi hadiah seperangkat peralatan memanah oleh Direktur Perum Angkasa Pura, Soetardjo Sigit. Saat itu ia berusia usia 25 tahun sewaktu pertama kali belajar di klub Panahan milik Angkasa Pura .

Namun Donald hanya butuh waktu 3 tahun untuk menjadi juara PON 1973 di Surabaya. Pemuda kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 12 Desember 1945 membuktikan tekadnya untuk menjadi pemanah yang handal. Tidak hanya berlatih tekun setiap hari, ia juga berkorespondensi dengan pemanah terkenal Amerika Serikat, Darrel Pace.
Prestasinya terus meroket. Dalam Kejuaraan Dunia di Canbera, Australia tahun 1975, ia sudah masuk dalam 12 besar dunia.

Jika di luar lapangan, Donald bisa sangat temperamental terutama jika berhadapan dengan prinsip yang dipegangnya. Sudah lazim dalam jaman itu, Donald bentrok dengan orang yang ia segani, Udi Harsono yang menjabat sekjen Perpani ( Persatuan Panahan Indonesia ).
Donald dikenal blak blakan jika berbicara tentang perhatian Pemerintah. Berulang kali ia mengeluh tentang minimnya peralatan untuk pemanah di Indonesia.

Continue Reading

Soerabaja

10 Nobember 1945, bom memborbardir Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing,. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik dalam buku buku sejarah.
Idrus menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘ yang dicetak Merdeka Press tahun 1947. Ia menjungkir balikan kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai pertempuran para bandit. Idrus mencuatkan kontroversi, karena ia mencemooh dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.

Dalam surat kabar Ra’yat, Idrus mengiklankan novelnya sebagai berikut.
Satu satunya roman Indonesia yang berderajat Internasional. Kritis realistis menegakkan bulu roma.
Sinisme yang menyayat, tetapi lepas dari sentimen sentimen chauvanisme.
Harus dipunyai oleh setiap peminat kesusasteraan dan seluruh bangsa Indonesia
Penerbit : Harian Merdeka. Harga R.3

Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang, berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak membabi buta tanpa tujuan jelas.
Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak, dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh berbau apek. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan buruk itu.

Tak kalah dasyat, kisah pengungsian setelah Inggris menggempur kota. Di tengah pengungsian, kejahatan merebak. Banyak massa pemuda yang melakukan tindak kriminal seperti menjarah, memperkosa perempuan serta membunuh berdarah dingin kepada orang orang Tionghoa dan Indo yang dicurigai sebagai mata mata musuh.

Continue Reading

Melihat perspektif sejarah Papua

“ Kami melihat bagaimana wanita wanita desa untuk pertama kali selama hidup mereka pergi ke pasar dengan membawa ikan dan buah buahan untuk dijual, dan mereka memiliki uang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Karena selama pendudukan Belanda, mereka tidak mengerti manfaat pasar, karena Belanda mengimpor segala galanya sampai kepada buah buahan, sayur mayur dan batu arang sekalipun “

Itu adalah penggalan tulisan Fritz Molendorf, seorang jurnalis Republik Demokrasi Jerman ( dulu Jerman Timur ) yang terlibat dalam sebuah join production pembuatan film dokumenter di Irian Barat tahun 1963, tak lama setelah Irian Barat resmi diserahkan ke Indonesia. Ia menggambarkan sebagian besar penduduk masih hidup dalam ‘ abad kegelapan ‘ dibanding wilayah lain.. Mereka juga kurang paham apa itu merdeka, atau menjadi bagian dari Indonesia atau Belanda.

Mengenai tuntutan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sesungguhnya Belanda tidak mempunyai keberatan apa apa. Van Mook dalam perundingan Linggarjati mengatakan “ Jika kita mengakui Republik Indonesia ini, maka daerah Republik Indonesia adalah – Het out Nederlanss-Indisch Grondgebied “ . Bekas wilayah Hindia Belanda.
Belanda sendiri memakai klaim Kesultanan Tidore dengan alasan sudah sejak lama Kerajaan Tidore menguasai Papua. Walau pertanyaannya, apakah Tidore menguasai Papua hanya wilayah pesisir saja, atau seluruh pedalaman Papua ?
Dengan konsekuensi diatas, maka Irian Barat oleh penjajahan Belanda dimasukan dalam yuridiksi Hinda Belanda. Bukan wilayah jajahan tersendiri, seperti Suriname misalnya.

Dr. H. J Royen, wakil Kerajaan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Desember 1948 mengatakan “ Seperti yang saya terangkan semula, pertikaian ini bukan mengenai soal apakah Indonesia akan menjadi merdeka atau tidak. Semua pihak setuju bahwa apa yang dulu dinamakan Hindia Belanda, harus menjadi suatu negara merdeka secepat mungkin “ .

Jauh sebelum itu dalam sidang BPUPKI, pembahasan tentang batas negara memunculkan dua pendapat. Yamin setuju agar batas negara secara eksplisit disebutkan dalam Undang Undang Dasar. Sementara Sukarno dan panitia kecil, tidak menyetujui pencatuman hal ini. Selain itu Yamin ingin agar negeri seperti Malaya, Sarawak, Brunei, Kalimantan Utara ( Sabah ) dan Timor Timur masuk dalam wilayah Indonesia kelak.
Hatta selain mendukung Sukarno dan panitia kecil, juga tidak setuju jika negara Indonesia yang akan ditegakkan nanti, mencakup wilayah yang bukan bekas Hindia Belanda.

Continue Reading