Tangis Donald, Pilihan kita

“ Tahu tadi ada atlit terjung payung yang meninggal ? Hati saya hancur sekali. Sebagai sesama atlet, peristiwa ini sangat membekas “

Itu adalah komentar yang keluar dari mulut Donald Pandiangan dalam PON 1977 di Jakarta setelah para wartawan menyerbunya untuk mengucapkan selamat karena berhasil melampaui rekor dunia 70 meter ronde FITA.
Donald Pandiangan sama sekali enggan berbicara tentang prestasinya. Padahal semua orang tahu, dia saat itu dijuluki ‘ Robin Hood dari Indonesia ‘.

Donald memiliki pribadi yang sentimental. Ia mudah marah, gembira, tersinggung dan memaafkan. Diantara rekan rekan pemanahnya, Donald dianggap angkuh. Mungkin karena dia sosok pendiam. Donald memang tidak banyak bicara di lapangan. Langkah dan geraknya anggun sebagai cara untuk memelihara konsentrasinya.

Donald Pandiangan boleh dikatakan terlambat untuk belajar panahan. Awalnya bermula ketika ia diberi hadiah seperangkat peralatan memanah oleh Direktur Perum Angkasa Pura, Soetardjo Sigit. Saat itu ia berusia usia 25 tahun sewaktu pertama kali belajar di klub Panahan milik Angkasa Pura .

Namun Donald hanya butuh waktu 3 tahun untuk menjadi juara PON 1973 di Surabaya. Pemuda kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 12 Desember 1945 membuktikan tekadnya untuk menjadi pemanah yang handal. Tidak hanya berlatih tekun setiap hari, ia juga berkorespondensi dengan pemanah terkenal Amerika Serikat, Darrel Pace.
Prestasinya terus meroket. Dalam Kejuaraan Dunia di Canbera, Australia tahun 1975, ia sudah masuk dalam 12 besar dunia.

Jika di luar lapangan, Donald bisa sangat temperamental terutama jika berhadapan dengan prinsip yang dipegangnya. Sudah lazim dalam jaman itu, Donald bentrok dengan orang yang ia segani, Udi Harsono yang menjabat sekjen Perpani ( Persatuan Panahan Indonesia ).
Donald dikenal blak blakan jika berbicara tentang perhatian Pemerintah. Berulang kali ia mengeluh tentang minimnya peralatan untuk pemanah di Indonesia.

“ Andaikata kami mendapat perhatian sama seperti atlit atlit lain yang sampai berlatih di luar negeri segala, bukan tak mungkin kami bisa berbuat lebih banyak “

Harapan Donald membuncah saat menghadapi Olimpiade Moscow tahun 1980. Ia membayangkan sebagai atlet Indonesia yang pertama kali membawa medali untuk negerinya. Betapa tidak, dia sudah memecahkan rekor dunia.
Tak sabar Donald bertemu atlet atlet dunia lainnya atas nama persahabatan antar bangsa. Salah satu slogan menarik yang diumumkan Panitia Penyelenggara (OC) Olimpiade Moskwa tanggal 24 April 1980, berbunyi “ from friendship in sports to peace on earth “ disamping “ in the name of peace and the glory of sport “.

Tetapi seminggu kemudian, Uni Soviet menyerbu Afganistan. Tank tank merangsek rumah rumah dan helicopter meraung-raung di udara. Puluhan pelajar dan mahasiswa di Kabul yang memprotes, tewas ditembaki pasukan Uni Soviet. Ini akan menjadi dilemma saat atlit-atlit seluruh dunia termasuk atlit tuan rumah berangkulan, berjabat tangan nama persahabatan dan perdamaian, sementara di Afghanistan peluru serdadu Uni Soviet terus menebarkan maut.

Tidak mudah bagi Pemerintah Indonesia untuk mengambil putusan ini. Tetapi sebagai suatu bangsa yang mukadimah konstitusmya berbunyi ” bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa “, Indonesia mengambil sikap tidak mengirimkan atlit ke Olimpiade Moskwa sebagai bentuk protes atas invasi Uni Sovyet ke Afganistan.

Relakah Donald Pandiangan melibatkan diri dalam persoalan politik seperti ini ? Donald menyayangkan mereka yang telah berlatih dengan keras, serta prestasi yang terus meningkat, justru gagal berangkat ke Moscow.
Akhirnya Donald sangat terpukul sampai berurai airmata ketika diberitahukan putusan Pemerintah untuk tidak mengirimkan mereka ke Moscow..

Valens Doy, wartawan Kompas menulis dalam kolomnya tanggal 18 Mei 1980
“ Kita terharu dan bersimpati dengan kecewanya Donald, atlit terbaik yang pernah kita miliki diluar cabang bulutangkis. Saya mengenal Donald sebagai pribadi yang cukup polos dan cerdas. Memang, keringat perjuangan dan kejayaan seorang atlit, apalagi dengan membawa nama negara, adalah sesuatu yang indah. Tetapi saya percaya, Donald juga tahu bahwa keindahan ini bisa terasa pahit jika di sekitar kita, jutaan orang, jangankan untuk berolahraga, untuk menghirup kemerdekaan hidup saja seakan·akan tidak punya hak “

Trio PemanahHati kecil Donald menjerit. Ia tidak bisa menerima bahwa mimpinya hancur atas nama politik. Ia tidak bisa mengerti mengapa, 23 negara lainnya tetap mengirimkan kontingen termasuk Irak dan Suriah yang mayoritas penduduknya Islam, sama dengan saudara-saudara mereka di Afghanistan. Mereka hadir di Moscow dengan alasan olahraga tidak boleh dicampur-adukkan dengan politik.

Sejarah memang tidak bisa diulang. Donald tak pernah mendapat kesempatan ini lagi. Usianya sudah tidak muda lagi, dan hampir mustahil dia menunggu 4 tahun untuk ikut Olimpiade berikutnya. Namun sejarah bisa mencatat ketika Donald bisa mewujudkan mimpinya di Olimpiade. Tidak sebagai atlet, tetapi sebagai pelatih bagi trio srikandi panahan – Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani dan Lilies Handayani – yang merebut medali perak di Olimpiade Seoul 1988.

Namun Donald tetap sosok pendiam. Dia membiarkan dirinya dirinya menyindiri di belakang kerumunan, ketika kontingen Indonesia disambut di Bandara Soekarno Hatta. Ia hanya berbisik
“ Pelatih memang penting, sebab atlet sulit mencapai prestasi bagus kalau tidak ada pelatih. Namun atlet tetap menjadi penentu utama karena dialah yang bertanding di lapangan. Pelatih hanya sekedar mengarahkan saja “

Diam diam Donald menyelinap pergi. Kita tak pernah tahu apa yang dia pikirkan saat itu. Barangkali ia tetap tak pernah bisa merelakan mimpinya yang hilang. Tapi satu hal Donald selalu mencintai panahan. Pada perayaan hari kemerdekaan tahun 2008, ia masih mengikuti pertandingan penahan. Tapi ia hanya mampu melepaskan 3 anak panah sebelum jatuh terkulai dan akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Pada 19 Agustus 2008, ia meninggal dunia dalam usia 62 tahun

You Might Also Like

9 Comments

  • @teguhsano
    February 20, 2015 at 5:31 pm

    Bagaimana kalo dibuatkan film layar lebarnya? pasti seru

  • demokrasi pancasila
    February 22, 2015 at 9:48 am

    turut berduka cita,,,,

  • Antyo
    February 22, 2015 at 12:47 pm

    Ada dua nama besar: Donald dan Valens. Bung Valens tak hanya menjadi wartawan olahraga tetapi juga penggembleng reporter di koran-koran daerah dalam naungan korporasi tempat dia bekerja. Beberapa editor Tribun News pasti ingat Bung Valens dan etos kerjanya.

  • lindaleenk
    February 22, 2015 at 12:57 pm

    Film kan mas! 🙂

  • Enny
    April 26, 2015 at 9:12 am

    Nama yang saya kenal …termasuk Vales Doy.
    Perjuangan bisa dilakukan dalam bidang apapun, walau saya bisa memahami betapa kecewanya Donald.

  • yos mo
    July 26, 2015 at 2:42 am

    Harus sedikit diralat tulisan di atas, Kejuaraan Dunia Panahan di Canberra tahun 1977, bukan tahun 1975 seperti yang tertulis di atas

  • herny marlina
    August 7, 2016 at 10:09 pm

    Akhirnya di filmkan.. dan filmnya kereennn… !!

  • juliuspandiangan
    August 8, 2016 at 4:39 am

    Kita turut bannga mempunyai donald Pandiangan. Dan filmnya sangat bagus

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:39 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*