Ada sisi menarik dari hiruk pikuk Pesta Blogger 2008 kemarin. Tentang kompetisi dan penjurian tentunya. Ini bukan tentang klausul keputusan dewan juri tidak bisa diganggu gugat. Tapi tentang bagaimana keikhlasan menerima siapa pemenangnya dan juga bagaimana menghargai sistem yang dinamakan demokrasi.
Panggung Pesta Blogger itu telah kosong. Peserta yang tadinya riuh rendah seperti gemuruh hujan telah pulang. Namun disana sini masih terdengar suara suara percikan. Kompetisi tidak adil. Penjurian berat sebelah. Apa yang membuat mereka menang dan kami kalah.
Sejak beribu ribu tahun lalu, kejadian ini selalu berulang. Kemenangan adalah simbol kejayaan manusia dan itu terus diperjuangkan sampai penghabisan. Manusia akhirnya melihat sebuah kompetisi sebagai perkelahian berdarah.
“ Tak ada kejayaan yang lebih besar bagi seorang manusia ketimbang apa yang telah dimenangkan dengan kaki dan tangannya sendiri “. Begitulah tertulis dalam Odysey.
Jadilah Hercules merenggangkan ototnya menantang Mars, dewa perang, atau Bima berteriak ingin menghisap darah Kurawa di padang Kuruseta. Atau suporter bola yang menggebuki wasit karena merasa kesebelasannya dikadali.