Browsing Tag

Korupsi

Sumpah ( Korupsi ) Pemuda

Keputusan menggunakan bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda tahun 1928 ternyata membuat kebingunan para peserta. Mereka yang umumnya lebih paham bahasa Belanda merasa tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Salah seorang peserta, Sogondo Djojopuspito mencoba memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya, namun penggunaan kalimat ‘ blepotan ‘ janggal tidak sempurna malah menimbulkan kebingungan dari peserta sidang. Sementara Siti Soendari, langsung memakai Bahasa Belanda dalam pidatonya. Ia mengakui tidak bisa berbahasa Indonesia.

Ada yang jauh lebih menarik, untuk pertama kalinya para pemuda ‘ memaksa ‘ dirinya menerima bahasa Indonesia sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan. Setidaknya bagi mereka yang tidak bisa mengerti bahasa Indonesia, akhirnya meminta maaf sebelum memulai orasinya karena memakai bahasa Belanda.

Ini pengorbanan para pemuda untuk melepaskan identitas etnisnya , mencoba memakai bahasa baru yang justru asing bagi mereka. Sesederhana itu sebagai simbol komitmen pemuda untuk nasionalisme negerinya.
Saat itu cukup para pemuda bergotong royong mencari untuk memenuhi kebutuhan ‘ event organizer ‘ penyelenggaraan kongres. Maruto Nitimihadjo , sebagai mahasiswa Recht Hoge School dan ketua Club Indonesia di Kramat Raya Jakarta, ikut menyumbang sedikit dari pendapatan tambahannya mengajar kursus jurnalistik.
Muhammad Yamin karena sudah mengusulkan memakai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dalam kongres ini, Mau tidak mau, harus kerja keras sebagai ‘ volunteer ‘ menjadi penerjemah, bagi yang kurang mengerti bahasa Indonesia dengan baik.
WR Supratman juga tidak pernah berpikir, berapa honor yang harus diterima, untuk memainkan melodi ‘ Indonesia Raya ‘ didepan peserta Kongres.

Lalu yang diharapkan jika kelak negeri yang dinamakan Indonesia ini merdeka? Ketika impian para pemuda akhirnya tercapai. Tentu belum begitu dipikirkan bagaimana mengelola negeri ini demi kemakmuran rakyatnya. Apakah mereka para pemuda akan tetap tulus, ikhlas dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dalam mengisi kemerdekaan.

Continue Reading

Bismar

Bismar Siregar pernah dianggap suatu waktu, sebagai hakim yang kejam. Dia pernah mengganjar terdakwa pembunuhan dengan hukuman mati. Entah apakah waktu itu hukumannya dieksekusi atau tidak. Jika ditanya, ia mengatakan bahwa itu adalah keadilan yang sesungguhnya. Jangan membayangkan dia seorang yang garang. Pak Bismar bicara lembut dan sangat santun. Dia juga toleran. Sebagai muslim dia fasih mengutip ayat ayat injil untuk memberi sebuah analogi kasus.

Kenapa Bismar ? Karena kita terusik dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4,5 tahun serta denda 250 juta untuk korupsi sebesar hampir 35 M yang dilakukan Angelina Sondakh. Dimana keadilan ?
Dengan kasat mata, semua bisa melihat bahwa ini tidak setimpal. Efek jera apa yang diharapkan ketika hanya dengan bersabar ‘ menunggu ‘ di penjara – itu kalau tidak dapat remisi, Angie akan keluar dengan status orang kaya.
Tentu saja dia bisa mendapatkan kembali privilegenya sebagai warga kelas atas dengan harta kekayaannya yang tetap melimpah.
Wacana pemiskinan para koruptor dan memburu harta yang dikorup untuk dikembalikan hanya pepesan kosong. Untuk kesekian kalinya kita tersandera oleh sesuatu yang disebut ketidakadilan.

Kalau sudah begini korupsi sudah menjadi soal teknis. Lolos atau tidak, di hukum berat atau ringan. Bukan lagi masalah etis. Seperti malu atau tidak.

Continue Reading

Tentang Polisi

Saya tak bisa memungkiri kalau pernah menyogok polisi.  Alasannya karena malas menghadiri urusan pengadilan, karena pelanggaran lalu lintas. Ya kadang saya salah melanggar marka jalan, atau berjalan di bahu jalan tol. Tapi kadang pula saya merasa  tidak rela, menganggap polisi hanya menjebak. Saya merasa tidak melanggar lampu merah, tapi masih disemprit.  Selain itu, saya berpikir, polisi juga mencari cari kesalahan.  Jika dia bisa mencegah orang memasuki jalan itu, kenapa dia tidak mencoba mencegah. Bukannya malah menunggu di balik tikungan jalan.

Saya juga mengaku salah, memberikan uang pelicin, ketika membuat perpanjangan SIM di polres. Tentu saja melalui calo calo yang berkeliaran dan menjadi perpanjangan tangan oknum polisi dibalik pengurusan SIM.
Ujung ujungnya adalah masalah kesejahteraan Polisi. 

Apalagi dulu ketika Polisi masih menjadi bagian ABRI, mereka mendapat alokasi budget yang paling rendah. Waktu SMA, saya melihat tentara pengawal Presiden Soeharto, menendang seorang Polisi hingga terjengkang, karena dianggap menghalangi jalan.
Setelah peristiwa Trisakti, Di rumah dinasnya, Jenderal Wiranto membentak ngamuk ngamuk ke Kapolri Dibyo Widodo. “ Lu serahin anggota “.  Polisi jadi angkatan paria, diantara angkatan lainnya.
Sejak kecil istilah ‘ prit jigo ‘ sudah jadi anekdot untuk oknum oknum Polisi. Konon juga razia jalanan akan semakin sering menjelang hari hari besar seperti Lebaran.  Tragis fenomena ini menjadi sebuah prejudice.

Continue Reading

Pajak

Karena saya dididik di sekolah Katolik, ada satu cerita yang sampai sekarang masih saya ingat. Yakni ketika Yesus ditanya apakah mereka rakyat Galilia harus membayar pajak kepada Kaisar. Waktu itu memang tanah Yudea berada dalam jajahan bangsa Romawi. Jawaban Yesus. Berikan apa yang menjadi hak kaisar dan juga berikan apa yang menjadi hak Tuhan. Jadi Yesus sendiri sudah menganjurkan untuk membayar pajak. Selain tetap tidak melalaikan kewajiban umat terhadap Tuhannya.
Dari jaman dulu pajak memang merupakan hak memungut dari negara terhadap warganya. Tanpa kecuali, bahkan dengan paksa kalau kita membaca sejarah bangsa bangsa Anglo Saxon dan Romawi sejak dulu. Rakyat yang tidak membayar pajak, disita hasil panennya dan kekayaannya.

Ketika bangsa bangsa semakin modern. Negara membutuhkan pajak sebagai sumber pemasukan cash negara. Bagi negara negara yang miskin sumber daya alam, pajak penghasilan adalah salah satu cara memungut dari warganya. Sehingga dulu banyak petenis Swedia yang memilih tinggal di daratan Eropa, untuk menghindar pajak di negerinya bisa sangat tinggi. Bisa bisa hampir separuh pendapatannya ditarik negara.
Indonesia baru mengenal pajak ‘ dalam arti sesungguhnya ‘ setelah kehabisan sumber daya alamnya sebagai sumber pemasukan periode 90 an. Sehingga pajak terus digenjot untuk menambal kas APBN. Sebelumnya siapa perduli pajak PPN atau PPH. Paling paling hanya pajak atas bunga deposito.

Continue Reading

Film sebagai perlawanan tindak pidana korupsi

Ada yang menarik dari Industri film di Amerika – terlepas itu kental aspek komersialisasinya – bahwa film menjadi sebuah pewartaan tentang simbol simbol demokrasi dan keadilan. Film bisa menjadi cermin budaya sebuah peradaban manusia. Selalu saja ada kesewenang wenangan, dan hak hak manusia yang terampas dalam struktur masyarakat Amerika. Juga tentang kemunafikan, dan aparat yang korup. Potret utuh masyarakat ini sekaligus menjadi sumber inspirasi pembuatan film film yang mengedepankan sisi keadilan dan transparansi publik.
Sejarah peradaban Amerika yang dibentuk oleh imigran Eropa, Cina dan budak budak Afrika tak lepas dari aspek keadilan. Film film hitam putih sudah merekam tentang bagaimana cowboy cowboy pembela kebenaran melindungi kota dari gangster gangter serta tuan tanah yang tamak dan korup.

Hollywood juga mengangkat kisah kisah warga atau laporan tentang kasus korupsi politik ke layar lebar, tidak saja membuka mata tentang kebobrokan moral pejabat publik, tetapi juga menghasilkan film film yang bermutu.
Film pertama yang menggunakan motivasi kejahatan ini sebagai plot utama, adalah The Finger of Justice ( Paul Smith Pictures , 1918 ). Seorang politisi terkemuka. William Randall yang melakukan kejahatan korupsi untuk memperkuat kekuasaan di kotanya. Dua orang warga masyarakat, Noel Delaney dan Yvonne tergerak mengungkapkan kasus korupsi ini.

Namun dari sekian banyak film film yang mengangkat kasus korupsi, ada empat film yang mungkin paling menarik selama 40 tahun terakhir. Chinatown (1974 ), All the President’s men ( 1976 ), Suspect ( 1987 ) dan City Hall ( 1996 ). Dalam Chinatown menceritakan korupsi para politisi yang bersekongkol dengan pengusaha milyuner untuk membeli tanah dengan harga murah. Film ini memenangkan Best Picture, Best Actor ( Jack Nicholson ), Best Actress ( Faye Dunaway ) dan Best Director ( Roman Polanski ) dalam Academy Award.

Continue Reading

Jaksa Agung Soeprapto

Pagi hari itu, tanggal 13 Agustus 1956, Menteri luar negeri Ruslan Abdulgani baru saja makan pagi dan bersiap siap untuk lawatan dinas ke luar negeri. Menurut rencana hari itu ia akan terbang menuju London, untuk sebuah konferensi Internasional tentang masalah nasionalisasi Terusan Suez.
Ia tercekat ketika ada 2 orang perwira AD dari divisi Siliwangi menemuinya dengan membawa surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh Kol.Kawilarang dalam kedudukannya sebagai penguasa perang Jawa Barat. Waktu itu Jakarta masih berada dalam teritori divisi Siliwangi.
Situasi sangat genting. KASAD Nasution merencanakan akan mengganti para panglima panglima pada tanggal 14 Agustus, sementara Kawilarang sehari sebelum pergantian, justru mengeluarkan surat penangkapan. Sebelumnya berdasarkan laporan dan beberapa investigasi surat kabar, Menteri Luar Negeri menerima uang dari seorang pengusaha Tionghoa sebesar satu setengah juta rupiah sebagai bagian dari ongkos cetak kartu suara pemilu.

Istri Ruslan Abdul Gani langsung menghubungi Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, yang segera memberitahu Nasution tentang penangkapan ini. Kasad Nasution yang tidak mengetahui tentang insiden ini – menyebutnya perbuatan koboi – segera memerintahkan komandan garnizun Jakarta segera membebaskan Menteri Luar Negeri.
Hari itu juga Ruslan Abdulgani berangkat dari lapangan terbang Kemayoran menuju London. Peristiwa itu disebut sebut sebagai kegagalan pertama bangsa ini, memerangi korupsi karena intervensi Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo.

Pemerintah melalui Perdana Menteri menuduh ini merupakan pembangkangan untuk mencegah pergantian Kawilarang. Namun sesungguhnya masa itu banyak perwira Siliwangi yang cemas dengan perbuatan korupsi oleh pejabat negara, dan mereka bertekad memberantasnya. Apalagi mereka banyak tak percaya Panglima baru kelak – Suprajogi – merupakan kaki tangan Nasution.

Continue Reading

seberapa tega kita ?

Mau tidak mau kita harus angkat topi dengan SBY karena ‘ merestui ‘ penangkapan terhadap besannya dalam kasus aliran dana Bank Indonesia.  Sesuatu yang muskil terjadi dalam jamannya orde baru.  Ini masalah seberapa tega dia menolak permintaan anak dan menantunya yang mungkin saja merengek rengek agar kasus ini dideponir.
Tidak hanya itu saja. Penjaga penjara brimob kelapa dua juga harus diacungi jempol, yang tega dan tegas menolak keluarga Aulia Pohan di luar jam jam resmi kunjungan tahanan.

Persoalan tega dan tidak tega menjadi rumit kalau berhubungan dengan sisi personal seorang manusia. Ini menunjukan integritasnya jika ia bisa membedakan disisi mana ia harus berdiri. Pastinya sulit karena ada pertentangan.
Untuk urusan syuting saja, saya harus berlindung di belakang asisten sutradara. Memang susah menolak. Ketika pemain saya yang cantik dan matanya manja – sambil menggelendot – meminta scene mereka didahulukan. Padahal breakdown syuting merujuk jadwal mereka masih lama.

Continue Reading

Asyiknya jadi pejabat

Makan malam di Shabu Nobu, Kemang. Ternyata di meja sebelah duduk seorang ibu bersama ponakan ponakan atau familinya. Ibu ini seorang artis jaman dulu yang anaknya – juga seleb – baru baru saja terpilih sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat.
Karena tempatnya sempit, saya selalu bisa mendengarkan apa yang dibicarakan di meja sebelah. Tentu saja tanpa bermaksud menguping.
Begini salah satu pembicaraan si ibu itu.

Ingat nggak dulu waktu kita makan di restaurant anu di Bandung..

( Ponakan menggumam tidak jelas. Lupa tampaknya )
Lalu sang ibu meneruskan.
Sekarang kalau kita makan di Bandung pasti banyak yang ngebayarin !

Jadi pangkat atau kekuasaan tidak hanya membawa berkah bagi pejabatnya, tetapi juga membawa rezeki bagi keluarga, orang tua, anak, keponakan, tetangga, kekesih gelap dan handai taulan. Ya. Selamat datang di negeri bancaan.

korupsi & manusia Indonesia

Dalam bukunya “ Manusia Indonesia “ , Mochtar Lubis sudah memasukan korupsi dalam elemen Hipokrit dan Munafik sebagai salah satu ciri ciri manusia Indonesia. Lebih jauh dikatakan, manusia Indonesia bukan economic animal dan cenderung boros, tidak suka bekerja keras dan inginnya serba cepat kaya. Entah ini benar atau tidak, namun ada yang selalu saya kagumi dari Mohtar Lubis – terutama dari buku buku karyanya.- yakni konsistensi untuk menyuarakan keadilan, kejujuran dan nurani.
Ia memimpin Koran Indonesia Raya yang suka mengangkat kasus korupsi sehingga dibreidel pada jaman Soekarno maupun Orde Baru. Dalam tulisannya ia juga kerap menyinggung hal ini. Seperti dikisahkan dalam novelnya “ Maut dan Cinta “. Kisah para pejuang kemerdekaan yang menghadapi godaan korupsi saat ditugaskan mencari senjata di Singapura dari uang penjualan gula dan karet.
Lalu “ Senja di Jakarta “ secara tidak langsung menyindir praktek praktek kolusi dan korupsi di perusahaan negara.

Continue Reading