Orang Indonesia bisa hidup sebenggol sehari

Dalam sidang Raad van Indie tanggal 26 oktober 1932, Direktur BB memberikan permakluman bahwa “ ternyatalah, bahwa kini satu orang yang dewasa bisa cukup makan dengan sebenggol sehari “.
Sebenggol setara dengan dua setengah sen gulden sehari.
Ini sangat jauh dari prediksi Statistich Jaarverzich pemerintah kolonial Belanda terhadap kemampuan hidup bangsa Indonesia saat itu yang rata rata 45 sen sehari bagi laki laki dan 35 sen sehari bagi perempuan.
Saya tidak tahu nilainya sekarang, cuma jika diasumsikan 1 gulden yang sudah setara dengan 1 euro senilai Rp 12.000,- maka kira kira kemampuan hidup laki laki bangsa Indonesia jaman itu sebesar Rp 6.000,- jika diukur dengan kurs jaman sekarang.
Prediksi tersebut sangat membuat marah Soekarno yang menuduh pemerintah kolonial sengaja menjerumuskan kaum marhaen ke dalam kegelapan zaman yang tak tertandingi.
Ia menjelaskan ketika hidup dalam penjara Banceui dan Sukamiskin, nilai ransum yang diperoleh setara dengan 0.14 sen gulden sehari dengan keadaan makanan yang begitu parah.

Entah kebetulan atau tidak, dalam skema bantuan langsung tunai ( BLT ) yang digadang gadangkan pemerintah sebagai dana kompensasi pencabutan subsidi BBM juga memakai skema yang diberikan oleh Biro Pusat Statistik ( BPS ).
Menurut BPS yang berhak mendapat bantuan langsung sebesar “ Rp 1000 ,- “ per hari hanya orang ‘ miskin ‘ yang pendapatan hariannya tidak lebih dari Rp 5.500,-. Jadi dengan tambahan uang seribu rupiah , pendapatan mereka menjadi Rp 6.500,-.
Jadi nilai kemampuan orang miskin jaman dahulu masih lebih sejahtera daripada orang miskin jaman sekarang.
Dus, Pemerintah sah kita akan bermain main dengan logika absurd ketika menaikan harga BBM yang konon menghemat 35 trilyun kemudian diambil 17 trilyun yang dibagikan kepada orang miskin.

Ada logika berpikir yang tidak saya mengerti. Ternyata subsidi yang besar dalam pos APBN bukan melulu urusan BBM. Ada pos dana talangan BLBI yang hampir 100 trilyun. Kenapa bukan itu yang dipangkas. Lalu penghematan pos anggaran negara lain, yang kecil kecil tapi bisa menjadi bukit, seperti kenaikan gaji anggota DPR setiap tahun atau luberan biaya birokrat yang sepertinya susah sekali dipotong.
Lalu penjadwalan utang luar negeri yang jumlahnya 158 trilyun. Kenapa harus takut ? negara negara Amerikan latin bisa melakukannya dan kreditor di luar negeri tetap ‘ terpaksa ‘ mengikuti skema ini.
Yenni Wahid mengusulkan pajak progressive bagi perusahaan perusahaan minyak yang sedang menikmati booming kenaikan harga minyak. Ini bisa menjadi subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan terbukti sukses di di negara negara Amerika latin.
Dalam talk shownya, ekonom Rizal Ramli mengemukakan biaya biaya mafia dan sindikat minyak yang sebenarnya sangat besar nilainya.
Kenapa Indonesia tidak membangun oil refinery. Justru industri itu dibangun oleh Singapura. Kita yang sesungguhnya pengekspor minyak mentah, malah menjadi pengimpor minyak olahan. Tidak jauh jauh, ekspor minyak kita hanya ke Singapura, kemudian diolah dan dikirim kembali ke Indonesia dengan mark up keuntungan untuk para broker. Belum cukong cukong Singapura yang memodali untuk menyelundupkan minyak subsidi dari Indonesia untuk dijual di luar negeri.

Bagi saya pemerintah terlalu malas untuk berpikir dan menciptakan solusi nyata. Lebih baik menciptakan politik tebar pesona dengan dalih membela rakyat miskin. Seolah olah dengan dicabutnya subsidi BBM, maka keadilan akan tercipta karena orang kaya tidak lagi menikmati subsidi BBM. Apakah benar ?
Jawabnya tidak !
Mengutip Yenni Wahid, “ Anggap saja penyelamatan APBN tersebut menjadi sebuah kebenaran. Namun penyelamatan APBN harus dinomorduakan karena potensi terciptanya kerusakan di masyarakat akibat kenaikan harga BBM tetap lebih besar. Ongkos sosial ekonomi yang harus ditanggung jauh lebih besar dari sekadar penghematan 35 trilyun “.

Kita mestinya paham bahwa akan ada pengangguran baru karena perusahaannya gulung tikar, masyarakat yang tidak miskin tapi tidak juga sejahtera yang hidupnya bertambah sulit, dan harga harga yang akan naik.
Menyamaratakan persepsi bahwa orang miskin harus ditolong jelas tidak masuk akal. Siapakah yang bisa menilai ‘ orang miskin ‘ ? BPS, pemerintah ?
Sosiolog Emmanuel Subangun, mendeskripsikan
“ BPS memberi angka, lalu kaum birokrat membuat program mengatasi kemiskinan dan orang miskin tersenyum melihat bonus harian seribu rupiah. Semua lalai bahwa kemiskinan bukan soal zakat dan derma tetapi berkaitan dengan kekuasaan dan politik “.

70 tahun yang lalu, Soekarno sudah menduga konspirasi ini.
“ bahwa hal ‘ sebenggol sehari ‘ akan dipakai alasan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menurunkan gaji, menurunkan upah kuli. Dan kita tambahkan lagi, Pemerintah dengan enoriteitnya direktur B.B bermaksud menunjukan, bahwa dus kaum Marhaen masih gampang hidup, bahwa dus pemerintah punya krisis politik adalah tak merugikan marhaen . Tergambarlah pemerintahan yang didalam abad kesopanan ini mengatakan ‘ rakyatnya ‘ cukup makan sebenggol sehari !.

Kebijakan Pemerintah demokratis dan sah jaman sekarang ini cenderung sesat karena menjadi pahlawan kesiangan dengan membagi bagi uang seribu rupiah setelah menaikan BBM. Seolah olah solusi mengentaskan kemiskinan. Lalu apakah alasan kelak yang mungkin dipakai ketika angka seribu rupiah itu tidak dapat mengejar harga kebutuhan pokok yang naik berlipat lipat ? Ah, bukankah orang miskin akan selalu bertahan dan survive ?
Saya tak tahu apakah Pemerintah masih memiliki nurani untuk ini.
Tidak salah Bung Karno mengatakan “ tersadarkanlah rakyat Marhaen yang diperintah pemerintahan yang demikian itu “

You Might Also Like

54 Comments

  • ajie
    December 8, 2008 at 10:36 am

    semoga pemimpin pemilu 2009 dpt membawa negara ini terbang meninggalkan kemiskinan dan keterpurukan yang dialami bangsa kita….

    hiduplah indonesia raya……

  • hafizh
    December 18, 2008 at 3:43 am

    Sudah terbukti bahwa system kapitalisme yang diterapkan oleh pemerintah kita tidak menghasikan kesejahteraan rakyat,tapi justru sebaliknya menambah penderitaan yang berkepanjangan tanpa arah yang jelas untuk mengentaskannya.
    Ada satu solusi yang bisa mengatasinya yaitu revolusi ekonomi dari system kapitalis ke system syariah seperti yang di usulkan presiden perancis tanpa malu- malu untuk mengakuinya.
    Tapi kita justru sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar dunia alergi dengan kata-kata yang berbau islam yang isinya adlah bersifat universal.

  • alena
    August 20, 2010 at 4:59 pm

    Seandainya, Soekarna dihidupkan kembali maka Indonesia akan banyak membangun penjara2 baru untuk para koruptor dan rumah sakit jiwa bagi pejabat yang hanya mementingkan kpntingan pribadinya dibandingkan kepentingan negara (harkat dan martabat bangsa ini)…
    Jika Indonesia ingin kembali disegani dunia, maka saat ini Indonesia butuh tokoh yang cerdas, lantang dan berani seperti sosok Soekarno. Kita adalah Bangsa besar kata Beliau, Dan kita mampu menjadi kiblat bagi negara2 lain di dunia….

  • dicari : Pemimpin Mahasiswa | Iman Brotoseno
    January 2, 2013 at 8:58 am

    […] selama ini dinikmati orang kaya, sangat berpretensi membuat konflik pertentangan kelas. Padahal ongkos sosial ekonomi yang ditimbulkan jauh lebih besar. Sebagaiman bumbu film, selalu ada pencoleng dan pengkhianat […]

1 2

Leave a Reply

*