Melawan Ekspor Paksa

Hasil putusan sidang di Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO ) menyatakan Indonesia melanggar ketentuan WTO terkait dengan kebijakan larangan ekspor dan hilirisasi biji nikel dalam negeri. Indonesia dianggap melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592.

Terkait Indonesia yang kalah gugatan di WTO, Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) menyatakan Pemerintah akan melakukan banding atas putusan tersebut. Dengan tegas Jokowi melihat Indonesia memiliki potensi keuntungan yang besar dalam hal menciptakan produk turunan produksi baterai kendaraan listrik. Semua ini akan membawa nilai tambah pemasukan negara yang sebelumnya Indonesia hanya mendapatkan Rp 19 – 20 triliun per tahun dari ekspor nikel mentah. Namun, setelah dilakukan hilirisasi, nilai ekspor Nikel melonjak tajam menjadi Rp 300 triliun per tahun.

Jokowi menegaskan bahwa pemerintah tak akan menyerah begitu saja. Dia pun membandingkan langkah Uni Eropa tersebut dengan era penjajahan Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa.
“Hati-hati. Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor,” kata Jokowi dalam sambutannya pada CEO Forum XIII bertajuk ‘Tantangan dan Langkah Percepatan Pemulihan 2023’ di Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12/2022).

Perlawanan Jokowi ini mengingatkan Bung Karno yang menolak eksplorasi habis habisan sumber daya mineral Indonesia oleh bangsa asing. “ Biarlah kita menunggu sampai Indonesia memiliki insinyur insinyur sendiri “, begitu katanya kepada Waperdam Chaerul Saleh yang mendesak agar daerah konsensi di perluas, artinya ia memikirkan bahwa hasil tambang ini semestinya dinikmati rakyat Indonesia sendiri.

Dalam buku “ The New Ruller of the World “, John Pilger menggambarkan konferensi di Geneva, Swiss November tahun 1967. Dikatakan, menyusul diperolehnya hadiah terbesar ( baca : turunnya Bung Karno ). The Time Life Corporation mensponsori konferensi istimewa yang dalam waktu 3 hari merancang mengambil alih kekayaan Indonesia.

Para pesertanya terdiri kapitalis kapitalis paling berkuasa di dunia seperti David Rocklefeller, General Motors, Imperial Chemical Industries, British American Tobacco, Bristish Leyland, American Express, Goodyear, Siemens, US Steel, International Paper Corporation, AT & T, Caltex, perusahaan minyak, perbankan dan industri pertambangan lainnya.

Diseberang meja, duduk peserta dari Indonesia, yakni para ekonom ekonom serta Jenderal Ibnu Soetowo yang menghubungkan para industrialis barat dengan Soeharto, pemimpin baru Indonesia. Ibnu Soetowo yang saat itu sebagai Menteri Pertambangan & Perminyakan diperkenalkan kepada korporasi asing melalui Julius Tahija.
Para CEO CEO korporasi ini sudah mempunyai amunisi, yakni UU Penanaman Modal Asing 1967 yang sangat pro investor. UU yang ditandatangani bulan April 1967, memang dibuat terburu buru dan langsung disodorkan ke Jenderal Soeharto.

Saat itu Rocklefeller banyak mendiktekan klausul klausul Undang Undang ini yang sangat menguntungkan mereka. Ia sudah berperan seperti Gubernur Van Imhoff yang menyodorkan Perjanjian Ponorogo kepada Mataram tahun 1743. Jika waktu itu VOC bisa memaksa Mataram untuk tidak berlayar atau membuat kapal. UU PMA juga memaksa pembebasan pajak untuk jangka waktu 5 tahun pertama.

Walhasil dalam 3 hari itu Indonesia dibagi bagi untuk para korporasi asing. Freeport mendapat bukit tembaga di Papua ( walau penghasilan terbesarnya justru dari emas ), sebuah konsorsium Eropa mendapatkan nikel. Raksasa Alcoa mendapatkan bauksit. Sekelompok perusahaan Amerika, Eropa dan Jepang mendapatkan kayu kayu dari hutan di Sumatera dan Kalimantan. Masih banyak lagi. Pembagian ini sangat rinci dan tidak menyisakan daerah konsensi kosong.

Langkah penolakan Jokowi sekali lagi menunjukan keberanian untuk berdikari dalam ekonomi seperti sikap politik Bung Karno dalam butir butir Trisakti yakni berdaulat di bidang politik, berdikari berdiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Sudah sekian lama kita dijajah oleh kesewenangan korporasi asing terhadap pengelolaan sumber daya mineral kita.

Tahun 1976, ketika produksi minyak Caltex masih hampir sejuta barel sehari, kita sudah ketakutan meminta Caltex memberi potongan satu dollar dari keuntungan Caltex yang waktu itu masih AS $ 2,30 untuk setiap barrel minyak yang mereka hasilkan.
Kita sempat tak punya gigi untuk meminta jatah yang lebih baik dari Freeport. Waktu itu tak terbayangkan meminta jatah dari 90,64 persen saham mereka untuk dialihkan ke dalam negeri. Membayangkan merevisi perjanjian kontrak karya saja, kita tidak berani.

Tidak salah kalau kontrak politik antara VOC dan Mataram, ratusan tahun kemudian dianggap direpresentasikan dalam kontrak karya pertambangan. Hampir puluhan tahun UU Pertambangan menempatkan posisi perusahaan sejajar dengan negara. Perubahan harus disetujui keduabelah pihak. Bahkan bisa jadi perusahaan lebih kuat kedudukannya dari negara, sehingga negara dipaksa tutup mata kalau hasil sampingan Freeport, yakni Emas – lebih besar daripada tembaga.
Dengan disetujuinya Undang Undang pertambangan, maka posisi negara berubah menjadi lebih kuat diatas perusahaan. Karena ia memangku status pemberi izin. Kalau diartikan bisa sewaktu waktu mencabut izin itu. Sehingga Jokowi bisa memaksa membeli 51 persen saham atas nama Indonesia.

Seperti perjuangan menguasai Freeport. Kini sekali lagi Jokowi akan terus melawan, menolak kesewenang wenangan asing yang memaksa Indonesia membuka keran ekspor nikel mentah. Mereka merasa bangsa Indonesia seharusnya sudah cukup puas dengan penerimaan hasil ekspor nikel mentah dan atas nama liberalisasi perdagangan. Mereka merasa berhak menikmati keuntungan yang berlimpah ruah dari hasil turunan produk nikel milik Indonesia. Bung Karno pernah mengkritik pola pikir imperialisme yang seolah mengatakan bangsa Indonesia sudah cukup hidup segobang sehari.

Penolakan terhadap sikap Indonesia, secara tidak langsung menunjukan negara negara tersebut menjadi agen kapitalisme, ketika kepentingan korporasi masuk melalui negara. Seperti yang digambarkan Bung Karno puluhan tahun lalu dalam eksepsinya di Pengadilan kolonial. “ Imperialisme adalah politik luar negeri yang tidak bisa dielakan dari negara negara yang mempunyai kapitalisme keliwat matang. Yang dimaksud mereka ialah kapitalisme dengan pemusatan perusahaan perusahaan yang dijalankan sampai sejauh jauhnya “.

Jadi tak salah juga kalau kita berpikir “ Mining is God’s way of saying that you’re making too much money “. Selalu saja ada kepentingan dibalik itu dan perusahaan perusahaan raksasa dengan tenang dan tersenyum menunggu saat yang tepat untuk kembali menguasai negeri jajahan melalui barang dan produk olahan mereka.

Kemungkinan bentrokan kepentingan itu sudah diprediksi dalam buku “ GATT dan WTO : Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan “ ( 1996 ) karya Kartodjoemana. Dimana pengaruh positif dari bergabungnya Indonesia dalam organisasi WTO adalah Indonesia mendapatkan perlindungan dalam kegiatan perdagangan internasional. Indonesia diuntungkan dengan meluasnya pangsa pasar bagi komoditas-komoditas ekspor Indonesia.
Namun berbergabungnya Indonesia dalam WTO juga memberikan dampak negatif, yaitu Industri Indonesia kalah bersaing dengan industri-industri negara maju dalam konteks perdagangan internasional, selain munculnya ketergantungan terhadap produk-produk negara maju dan cendurung merugikan Indonesia.

Perlawanan Jokowi terhadap dampak globalisasi seperti sudah diingatkan Joseph E. Stiglitz, peraih nobel tahun 2001 bidang ekonomi dalam bukunya “ Making Globalization Work “ (2006 ). Mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Bill Clinton dan Kepala ekonomi di Bank Dunia itu berpendapat bahwa globalisasi memberikan janji besar untuk kebaikan, tetapi aturan tatanan ekonomi internasional yang dirancang oleh negara-negara kaya justru untuk melayani kepentingan mereka. Sehingga mereka tidak adil dalam ekosistem perdagangan.

Stiglitz mengatakan negara maju memanipulasi aturan perdagangan internasional untuk melindungi pabrik dan petani mereka dari produsen yang lebih efisien di negara berkembang. Perusahaan multinasional menghindari tanggung jawab atas kerusakan yang mereka lakukan. Sementara itu, sistem keuangan internasional, yang dipimpin oleh IMF, memberi penghargaan kepada pemberi pinjaman yang boros (yang kaya) dan menghukum debitur yang malang ( yang miskin).
Stiglitz sering memunculkan konsep eksternalitas yang negatif, seperti biaya yang dibebankan Individu, perusahaan, atau negara pada bangsa lain, atau bagaimana kelompok yang berkepentingan di negara maju mendapatkan keuntungan dari bantuan dari pemerintah mereka, tetapi bantuan ini mengorbankan orang di negara berkembang yang mencoba untuk bersaing. Misal ribuan petani kapas Amerika yang kaya mendapat miliaran dolar dari subsidi pemerintah walaupun ini menekan harga kapas dunia, yang semakin memiskinkan jutaan petani kapas di Afrika.

Stiglitz berpendapat bahwa kepentingan khusus telah mendistorsi tatanan ekonomi dunia dan lembaga internasional yang menjalankannya. Solusi yang disukainya adalah reformasi skala besar di lembaga internasional yang ada dan pembentukan lembaga baru seperti sistem cadangan global — untuk membuat perdagangan lebih adil.

Jokowi mendobrak tatanan baru perdagangan Internasional dengan mengajarkan untuk melihat kepentingan bangsa. Jokowi akan terus memegang janji itu dengan tidak akan membiarkan bangsa ini hanya menjadi target market dari produk produk yang ironisnya dihasilkan dari bumi Indonesia sendiri. Kita bisa mencemooh Hugo Chavez karena keberaniannya menasionalisasi perusahaan perusahaan asing. Alasannya karena bisa menghambat investasi. Padahal kita lupa, ketika kelak suatu hari tiba dimana hasil tambang mineral habis. Kita sudah tidak punya apa apa lagi untuk dikelola.

Sampai sekarang kata kata Bung Karno akan selalu terngiang ngiang, mengingatkan kita untuk jangan menjadi bangsa kuli “ …. dan sejarah akan menulis disana, diantara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Akhirnya kembali menjadi satu kuli diantara bangsa bangsa – kembali menjadi een natie van koelies, en een kolie onder de naties. “

Kita memang harus berani bersuara untuk mengubah tatanan dunia yang tidak adil ini. Kelak sejarah akan mengajarkan bahwa kita memang bukan bangsa kuli karena berani mengelola hasil bumi sendiri demi kemakmuran rakyat.

You Might Also Like

2 Comments

Leave a Reply

*