23 March 2011
Langit Makin Mendung
Posted by iman under: AGAMA; BERBANGSA; BUKU; HUKUM & ETIKA; SASTRA; SEJARAH .
Dalam sidang lanjutan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 25 Febriuari 1970. Waktu itu atas pertanyaan Jaksa penuntut. Hans Bague Jassin , atau biasa dikenal HB Jassin mengatakan, bahwa meskipun diceritakan oleh Kipandjikusmin dalam ‘ Langit Makin Mendung ‘ itu bertentangan dengan aqidah agama Islam yang dipeluknya, tapi Jassin sebagai seorang sastrawan yang katanya hidup dalam dunia imajinasi tidak bisa melepaskan diri dan untuk tetap menghargai karya imajinasi seorang pengarang.
Keteguhan HB Jassin dijuluki Paus Sastra Indonesia, sebagai pemimpin majalah Sastra untuk tetap tidak membuka jati diri siapa sesungguhnya penulis yang memakai nama Kipandjikusmin.
Diceritakan dalam cerpen yang dimuat dalam majalah Sastra, terbitan bulan Agustus 1968. Nabi Nabi di sorga merasa bosan, lalu memutuskan untuk mengirim utusan turun ke bumi. Nabi Muhammad yang telah dipilih sebagai wakil utusan dipanggil Tuhan untuk diminta penjelasan.
Muhammad menjelaskan bahwa ia dirasa perlu mencari tahu mengapa akhir akhir ini sedikit sekali manusia yang masuk surga. Tuhan menjelaskan keadaan dunia yang makin bobrok dan tak ada gunanya lagi dilihat. Namun Nabi Muhammad bisa meyakinkan Tuhan, bahkan disertakan bersama Muhammad, si Malaikat Jibril yang bertindak sebagai pengawal.
Maka dimulai melihat negeri Indonesia yang 90 % penduduknya beragama Islam, namun memiliki pelacuran yang besar juga sarang kejahatan, konspirasi komunis ( waktu itu masih belum lama pemeberontakan komunis terjadi ) dan berbagai macam kemaksiatan.
Cerpen itu dituduhkan oleh Pengadilan dan beberapa tokoh Islam, telah menghina terhadap abstraksi dan Kemulian Tuhan serta Nabinya, Muhammad Saw. Jassin tetap bersikukuh tak mau membuka nama penulisnya dan berani menanggung akibat diseret ke pengadilan. Walau ia dibela oleh sastrawan lainnya, tak mengubah vonis penjara selama setahun.
Dalam usia muda Jassin sudah menulis kritik sastra dan telah jadi seorang cendekia. Kebetulan bakatnya menarik Sutan Takdir Alisjahbana, yang kemudian menawarkan pekerjaan di penerbitan Belanda, tahun 1940. Kelak berbagai majalah sastra di zaman itu sampai jaman modern, mendapat sentuhan tangan dan pikirannya sebagai redaktur.
Ketekunannya membaca, meneliti, dan menulis kritik sastra, membuat pendapatnya ditunggu-tunggu banyak sastrawan di masa itu. Kecintaannya terhadap sastra, buku membuatnya tetap merawat puluhan ribu dan kliping sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dalam sebuah ruangan pengap dan nyaris terlupakan di pojokan Cikini.
Jassin beruntung pada masa itu FPI belum ada, jadi tidak ada demo pawai menghalalkan darah dari laskar putih putih tersebut. Juga belum ada JIL yang membela atas nama kemerdekaan berpikir juga.
Pengadilannyapun cenderung biasa biasa saja. Tidak ada gerombolan laskar jihad yang menunggu di luar sidang. Hiruk pikuk justru terjadi di media massa ketika beberapa penulis dan sastrawan yang membela seperti Goenawan Mohamad, Bahrum Ramkuti, Mochtar Lubis dll disatu sisi dengan Buya Hamka dll di sisi lain.
HB Jassin memang sudah meninggal. Dia juga tak tahu jika Pusat Dokumentasi Sastranya terancam bangkrut karena hanya mendapat jatah 50 juta rupiah setahun dari pemerintah DKI, yang ironisnya keputusan itu ditanda tangani Gubernur Fauzi Bowo sendiri. Bandingkan dengan jaman Gubernur Sutiyoso, PDS HB Jassin masih mendapat jatah 500 juta setahun.
Bang Foke menjanjikan uang subsidi 1 milyar setahun setelah mendengar kekisruhan ini. Konon Malaysia – lagi lagi – berencana membeli dan memboyong seluruh puluhan ribu buku dan klipling kipling sastra, seandainya Pusat dokumentasi sastra ini benar benar di tutup. Sekali lagi negeri rumpun tetangga itu memang lebih berpihak pada kesusasteraan. Bahkan mereka sangat mengenal tulisan penulis dan sastrawan Indonesia sejak di bangku sekolah.
Lagian siapa perduli dengan sastra di sini ? Siapa yang masih memuja bait puisi Amir Hamzah, ketika ia menumpahkan rindunya pada Tuhan. Aku manusia. Rindu rasa. Rindu Rupa. Siapa juga yang masih percaya dengan pesan moral yang luar biasa dari cerpen Robohnya Surau Kami – AA Navis.
Dalam ‘ Langit Makin Mendung “ versi Kipandjikusmin, dari atas awan yang empuk bagi kapas. Nabi dan Jibril melihat sebuah negara seperti neraka yang dinamakan Indonesia. Mereka terbang turun ke bawah melihat pelacuran di daerah Planet Senen. Melihat pengeroyokan terhadap pencopet yang justru dilindungi orang berbaju hijau. Semua kepincangan kepincangan sosial yang tiada tara busuknya.
Mungkin sesuatu yang tak berubah. Langit jaman sekarangpun makin mendung. Terlalu gelap malah. Rakyat tak tahu apa yang sebenarnya dipertikaikan para elite politik. Apakah urusan resufle, angket pajak dan segala macam tetek bengek menyangkut hajat hidup secara langsung masyarakat ?
Bagaimanapun Jassin dianggap bersalah. Bisa dibayangkan kasus yang dihadapi Jassin terjadi jaman sekarang. Apa yang akan dilakukan FPI ? Jika kekerasan atas nama agama menjadi nafas hidup sehari hari bangsa ini. Dimana Pemerintah dan dimana hukum ketika sebagian kaum warga minoritas membutuhkan. Ketika orang orang kecil menjadi kambing hitam. Juga dimana negara ketika gereja di bakar, dan orang orang Ahmadiyah dibunuh. Apakah kita mentolerir ini, apapun keyakinan mereka.
Manusia pada akhirnya dihadapkan apakah dia akan bertahan dengan segala kepalsuan atau seperti Don Qixot berjuang melawan kebatilan. Seorang pencuri kelinci divonis pengadilan negeri Bojonegoro selama 7 bulan penjara. Hukum tiba tiba terasa tegas terhadap rakyat kecil.
Kita juga mengetahui Socrates harus minum racun atas putusan pengadilan Athena, karena tuduhan ia menyebarkan pikiran dan ajaran sesat. Yang menjadi menarik adalah pernyataan Socrates bahwa ia tetap harus mematuhi putusan pengadilan meskipun merasa tak bersalah. Socrates mematuhi putusan pengadilan itu karena lembaga itu sah.
Logika ini yang sebenarnya menggelitik. Walaupun jalan mendaki yang berat. Kitapun masih harus seperti Socrates , tak sedikitpun kehilangan harapan kepada lembaga penegak hukum , karena tinggal mereka yang kita punya dan sekaligus percaya.
Pada pledoi pembelaaannya. Jassin menulis “ Kami telah dilaintafsirkan dan karena perlainan tafsir itu orang mengira kami telah menghina mereka, menghina kepercayaan mereka yang adalah kepercayaan dan keyakinan kami juga. Kami dengan tulus ikhlas meminta maaf kepada mereka yang mengganggap bahwa kami telah menghina, dan kami pun memohon maaf kepada Allah Maha Kuasa, yang kamu tahu adalah Maha Pengampun dan Maha Pemaaf “
Akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan putusannya.
Kepada Hans Bague Jassin, dijatuhkan hukuman : Satu tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. HB Jassin melakukan banding.
Sampai sekarang surat vonis belum diterimanya. Bahkan Keputusan Pengadilan Tinggi – hingga ia wafat – belum pernah diketahuinya.