Selalu ada cara untuk menggali ide ide dan inspirasi pekerjaan yang mendadak buntu. Tentu saja undangan menonton Festival Kebudayaan Yogyakarta menjadi oase yang menyegarkan. Sekaligus menemui seseorang di Keraton. Puncaknya adalah pemutaran sebuah film ‘ Cintaku di Kampus Biru ‘ di dalam Benteng Vredeburg. Ini hanya sekadar roman picisan karya novelis Ashadi Siregar – dulu dosen UGM – yang diangkat ke layar perak melalui besutan sutradara Ami Priyono. Konon ini adalah ‘ Ada Apa Dengan Cintanya ‘ periode tahun 70an, dan menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak periode 1977 – 1979.
Tidak seperti peran Rangga yang jaim, disini Anton – yang diperankan Roy Marten – menjadi playboy, aktivis mahasiswa Universitas Gajah Mada yang pintar dan banyak akal bulunya. Ia juga mencintai dosennya yang killer, Ibu Yusnita.
Menurut antropolog Karl G. Heider, Kampus Biru disebut sebagai film Indonesia pertama dengan adegan ciuman di bibir secara penuh. Rae Sita yang sekarang menjadi anggota Badan Sensor Film, saat itu masih muda dan membiarkan Roy Marten mengulum bibirnya berkali kali.
KESEHARIAN
Kepekaan yang tergerus ( 2 )
Posted on June 12, 2008Dalam wawancara yang ditayangkan di TV One, The Commander Munarman mengatakan,“ Saya sudah membantu tenaga kerja Indonesia di luar negeri, saya sudah membantu para buruh yang hak haknya terabaikan. Hanya satu yang saya belum lakukan. Membantu umat Islam. Itu alasan mengapa saya melakukan semua ini “.
Saya membayangkan betapa peka dan sensitif lelaki ini.
Sementara hari ini saya kehilangan kreatifitas saya. Janji pembuatan story board iklan berikutnya belum bisa saya tebus. Hanya menatap power book Mac dan mencomot isi pesan YM dari Dimas .
“ mas iman nama mas iman muncul di novel beauty for killing… mau ngomong itu aja si, hehe… dah mas iman “.
Akhirnya ada yang membaca juga karakter figuran bernama Iman Vrotosceno yang berprofesi sutradara di novel itu.
Ya saya kehilangan daya peka . Berputar putar harus menulis apa.
Ketidakpekaan itu bisa menghancurkan apa saja, termasuk hubungan dengan orang yang kita cintai. Apakah ada kenikmatan yang bisa mengalahkan sebuah hubungan yang saling sensitif dengan orang yang kita cintai ?
Sungguh ini postingan yang paling tak bermutu dari sejarah blog ini, dan saya tetap memaksa untuk menulis.
Front Penyejuk Islam
Posted on June 6, 2008Barang kali orang film adalah komunitas yang paling toleran dan pluralistik. Disana ada banci, gay, Islam cekek, atheis – dalam arti benar benar tidak percaya Tuhan , jawa, ambon, punk metal, Hindu, Buddha, Islam NU, Kristen, pasangan kumpul kebo sampai penganut kejawen. Kami bekerja secara team work dan tidak melihat perbedaan sebagai halangan untuk menciptakan sebuah karya. Saya sendiri tidak terganggu jika ada crew ijin melakukan sholat magrib, sebagaimana saya juga tidak risih melihat para production assistant saya yang memakai hipster yang udelnya kemana mana, dan kita bisa melihat tatoo kupu kupu di atas pantat belakangnya.
Sahabat saya DB adalah contoh yang sempurna.
Ia sutradara jebolan Institut Kesenian Jakarta yang telah mengalami kisah perjalanan hidup yang beraneka ragam. Istri pertamanya – seorang bule – ketika ia masih rajin mengunjungi pub dan bar. Ia bercerai dan mengawini istri keduanya – seorang model – yang wajahnya mirip Maudy Koesnaedy, sehingga sering dipakai sebagai stunt model pengganti adegan yang melibatkan Maudy.
Tidur
Posted on May 16, 2008Hari ini masih dingin. Matahari belum sepenuhnya menampakan diri. Pukul 4 pagi saya sudah tergopoh gopoh berangkat bekerja. Location Scout, demikian sebagian menyebutnya. Ada yang saya percaya – bahwa manusia manusia itu tak pernah bisa tidur. Beristirahat.
Lihat wajah wajah murung dan kaku. Sesungguhnya mereka ‘ tidur ‘ dalam pekerjaannya. Dalam setiap langkahnya. Dalam setiap percakapannya. Juga setiap geraknya.
Apakah kita masih memerlukan tidur. Jika dalam tidur pikiran kita justru selalu terjaga dalam kegelisahan. Kesempatan apa yang terbuang ? Apa yang kita dapatkan besok ?
Sekali lagi saya membayangkan seorang Chairil Anwar yang gelisah dan tak pernah tidur. Tak pernah bosan saya mengutipnya.
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu……
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !
( Chairil Anwar – Prajurit Jaga Malam )
Momen yang hilang
Posted on April 20, 2008Hari minggu ini, Abel – anak lanangku – menunjukan tulisan untuk tugas sekolahnya. Sebuah karya tulis mengenai RA Kartini yang ditulis dalam bahasa Inggris. Tentu saja grammaticalnya masih berantakan disana sini. Ndak masalah. Ada yang jauh lebih menarik, bahwa ia bisa menuangkan sebuah ide tulisan dari berbagai sumber tulisan yang dibacanya. Lihat saja, saya bisa merasakan kepedihan seorang Kartini karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Apatisnya menghadapi hidup, bahkan ceritanya bisa menyambar ke sosok Agus Salim.
Untuk kesekian kalinya saya kehilangan moment moment pertumbuhannya dengan sebuah alasan klise. Kesibukan dan selalu di luar. Sepertinya tiba tiba ia sudah bisa bicara, lalu sebuah lompatan lagi ketika melihatnya sudah bisa berjalan. Lalu saya juga tak tahu kapan ia belajar komputer, tiba tiba saya menemui ia sudah duduk browsing di internet mencari kunci kunci rahasia untuk permainan Play Stationnya. Kini ia sudah bisa mengarang tulisan.
Ah, sungguh kesia siaan. Sekonyong konyong saya mengutuk diri sendiri.
Riders on the storm
Posted on April 11, 2008Penerbangan Mandala dari Surabaya malam ini begitu menakutkan. Menjelang turun mendekati Jakarta, hujan badai dan petir menyambar nyambar tanpa peduli. Berkali kali pesawat diguncang guncang dan naik turun seolah berusaha melepaskan diri dari kabut tebal. Tiba tiba saja saya merasa kecil ditengah ketidakberdayaan.
Seorang wanita disebelah kanan saya, memejamkan matanya sambil mulutnya komat kamit. Mungkin berdoa. Saya melirik gadis berkacamata disebelah kiri yang mencengkram tangan saya erat erat. Kepalanya menunduk dan menahan nafas.
Badai memang identik dengan kegalauan dan mungkin juga kematian. Begitu dekat , begitu lekat.
Sekarang jam 9.30 malam. Hujan masih saja dicurahkan dari langit sambil menunggu mobil jemputan di terminal kedatangan. Besok pukul 3 pagi saya harus kembali lagi ke Airport, mengejar penerbangan jam 5 pagi menuju Ternate, Halmahera.
Berharap badai akan segera reda, untuk selama seminggu nanti menjelajahi Halmahera sampai Morotai. Tapi siapa yang tahu ? Karena badai bisa begitu dekat dan sekaligus melankolis.
Riders on the storm
Riders on the storm
Into this house were born
Into this world were thrown
( Jim Morisson )
Foto : Purwanto Nugroho
Refleksi Akhir Tahun
Posted on December 30, 2007Seorang teman pernah menanyakan sebuah hal yang mungkin terasa aneh bagi saya.
“ Mas Iman dalam seminggu berapa hari di rumah ? “
Ini menjadi sebuah jawaban yang berputar putar terus dalam labirin. Karena saya tak tahu bagaimana menjawabnya. Sungguh. Rasa rasanya baru kemarin saya berkelana berhari hari syuting di selatan Jawa Barat dari Sukabumi, Cisolok, Pelabuhan Ratu. Pulang dan mengeditnya. Kemudian pergi recce atau hunting lokasi lagi di Jogjakarta dan Bali. Lalu kembali ke Jakarta. Kini, dua hari kemudian saya sudah duduk duduk di candi dasa, Bali bersama Christine Hakim . Menikmati kapucino Indocafe sachet yang dibawanya sambil memandangi pulau karang, Gili Topekong di Selat Lombok.
Ketika manusia menjadi pejalan jauh , ia sesungguhnya tidak kehilangan siapa siapa. Ia juga tak mencari cintanya. Pun tidak juga kehilangan rumahnya. Karena rumah itu akan selalu berada di hatinya kemana dia pergi. Sejauh apapun. Ini adalah bagian dari konsekuensi sebuah pencaharian yang disebut kerja.
Handphone
Posted on December 18, 2007Biasanya ketika harus berpergian ke daerah terpencil, saya selalu menyiapkan telepon satelit Byru . Sekadar berjaga jaga jika jaringan seluler yang reguler belum menembus hutan atau pulau pulau terpencil. Ternyata dalam perjalanan di Papua bulan lalu, saya lupa membeli voucher telepon satelit, sehingga bener bener putus hubungan dengan dunia luar, khususnya Jakarta. 2 hari pertama masih agak cemas cemas, dan kepikiran mengenai beberapa pekerjaan yang harus di follow up. Namun hari selanjutnya, saya mencoba tidak memikirkan dan larut saja dengan petualangan di tanah papua ini. Ternyata sampai ketika kembali ke Jakarta, tidak ada hal hal yang mengganggu sehubungan ‘ dengan hilangnya ‘ saya selama seminggu. Biasa biasa saja.
Uang Amplop
Posted on December 14, 2007Sudah beberapa bulan terakhir , disela sela pekerjaan selalu ada saja permintaan untuk memberikan workshop, menjadi juri atau pembicara. Sebenarnya melelahkan, tetapi tak ada yang indah daripada bisa memberikan sejumput ilmu dan gagasan kepada mereka yang membutuhkan. Namun ada yang jauh lebih indah ketika acara berakhir, panitia sambil tergopoh gopoh pringas pringis memaksa saya menerima amplop yang berisi uang lelah. Tak besar. Tapi itu bentuk apresiasi mereka terhadap kehadiran saya.
Sebenarnya itu juga bukan pamrih. Kadang kala saya benar benar insisted menolak amplop misalnya yang diberikan sebuah kelompok photography SMA. Toh, uang tersebut bisa sangat berarti untuk menyewa model atau biaya hunting pemotretan mereka. Tapi jika yang menyelengggarakan hajatan adalah perusahaan yang established, seperti Perlombaan Iklan Layanan Masyarakat mengenai Global Warming yang disponsori DAI TV bersama Yayasan SET Garin Nugroho . Tentu saja saya bersama sutradara film JAK Andi Bahtiar Yusuf dan tokoh periklanan sekaligus penulis Mas Joko Lelono, tak menolak disangoni amplop tanda mata tersebut.
Titian Rambut di Belah Tujuh
Posted on December 11, 2007Dulu sewaktu kecil kita sering mendengar da’i di musholla bercerita tentang pembalasan api neraka kelak. Saat kita diuji dengan berjalan melalui jembatan shiraathal mustaqimm yang konon tipisnya bagai sehelai rambut di belah tujuh. Jadi anda anda yang keberatan dosa bisa dijamin mak gedabruk nyemplung ke api neraka. Nyoss, Menggelinjang, hangus dan terbakar. Bayangan jembatan ke surga itu tiba tiba saja mrucut terlintas ketika minggu kemarin mendaki menuju air terjun Cibeureum, lereng Gunung Pangrango – Jawa Barat. Dengan rombongan yang lumayan besar, dalam arti jumlah armada ojeg yang terlibat. Director of photography alias kameramen, tukang rias, penata kostum atau wardrobe stylish, produser, pemain, crew, sampai klien naik ojeg dulu melintasi kebun teh Pondok Halimun, Sukabumi – kami paksa naik gunung sampai perhentian terakhir. Itupun masih harus berjalan satu jam menembus hutan basah yang becek karena habis hujan semalam.
Prasangka
Posted on December 8, 2007Ilham dan Irfan, anak kembar bungsu DN Aidit telah merasakan hidup yang sangat pahit, yang hampir tidak mungkin pernah kita bayangkan. Ketika semua mata menudingnya sebagai anak komunis, padahal ketika pemberontakan PKI terjadi mereka masih berusia 5 tahun dan tidak tahu apa apa. Tanpa diminta, mereka harus memikul beban dosa orang tuanya selama 32 tahun. Seorang tentara yang hampir menembaknya ketika mereka sedang bermain kelereng, ejekan temannya, sulitnya mencari sekolah dan pekerjaan, sampai kebingungan ketika harus berkenalan orang tua pacarnya. Semua ini karena sebuah stigma yang dinamakan prasangka. Saat bayangan pikiran kita terbungkus rasa curiga. Kadang bisa menjadi benci dan dendam. Namun masih ada saja orang yang memiliki hati mulia, seperti keluarga Moelyono yang merawat dan mendidik mereka di Bandung sampai dewasa.
LAGI LAGI SIDE JOB
Posted on July 29, 2007Lengkap sudah penderitaan saya, berbekal Tolak Angin Flu, Actived dan Nelco obat batuk hitam yang menemani hari hari di ruangan editing. Sungguh sengsara kala diserang flu sekaligus harus mempresentasikan hasil pekerjaan. Bukan karena suara saya menjadi bindeng, tetapi karena klien menjadi takut takut ketularan virus ini, sehingga kelihatan tidak nyaman. Ini merupakan akumulasi pekerjaan yang semakin padat akhir akhir ini, terutama setelah saya menerima pekerjaan side job yang tambah lama justru tambah mengambil waktu. Sudah beberapa lama saya menjadi creative director untuk beberapa produk yang akan beriklan di TV. Umumnya seorang sutradara film iklan menjadi eksekutor dari sebuah konsep iklan yang dirancang oleh biro iklan atau creative director. Sekarang saya diberi tugas oleh klien untuk membuat sebuah konsep iklan dan sekaligus mengeksekusinya sekaligus. Mulai dari produk perbankan, minuman, sabun sampai sekarang minyak goreng. Jadilah saya harus menyikapi lebih luas lagi, tidak hanya menjadi bagian dari rumah produksi tetapi juga bagian dari sebuah biro iklan yang harus memahami rangkaian promosi sebuah produk, mulai dari konsep, FGD ( Focus Group Discussion ) sampai eksekusi. Ujung ujungnya saya menjadi kurang istirahat dan akhirnya harus ambruk. Walhasil saya harus mereposisikan definisi side job sebagai creative director.