SANGALAKI, SEBUAH KESUNYIAN DI UJUNG LAUT SULAWESI
( Artikel ini pernah dimuat di Majalah MALE EMPORIUM, Edisi April 2006 )
Hari masih gelap dan dingin, ketika kami sudah tergopoh gopoh berada di Terminal I C, Bandara Soekarno Hatta pada jam 5 pagi untuk mengejar penerbangan Bouraq pukul 6.30 pagi menuju Balikpapan. Taruli, sebagai pimpinan rombongan sudah terlihat sibuk berbicara di handphonenya, untuk mengecek keberadaan para anggota rombongan yang belum datang. Kami, memang sudah semestinya bearada di counter chek in lebih awal, mengingat bagasi peralatan selam, kamera photography dan video yang kami bawa umumnya banyak dan berat berat . “ mudah mudahan nggak over weight “ gumam Taruli. Pagi ini, kami bersepuluh, saya , Taruli, Wilfrinia, Nancy, Febi, Ricky, James Harmer, James Huggins dan Iacopo beserta istrinya Hilda akan pergi menuju Pulau Sangalaki, sebuah pulau kecil di Laut Sulawesi antara Kalimantan Timur dan Sulawesi. Ya, kami akan meneruskan petualangan bawah laut disana dan mencoba lari dari kebosanan rutinitas kerja sehari hari.
Jam menunjukkan pukul 6.30, belum juga ada tanda tanda pesawat akan diberangkatkan. Kami mulai gelisah, dan Taruli sudah mondar mandir ke desk petugas penerbangan untuk menanyakan kepastian jadwal. Bagaimanapun kami harus tiba di Balikpapan tepat waktu, karena masih akan melanjutkan dengan connecting flight berikutnya menuju Berau. Akhirnya kami dipindahkan ke pesawat Mandala, karena problem teknis yang terjadi akan memakan waktu yang lama, dan akan menyebabkan kami tertinggal pesawat pesawat berikutnya di Balikpapan.
Kami tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan pada pukul 9.30 dan sudah ditunggu oleh Pak Seno, seorang tour operator yang tinggal di Balikpapan dan biasa mengatur perjalanan menyelam di pulau pulau lepas pantai Kalimantan Timur . Ternyata apa yang saya kuatirkan benar benar terjadi. Barang bagasi kami tertinggal sebanyak 3 koper di Jakarta !. Salah satunya adalah koper besar berisi peralatan kamera video bawah air saya. Wajah Taruli mengeras menahan amarah, darah Tapanulinya bergejolak untuk berbicara dengan nada tinggi pada petugas penerbangan di sini. Akhirnya salah seorang staff penerbangan menjanjikan akan mengirim barang barang besok ke pulau Sangalaki dan kamipun hanya bisa pasrah sambil menggerutu melihat keteledoran perusahaan penerbangan ini.
Perjalanan menuju Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau di tepi sungai Segah pedalaman Kalimantan Timur dengan pesawat Deraya menembus hutan rimba yang lebat kurang lebih selama satu jam. Kehidupan pedalaman masyarakat di Kalimantan terlihat dari suasana di Sungai segah yang lebarnya bisa mencapai satu kilometer. Kapal dan perahu kecil,sebagai sarana transportasi tampak lalu lalang menuju suatu titik dari ujung yang lain. Kamipun meneruskan perjalanan kami dengan sebuah boat berkekuatan 2 mesin masing masing bertenaga 200 PK, menyusuri sungai Segah menuju laut lepas. Suasana hati yang kesal karena bagasi yang tertinggal, perlahan berangsur sirna melihat pemandangan di tepi sungai yang kami lewati. Rumah rumah penduduk yang berjejer di tepi sungai lama kelamaan berganti dengan hutan lebat dengan akar akar pohonnya yang menjuntai di air sungai. Di antara hutan yang kami lewati, tampak beberapa tempat penampungan kayu kayu Logging dan sebuah pelabuhan penumpukan batubara menunggu diangkut oleh kapal besar. Hati kami terasa teriris melihat bungkahan kayu kayu bergeletakan tak terurus. Dari udara tadi kami melihat bukit bukit gundul karena penebangan.. Kalimantan memang kaya akan sumber daya alamnya, hanya saja bagaimana mengelolanya tanpa harus merusak ekosistem hayati di dalamnya merupakan persoalan serius yang harus dipecahkan.
Tak terasa perjalanan selama satu jam mengikuti sungai yang berkelok dan bercabang cabang membawa kami menuju muara dan laut lepas. Hempasan gelombang mulai terasa , beberapa kali kami terguncang guncang di atas boat yang terus melaju menuju titik 2 derajat lintang utara di Laut Sulawesi., di dekat perbatasan dengan Malaysia. Setelah satu setengah jam melaju, pada pukul 15.00 WITA, perlahan mulai terlihat gugusan pulau pulau, dan diantaranya adalah Pulau Sangalaki, tempat dimana kami akan tinggal selama empat hari. Pulau ini tak terlalu luas, kita bisa mengelilinginya berjalan kaki dalam waktu tiga perempat jam. Disini terdapat resort sederhana yang bisa menampung 24 tamu, basic but comfortable, bernama “ Sangalaki Lodge “ yang dikelola oleh sebuah perusahaan asal Kota Kinibalu, Sabah – Malaysia. Mark, seorang instruktur selam yang juga sebagai manajer pulau menyambut kami dan memberikan brief singkat mengenai fasilitas resort, dan hal hal yang perlu diketahui mengenai penyelaman di pulau ini.
Pulau Sangalaki terkenal sebagai tempat penyu penyu bertelur, sehingga di balik pulau di dirikan sebuah tempat monitoring penyu penyu laut. Kebetulan ketika kami tiba, sedang ada petugas yang sedang mengeluarkan tukik ( bayi penyu ) yang baru lahir tepat disamping tangga area lodge, sebuah ruangan luas dengan lantai kayu dengan sebuah meja kayu yang panjang tempat para tamu dan karyawan makan bersama lalu, sebuah bar di sisi ujungnya, dan beberapa tempat duduk dari rotan di ujung lainnya. Puluhan tukik tukik yang baru dikeluarkan dari lubang pasir, ditampung di ember dan dilepaskan di pantai, merupakan suatu atraksi sendiri bagi kami manusia manusia ibu kota. Beberapa rekan wanita terlihat menjerit jerit, ketika melihat seekor burung elang di udara berputar putar mengincar bayi bayi penyu yang masih terombang ambing tak berdaya mencoba menyelam ke dasar laut. Siklus hukum alam mulai berputar, menurut penelitian tak lebih 20% penyu yang hidup sampai dewasa dari satu lubang penetasan telur. Lainnya tukik tukik yang malang ini, dimakan predator seperti elang, biawak, dan hewan hewan laut pemangsa lainnya.
Karena hari ini tidak ada kegiatan menyelam, maka kami akan melakukan eksplorasi pulau, antaranya adalah melihat penyu penyu bertelor di malam hari. Setelah makan malam, sambil menunggu air surut, sekitar jam 22.00 , kami berjalan menyusuri pantai sekitar 30 menit. Beberapa saat kemudian pemandu kami melihat jejak jejak tapak penyu di pasir. Ia mengikuti dan tak berapa lama dengan lampu senternya ia memberi kode ke pada kami agar mendekatinya. Menurutnya seekor penyu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk membuat lubang untuk bertelur. Sewaktu proses penggalian, kita tak bisa mengganggu karena mereka akan menghentikan kegiatannya. Kita baru bisa mendekat, saat ia sedang dalam proses bertelur atau saat menutupi lubang. Kemudian di sebuah area semak berpasir, tampak seekor penyu sedang mengais ngais pasir disekitarnya untuk menutupi lubang telur yang telah dibuatnya. Malam itu sebelum kembali ke pondokan kami, petugas mengingatkan untuk tetap mematikan lampu lampu beranda, karena terangnya cahaya lampu akan membuat penyu penyu takut untuk bertelur.
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi, kami memulai petualangan selam di Pulau Sangalaki dengan mengambil tempat di sekitar Light House terapung, kira kira 300 meter lepas pantai. Kami lebih menilai sebagai check out dive ,hanya untuk memastikan seluruh peralatan diving kami bekerja dengan semestinya. Setelah melakukan surface interfal selama 1 jam, di atas lodge. Kamu meneruskan diving kami tetap disekitar Pulau Sangalaki, dan atraksi kami adalah melihat Manta Ray ( Manta Alfredi ), yang menjadi icon untuk penyelaman di daerah ini. Banyak orang salah mengartikan hewan ini sebagai ikan pari, karena secara bentuk tubuh hampir menyerupai kecuali dua buah sungut di mulutnya berfungsi seperti sayap. Manta Ray ditemui hampir di seluruh perairan tropis..
Benar juga, tak lama kami menyelam, di kedalaman 10 meter, pemandu kami memberi isyarat untuk menunggu sejenak. Tak lama kemudian sekitar lima ekor beriring iringan menghampiri dari kejauhan, dengan rentang lebar badannya sekitar 5 meter membuat tampak anggun berputar putar di permukaan. Kami tak menyia nyiakan kesempatan ini, dengan mengambil photo dari berbagai angle dari bawah. Feby , yang belum lama memiliki open water certified diver , agak sedikit ketakutan, ia mungkin berpikir hewan ini sifatnya agresif yang membahayakan, ia sedikit merapat ke Taruli. Sementara saya lalu naik ke permukaan, berusaha mendekati mereka, karena Manta Ray sejenis mamalia seperti paus atau lumba lumba yang bisa akrab dengan manusia. Mereka tampak asyik saja berputar putar sambil memakan plankton, tak mempedulikan kehadiran kami di sekitarnya. Bahkan sampai jarak sekitar 2 meter dari mereka, saya terus mengoperasikan kamera saya sambil bermanuver di sekeliling badan ikan tersebut. Tak terasa 45 menit kami menghabiskan waktu bermain main dan mengabadikan momen momen ini, sebelum kami kembali naik ke permukaan.
Hari ini kami menghabiskan waktu di titik titik penyelaman sekitar Pulau Sangalaki, yakni Manta Run, Manta Avenue dan Manta Parade yang terletak di sisi timur utara pulau. Dijamin, anytime pasti bisa melihat Manta jika menyelam di Sangalaki, demikian promosi mereka. Manta-manta ini memang atraksi utama di sini. Sejak dahulu mereka selalu berada di tempat yang sama, mungkin karena arus kuat di antara pulau pulau ini menyebabkan kawasan yang dipenuhi dengan plankton plankton, sebagai sumber makanan utama, membuat Sangalaki begitu dicintai oleh Manta. Bahkan dengan hanya snorkeling di permukaan, kita tetap bisa melihat mereka, karena memang pada umumnya mereka memakan plankton yang umumnya banyak berada di shallow water ( kedalaman antara 1 meter sampai 5 meter ). Dengan memasukkan kepala kita ke dalam air dan para snorkeller bisa membiarkan dirinya terbawa arus menghampiri manta yang datang mendekat dengan mulut terbuka untuk memakan plankton. ( Manta selalu bergerak perlahan melawan arus, ketika sedang memakan plankton ) setelah itu kita bisa langsung memutar badan menghindar begitu Manta dengan 5 meter lebar badannya terasa dekat ke kita. Untuk kami para penyelam, mengambil posisi pada kedalaman 8 meter di atas pasir coral sangat ideal sambil menyaksikan kehadiran manta manta berlalu lalang di atas kepala kita.
Esok harinya kami berangkat menuju Pulau Kakaban, sekitar 30 menit arah ke timur dari Pulau Sangalaki. Kami lebih bersemangat , karena barang barang yang tertinggal oleh pesawat di Jakarta telah datang dengan boat susulan sore kemarin. Di ujung selatan pulau ini, kami menyelam di titik yang dinamakan Barracuda Point. Sesuai dengan namanya, maka atraksi yang akan kami lihat adalah ikan ikan Barracuda. Lokasi ini adalah wall dive atau dinding yang curam dan kami perlahan menuruni sampai kedalaman 20 meter. Sesekali terlihat seekor penyu hijau bersantai di salah satu ujung dinding.
Saya masih sibuk memasang filter merah pada housing underwater kamera di kedalaman 25 meter, ketika Wilfrinia, rekan saya di kejauhan memberi isyarat untuk melihat ke atas kepala saya. Astaga, antara gugup dan excited, karena posisi filter yang belum sempurna dan tak menyangka bisa melihat ribuan ikan Barracuda, masing masing berukuran satu sampai satu setengah meter, melakukan parade dengan eloknya sambil meliuk-liukkan tubuhnya di arus bawah laut yang cukup keras. Kami berusaha bertahan diantara arus yang keras sambil melihat rombongan ikan barracuda yang tak menghiraukan kehadiran kami. Saya sempat berpikir bagaimana kalau mereka berbalik arah menyerang kami. Tapi cepat cepat saya buang pikiran jelek itu, sambil terus merekam video kamera saya.
Setelah penyelaman di titik ini, kami menuju ke daratan pulau Kakaban sambil melakukan surface interfal di danau di tengah pulau. Kami harus menaiki batu batuan koral keras diantara hutan hutan sebelum bisa mencampai danau. Pulau tak berpenghuni ini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam oleh Pemerintah Indonesia, dan sesungguhnya pulau ini merupakan coral atoll yang terangkat karena tekanan geologi beberapa ribu tahun yang lalu, membuat air laut terperangkap di tengahnya dengan luas kurang lebih 5 kilometer. Selama beribu ribu tahun pula dengan tambahan sumber air dari curah hujan dan air laut yang meresap dari bawah, telah membentuk ekosistem sendiri. Ini adalah salah satu dari dua danau air asin di dunia, satu lagi berada di Kepulauan Palau, Micronesia, Samudra Pacific.
Dr. Thomas Tomascik, seorang marine ecologist berkebangsaan Kanada yang telah meneliti danau ini,mengungkapkan bahwa danau ini merupakan surga biologi, dengan hewan dan tumbuhan yang unik dan aneh, diantaranya ubur ubur ( jellyfish ) – Casiopea Xamacha., Terdapat jutaan ubur ubur di dalam danau ini, mereka terapung apung dalam air yang kadar garamnya tidak seasin air laut. Jenis ubur ubur ini tidak menyengat, hingga kami bisa menyentuhnya ketika kami melakukan snorkeling di sekitar danau ini.
Tak terasa sudah empat hari kami berada di pulau terpencil ini, dan menjelajahi setiap sudut perairan di sekitar pulau ini. Besok pagi kami akan kembali ke Berau dengan boat jam 7 pagi untuk mengejar flight penerbangan ke Jakarta jam 3 sore dari Balikpapan. Sangalaki tidak hanya Manta, masih begitu banyak hal hal yang bisa dilihat di bawah laut sana, selain terumbu karangnya dan dengan mudah dive master guide di sana akan menunjukan ikan ikan sweetlips, pigmy sea horse, mandarin fish, nudibranch, dan lain lain yang akan membuat kita begitu menyadari betapa kayanya kekayaan hayati laut kita.
Saya juga melihat sebuah dunia yang senyap di ujung laut Sulawesi, sebuah tempat yang seolah terabaikan tetapi justru merupakan salah satu tempat penyelaman terbaik di dunia yang terumbu karangnya masih belum rusak oleh tangan tangan manusia. Sebuah pulau yang secara naluri alamiah dipercaya oleh ribuan penyu hijau yang datang untuk bertelur. Ketika saya kembali ke pondokan setelah makan malam, untuk mengepak barang barang, di tengah sepinya suasana saya mendengar suara sibakan pasir di bawah tangga pondokan. Tampak seekor penyu sedang berusaha menggali lubang untuk telurnya. Sepasang mata bulat yang hijau berair menatap dalam ke arah saya dan seolah berkata, “ Jangan biarkan manusia merusak tempat ini biarlah tempat ini tetap senyap seperti adanya “. Malam itu Sangalaki tetap sunyi dan bertambah senyap ketika para petugas mematikan lampu lampu beranda pondokan. Mungkin hanya waktu yang akan menjelaskan, sampai kapan kesunyian di Sangalaki akan bertahan.
( Iman Brotoseno , Maret 2004 )