Browsing Category

ARTIKEL

Tentang Lockdown

Definition of lockdown. 1 : the confinement of prisoners to their cells for all or most of the day as a temporary security measure. 2 : an emergency measure or condition in which people are temporarily prevented from entering or leaving a restricted area or building (such as a school) during a threat of danger.

Lockdown tiba tiba menjadi istilah yang ramai diperbincangkan saat pandemik Covid 19 menjadi hantu yang menakutkan di seluruh dunia. Banyak orang di Indonesia meminta agar Pemerintah melakukan lockdown sebagaimana yang dilakukan di beberapa negara seperti Cina dan Italy untuk mencegah penyebaran virus.

Para pemimpin Cina tampaknya berusaha menutupi ketika virus mulai terkuak secara luas awal tahun ini. Pihak berwenang pada awalnya memberangus dokter dokter yang berusaha memperingatkan masyarakat umum tentang virus baru yang mematikan itu. Tanpa adanya keterbukaan justru membuat penularan semakin menyebar. Sejak itu, Beijing mulai membalikkan secara agresif. Kampanye relasi publik yang digambarkan oleh pemimpin Cina Xi Jinping sebagai perang rakyat,  menggabungkan ilmu pengetahuan dengan teknik-teknik Maois sebelumnya.

Ketika penguasa memerintahkan lockdown kota Wuhan pada tanggal 23 Januari jam 2 pagi, maka banyak warga seketika menyerbu toko toko serba 24 jam untuk mengumpulkan bahan makanan yang bisa dibeli.  Ada juga yang mencoba kabur dengan kendaraan ke kota lain saat dini hari. Semakin pagi, situasi kota sudah terkunci ketika seluruh moda transportasi – bus, kereta, pesawat dan kendaraan pribadi dilarang beroperasi.  Selain itu aparat berjaga jaga di pintu tol atau perbatasan kota mencegah siapapun masuk atau keluar.  Pasukan militer menjaga kompleks perumahan dan melarang isi rumah untuk keluar rumah.

Continue Reading

Pidato Bung Karno saat melantik Ali Sadikin

Saudara-saudara sekalian, beberapa saat yang lalu, Alhamdulillah Saudara Mayjen KKO Ali Sadikin telah mengucapkan sumpah menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menjadi gubernur Jakarta.
Wah, itu bukan satu pekerjaan yang mudah. Dalam hal mengangkat walikota-walikota daripada beberapa kota, saya sering mengalami kekecewaan. Sesudah saja angkat yang tadinya saya kira dan saya anggap walikota itu dapat menjalankan tugasnya sebagai walikota dengan cara yang baik, kiranya tidak memuaskan.

Misalnya, saya pernah mengangkat seorang walikota yang dia dulu sebelum saya jadikan walikota, wah, seorang pamongpraja yang gemilang, yang baik sekali, seorang bupati yang sebagai bupati, boleh dikatakan jempol sekali. Diusulkan kepada saya supaya orang ini saya angkat menjadi walikota daripada sesuatu kota. Saya angkat. Kemudian sesudah beberapa bulan dia menjalankan pekerjaan sebagai walikota, ternyata amat atau setidak-tidaknya, mengecewakan. Oleh karena menjadi walikota itu lain, Saudara-saudara, dengan sekadar memamongprajai penduduk daripada kota itu.

Walikota daripada sesuatu kota harus memenuhi beberapa syarat teknis yang amat sulit. Harus mengetahui hal, misalnya, city-planning, harus mengetahui hal accijnering, harus mengetahui hal persoalan-persoalan lalu-lintas; harus mengetahui hal architectuur, harus mengetahui hal hygiene, harus mengetahui hal sampah; harus mengetahui hal selokan; harus mengetahui hal pertanaman; etc., etc…

La, ini walikota yang saya angkat, yang saya ambil sebagai contoh tadi itu, yaitu sebagai pamongpraja bukan main bagus sekali. Tetapi sebagai walikota dia gagal. Sebab dia itu tidak tahu menahu tentang city planning. City Planning yaitu mana tempat industri, mana tempat kediaman, mana tempat pasar, mana tempat etc., etc. .. Tidak tahu tentang urusan accijnering, tidak tahu tentang urusan selokan-selokan, tidak tahu tentang hal verkeersproblem, tidak tahu tentang hal hygiene. Jadi dia gagal sebagai walikota.

Saya ganti. Barangkali ini baik saya ambil dari militer. Kiranya si militer itu pun gagal. Hij snapt er geen lor van. Sebagai walikota. Sebagai militer dia orang yang gemilang, tetapi untuk menjadi walikota hij snapt er geen lor van.

Nah, mengenai Jakarta ini bukan saja ibukota daripada Republik Indonesia. Ibukota yang– saya lo yang menetapkan beberapa tahun yang lalu, bukan saja itu ucapan saya ini– satu kota yang penduduknya 4 juta. Sama Hong kong barangkali, total jendral, penduduknya masih banyak Jakarta.

Jakarta ini adalah satu political centre. Jakarta ini adalah communication centre. Jakarta ini adalah membawa problem-problem yang hebat sekali. Problem-problem yang saya sebutkan tadi itu. Mana selokan, mana sampah mana city planning, mana lalu-lintas, etc., etc., etc. Saya cari-cari orang, cari-cari orang.

Continue Reading

Ronny Patinasarany

Bagi saya sosok asal Tana Toraja ini adalah jawara sepakbola Indonesia. Sewaktu saya kecil, saya mengidolakan eks kapten PSM Ujung Pandang, Warna Agung dan kesebelasan nasional PSSI. Bagi saya juga Ronny Patinasarany lebih hebat dari Iswadi Idris, Waskito atau Risdianto.
Pada jamannya, ketika kompetisi sepakbola professional pertama – Galatama – digulirkan, saya rela menonton naik mobil truk, dan berganti menumpang lagi untuk sampai di Stadion Utama Senayan. Menonton final Galatama antara Jayakarta melawan Warna Agung. Tentu saja Warna Agung yang menang.
Karena tak bisa ada dua matahari dalam satu team. Ronny Patti harus menunggu beberapa lama sebelum Iswadi Idris melepaskan ban kapten team nasional kepadanya.

Waktu itu saya berharap bisa ikut berlatih di tim junior Warna Agung. Hanya karena tempat latihannya di daerah Ancol, terlalu jauh dari rumah sehingga ayah saya memasukan ke Jayakarta, di Ragunan.
Setiap sabtu minggu , kami berlatih. Kadang Anjas Asmara atau Sutan Harhara melihat dan memberikan bekal teknik kepada anak anak kecil sebaya saya yang berharap – bermimpi – menjadi pemain sepak bola tenar.

Continue Reading

BEAUTY FOR SALE

BEAUTY FOR SALE
( resensi yang dimuat di majalah periklanan Ad-diction )

“ Apa yang sesungguhnya menjadi pencaharian jiwa bagi manusia manusia modern saat ini ? karier, kekayaan, wajah cantik dan ganteng, gemerlap pergaulan kelas atas atau bisa keliling dunia ?. Jawabannya bukan semua itu, ternyata ada sisi terdalam dari manusia manusia sibuk untuk mencari dan menemukan pasangan jiwanya..”

Sepertinya itu yang coba disampaikan oleh Fradhyt Fahrenheit atau Adit dalam bukunya, “ Beauty for Sale “, Ini cerita tentang lima orang sahabat, sosok sosok yang cantik dan ganteng ini berasal dari keluarga kaya raya , mereka juga sukses dalam karier pekerjaannya. Semuanya memiliki hobby yang sama belanja barang barang branded, jalan jalan keliling dunia, larut dalam sosialisasi kehidupan glamour kelas atas dan yang paling utama semua tokoh memiliki kenangan pengalaman percintaan yang pahit dan kekosongan jiwa, alias jomblo. Debby , yang bekerja sebagai Marketing Director perusahaan beverage. Kiyara, seorang produser film iklan sekaligus menjadi fashion stylist di berbagai majalah Jakarta dan Singapore. Kemudian, Venitta,cenderung lesbian, anak seorang keluarga konglomerat terpandang yang bekerja sebagai Creative group head di sebuah advertising agency. Cantika, berasal dari keluarga Jawa berdarah biru juga seorang creative director di perusahaan advertising milik Jepang. Terakhir Brando, satu satunya pria yang memiliki kelainan orientasi seksual, sebagai gay, bekerja di sebuah bank swasta terbesar di Indonesia.

Dikisahkan mereka semua sepakat untuk tidak bertemu beberapa bulan untuk mencari pasangan jiwa masing masing. Setelah melewati berapa pengalaman hidup, pada hari yang ditentukan mereka bertemu. Namun apa yang terjadi ? ternyata kekasih yang dibawa Kiyara pada pertemuan itu adalah orang yang sama yang juga menjadi kekasih Debby, Venitta, Cantika dan Brando.

Membaca novel ini memang serasa melihat lihat katalog merk merk kelas atas , kamus bahasa Debby Sahertian dan majalah selebritis dunia yang digabung menjadi satu, dengan gaya chic literature yang enak. Kehidupan manusia pemuja fashion dan dunia kosmopolitan ini sebenarnya masih menjadi issue yang menarik dalam novel ini, kalau saja Adit tidak terjebak terus menerus dalam rujukan rujukan merk dan nama nama selebritis dalam mendeskripsikan karakter tokoh. Karena membuat novel ini menjadi sangat ‘ market segmented ‘ dan hanya bisa dimengerti oleh kalangan tertentu. Namun bagaimanapun juga Adit berhasil dalam menuturkan vignyet vignyet kehidupan sambil memberikan mimpi mimpi mengenai kota besar, yang mungkin masih menjadi aspirasi manusia Indonesia.

BANDA NAIRA


MENYELAM DI BANDA NEIRA SAMBIL MENYUSURI KEMEGAHAN KOLONIAL ABAD PERTENGAHAN
( Artikel dimuat di majalah PLAYBOY Indonesia, edisi September 2006 )

Akhirnya balasan yang saya tunggu tiba juga, sebuah surat beramplop coklat yang dikirim oleh Des Alwi sendiri. Agak geli juga saya menerima surat itu,betapa tidak di jaman modern yang serba praktis dimana orang bisa berkomunikasi melalui facsimile atau internet, ia masih saja menggunakan jasa kantor pos untuk menyampaikan jawaban atas keinginan saya berkunjung ke Banda Neira. Sudah sejak lama saya ingin berpetualang di kepulauan eksotik yang pernah didatangi para selebritis dunia seperti Princess of York, Sarah Ferguson sampai Mick Jagger. Rupanya tidak begitu mudah mengatur perjalanan ke Banda, penerbangan dari Ambon hanya dilakukan seminggu sekali dengan pesawat perintis, sementara jadwal kapal Pelni tidak menentu, bisa setiap sepuluh hari atau dua minggu sekali. Pilihan menggunakan pesawat Merpati dari Ambon juga hampir mustahil, mengingat kapasitas penumpang yang hanya 20 orang dengan beban bagasi terbatas, tak mungkin menerima rombongan kami yang walau berjumlah delapan orang, namun masing masing bisa membawa lebih dari 30 kilogram bagasi. Terutama berisi peralatan menyelam serta perlengkapan kamera video dan photography. Yang melegakan dalam surat itu Des Alwi menyanggupi untuk menyediakan sebuah perahu boat yang akan dicharter untuk membawa kami dari pulau Ambon menuju Banda Neira..

Setelah menempuh penerbangan malam hari dari Jakarta, kami tiba di Ambon pukul 7 pagi dengan perasaan tak sabar untuk bergegas menuju pelabuhan Tuluhatu di teluk Ambon, tempat kapal boat kami bersandar. Memasuki pelabuhan, hati kami semakin berbunga bunga ketika dari kejauhan, terlihat sebuah kapal pesiar besar. Andrias, kawan saya berkata, “ Wah, hebat juga sambutannya, sebuah kapal mewah buat kita “. Ternyata dugaan kami salah, sebuah perahu kayu boat kecil berukuran 2 x 8 meter tepat disebelah kapal pesiar besar itu, yang akan membawa kami menuju ke pulau Banda ! Hati saya agak ciut membayangkan betapa kecilnya benda ini di tengah laut lepas. Apalagi kami akan menyebrangi laut Banda yang terkenal dalam dengan palung palungnya. Namun melihat Nus, Dive guide kami dari Maluku Divers serta wajah kapten dan anak buah kapal yang tak sedikitpun menyiratkan kekuatiran, membuat kami cukup percaya diri. Bagaimanapun juga ‘ the show must go on ‘, apalagi dalam surat penjelasan Des Alwi mengatakan bahwa bulan bulan baik mengunjungi pulau Banda adalah bulan April – May atau September sampai November, dimana cuaca bersahabat dan laut sangat tenang. Di luar bulan bulan tersebut, musim barat membuat laut Banda menjadi sangat berbahaya untuk diarungi dengan kapal kapal kecil, dan tentu saja ini sudah menjadi pertimbangan mereka dalam mengundang kami di bulan April ini.

Perlahan kapal dengan 2 mesin tempel yang masing masing berkekuatan 115 PK mulai mengarungi laut lepas. Kapal ini terasa sangat sempit dengan jumlah rombongan kami dan barang barang muatan, termasuk tabung tabung penyelaman yang dibawa dari Ambon. Benar saja, laut sangat flat dan tenang membuat kami tak begitu merasakan guncangan gelombang. Setelah diselingi makan siang, beberapa teman mencoba mengurangi kebosanan dengan membaca atau mendengarkan musik Ipod, sementara saya tak terasa jatuh tertidur. Beberapa kali saya terbangun dan tertidur kembali, namun kita masih saja berada di lautan lepas tanpa ada tanda tanda untuk sampai di tujuan. Beberapa teman mulai gelisah, dan kami sudah mulai bosan bertanya kepada kapten kapal, berapa lama lagi kita akan tiba. Setelah 7 jam mengarungi laut lepas, terlihat mulai ada burung burung berterbangan, dan itu artinya sudah dekat dengan daratan. Ternyata tak berapa lama terlihat dikejauhan sebuah sosok samar daratan. bersamaan dengan mulai terbenamnya matahari di ufuk barat. Tepat jam 9 malam, setelah mengarungi hampir 9 jam perjalanan, kapal boat kami merapat di dermaga Maulana Hotel, Banda Neira, milik Des Alwi. Hampir seluruh staff hotel menyambut kami di tepi dermaga yang berbatasan langsung dengan serambi hotel. Raymond, putera bungsu Des Alwi dengan ramahnya menyapa dan langsung mengajak kami makan malam yang sudah dipersiapkan untuk rombongan kami. Segala kelelahan akibat lamanya perjalanan tadi seketika sirna dengan situasi akrab yang ditimbulkan oleh Raymond beserta staffnya. Namun kami tak bisa berlama lama karena harus beristirahat serta menyiapkan perlengkapan selam dan photography buat besok.

Pukul 6 pagi saya sudah terbangun, dengan suara suara burung di luar. Bergegas saya keluar untuk melihat dengan seksama bangunan hotel ini. Sebuah bangunan lama bertingkat sederhana model spanyol, dengan sebuah pohon kenari raksasa di depan serambi hotel, tepat menghadap laguna teluk Banda dan diseberangnya berdiri kokoh sebuah gunung berapi setinggi 1000 meter, yang disebut Gunung Api. Jarak dari teras hotel menuju tepi dermaga laguna hanya sekitar 6 meter, dan saya melihat air laut sebening kaca memantulkan refleksi violet, biru dan magenta dari langit pagi ini Sementara di bibir puncak gunung , masih tampak terlihat bongkahan batu dan tanah tanah hitam sisa sisa erupsi beberapa tahun lalu. Benar benar sebuah pemandangan yang indah dan fantastis ! Dikemudian hari , Des Alwi menjelaskan bahwa karena posisi letak hotel yang tak ada duanya di dunia, tepat di depan laguna dan gunung berapi, membuat Hotel Maulana pernah dikategorikan sebagai salah satu dari 50 hotel terbaik di dunia. Sesekali melintas nelayan dengan perahu kecilnya sambil melambaikan tangannya kepada saya di tepi dermaga. Begitu damainya disini, dan tiba tiba saya sadar bahwa begitu kayanya alam negeri Indonesia ini.

Hotel Maulana terletak di Naira, di pulau Banda kecil yang pernah menjadi incaran pedagang seluruh dunia abad pertengahan. Kilas balik sejarah menjelaskan ketika armada, conquistador Alfonso de Alburqueque dari Portugis menaklukan Malaka tahun 1511 yang menjadi pusat perdagangan rempah rempah dunia. Ia sudah mempersiapkan ekspedisi besar ke Maluku dan Banda Neira, sebagai pusat produsen rempah rempah dunia. Dengan bantuan penunjuk jalan dari Malaka, armada Portugis bisa mencapai Banda Neira pada tahun 1512 – 1514, sampai akhirnya terusir oleh armada VOC. Berjalan jalan di Banda Neira membangkitkan kenangan akan situasi kehidupan kolonial jaman dahulu. Hampir seluruh rumah rumah atau gedung gedung berarsitektur kolonial terawat dengan baik, dan masih dipakai sampai sekarang. Sudut sudut kota, jalanan serta bangunan yang ada tetap merefleksikan kehidupan yang sama ratusan tahun yang lalu. Masjid yang dipakai oleh Bung Hatta dan Sutan Sjahrir di masa pembuangan mereka di pulau ini, masih terus dipakai oleh masyarakat sana. Demikian pula gedung atau rumah peninggalan kolonial yang kini dipakai menjadi kantor, sekolahan serta hotel hotel kecil disekitar Banda Neira.

Hari ini kami memulai petualangan penyelaman di salah satu dive spot terbaik di dunia. Kepulauan Banda memang terkenal dengan keindahan hayati alam bawah lautnya serta terumbu karang yang mempesona. Memang, akibat letusan gunung Api telah merusak sebagian sisi terumbu karang Pulau Banda Besar. Namun menurut penilitian dari UNESCO, akibat fenomena ini justru pertumbuhan terumbu karang di tempat ini paling cepat didunia. Jika di tempat lain, terumbu karang bisa membutuhkan waktu puluhan tahun untuk tumbuh dewasa. Di Pulau Banda Besar hanya membutuhkan waktu tidak sampai sepuluh tahun. Menyelam di kepulauan Banda memang menakjubkan, clear visibility bisa sampai mencapai 40 meter saat itu membuat pemandangan alam bawah laut bisa terlihat dengan jelas. Hampir seluruh area penyelaman di Pulau Banda Besar,Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Hatta dan Pulau Sjarir sampai di dermaga Banda Neira memiliki pesona dan keanekaragaman alam bawah laut yang tak mungkin dilihat di tempat lain di dunia. Mata kami benar benar dimanjakan dengan warna warni terumbu karang dan soft coral yang sehat. Belum lagi dengan ikan ikan yang dengan eloknya berkeliling berdekatan tanpa menghiraukan kehadiran kami. Sesekali sekelompok lumba lumba menemani sambil melompat di sisi kapal boat yang membawa kami menuju titik titik penyelaman di kepulauan Banda.

Perjalanan antara titik penyelaman yang satu sama lain, tidak terlalu jauh dan dapat ditempuh antara 30 menit sampai 1,5 jam dengan kapal boat. Istirahat makan siang biasanya kami mencari pantai pantai kosong yang tersebar diseluruh kepulauan, untuk menyantap hidangan rantangan yang kami bawa dari Hotel. Sungguh terasa nikmat duduk menikmati makan siang diatas pasir putih yang lembut sambil menghadap air laut yang jernih. Sesekali kami meminta awak kapal untuk mengambil buah kelapa muda dari pohon pohon kelapa yang ada di tepi pantai. Dalam penyelaman di sekitar Pulau Hatta, kami menemukan hutan sea fans ( seperti kipas cemara ) raksasa yang terhampar di kedalaman 20 meter. Sambil menyetel kamera dan terus mengabadikan tempat ini, tak terasa saya terbawa arus ke kedalaman sekitar 30 meter, dan hampir saja saya menabrak sebuah jelly fish atau ubur ubur raksasa. Secara refleks saya memutar badan dan mulai menjepret dengan kamera Nikon D 70 saya yang dibungkus oleh housing, sebelum mata saya menangkap obyek di kejauhan. Ternyata iring iringan ratusan school of jack fish yang biasa disebut ikan kuwe, yang bergerak elok dalam satu rombongan menuju kedalaman.

Petualangan kami memang terasa lengkap, karena setelah menyelam kami masih bisa berjalan jalan keliling Banda Neira. Ketika berkunjung ke museum budaya, kita membayangkan betapa pentingnya pulau ini , karena dicari cari oleh seluruh armada laut negara negara Eropa untuk menemukan pusat rempah rempah dunia. Disini kita bisa melihat catatan sejarah yang ada. Barang barang peninggalan VOC, serta yang menarik adalah lukisan lukisan mengenai situasi jaman tersebut. Tepat di tengah ruang utama museum, tergantung sebuah lukisan raksasa yang menceritakan pembantaian 44 orang terpandang dari Banda. Mereka biasa disebut dengan orang kaya, dan pada masa itu mereka ditawan oleh VOC lalu dibawa ke benteng Fort Nassau. Kemudian di depan anak istri serta keluarganya, semua orang terkemuka di Banda tersebut dibantai secara kejam oleh algojo algojo Samurai yang disewa dari Jepang !. Setelah VOC menancapkan kuku monopoli perdagangan, mereka membangun sebuah peradaban baru di Banda Neira yang nantinya akan merupakan blue print pembangunan kota Batavia kelak. Istana Merdeka di Jakarta yang menjadi tempat tinggal Gubernur Jendral Hindia Belanda,mencontoh replika gedung Istana mini yang masih berdiri di Banda Neira. Demikian pula gereja Immanuel di depan stasiun gambir memiliki arsitektur yang sama dengan gereja di sini yang sayangnya telah dirusak oleh massa pengungsi kerusuhan Ambon beberapa waktu yang lalu. Kalau kita memperhatikan sudut sudut kota tua di Jakarta, akan sama juga dengan komposisi sudut bangunan dan jalanan di sana. Saya membayangkan bahwa tempat ini sangat cocok untuk pembuatan syuting syuting film mengenai era kolonial, karena struktur bangunan dan kotanya yang tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang.

Kami juga berkunjung ke Benteng VOC, Fort Belgica yang dibangun diatas sebuah bukit, dan bisa ditempuh hanya setengah jam berjalan kaki dari hotel Maulana. Mengagumkan sekali pemilihan letak posisi benteng tersebut, karena dari puncak benteng kita bisa melihat ke arah laut dari segala sisi pulau. Ini memudahkan VOC untuk mengawasi kapal kapal yang keluar masuk Banda pada masa itu. Rumah rumah yang dahulu ditempati Bung Hatta dan Sutan Sjahrir masih terawat dengan baik, berikut dengan barang barang peninggalan mereka. Dari mesin tik yang mereka pakai saat itu, sampai ruangan kelas di belakang rumah, tempat Bung Hatta mengajar terhadap anak anak Banda, yang salah satunya adalah Des Alwi sendiri. Banda Neira memang tak lepas dari sosok Des Alwi, kini berusia 80 tahun, seorang tokoh nasional yang begitu mencintai dan merawat Banda bagaikan anggota keluarganya sendiri. Sosoknya yang dihormati terlihat dari foto fotonya bersama para pemimpin negara, tokoh dunia, negarawan yang terpasang di dinding hotel Maulana. Ketika akhirnya ia datang menyusul kami di sana, ia sangat bersemangat menceritakan semua yang patut diceritakan tentang Banda. Sepanjang malam, setelah makan malam bersama tamu tamu ‘ bule ‘ lainnya, ia menjadi seorang narasumber mengenai sejarah dan budaya Banda. Di sela sela kegiatan kami disana, sesekali terlihat ia menerima wawancara jurnalis TV dari luar negeri.

Tak terasa sudah hampir seminggu kami berada di Banda Neira, menjelajah alam bawah airnya yang mempesona, serta menikmati sisa sisa kehidupan masa silamnya yang eksotis. Selama ini kami benar benar terputus dari dunia luar. Handphone tidak berfungsi disini, dan hubungan telpon TELKOM hanya bisa diperoleh di hotel atau wartel dekat pelabuhan. Saya juga sama sekali tidak melihat adanya pesawat TV di hotel Maulana atau mungkin juga dirumah rumah disekitar pulau. Esok pagi kami akan kembali menuju Pulau Ambon, dengan kapal kecil sama yang membawa kami kesini. Des Alwi menjelaskan, angin laut akan bertiup ke arah Ambon, sehingga perjalanan kembali akan lebih cepat 2 – 3 jam dibanding saat datang menuju Banda Neira. Hari terakhir kami menyeberangi pulau menuju perkebunan pala dan kenari. Perjalanan masuk menembus hutan pala sangat mengasyikan, udara segar dan suara burung kakak tua terdengar di kejauhan. Pemandu kami sesekali menunjukan pohon berusia ratusan tahun, yang menjadi saksi sejarah perdagangan rempah rempah. Sore ini kami kembali menyempatkan menyelam di dermaga hotel, yang dipenuhi oleh ikan ikan Mandarin berwarna corak kemerahan. Sementara anak anak Banda Neira tampak riang gembira berenang dan bermain di tepi dermaga, suatu ritual kehidupan yang dialami juga oleh Des Alwi dan teman temannya semasa kecil puluhan tahun yang lalu.. Celoteh riang mereka terus terngiang ngiang kembali ke telinga saya, diatas pesawat terbang yang membawa kami kembali ke Jakarta. Biarlah Banda tetap menjadi apa adanya, sebagaimana mereka masih bisa bertahan selama ratusan tahun.

UNDERWATER VIDEOGRAPHY


UNDERWATER VIDEOGRAPHY
( Artikel ini dimuat dalam Majalah Behind The Screen , Edisi September 2006 )

Indonesia sebagai negara kepulauan terluas di dunia memiliki potensi kekayaan dan keindahan alam bawah lautnya, termasuk diantaranya kehidupan terumbu karang dan keanekaragaman hayatinya. Hanya saja, dokumentasi dan film mengenai eksplorasi bawah laut sebagian besar masih dilakukan oleh bangsa asing. Masih sedikitnya apresiasi dari bangsa sendiri, untuk menjadikan laut sebagai sumber ilmu pengetahuan, dokumentasi dan inspirasi melalui media film. Hal ini patut disayangi, mengingat jika National Geographics, di tahun tahun mendatang hanya memfokuskan untuk melakukan eksplorasi di wilayah Afrika, Indonesia dan Papua Nuigini. Ini menunjukkan justru orang asing sendiri yang pada akhirnya memiliki dokumentasi kekayaan alam bawah laut Indonesia.

Pengambilan gambar underwater baik dalam bentuk video atau film, sungguh sangat menarik dan memiliki tantangan tersendiri yang tentu saja berbeda dengan proses pengambilan gambar di darat pada umumnya. Dikatakan menarik karena alam bawah laut memiliki kontur landscape yang sangat menakjubkan dan tidak semua orang bisa menikmatinya, belum lagi ditambah dengan kehidupan hayati yang beraneka ragam, termasuk berbagai jenis ikan yang ada. Kemudian ada tantangan yang tidak mudah,mengingat medan kerjanya yang berbeda dengan di darat, membuat shooting underwater harus memiliki sejumlah persyaratan tertentu.

Paling utama adalah kemampuan untuk bisa menyelam atau scuba dive, karena ruang lingkup kerja di bawah air membuat kita harus bisa mengetahui prinsip prinsip penyelaman, tidak saja secara basic tetapi juga harus diatas rata rata. Karena sebuah seni dari filming underwater adalah bagaimana memadukan kemampuan menyelam dengan kemampuan teknis mengambil gambar dengan kamera. Sebagai contoh , seorang penyelam berpengalaman akan mampu mengatur persediaan udara di tabungnya selama mungkin dengan pola pernafasan tertentu, bagaimana bermanuver di bawah air sambil membawa kamera seandainya timbul arus deras, sampai bagaimana bisa mendekati obyek hewan tanpa membuat mereka lari menghindar. Juga mengatur framing sebuah object, sambil mengatur posisi badan agar bisa bertahan stabil, tidak naik turun yang tentu saja akan membuat gambar menjadi shaking atau tidak stabil.

Karena ruang lingkupnya di bawah air, kamera film atau video harus dibungkus dengan underwater housing yang memiliki spesifikasi dan jenis housing yang berbeda dari setiap jenis kamera. Setiap housing pun telah didisain berbeda beda untuk bisa menahan tekanan dalam air. Pada umumnya underwater housing yang beredar di pasaran, hanya didisain untuk recreational dive dikedalaman sampai maksimal 40 – 50 meter. Sementara untuk pengambilan gambar di laut yang lebih dalam, membutuhkan jenis housing tertentu yang mampu menahan tekanan air yang sangat kuat. Bahkan kalau kita sering melihat film film ilmu pengetahuan mengenai palung palung terdalam di dasar laut, pengoperasian kamera sudah dilakukan oleh robot atau alat tertentu, mengingat kemampuan tubuh manusia yang tidak memungkinkan untuk mengoperasikan kamera di area kedalaman tersebut.

Berbeda dengan shooting di darat yang bisa melibatkan banyak orang, shooting dalam laut praktis hanya bergantung pada seorang saja. Disamping mengoperasikan kamera, ia harus tahu kapan menggunakan available light ( sinar matahari ) dan kapan menggunakan tambahan lighting yang menempel di housing, atau mengkombinasikan sumber cahaya keduanya. Lighting disinipun tidak seperti lighting di darat yang besar besar, tapi hanya sekadar lighting bersifat fill in yang menempel di sisi underwater housing. Ini perlu diketahui karena prinsip prinsip dasar spectrum cahaya sinar matahari yang masuk ke dalam air, membuat sebagian warna perlahan lahan menghilang semakin dalam kita menyelam. Warna merah akan menghilang di kedalam 5 meter, lalu kuning di kedalaman 10 meter, sampai akhirnya tinggal warna biru dan hijau saja diatas kedalaman 18 meter. Dengan lighting ( sama juga dengan prinsip lighting di darat, yakni bisa jenis daylight atau tungsten) bisa mengembalikan warna yang menghilang tadi, sehingga warna warni terumbu karang serta ikan ikan bisa terlihat seperti apa warna aslinya. Kita juga tetap bisa menggunakan beberapa jenis filter lensa seperti Polarizer, ,ND dan filter filter yang didisain untuk menangkap spectrum warna di dasar laut. Namun umumnya, para kameramen underwater selalu melengkapi dengan filter merah yang bisa dipasang dan dilepas didepan kaca housing,guna mengembalikan warna merah yang menghilang. Khusus untuk film film dokumenter dan ilmu pengetahuan lebih banyak menggunakan format video, DV atau HD daripada format celluloid, disebabkan format film hanya memiliki recording time terbatas, dibanding format video yang minimal bisa mencapai 30 menit. Sungguh tidak praktis jika, kameramen penyelam harus bolak balik ke permukaan mengganti magazine filmnya.

Karena tidak seperti shooting di darat yang bisa dilakukan seharian penuh tanpa beristirahat. Shooting di dalam air mempunyai batasan batasan waktu yang disesuaikan dengan profile penyelaman kita. Dalam menyelam kita tergantung dengan jumlah pasokan udara di tabung yang kita bawa. Sebagaimana prinsip penyelaman, bahwa semakin dalam kita menyelam, konsumsi kebutuhan oksigen semakin cepat dan boros yang dikarenakan tekanan air laut yang semakin besar pula. Sehingga dengan rata rata waktu penyelaman sekitar 1 jam saja, seorang kameramen penyelam harus sudah kembali kepermukaan, dan mempunyai surface interval yang cukup sebelum bisa kembali menyelam. Mengapa membutuhkan masa istirahat atau interval yang cukup ? karena udara yang kita hirup dari tabung, tidak berisi oksigen murni melainkan kombinasi campuran dengan nitrogen ( umumnya kadar oksigen hanya 21 % dan sisanya 79 % terdiri dari nitrogen ). Semakin lama dan semakin dalam kita menyelam , semakin banyak pula kadar nitrogen yang terserap ke dalam tubuh kita, sehingga kita membutuhkan beberapa waktu baik di safety stop setidaknya 5 meter dibawah air sebelum kembali kepermukaan, atau ketika sudah berada di permukaan. Ini untuk memberikan nitrogen yang terserap ke dalam tubuh perlahan mengalir keluar dari tubuh kita. Logikanya semakin lama kita menyelam , berarti akumalasi nitrogen yang terserap di tubuh kita semakin banyak, dan hal ini bisa berakibat fatal jika tidak terbuang keluar, seperti kelumpuhan bahkan kematian.

Dalam mengambil gambar di bawah laut, sangat tergantung dengan kondisi laut itu sendiri seperti sinar matahari, visibility atau jarak pandang, arus, serta waktu yang tepat. Kita harus tahu musim atau prediksi cuaca pada saat penyelaman dilakukan. Visibility di dasar laut,bisa suatu saat hanya berkisar 3 meter tetapi disuatu waktu dalam kondisi yang lain, bisa mencapai jarak katakanlah 40 meter. Tentu saja semakin bagus visibility akan membuat gambar yang dihasilkan semakin indah.Menurut pengalaman saya, mengambil gambar di bawah laut yang tepat, adalah pagi hari dan jangan sampai terlalu sore. Karena jika semakin siang dan sore, pasokan intensitas cahaya matahari sudah mulai berkurang , dan kondisi air laut juga sudah menjadi low tide atau surut, yang membuat banyak partikel partikel terangkat sehingga bisa air cenderung keruh dan membuat visibility berkurang.

Hampir seluruh wilayah Indonesia sudah saya jelajahi, dan kadang kala hati saya menjadi miris melihat hanya orang orang asing yang hilir mudik mengambil keindahan alam bawah laut kita. Dalam setiap produksi pembuatan film atau dokumenter bawah laut yang dilakukan perusahaan atau bangsa asing di Indonesia, mereka selalu bertanya kepada saya apakah ada komunitas kameramen penyelam di Indonesia yang bisa didayagunakan. Sampai sekarangpun saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

Iman Brotoseno
Dive Master PADI 483482
National Geographics Diver 0510A43653

PERAN MEDIA TV

PERAN MEDIA TV & FILM DALAM MERUBAH PERSPEKTIF MASYARAKAT TERHADAP ISU ISU KECACATAN
( Makalah ini dibacakan untuk National Workshop ” Disabililty Awareness For Journalist ” di Yogjakarta, Januari 2006 )

Jamie Stobie, sutradara film FREEDOM MACHINES, yang berasal dari Amerika bercerita tentang filmnya yang bercerita mengenai issue issue difabilitas atau kecacatan, berkata “ I don’t have any visible disabilities, and it was very hard for me to get that perspective “. Ia bekerja sama dengan aktivis kecacatan di California Utara, hanya untuk mendapatkan perspektif mereka secara utuh, dan menangkap apa yang benar benar mereka inginkan, dan tetap saja ia merasa ragu, apakah ia orang yang tepat untuk bisa memahami dunia yang akan diangkat dalam filmnya. Lebih lanjut ia mengatakan “ We screened the film many times for people in this community. We would either end up with a film that the filmmakers liked, that people with disabilities hated, or we would end up with a cut that people with disabilities thought was right, but the filmmakers would say didn’t work because the story wasn’t there. It was really a challenge. “

Dari cerita diatas ada satu hal yang sangat penting, yakni bagaimana mendapatkan perspektif mengenai dunia difabilitas atau kecacatan secara proposional. Ada pola pandang yang salah terhadap komunitas ini, yakni banyak orang berpikir bahwa seharusnya tetap menjadi tanggung jawab keluarganya masing masing, dan tidak membebani dunia luar. Kita lupa bahwa cacat fisik yang diderita mereka tidak berhubungan dengan intuisi, pemikiran, dan kecerdasan mereka. Banyak yang ingin tetap sekolah, bekerja dan berinteraksi seperti halnya orang orang normal disekitarnya. Bahkan bagi Rory Thomas Hoy, menjadi seorang penderita autis bukan halangan untuk menjadi seorang sutradara, mengesankan ia telah membuat kurang lebih 26 film pendek, dan beberapanya telah diputar di BBC program. Salah satunya berjudul AUTISM AND ME telah memenangkan Camelot Foundation’s annual 4th award. Ia menjelaskan latar belakang filmnya “The whole idea behind my project is to help others who have been affected by autism in the best way I can, and that’s by making a film, as that’s what I’m best at doing! It’s not easy being autistic and other people don’t know how we feel. In my film, I can give them an idea with everyday examples, so they can, hopefully, relate to them. It will also help them to understand us more “.

Dalam kehidupan bermasyarakat masih ditemui rendahnya tingkat kesadaran dalam mengapresiasi masalah difabilitas (kecacatan). Dalam kehidupan sehari-hari, meski tiap-tiap komponen masyarakat fasih melafalkan term demokrasi, pada kenyataannya hasrat untuk menempatkan kaum difabel pada posisi sosial yang adil dan setara masih rendah. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat cenderung enggan menerima kaum difabel “apa adanya” dalam lingkungan sosial mereka.. Hal ini tampak pada sulitnya memenuhi keinginan kaum difabel untuk untuk mendapatkan aksesibilitas ruang publik dalam menjalani kehidupan sehari hari. Tak ada yang berpikir bahwa hak hak mereka sebagai warga negara setara dengan mereka yang normal dan sehat.

Saya mempunyai teman, seorang music composer yang biasa membuat musik untuk film film iklan TV.Tak ada yang tahu jika musik musik indah dari sebuah iklan lahir dari tangannya, seorang penderita cacat yang harus memakai kursi roda. Jika ia memiliki 10 orang karyawan, yang katakanlah masing masing memiliki 2 orang anak, maka ia bisa menghidupi 40 orang normal. Bagaimana jika kita mempunyai 10,000 orang difabel yang profesional dengan pekerjaannya, berarti mereka bisa menanggung hidup sejumlah 400.000 orang. Apakah kita tega menutup kesempatan bagi mereka yang berpotensi menghidupi ratusan ribu bahkan jutaan orang lain, karena pemikiran kalkulasi yang picik, bahwa jumlah difabel yang sedikit akan menjadi tidak ekonomis kalau harus dibuatkan aksesibilitas seperti ramp bagi kursi roda dan guiding block bagi tunanetra misalnya.

Lebih lanjut dalam kerangka acuan National Workshop ” Disability awareness for journalist ” di Yogjakarta awal tahun 2006 disebutkan, ”…Kondisi tersebut tentunya cukup memprihatinkan. Pasalnya, marginalisasi peran dan fungsi difabel di tengah iklim demokrasi hanya akan mereproduksi satu bentuk kekerasan sosial baru di masyarakat. Kekerasan itu nyata telah terjadi, misalnya seorang tunanetra ditolak mendaftar ujian calon pegawai negeri sipil karena panitia tidak menyediakan soal dalam huruf braille, pemakai kursi roda ditolak mendaftar kuliah karena laboratorium kampus tersebut di lantai dua sementara tidak ada ramp maupun lift, Dinas Tenaga Kerja menolak difabel untuk mengikuti kursus karena menurut mereka tempat difabel adalah di Dinas Sosial, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan yang lain..”

Sangat disayangkan, perhatian media massa melalui industri film dan televisi terhadap permasalahan difabel juga masih rendah. Lalu bagaimana industri ini bisa menjadi kontribusi yang besar bagi pemahaman isue isue kecacatan dengan perspektif yang masuk akal dan bertanggung jawab

Pertama tama yang harus dilakukan adalah mendorong media TV dan film sebagai pembongkar bentuk-bentuk kekerasan yang selama ini disembunyikan oleh culture, serta mengubah pola pikir masyarakat yang semula diskriminatif menjadi peduli dan menempatkan difabel setara dengan dirinya. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, media ini terbukti berpengaruh terhadap pembentukan pola pikir masyarakat Mulai dari promosi suatu produk, hiburan , propaganda sampai syiar agama bisa memakai media ini. Bagaimanapun juga Film adalah cermin dari budaya bangsa, sehingga pesan pesan atau muatan yang terkandungnya juga merupakan refleksi budaya dan perilaku yang terjadi di masyarakat.. Masih ingat, model potongan rambut pendek ala Demi Moore sempat menjadi trend di kalangan wanita, ketika film GHOST meledak beberapa waktu yang lalu, atau mendadak kaum muda menjadi keranjingan puisi setelah melihat sosok Rangga dalam film ADA APA DENGAN CINTA.

Di negara seperti Russia saja mempunyai program tahunan untuk festival film Internasional untuk film film disability awareness, yang diikuti oleh film film dari seluruh penjuru dunia. Dalam festival film yang diselenggarakan Perspektiva, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang lebih dari satu dekade memberikan pelayanan pada komunitas difabel, menampilkan mulai dari features, docomentaries, publics service announcement sampai animasi , sehingga bisa menjadi sarana media yang menyuarakan keberadaan kaum difabel melalui industri film.

Bahkan ada Festival Cinema for the Deaf , acara tahunan di Chicago untuk film film bagi kaum tuna rungu, yang dibidani oleh Association of Deaf Media Professionals. Kita membayangkan diantara gegap gempitanya film film Holywood, mereka masih bisa memproduksi ( dan banyak ) film film khusus yang adegannya tidak memakai dialog suara, tetapi gerakan gerakan tangan untuk berkomunikasi. Lalu bagaimana dengan di Indonesia ? Sejalan dengan kemajuan film nasional saat ini, sangat disayangkan tidak ada satu tema mengenai isue ini yang diangkat dalam cerita skenario. Sangat ironis , jika dalam film film jaman era tahun 70 an saja kita masih menemui cerita cerita seperti anak yang terjatuh lalu menjadi buta, tetapi masih berusaha menjalani hidupnya dengan tegar. Sedangkan pada sebuah sinetron televisi, kita melihat sinetron Cecep yang dibintangi Anjasmara, tidak sama sekali menyuarakan aspirasi komunitas difabel. Hanya sosok bodoh yang lucu yang terus dieksploatasi, demi memancing gelak tawa pemirsa.

Mengapa hal itu terjadi ? mungkin karena para produser berpikir lebih pragmatis bahwa menjual program acara atau cerita yang bersifat komedi, horor atau percintaan remaja dengan dunia cafe atau mall lebih menjual angka rating tontonan mereka. Padahal semua itu tergantung kepada bagaimana cerita itu diangkat. Ada ilustrasi kasus menarik, dalam cerita Si Buta dari Gua hantu yang juga diangkat ke layar lebar dan televisi. Setidaknya secara komersil film itu juga diminati dipasar dan di sisi lain bisa memberikan perspektif baru bahwa seorang jagoan pembela kebenaran tidak harus orang yang sehat jasmaniah.

Kedua, adalah bagaimana memberdayakan peran Pemerintah. Sebenarnya setelah tumbangnya orde baru, kita memiliki kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menaikan kesetaraan komunitas difabel ini, mengapa tidak, dengan memiliki presiden dan ibu negara yang ( kebetulan ) memiliki handicap fisik secara jasmani, seharusnya isue isue ini bisa menjadi program konsisten dari pemerintahan mereka. Jaman dulu saja, dalam acara berita di TVRI , di pojok gambar selalu ada caption berisi orang yang menjelaskan isi berita dengan gerakan tangan bagi penderita tuna rungu, yang mana saat ini sudah tidak ada lagi di televisi nasional. Jika kita lihat di televisi saat ini banyak iklan iklan layanan masyarakat dari Pemerintah ( Public Service Announcement ) mengenai penebangan hutan, lingkungan hidup, kekerasan terhadap wanita, PMI, sampai iklan untuk edukasi pencegahan demam berdarah dan flu burung. Mengapa sama sekali tidak ada alokasi dana untuk pembuatan iklan layanan masyarakat mengenai aspirasi dan kesetaraan kaum difabel. Ini menjadi bukti rendahnya apreasiasi Pemerintah terhadad isue isue ini. Padahal banyak BUMN, Bank atau perusahaan rekanan pemerintah yang bisa dengan mudahnya mendanai pembuatan iklan layanan masyarakat ini. Dengan angka 1 milyar rupiah saja sudah bisa membuat sebuah iklan layanan masyarakat termasuk dengan biaya pemasangan di media televisi selama sebulan. Bandingkan dengan angka triliunan rupiah kredit macet yang terbuang sia sia.

Dengan adanya iklan layanan masyarakat yang berulang ulang, terlebih ditambah jatah penanyangan secara gratis dari pemilik TV swasta, maka akan menggulirkan bola kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat. Pemilik gedung, manufaktur kendaraan, pengelola fasilitas dan sarana transportasi umum, sampai perusahaan atau kantor kantor.

Lebih jauh Jamie Stobie mengatakan, “ The most interesting thing I learned is how the word “disability” becomes a label. There’s a great dissonance between those of us who feel we’re normal and those whom we label as disabled. We’re often afraid to make eye contact with people in wheelchairs, who don’t look quite “normal.” And that changed me forever, when I realized that the barriers that divide us are not so much physical as cultural, that they grow out of the way that we look at people. “

Oleh karenanya, dalam proses transformasi sosial menuju terciptanya tatanan kehidupan bersama yang adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan, keterlibatan media massa ini diperlukan. Keterlibatan dalam konteks ini tidak saja terkait dengan fungsi edukasi sosial yang melekat pada media, tetapi juga bagaimana film dan televisi bisa memainkan peran kritisnya dalam mendekonstruksi ketimpangan sosial yang memarginalkan peran dan posisi kaum difabel di masyarakat.

SANGALAKI

SANGALAKI, SEBUAH KESUNYIAN DI UJUNG LAUT SULAWESI
( Artikel ini pernah dimuat di Majalah MALE EMPORIUM, Edisi April 2006 )

Hari masih gelap dan dingin, ketika kami sudah tergopoh gopoh berada di Terminal I C, Bandara Soekarno Hatta pada jam 5 pagi untuk mengejar penerbangan Bouraq pukul 6.30 pagi menuju Balikpapan. Taruli, sebagai pimpinan rombongan sudah terlihat sibuk berbicara di handphonenya, untuk mengecek keberadaan para anggota rombongan yang belum datang. Kami, memang sudah semestinya bearada di counter chek in lebih awal, mengingat bagasi peralatan selam, kamera photography dan video yang kami bawa umumnya banyak dan berat berat . “ mudah mudahan nggak over weight “ gumam Taruli. Pagi ini, kami bersepuluh, saya , Taruli, Wilfrinia, Nancy, Febi, Ricky, James Harmer, James Huggins dan Iacopo beserta istrinya Hilda akan pergi menuju Pulau Sangalaki, sebuah pulau kecil di Laut Sulawesi antara Kalimantan Timur dan Sulawesi. Ya, kami akan meneruskan petualangan bawah laut disana dan mencoba lari dari kebosanan rutinitas kerja sehari hari.

Jam menunjukkan pukul 6.30, belum juga ada tanda tanda pesawat akan diberangkatkan. Kami mulai gelisah, dan Taruli sudah mondar mandir ke desk petugas penerbangan untuk menanyakan kepastian jadwal. Bagaimanapun kami harus tiba di Balikpapan tepat waktu, karena masih akan melanjutkan dengan connecting flight berikutnya menuju Berau. Akhirnya kami dipindahkan ke pesawat Mandala, karena problem teknis yang terjadi akan memakan waktu yang lama, dan akan menyebabkan kami tertinggal pesawat pesawat berikutnya di Balikpapan.

Kami tiba di Bandara Sepinggan, Balikpapan pada pukul 9.30 dan sudah ditunggu oleh Pak Seno, seorang tour operator yang tinggal di Balikpapan dan biasa mengatur perjalanan menyelam di pulau pulau lepas pantai Kalimantan Timur . Ternyata apa yang saya kuatirkan benar benar terjadi. Barang bagasi kami tertinggal sebanyak 3 koper di Jakarta !. Salah satunya adalah koper besar berisi peralatan kamera video bawah air saya. Wajah Taruli mengeras menahan amarah, darah Tapanulinya bergejolak untuk berbicara dengan nada tinggi pada petugas penerbangan di sini. Akhirnya salah seorang staff penerbangan menjanjikan akan mengirim barang barang besok ke pulau Sangalaki dan kamipun hanya bisa pasrah sambil menggerutu melihat keteledoran perusahaan penerbangan ini.

Perjalanan menuju Tanjung Redeb, ibu kota Kabupaten Berau di tepi sungai Segah pedalaman Kalimantan Timur dengan pesawat Deraya menembus hutan rimba yang lebat kurang lebih selama satu jam. Kehidupan pedalaman masyarakat di Kalimantan terlihat dari suasana di Sungai segah yang lebarnya bisa mencapai satu kilometer. Kapal dan perahu kecil,sebagai sarana transportasi tampak lalu lalang menuju suatu titik dari ujung yang lain. Kamipun meneruskan perjalanan kami dengan sebuah boat berkekuatan 2 mesin masing masing bertenaga 200 PK, menyusuri sungai Segah menuju laut lepas. Suasana hati yang kesal karena bagasi yang tertinggal, perlahan berangsur sirna melihat pemandangan di tepi sungai yang kami lewati. Rumah rumah penduduk yang berjejer di tepi sungai lama kelamaan berganti dengan hutan lebat dengan akar akar pohonnya yang menjuntai di air sungai. Di antara hutan yang kami lewati, tampak beberapa tempat penampungan kayu kayu Logging dan sebuah pelabuhan penumpukan batubara menunggu diangkut oleh kapal besar. Hati kami terasa teriris melihat bungkahan kayu kayu bergeletakan tak terurus. Dari udara tadi kami melihat bukit bukit gundul karena penebangan.. Kalimantan memang kaya akan sumber daya alamnya, hanya saja bagaimana mengelolanya tanpa harus merusak ekosistem hayati di dalamnya merupakan persoalan serius yang harus dipecahkan.

Tak terasa perjalanan selama satu jam mengikuti sungai yang berkelok dan bercabang cabang membawa kami menuju muara dan laut lepas. Hempasan gelombang mulai terasa , beberapa kali kami terguncang guncang di atas boat yang terus melaju menuju titik 2 derajat lintang utara di Laut Sulawesi., di dekat perbatasan dengan Malaysia. Setelah satu setengah jam melaju, pada pukul 15.00 WITA, perlahan mulai terlihat gugusan pulau pulau, dan diantaranya adalah Pulau Sangalaki, tempat dimana kami akan tinggal selama empat hari. Pulau ini tak terlalu luas, kita bisa mengelilinginya berjalan kaki dalam waktu tiga perempat jam. Disini terdapat resort sederhana yang bisa menampung 24 tamu, basic but comfortable, bernama “ Sangalaki Lodge “ yang dikelola oleh sebuah perusahaan asal Kota Kinibalu, Sabah – Malaysia. Mark, seorang instruktur selam yang juga sebagai manajer pulau menyambut kami dan memberikan brief singkat mengenai fasilitas resort, dan hal hal yang perlu diketahui mengenai penyelaman di pulau ini.

Pulau Sangalaki terkenal sebagai tempat penyu penyu bertelur, sehingga di balik pulau di dirikan sebuah tempat monitoring penyu penyu laut. Kebetulan ketika kami tiba, sedang ada petugas yang sedang mengeluarkan tukik ( bayi penyu ) yang baru lahir tepat disamping tangga area lodge, sebuah ruangan luas dengan lantai kayu dengan sebuah meja kayu yang panjang tempat para tamu dan karyawan makan bersama lalu, sebuah bar di sisi ujungnya, dan beberapa tempat duduk dari rotan di ujung lainnya. Puluhan tukik tukik yang baru dikeluarkan dari lubang pasir, ditampung di ember dan dilepaskan di pantai, merupakan suatu atraksi sendiri bagi kami manusia manusia ibu kota. Beberapa rekan wanita terlihat menjerit jerit, ketika melihat seekor burung elang di udara berputar putar mengincar bayi bayi penyu yang masih terombang ambing tak berdaya mencoba menyelam ke dasar laut. Siklus hukum alam mulai berputar, menurut penelitian tak lebih 20% penyu yang hidup sampai dewasa dari satu lubang penetasan telur. Lainnya tukik tukik yang malang ini, dimakan predator seperti elang, biawak, dan hewan hewan laut pemangsa lainnya.

Karena hari ini tidak ada kegiatan menyelam, maka kami akan melakukan eksplorasi pulau, antaranya adalah melihat penyu penyu bertelor di malam hari. Setelah makan malam, sambil menunggu air surut, sekitar jam 22.00 , kami berjalan menyusuri pantai sekitar 30 menit. Beberapa saat kemudian pemandu kami melihat jejak jejak tapak penyu di pasir. Ia mengikuti dan tak berapa lama dengan lampu senternya ia memberi kode ke pada kami agar mendekatinya. Menurutnya seekor penyu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk membuat lubang untuk bertelur. Sewaktu proses penggalian, kita tak bisa mengganggu karena mereka akan menghentikan kegiatannya. Kita baru bisa mendekat, saat ia sedang dalam proses bertelur atau saat menutupi lubang. Kemudian di sebuah area semak berpasir, tampak seekor penyu sedang mengais ngais pasir disekitarnya untuk menutupi lubang telur yang telah dibuatnya. Malam itu sebelum kembali ke pondokan kami, petugas mengingatkan untuk tetap mematikan lampu lampu beranda, karena terangnya cahaya lampu akan membuat penyu penyu takut untuk bertelur.

Keesokan harinya, setelah sarapan pagi, kami memulai petualangan selam di Pulau Sangalaki dengan mengambil tempat di sekitar Light House terapung, kira kira 300 meter lepas pantai. Kami lebih menilai sebagai check out dive ,hanya untuk memastikan seluruh peralatan diving kami bekerja dengan semestinya. Setelah melakukan surface interfal selama 1 jam, di atas lodge. Kamu meneruskan diving kami tetap disekitar Pulau Sangalaki, dan atraksi kami adalah melihat Manta Ray ( Manta Alfredi ), yang menjadi icon untuk penyelaman di daerah ini. Banyak orang salah mengartikan hewan ini sebagai ikan pari, karena secara bentuk tubuh hampir menyerupai kecuali dua buah sungut di mulutnya berfungsi seperti sayap. Manta Ray ditemui hampir di seluruh perairan tropis..

Benar juga, tak lama kami menyelam, di kedalaman 10 meter, pemandu kami memberi isyarat untuk menunggu sejenak. Tak lama kemudian sekitar lima ekor beriring iringan menghampiri dari kejauhan, dengan rentang lebar badannya sekitar 5 meter membuat tampak anggun berputar putar di permukaan. Kami tak menyia nyiakan kesempatan ini, dengan mengambil photo dari berbagai angle dari bawah. Feby , yang belum lama memiliki open water certified diver , agak sedikit ketakutan, ia mungkin berpikir hewan ini sifatnya agresif yang membahayakan, ia sedikit merapat ke Taruli. Sementara saya lalu naik ke permukaan, berusaha mendekati mereka, karena Manta Ray sejenis mamalia seperti paus atau lumba lumba yang bisa akrab dengan manusia. Mereka tampak asyik saja berputar putar sambil memakan plankton, tak mempedulikan kehadiran kami di sekitarnya. Bahkan sampai jarak sekitar 2 meter dari mereka, saya terus mengoperasikan kamera saya sambil bermanuver di sekeliling badan ikan tersebut. Tak terasa 45 menit kami menghabiskan waktu bermain main dan mengabadikan momen momen ini, sebelum kami kembali naik ke permukaan.

Hari ini kami menghabiskan waktu di titik titik penyelaman sekitar Pulau Sangalaki, yakni Manta Run, Manta Avenue dan Manta Parade yang terletak di sisi timur utara pulau. Dijamin, anytime pasti bisa melihat Manta jika menyelam di Sangalaki, demikian promosi mereka. Manta-manta ini memang atraksi utama di sini. Sejak dahulu mereka selalu berada di tempat yang sama, mungkin karena arus kuat di antara pulau pulau ini menyebabkan kawasan yang dipenuhi dengan plankton plankton, sebagai sumber makanan utama, membuat Sangalaki begitu dicintai oleh Manta. Bahkan dengan hanya snorkeling di permukaan, kita tetap bisa melihat mereka, karena memang pada umumnya mereka memakan plankton yang umumnya banyak berada di shallow water ( kedalaman antara 1 meter sampai 5 meter ). Dengan memasukkan kepala kita ke dalam air dan para snorkeller bisa membiarkan dirinya terbawa arus menghampiri manta yang datang mendekat dengan mulut terbuka untuk memakan plankton. ( Manta selalu bergerak perlahan melawan arus, ketika sedang memakan plankton ) setelah itu kita bisa langsung memutar badan menghindar begitu Manta dengan 5 meter lebar badannya terasa dekat ke kita. Untuk kami para penyelam, mengambil posisi pada kedalaman 8 meter di atas pasir coral sangat ideal sambil menyaksikan kehadiran manta manta berlalu lalang di atas kepala kita.

Esok harinya kami berangkat menuju Pulau Kakaban, sekitar 30 menit arah ke timur dari Pulau Sangalaki. Kami lebih bersemangat , karena barang barang yang tertinggal oleh pesawat di Jakarta telah datang dengan boat susulan sore kemarin. Di ujung selatan pulau ini, kami menyelam di titik yang dinamakan Barracuda Point. Sesuai dengan namanya, maka atraksi yang akan kami lihat adalah ikan ikan Barracuda. Lokasi ini adalah wall dive atau dinding yang curam dan kami perlahan menuruni sampai kedalaman 20 meter. Sesekali terlihat seekor penyu hijau bersantai di salah satu ujung dinding.

Saya masih sibuk memasang filter merah pada housing underwater kamera di kedalaman 25 meter, ketika Wilfrinia, rekan saya di kejauhan memberi isyarat untuk melihat ke atas kepala saya. Astaga, antara gugup dan excited, karena posisi filter yang belum sempurna dan tak menyangka bisa melihat ribuan ikan Barracuda, masing masing berukuran satu sampai satu setengah meter, melakukan parade dengan eloknya sambil meliuk-liukkan tubuhnya di arus bawah laut yang cukup keras. Kami berusaha bertahan diantara arus yang keras sambil melihat rombongan ikan barracuda yang tak menghiraukan kehadiran kami. Saya sempat berpikir bagaimana kalau mereka berbalik arah menyerang kami. Tapi cepat cepat saya buang pikiran jelek itu, sambil terus merekam video kamera saya.

Setelah penyelaman di titik ini, kami menuju ke daratan pulau Kakaban sambil melakukan surface interfal di danau di tengah pulau. Kami harus menaiki batu batuan koral keras diantara hutan hutan sebelum bisa mencampai danau. Pulau tak berpenghuni ini telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam oleh Pemerintah Indonesia, dan sesungguhnya pulau ini merupakan coral atoll yang terangkat karena tekanan geologi beberapa ribu tahun yang lalu, membuat air laut terperangkap di tengahnya dengan luas kurang lebih 5 kilometer. Selama beribu ribu tahun pula dengan tambahan sumber air dari curah hujan dan air laut yang meresap dari bawah, telah membentuk ekosistem sendiri. Ini adalah salah satu dari dua danau air asin di dunia, satu lagi berada di Kepulauan Palau, Micronesia, Samudra Pacific.

Dr. Thomas Tomascik, seorang marine ecologist berkebangsaan Kanada yang telah meneliti danau ini,mengungkapkan bahwa danau ini merupakan surga biologi, dengan hewan dan tumbuhan yang unik dan aneh, diantaranya ubur ubur ( jellyfish ) – Casiopea Xamacha., Terdapat jutaan ubur ubur di dalam danau ini, mereka terapung apung dalam air yang kadar garamnya tidak seasin air laut. Jenis ubur ubur ini tidak menyengat, hingga kami bisa menyentuhnya ketika kami melakukan snorkeling di sekitar danau ini.

Tak terasa sudah empat hari kami berada di pulau terpencil ini, dan menjelajahi setiap sudut perairan di sekitar pulau ini. Besok pagi kami akan kembali ke Berau dengan boat jam 7 pagi untuk mengejar flight penerbangan ke Jakarta jam 3 sore dari Balikpapan. Sangalaki tidak hanya Manta, masih begitu banyak hal hal yang bisa dilihat di bawah laut sana, selain terumbu karangnya dan dengan mudah dive master guide di sana akan menunjukan ikan ikan sweetlips, pigmy sea horse, mandarin fish, nudibranch, dan lain lain yang akan membuat kita begitu menyadari betapa kayanya kekayaan hayati laut kita.

Saya juga melihat sebuah dunia yang senyap di ujung laut Sulawesi, sebuah tempat yang seolah terabaikan tetapi justru merupakan salah satu tempat penyelaman terbaik di dunia yang terumbu karangnya masih belum rusak oleh tangan tangan manusia. Sebuah pulau yang secara naluri alamiah dipercaya oleh ribuan penyu hijau yang datang untuk bertelur. Ketika saya kembali ke pondokan setelah makan malam, untuk mengepak barang barang, di tengah sepinya suasana saya mendengar suara sibakan pasir di bawah tangga pondokan. Tampak seekor penyu sedang berusaha menggali lubang untuk telurnya. Sepasang mata bulat yang hijau berair menatap dalam ke arah saya dan seolah berkata, “ Jangan biarkan manusia merusak tempat ini biarlah tempat ini tetap senyap seperti adanya “. Malam itu Sangalaki tetap sunyi dan bertambah senyap ketika para petugas mematikan lampu lampu beranda pondokan. Mungkin hanya waktu yang akan menjelaskan, sampai kapan kesunyian di Sangalaki akan bertahan.
( Iman Brotoseno , Maret 2004 )