Definition of lockdown. 1 : the confinement of prisoners to their cells for all or most of the day as a temporary security measure. 2 : an emergency measure or condition in which people are temporarily prevented from entering or leaving a restricted area or building (such as a school) during a threat of danger.
Lockdown tiba tiba menjadi istilah yang ramai diperbincangkan saat pandemik Covid 19 menjadi hantu yang menakutkan di seluruh dunia. Banyak orang di Indonesia meminta agar Pemerintah melakukan lockdown sebagaimana yang dilakukan di beberapa negara seperti Cina dan Italy untuk mencegah penyebaran virus.
Para pemimpin Cina tampaknya berusaha menutupi ketika virus mulai terkuak secara luas awal tahun ini. Pihak berwenang pada awalnya memberangus dokter dokter yang berusaha memperingatkan masyarakat umum tentang virus baru yang mematikan itu. Tanpa adanya keterbukaan justru membuat penularan semakin menyebar. Sejak itu, Beijing mulai membalikkan secara agresif. Kampanye relasi publik yang digambarkan oleh pemimpin Cina Xi Jinping sebagai perang rakyat, menggabungkan ilmu pengetahuan dengan teknik-teknik Maois sebelumnya.
Ketika penguasa memerintahkan lockdown kota Wuhan pada tanggal 23 Januari jam 2 pagi, maka banyak warga seketika menyerbu toko toko serba 24 jam untuk mengumpulkan bahan makanan yang bisa dibeli. Ada juga yang mencoba kabur dengan kendaraan ke kota lain saat dini hari. Semakin pagi, situasi kota sudah terkunci ketika seluruh moda transportasi – bus, kereta, pesawat dan kendaraan pribadi dilarang beroperasi. Selain itu aparat berjaga jaga di pintu tol atau perbatasan kota mencegah siapapun masuk atau keluar. Pasukan militer menjaga kompleks perumahan dan melarang isi rumah untuk keluar rumah.
Larangan mengemudikan kendaraan hanya bertahan 6 jam, karena Pemerintah kota menyadari dengan tidak beroperasinya transportasi massal, maka kendaraan pribadi dibutuhkan untuk mengantar tenaga medis, perawat dan dokter menuju rumah sakit. Bahkan pemerintah kota meminta relawan untuk bisa mengantar tenaga medis ini dengan memberikan ijin khusus mengemudikan mobil.
Pemerintah membuka lowongan bagi sepuluh ribu relawan yang tugasnya, pergi dari rumah ke rumah untuk mengecek suhu tubuh dan mengantar bahan makanan. Supermarket dan toko serba ada telah menyiapkan layanan pembelian grup di aplikasi WeChat. Hal ini berakibat permintaan untuk layanan pengiriman makanan menjadi meroket. Bagi sebagian orang, mengorganisir pembelian secara kelompok adalah satu-satunya cara mereka mendapatkan lebih banyak jatah bahan makanan. Tugas relawan lainnya adalah mengantar tenaga medis atau menjemput korban positif dari rumah untuk dibawa ke rumah sakit.
Awalnya penguasa mengizinkan penduduk untuk meninggalkan rumah mereka setiap tiga hari sekali. Namun ketika jumlah korban semakin meningkat, mereka akhirnya sama sekali dilarang keluar dari rumah masing masing, sehingga mendorong penduduk untuk menimbun makanan atau mengandalkan relawan masyarakat untuk mengirimkan makanan ke rumah mereka.
Di benua lain, saat Perdana Menteri Giuseppe Conte mengumumkan Italy menjadi negara yang dikarantina sepenuhnya. Maka semua aktivitas sekolah, kantor, perdagangan ditutup dengan pengecualian apotek, toko bahan makanan, dan kios koran karena pemerintah menganggap media cetak tetap penting untuk penyampaiaan informasi. Semua penduduk diminta untuk berdiam dalam rumahnya dan tidak melalukan aktivitas publik. Bagi mereka yang masih harus pergi ke kantor atau membawa anjingnya berjalan jalan di taman, diminta untuk membawa surat jalan yang tetap diperiksa oleh polisi.
Dalam penerapannya kadang terjadi kesimpangsiuran informasi. Dalam pidato yang disampaikan Perdana Menteri Giuseppe Conte dengan mengumumkan semua perusahaan kecuali toko kelontong dan apotek tutup hingga 25 Maret, tetapi mengatakan taman akan tetap terbuka untuk olahraga. Namun saat yang bersamaan, keluar petunjuk terbaru dari Kementerian Dalam Negeri yang menetapkan semua penduduk Italia harus membawa formulir ” sertifikasi otomatis ” untuk meninggalkan rumah mereka, dengan alasan yang sah seperti pekerjaan yang penting atau kebutuhan kesehatan
Instruksi yang tampaknya saling bertentangan menghasilkan interpretasi berbeda beda atas peraturan Pemerintah. Harian nasional Corriere della Sera memuat artikel berjudul ” Walks Not Allowed ” pada saat yang sama dengan surat kabar La Reppublica menyatakan “Going For A Walk Is Not Banned “..
Kekacauan juga terjadi di Cina terutama dalam distribusi makanan untuk warga. Beberapa distrik bahkan mulai mengatur layanan pengiriman kelompok, melarang supermarket menjual kepada individu dan memaksa masyarakat untuk membeli bahan makanan dalam jumlah besar. Para pemasok beralasan kekurangan tenaga pengiriman untuk pengiriman makanan ke individu, sehingga lebih memilih mengirim untuk kelompok.
Warga juga tidak bisa menolak harga bahan makanan yang ditetapkan semena mena dari pemasok. Mereka juga tidak protes jika seperti sayur atau daging yang dikirim ke rumahnya, dalam kondisi tidak segar. Untuk penduduk Wuhan yang tidak dapat memesan makanan dalam jumlah besar dengan tetangga dan tidak memiliki akses ke makanan di daerah mereka, dibiarkan bergantung pada sisa makanan yang mereka miliki. Bahkan mereka yang memiliki bayi juga kesulitan mendapatkan susu.
“Saya masih tidak tahu di mana harus membeli bahan makanan setelah kami selesai makan apa yang kami miliki di rumah. Aku merasa seperti seorang pengungsi “ kata Pan Hong Sheng seorang warga kepada AFP.
Bagaimana jika lockdown diterapkan di kota kota / wilayah Indonesia. Payung hukum yang relevan adalah UU Karantina Kesehatan No 6 tahun 2018, dimana dalam salah satu pasal disebutkan Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
UU Karantina Kesehatan memang mengatur jenis jenis karantina mulai dari karantina rumah, rumah sakit, wilayah sampai pembatasan social skala besar. Semua termasuk tata cara dan pengawasan oleh petugas kesehatan dan aparat kepolisian. Namun dalam keadaan darurat yang dimaknai ” sebagai kegentingan yang memaksa dan situasi yang mengancam terhadap kehidupan bangsa dan keberadaannya “, maka wabah pandemik Covid 19, bisa saja dimaknai ancaman serius existensi bangsa Indonesia. Sehingga ketika opsi Lockdown akan diambil seperti di Cina, bisa jadi butuh UU yang lebih ‘ kuat ‘ seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.23 Tahun 1959 tentang pencabutan Undang Undang No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
Dalam Perpu yang sangat powerful dan sampai saat ini belum dicabut, ada penerapan darurat sipil atau militer untuk segala sesuatu yang bersifat mendesak untuk menghadapi situasi akibat perang, bencana, kekacauan sipil atau setelah terjadinya kudeta.
Dalam International Covenant for Civiland Political Rights (ICCPR) juga diatur mengenai “ state of emergency ”. Berdasarkan 4 ayat (1) ICCPR, keadaan darurat dimaknai sebagai “ situasi yang mengancam terhadap kehidupan bangsa dan keberadaannya ”.
Dikaitkan dengan hukum internasional mengenai hak asasi manusia, keadaan darurat merupakan keadaan adanya pembatasan dan pengecualian pelaksanaan hak-hak sipil dan politik. Dalam prinsip-prinsip Siracusa diatur tentang keadaan public emergency dalam prinsip no. 39, yaitu keadaan adanya ancaman terhadap kehidupan suatu bangsa yang berpengaruh pada seluruh populasi atau seluruh atau sebagian wilayah suatu negara.
Tak hanya itu saja, keputusan pemberlakukan status darurat khusus ini juga merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer. Kedua aturan hukum ini bisa digunakan pemerintah, tatkala ancaman terhadap pertahanan dan keamanan sudah tak terbendung lagi. Coba bayangkan jika Perpu ini dipakai sebagai payung hukum penerapan lockdown di Indonesia.
Wewenang penguasa darurat sipil atau militer dalam Perpu No 23 tahun 1959 sangat luas termasuk memerintah dan mengatur badan keamanan, kepolisian, memeriksa orang, membatasi orang keluar rumah, melarang rapat rapat umum atau mencegah orang memasuki gedung sampai melakukan penyadapan radio komunikasi ( bisa seluler untuk jaman sekarang ). Bahkan jika darurat militer yang diterapkan, maka wewenangnya dalam sebuah wilayah bisa mengambil kekuasaan sipil mengenai ketertiban dan keamanan umum, termasuk mengatur badan-badan pemerintah sipil serta pegawai-pegawainya.
Perpu memberi hak kepada penguasa untuk melarang dan membatasi lalu-lintas di darat, di perairan dan di udara. Selain itu berhak melarang orang meninggalkan daerah yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer, termasuk disini menolak orang memasuki suatu daerah. Ketika Cina ketika memberlakukan lockdown di Wuhan, selain melarang orang keluar kota, ada 5 juta warga Wuhan yang tidak bisa memasuki kota karena saat itu sedang berada di luar kota untuk liburan dan perayaan tahun baru Cina.
Perpu ini juga memberi wewenang menguasai dan mengatur perlengkapan-perlengkapan pos, telekomunikasi dan elektronika. Sama seperti di Cina yang menyadap informasi dari operator seluler yang dikelola pemerintah untuk melacak orang-orang yang menyelinap untuk kabur keluar. Penguasa lokal juga meminta bantuan perusahaan teknologi untuk mengembangkan aplikasi untuk memisahkan individu yang sehat dari individu yang berisiko tinggi membawa virus.
Dalam Perpu No 23 tahun 1959, Pemerintah bisa memaksa penduduk bekerja demi kepentingan penguasa. Cina juga melakukan dengan memaksa tenaga medis dan dokter untuk terus bekerja tanpa pasokan perlindungan medis kepada dokter, perawat yang berisiko terkena penularan virus. Mereka, para dokter tidak bisa menolak atau melakukan mogok kerja, karena diancam ijin praktek akan dicabut jika menolak bekerja.
Wewenang menahan dan menangkap orang juga diamanatkan dalam penerapan darurat militer. Seperti di Italy, dimana pemerintah dari sebuah negara demokratis justru memakai cara cara yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia. Memaksa warga untuk berdiam di rumah masing masing.
Pada hari ketiga pelaksanaan lockdown di Italy, tercatat 161 orang telah dinyatakan bersalah karena melanggar aturan keluar dari rumah dengan ancaman hukuman penjara 3 bulan atau denda 206 euro. Jenis jenis pelanggarannya ada yang karena menyelenggarakan prosesi pemakaman, membuka toko atau jalan jalan di taman. Sekelompok 5 pria di Mantova, dan seorang wanita berusia 17 tahun yang sedang menemui pacarnya di Milan, ditangkap dengan tuduhan “berada di jalan yang tidak perlu ” dan” bergerak tanpa alasan yang sah “.
Jika Indonesia akan memakai cara lockdown seperti itu, pertanyaannya bagaimana dengan tingkat kepatuhan warga seandainya Pemerintah daerah memaksa warganya untuk mengisolasi dalam rumah dan tidak melakukan aktivitas publik. Warga Cina yang memiliki sistem kepatuhan lewat partai tentu terbiasa dengan pola pola top down seperti ini. Italy walau awalnya mengalami kesulitan memaksa, akhirnya berhasil patuh karena tingkat kesadaran tinggi dari masyarakatnya yang relatif modern dan terdidik. Sementara Korea Selatan bisa melakukan pemantauan dengan ketat tanpa harus lockdown, karena disiplin militer menjadi hal sehari hari bagi penduduk. Memang secara resmi Korea Selatan masih dalam keadaan perang dengan tetangganya di utara.
Disini pemerintah bisa mematikan seluruh moda transportasi publik seperti kapal, kereta, bus dan pesawat terbang. Juga bisa menutup pusat perdagangan, dan kantor kantor. Tapi mampukah memaksa 2,5 juta pengemudi ojek untuk berhenti bekerja. Ini bagian dari pekerja informal, seperti buruh harian, PKL, pedagang di pasar, UMKM, pekerja lepas yang berjumlah 74 juta orang dan mencari nafkah secara harian. Apakah mereka yang melanggar aturan berkumpul di pinggir jalan akan ditangkap aparat ?
Memang dalam UU Karantina Kesehatan, kebutuhan hidup dasar orang termasuk makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Masalahnya apakah Pemerintah mampu menyediakan bahan makanan bagi seluruh penduduk dalam wilayah yang di lockdown.
China yang memiliki cadangan devisa US $ 3000 Milyar saja tidak serta merta menanggung kebutuhan hidup 11 juta penduduk Wuhan. Dalam kesulitan itu, warga diminta Pemerintah untuk menyumbangkan beras dan minyak goreng untuk memberi makan staf medis di rumah sakit utama Wuhan, karena tidak ada cukup makanan untuk menjamin makanan bagi mereka. Warga mengeluh, kami adalah pembayar pajak. Bukankah seharusnya pemerintah bisa menyediakan itu ?
China mengalami kerugian US $ 62 milyar selama 4 bulan akibat pandemik ini. China juga harus mengalokasikan $ 12,6 miliar sejauh ini untuk belanja perawatan dan peralatan medis. Sementara cadangan devisa Indonesia sekitar U$ $ 131 milyar, mampukah menanggung secara ekonomi jika harus melakukan lockdown. Memang Lockdown adalah salah satu metode pencegahan penyebaran virus yang efektif. Namun dengan keterbatasan yang ada, lockdown membuat dampak sosial yang berat, bahkan berpotensi timbulnya chaos karena masyarakat justru hidup dalam lembah kemiskinan karena tidak bisa mencari nafkah.
Dibalik semua itu, penerapan lockdown secara tegas telah membuat penduduk Wuhan kehilangan pekerjaan dan kesulitan mencari bahan makanan. Rasa marah, kuatir, bosan, tak berdaya bercampur aduk jadi satu. Pertanyaan besar kapan ini akan berakhir. Apakah kita berani mengambil resiko dengan semua ini ?
photography : Daniel Xi, Bloomberg, Alberto Pizolli / Getty Images
1 Comment
ibas
October 10, 2023 at 8:18 amgood article, thank you