24 September 2008
Ronny Patinasarany
Posted by iman under: ARTIKEL; OLAHRAGA; TOKOH .
Bagi saya sosok asal Tana Toraja ini adalah jawara sepakbola Indonesia. Sewaktu saya kecil, saya mengidolakan eks kapten PSM Ujung Pandang, Warna Agung dan kesebelasan nasional PSSI. Bagi saya juga Ronny Patinasarany lebih hebat dari Iswadi Idris, Waskito atau Risdianto.
Pada jamannya, ketika kompetisi sepakbola professional pertama – Galatama – digulirkan, saya rela menonton naik mobil truk, dan berganti menumpang lagi untuk sampai di Stadion Utama Senayan. Menonton final Galatama antara Jayakarta melawan Warna Agung. Tentu saja Warna Agung yang menang.
Karena tak bisa ada dua matahari dalam satu team. Ronny Patti harus menunggu beberapa lama sebelum Iswadi Idris melepaskan ban kapten team nasional kepadanya.
Waktu itu saya berharap bisa ikut berlatih di tim junior Warna Agung. Hanya karena tempat latihannya di daerah Ancol, terlalu jauh dari rumah sehingga ayah saya memasukan ke Jayakarta, di Ragunan.
Setiap sabtu minggu , kami berlatih. Kadang Anjas Asmara atau Sutan Harhara melihat dan memberikan bekal teknik kepada anak anak kecil sebaya saya yang berharap – bermimpi – menjadi pemain sepak bola tenar.
Dan saya masih berharap seandainya saya berlatih di Warna Agung, tentu bisa melihat Ronny Pattinasarany berlatih sepak bola.
Sampai akhirnya saya berhenti bermain bola. Karena terlalu bandel, kepala saya gegar otak, dan dilarang dokter selama setahun bermain bola.
Akhirnya saya melupakan cita cita menjadi pemain bola. Tetapi tetap kekaguman terhadap Ronny Pattinasarany tak pernah luntur. Konon, ia dianggap memiliki teknik yang paling tinggi dalam sejarah persepakbolaan nasional.
Gaya permainannya elegan, dan menjadi irama bagi permainan teamnya. Skillnya luar biasa dan mumpuni.
Saya teringat ada pertandingan antara PSSi melawan Washington Diplomats yang diperkuat Johan Cruiff menjelang masa pensiunnya. Suatu ketika ada bola lambung meluncur jauh ke jantung pertahanan Indonesia. Hanya Ronny sendirian – menjadi libero – didepan penjaga gawang.
Dengan tenang posisi badannya tetap mengarah depan. Tanpa menoleh ke belakang ia mendorong kakinya kebelakang. Seolah ia tahu dimana bola itu akan jatuh. Mak dulll, bola tepat jatuh dibelakang tumit sepatunya, dan pelan bergulir diberikan ke penjaga gawang. Tidak melenceng dan tidak salah arah. Saat itu Johan Cruiff terkesima dengan teknik tinggi yang diperlihatkan sang kapten PSSI.
Ketika pertandingan selesai. Semua orang mengejar ngejar Johan Cruiff untuk meminta tanda tangan dan photo bersama. Ia justru mencari cari Ronny Patinasarany. Tak heran waktu itu Ronny juga masuk squad team Asia All Star. Sementara pemain pemain dari Arab baru bisa belajar menendang bola, lalu Jepang baru mengirimkan delegasinya untuk studi banding ke Indonesia. Belajar mengelola kompetisi profesional.
Ronny juga punya kebiasaan aneh. Ia suka merokok. Lebih anehnya nafasnya tidak pernah ngos ngosan, dan selalu kuat bermain 2 x 45 menit.
Kini sang maestro telah tiada. Hilang salah satu legenda sepakbola nasional.
Dalam acara Kick Andy di Metro TV, Ronny pernah diundang datang. Bukan sebagai pemain bola, tetapi sebagai ayah yang turun tangan melepaskan anak anak dari jerat narkotika. Ia melepaskan pekerjaannya sebagai pelatih, hanya untuk sehari hari membantu ketergantungan obat obatan anak anaknya.
Ia berhasil menyelamatkan jiwa anak anaknya. Namun ia tak berhasil menyelamatkan nyawanya sendiri dari penyakit kanker.
Suatu hari saya bertemu dengannya di studio RCTI. Saya bertanya mungkinkah sepakbola Indonesia bangkit seperti jaman jaman dahulu. Setidaknya untuk kawasan Asia. Ia hanya menggeleng.
“ Tak mungkin “.
Saya hanya tersenyum. Tidak salah saya memilih mengidolakan klub luar negeri, Arsenal. Tidak seperti ayah saya yang selalu bercerita tentang Ramang, Waskito dan Ronny Patinasarany. Saya lebih baik bercerita Kaka atau Thiery Henry kepada anak saya.
PSSI ? Buat apa buang buang waktu untuk sebuah kesebelasan dagelan.