Berharap pada Jokowi – MMD

Beberapa hari setelah setelah sidang tahunan MPR pada tahun 2000, Moh Maffud MD diminta Sekretaris Negara, Djohan Effendi untuk datang menghadap Gus Dur. Akhirnya pertemuan mereka bukan di Istana
Negara, tapi di Jalan Irian No 7 Menteng. Gus Dur dan Alwi Shihab menerima Mahfud dengan hidangan kacang rebus, jagung rebus dan tempe goreng. Yang sangat mengesankan bagi Mahfud adalah, setelah enam belas tahun tak pernah bertemu atau saling kontak, ternyata Gus Dur masih mengingat dan memperhatikan track record pekerjaan Mahfud.

Dalam pertemuan ini, Gus Dur menawari jabatan Menteri Pertahanan yang mana sempat dikira Mahfud adalah Menteri Pertanahan, sehingga ia nyeletuk apakah Menteri Pertanahan yang terakhir dijabat Hasan Basri Durin akan dihidupkan kembali.
“ Bukan Menteri Pertanahan, tapi Menteri Pertahanan ‘ Jawab Gus Dur.

Mahfud diminta untuk menata persoalan militer di Indonesia sesuai dengan tuntutan demokrasi. Lebih tegas, Gus Dur meminta agar masalah militer harus diatur dengan hukum disertai langkah nyata untuk memposisikan secara tepat dalam politik dan ketatanegaraan.
“ Antum tahu bagaimana seharusnya militer itu diatur menurut hukum tata negara ‘ Kata Gus Dur.

Mahfud MD menjadi grogi karena tiba tiba harus berhadapan dengan militer yang sekian periode menjadi sosok tak tersentuh dalam tatanan politik Indonesia. Ia lalu menawar ke Gus Dur agar ia menjadi Menteri Kehakiman dan Yusril yang menjadi Menteri Pertahanan. Tapi permintaannya ditolak. Kembali Mahfud meminta agar jadi sekretaris Kabinet saja, dan Marsilam Simanjuntak yang jadi Menteri Pertahanan. Akhirnya Alwi Shihab mencolek pahanya dan memberi kode agar menerima saja penunjukan ini.

Dengan menumpang semangat dan dukungan gerakan reformasi, memang perlu keberanian untuk menata hubungan sipil – militer di Indonesia melalui langkah tegas dan nyata. Sekian lama militer menjadi ‘ penguasa ‘ bahkan dimulai dalam skala kecil ketika kondektur bus tidak berani menagih ongkos bus kepada mereka yang berbaju militer. Mahfud tahu tugas ini sangat berat. Ia , seorang sipil akan berhadapan dengan Jenderal jenderal yang mungkin alergi dengan segala kebijakan yang mengurangi privilege institusi yang dinikmati selama ini.

Harapan itu muncul kembali ke pundak Mahfud MD, ketika Joko Widodo menjadikan memintanya sebagai calon Wakil Presiden untuk periode 2019 – 2024. Ada harapan bahwa mantan Menteri Pertahanan dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini akan kembali menjadi ksatria untuk mengatasi carut marut masalah hukum di Indonesia.

Apakah Mahfud orang yang tepat ? Pertanyaan ini menjadi tidak relevan karena tentu Jokowi telah masak masak memikirkan untung ruginya memilih sosok ini. Perhitungan background Islam yang dimilikinya tentu jadi pertimbangan untuk menjadikan duet Nasionalis – Relijius dalam kampanye mendatang.

Dalam perbincangan dengannya di kantor MMD Centre Jalan Kramat VI minggu lalu, Mahfud mengatakan bahwa jika kita bisa mengatasi persoalan hukum, maka akan berpengaruh langsung pada persoalan ekonomi bangsa. Banyak hal hal dalam kehidupan sehari hari dimana pelanggaran hukum termasuk korupsi, keadilan yang berkaitan dengan masalah perekonomian.

Dengan latar belakang hukum yang dimiliki, tentu wapres yang akan datang, akan menjadi sekondan yang kuat bagi Presiden untuk mengatasi persoalan hukum di negeri ini. Ia bisa membantu Jokowi dalam hal berhadapan dengan lawan lawan politiknya – selain pada issue Islam. Seperti pengalamannya saat membantu Gus Dur melakukan penataan militer dan sipil yang harus ditertibkan, walau kita tahu pada akhirnya Gus Dur dapat dikalahkan, ketika kedua kekuatan itu itu bersatu dan saling memberi konsesi politik.

Mahfud mengingat ketika keputusan menempatkan Panglima TNI dari AL, banyak ketidakrelaan dari jenderal jenderal AD yang datang padanya untuk menyampaikan pesan ke Presiden bahwa Panglima yang tepat adalah orang orang AD. Persoalan politik yang dihadapi Mahfud berujung pada dekrit yang dikeluarkan Gus Dur. Situasi pelik ini telah memberikan ‘ jam terbang kepada Mahfud dalam hal melihat persoalan politik di Indonesia.

Menjalankan fungsi Presiden ( dan juga wakil presiden ) bukan melulu karena menuntaskan janji. Butuh ketauladanan dan integritas. Selama ini Jokowi bisa memberikan tauladan. Dia bekerja keras membangun Indonesia. Turun tangan dan memantau sendiri pekerjaan yang dilakukan. Mahfud yang memiliki pengalaman eksekutif, legislative dan yudikatif jelas punya integritas sebagai pendekar hukum yang akan menata di ruang pemberantasan korupsi. Memahami Mahfud bukan hal yang sulit, karena sifatnya yang konsisten dan disiplin.

Mungkin Mahfud akan seperti Hatta yang melengkapi Sukarno. Hatta yang administrator yang cakap dan menjaga Indonesia tidak menjadi negara kekuasaan. Inilah demokrasi yang diusung, dalam pemantapan hak asasi manusia untuk melindungi mereka yang paling lemah dalam masyarakat, membatasi kesewenangan mereka yang kuat sekaligus menjaga negara yang bersih dari korupsi.

Tiba tiba saya teringat pidato Bung Karno, “ Saya ini penah pegang sapu, nyapu apa ? nyapu kakusnya pelayan pelayan. Saya marah kepada mereka. Saya bentak. Tapi dalam membentak saya kasih contoh. Kasih sapu ! saya sapu kakus kakus mereka. Kasih air. Saya schrob ( sikat ) kakus kakus mereka “

Jokowi yang pekerja dan Mahfud yang administratur akan merupakan duet maut. Nawacita jilid II mestinya lebih mudah dijalankan. Insya Allah

You Might Also Like

3 Comments

Leave a Reply

*