Antara Mak Erot dan Sensor Film

Saat persidangan Mahkamah Konstitusi mengenai hiruk pikuk Lembaga Sensor Film, beberapa insan perfilman menyatakan, bahwa setelah menghabiskan investasi bermilyar milyar rupiah unuk sebuah film. Mereka tak berdaya begitu filmnya memasuki ruang sensor. Intinya lembaga sensor menjadi pengadilan terakhir bagi filmnya.
Apakah ini benar ?
Selalu ada saja yang menarik ketika ngobrol dengan petinggi BP2N ( Badan Pertimbangan Perfilman Nasional ). Ternyata menurut Undang Undang, jika ada perselisihan dengan Lembaga Sensor maka BP2N akan bertindak sebagai badan arbitrase yang menengahi sengketa tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, dalam Rancangan Undang Undang Perfilman yang akan diajukan menggantikan UU Film ( lama ), secara implicit sudah disebutkan sebuah lembaga penilai atau klasifikasi yang akan menggantikan fungsi Lembaga Sensor.
Hanya apakah pemahaman lembaga klasifikasi ini sama dengan apa yang dibenak teman teman Masyarakat Film Indonesia. Itu urusan lain.

Sambil makan sate ayam, lalu mengalirlah obrolan dengan Pak Sekjen BP2N mengenai kasus artbitrase yang baru saja.
Ceritanya si produser film mengadu ke BP2N bahwa poster filmnya ‘ XL Extra Large, antara Aku , Kau dan Mak Erot ‘ ditolak oleh lembaga sensor.

BP2N : Kalau boleh dijelaskan kenapa poster ini ditolak
LSF : Ya, ini kata Mak Erot sangat tendensius ke pornografi.
BP2N : maksudnya ?
LSF : Khan Mak Erot konon diasosiasikan pembesar alat kelamin pria
BP2N : Lho sebaliknya kalau ada yang mempersepsikan sebagai pengecil alat kelamin bagaimana ?

LSF terdiam dan BP2N meminta sang produser membawa alternatif poster sebagai jalan tengahnya. Keesokan harinya dia datang membawa poster lain, dimana huruf T dari Erot diganti dengan gambar pisang yang kulitnya terkupas seperti huruf T.

LSF : Nah, saya setuju poster ini, jadi dibacanya bukan EROT…. tapi EROJ
PRODUSER : ( melirik ke BP2N …bingung )
BP2N : ( berbisik ke produser..sst sudah terima saja )

Akhirnya proses arbitrase bisa dijalani dan selalu ada kompromi yang memuaskan keduabelah pihak. Poster itu bisa lolos sensor setelah huruf T diganti dengan ilustrasi buah pisang. Pertanyaan saya, bukankah buah pisang justru semakin memperjelas positioning alat kelamin pria. Tapi ini khan persepsi saya dan si pak Sekjen.
Tentu saja lain persepsi si ibu dari Lembaga Sensor. Pisang dalam konteks ini is just a banana, makanya dibacanya Eroj bukan Erot. Bagaimana persepsi anda ?

You Might Also Like

83 Comments

  • jonijontor
    February 26, 2008 at 5:10 pm

    eh, salam kenal mas (lupa)

  • theloebizz
    February 26, 2008 at 5:46 pm

    persepsi saya mah berarti mak erotnya doyan maem pisang yah???tp itu kan emang byk manfaatnya hihihihihi 😉

  • Ina
    February 26, 2008 at 6:30 pm

    Persepsi susah juga buat disama ratakan arahnya.
    Pisang khan bisa jadi konotasi yg lain jika disandingkan dengan mak erot. 😀

  • Nazieb
    February 26, 2008 at 7:13 pm

    Ah, saya jadi merasa ragu dengan kapasitas LSF, mendengar cerita bahwa film yang bagus malah ditolak, sementara yang ini, film biasa-biasa saja yang cenderung bersifat porno malah dibela-belain untuk ditampilin…

  • hanny
    February 26, 2008 at 7:14 pm

    hehehe ya ampun dialog itu lucu sekaligus tragis 😀 saya tidak tahu harus ketawa atau nangis. tapi karena hidup ini sudah cukup susah, saya pilih ketawa saja 😀 walau miris.

  • aghofur
    February 26, 2008 at 8:16 pm

    kontrol tetap perlu, meski mungkin LSF kurang begitu baik dalam memainkan perannya.. so, dibubarkan ato diperbaiki? saya manut mas iman ajah!

  • hanum
    February 26, 2008 at 9:32 pm

    wkakakakaka…
    ternyata membahas kulit menjadi lebih penting ya.
    Hidup perfilman Indonesia!

  • fauzansigma
    February 26, 2008 at 11:27 pm

    jadi untuk beberapa hal yang agak sensitif dalam lembaga perfilman masih juga berkaitan erat degan sensor yah rupanya..
    well, smoga perfilman kita semakin di akui di kalangan internasional

  • sembarang
    February 27, 2008 at 12:31 am

    sensor buat apa?

  • sembarang
    February 27, 2008 at 12:32 am

    apa buat sensor?

  • ar
    February 27, 2008 at 6:44 am

    BIASA!!! Orang kita kan bisanya ngomongin tampilan dan kosakata, tapi kosong melompong gak ada isinya.

  • bangsari
    February 27, 2008 at 7:37 am

    wekekek. pancene lucu pejabat kita. pulangnya orang BP2n itu minta sangu kan mas?

  • lady
    February 27, 2008 at 8:24 am

    dr bbrp subyek di atas, pasti obyeknya itu duit 🙂

  • ebeSS
    February 27, 2008 at 9:39 am

    bener2 ngeyelan pol penguasa itu . . . saya dah komen apatis di
    http://blog.imanbrotoseno.com/?p=185
    yang saya link juga di tempat saya . .
    http://ebessoni.wordpress.com/2008/02/23/god-is-a-girl-groove-coverage/
    lha wong tanggapan para blogger dan masyarakat ya biasa2 saja . .
    ya biarkan saja mungkin . . . pada saatnya penguasa kelihatan bodohnya di mata masyarakat
    kalo ga “malu” ya penguasa yang harus disensor . . . karena malah bangga mempertontonkan “kemaluan”nya di masyarakat . . 😛

  • mikow
    February 27, 2008 at 10:00 am

    Mak Erot sangat tendensius ke pornografi? bagaimana dengan iklan2 yg mempromosikan mak erot?

  • adipati kademangan
    February 27, 2008 at 11:10 am

    sosok mak erot, tidak ada yang melihat dari sisi lain
    mak erot adalah sebagai penolong orang yang kesusahan
    dari wajahnya terlihat keteduhan tanpa mengharap popularitas
    tetapi sudah kadung nancep di pikiran orang bahwa mak erot itu identik dengan pornografi
    Sebenernya mak erot itu salah apa kok diseret – seret ke kawasan pornografi ?

  • dina
    February 27, 2008 at 8:59 pm

    doesn’t matter judulnya apa…pasti pelm nya jelek dan saya males liat

  • andrias ekoyuono
    February 28, 2008 at 10:28 am

    berarti sebenarnya gak usah repot2 protes ke MK dong, kan udah ada BP2N, betul begitu ?

  • tata
    February 28, 2008 at 4:33 pm

    wah….cuma karena kata mak erot aja bisa berkonotasi negatif…

  • restlessangel
    March 4, 2008 at 3:41 pm

    soal sensor ini emang menggelitik. krn ada conflict of interest, apalagi masing2 punya argumen sendiri2. eh ni agak ga nyambung sama postingannya sih, tp bbrp waktu yg lalu sempet terdiam stlh baca surat pembaca di koran tempo, dan teringat dengan kajian2 psikologi. temen2 kalangan film menyadari tidak, bahwa apapun karya yg dibuat, akan berpengaruh terhadap pemirsanya. contoh nih, udah banyak kajian dan penelitian bahwa tayangan yang berisi kekerasan cenderung berpengaruh terhadap penonton anak-anak.

    kl yg saya percaya sih, tiap karya akan berpengaruh terhadap penikmatnya.

    kembali ke posting, setelah baca malah jd timbul pertanyaan. emangnya LSF itu ga punya semacam definisi operasional ato standardisasi ketat yg mengatur mana porno mana enggak. kl main subyektifitas mah, persepsi tiap orang beda2 dong. buat yg ‘mesum’ pisang bisa dipersepsikan / diasosiasikan porno. buat yg ‘lempeng’, pisang ya cuma buah aja.

    nah ini yg bikin geli ; ada pisang, trus ada mak erot. konteksnya mustinya jelas (ato saling memperjelas), lha kok malah boleh. bingung deh, ai…..

    :mrgreen:

  • refanidea
    March 6, 2008 at 10:08 pm

    Persepsi melebihi kenyataan.

    Toyota mengeluarkan produk mobil mewah dengan induk merek lain yaitu LEXUS. Lexus dari bahasa latin artinya mewah. Luxurious. Segmentasi berbeda butuh sentuhan, cara penyajian, & pendekatan berbeda pula. Semangat diversifikasi produk Toyota dapat gagal karena strategic management yang tidak visioner. Memaksa masuk ke pasar mobil mewah dengan nama Toyota, para kaya raya bakal enggan membeli, semewah dan secanggih apapun mobil itu. Benak mereka tentu berpikir: apa bedanya dengan Kijang, Starlet dan Vios? Meminjam istilah Hermawan Kertajaya, PERCEPTION IS MORE THAN REALITY.

    Begitu hebatnya persepsi, hingga benak LSF pun dijajah dengan: Erot itu tukang perbesar kelamin. Kalau 5 atau 10 tahun lagi ada ulama hebat bernama Kang Erot yang kisah hidupnya difilmkan, poster bagaimanapun pasti LSF langsung setuju.

    Sebentar, apa benar besar itu memuaskan? Barangkali Erot pun tidak sepenuhnya setuju. Ia hanya tukang perbesar.

  • yudhi
    May 1, 2008 at 7:33 am

    habis produsernya juga cari perkara sih> makanya gak usah ada adegan yang neko2. liat tu hanung n didi miswar kayaknya mereka gak pusing mikirin lembaga sensor karena mereka yakin gak ada masalah dg filmnya.

  • yudhi
    May 1, 2008 at 8:10 am

    Untuk MFI yang pengen LSF dibubarin. Kayanya ide2 anda semua, ga relevan deh dengan kondisi dan kultur masyarakat Indonesia.
    Jadi..Tolong jangan dipaksakan…
    Apalagi sampe memelas-melas ke MK.
    Kalo pengen bikin Film tanpa sensor.
    Mending Anda2 semua pindah aja ke Amrik semua.
    Bikin deh film tanpa sensor disana…
    Jangan ngeracunin bangsa Indonesia deh,
    dengan dalih ingin memajukan perfilman Indonesia. BAGUS JUGA NIH COMMENT HEH RIRIREZA CS KE AMERIKA SANA> PALING@ JG GAK LAKU> DI INDONESIA AJA GAK LAKU TAPI KEBANYAKAN GAYA

  • nor andy s
    August 2, 2008 at 4:04 pm

    gue tidak setuju semua film indonesia di sensor….. terutama film – film dewasa jangan kebanyakan sensor. kalau film dewasa di sensor, rasanya tidak cocok sebagai film dewasa. film orang dewasa kok disensor…… gak pantes di sensor tau???

  • Dhani hargo
    October 21, 2008 at 8:35 pm

    Paling filmnya cuma seputar film-film selangkangan.

  • Dhani hargo
    October 21, 2008 at 8:41 pm

    Terlepas dari urusan poster, saya prihatin. Kondisi perfilman yang susah susah dibangun dengan film film bagus seperti Banyu Biru dll, pasti ujung ujungnya dirusak lagi dengan film murahan seperti itu. Ahhhhh ini pasti ulah keparat India itu lagi. Sialan

  • sinar903621
    March 20, 2009 at 1:35 pm

    Yang pandai jadi bodoh dan yang membodohi jadi nampak benar-benar pandai….Begitu sederhanakah transaksi sensor antara orang2 BP2n dan LSF???

  • Bayu Probo
    June 17, 2009 at 9:00 am

    Pencerahan baru bagi saya. Juga komentar-komentarnya.

  • KangBoed
    July 1, 2009 at 10:51 am

    Huuuuuwaaakaaakaakak.. menyambung nyang tadi.. kembali kepada hati.. jika membayangkan sesuatu.. hihihi..
    Salam Sayang

  • neng®atna
    September 9, 2009 at 6:37 pm

    parah sekali. saya aja yang masih remaja dan (harusnya sih) remaja pada penasaaran. tapi saya udah geli duluan baca artikel ini. keep posting Om! Anda pemerhati yg hebat. Thanks

  • HamdiSy
    July 31, 2010 at 10:02 am

    oh ternyata begitu toh ceritanya bikin ngakak kekekeke

  • The Gombal's
    July 13, 2011 at 9:31 am

    linguistik erot-isme

  • ms4857
    July 19, 2011 at 7:54 am

    kalau menurut saya kelamin bukan pornografi, bagaimana kalau ada dokter kulit dan keamin, apakah pornografi?

1 2

Leave a Reply

*