“ Apa yang menarik dari sebuah kampanye, Mas ? “ pertanyaan itu saya dengar antara dua orang blogger mahasiswa yang sedang bercakap cakap di angkringan pinggir jalan.
Temannya terdiam. Bingung menjawabnya kecuali bertanya balik.
“ Lha menurut kamu apanya “
“ Ya ramai ramainya, bagi bagi kaos, nasi bungkus atau bagi bagi uang “ jawabnya asal. Lalu ia melanjutkan “ bahkan ada yang bagi bagi laptop gratis buat mahasiswa seperti kita “.
Tiba tiba saya mendapat pencerahan dari jawaban teman anak muda tadi. Saya mencoba nimbrung sambil mengatakan bahwa yang paling menarik adalah ideologinya.
Mereka malah bingung. Ideologi bukankah sudah usang sergahnya.
Ingatan ini melambung jelas kepada kampanye tahun 1955. Jelas tiap partai memiliki ideology yang diperjuangkan mati matian. Komunis, nasionalis, Islam – tradisional dan modern – Kristen, Katolik, sosialis dan sebagainya. Ada pembatas yang jelas.
Bahkan dalam orde baru hanya 3 partai. Islam, Nasionalis dan Birokrat.
Saya mencoba menjelaskan bahwa pemilu sekarang sedang menguji apakah ‘ ideologi ‘ sudah mati. Sepertinya prediksi saya tidak melulu salah. Walau kata ideology sekarang bisa diartikan simbol simbol yang diterima oleh sekelompok orang dan karena sejarah hidup mereka jadi bagian dari diri mereka. Ikatan itu mungkin tetap kuat.
Ideologi sekarang adalah pragmatis. Tergantung kemana arah angin dari masa mengambang atau floating mass. Siapa yang bisa mengklaim sebagai pewaris ajaran Soekarno dalam begitu banyak partai partai nasionalis.
Apakah PKB atau PAN adalah partai Islam ? tidak juga. Mereka mengklaim sebagai partai nasionalis religius.
“ Itu khan banci , mas “ si mahasiswa mulai mengerti arah percakapan kami.
Bahkan PKS begitu gamangnya untuk maju dengan simbol simbol agama. Lihat saja slogan dan komunikasi kampanyenya. “ Bersih, Jujur dan Profesional “. Sangat berbeda dengan jamannya masih Partai Keadilan yang kadang justru keras mendukung piagam Jakarta misalnya.
“ Apa ideologi partai Demokrat , Gerindra atau Golkar sekarang “ tanya saya kepada salah satu mahasiswa yang masih mencerna penjelasan saya.
“ nasionalis relijius demokrasi pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerakyatan “ temannya menyeletuk sambil mencomot sate telur puyuh.
Jelas teman satunya bertambah pusing mendefinisikan arti ideology yang panjang lebar tadi.
Saya teringat pemilu 1986, ketika hanya PDI yang berhak membawa foto dan poster Bung Karno keliling Jakarta. Membuat ibu kota tiba tiba berubah lautan massa merah. Sementara PPP tak kehilangan auranya, dengan meneriakan panji panji agama. “ Fisabililah ,fisabililah “ demikian juru kampanye berteriak di lautan hijau yang menyemut.
Sekarang Prabowo harus nyekar ke makam Bung Karno di Blitar untuk mendapatkan sedikit bagian simbol nasionalisme.
Ya, simbol simbol hubungan batin yang sekarang tidak dimiliki oleh partai dengan massanya. Kepercayaan bahwa partai itu adalah bagian dari lingkungan hidupnya. Bagian dari nafas rakyatnya.
Pemilu di Indonesia ( kecuali pemilu 1955 yag paling demokratis dan tertib ) tak pernah berbicara tentang program partai. Ini menjelaskan, karena pemilu pemilu tersebut bukan adu program yang terbaik. Tanpa simbol simbol, tanpa ada ikatan, mana mungkin tercipta hubungan yang tahan lama.
Masuk akal juga kalau PDIP menguasai Jakarta pada pemilu 1999, lalu gantian PKS dan Demokrat yang memenangkan massa rakyat Jakarta pada pemilu 2004.
“ Jadi terus bagaimana Mas “ tanya kedua mahasiswa tadi yang berharap bisa menyumbangkan sesuatu dengan ikut menyoblos kelak.
“ Tak ada yang salah, jaman sudah berubah “
“ Pemilu bukan masalah ideologi lagi, bukan mengadu program partai. Pemilu adalah hanya bagian dari kegiatan bernegara. Seperti Indonesia ikut konperensi APEC atau menyelenggarakan PON “
“Ah mas terlalu apatis terhadap pesta demokrasi ini “ Celetuk salah satu dari mereka.
Saya hanya terdiam dan diam diam berbisik. Saya memang terlalu peduli dengan Negara ini. Selamanya.
30 Comments
Eka
March 18, 2009 at 11:44 pmPemilu 2009 terasa tawar. Gak punya greget. Ngerasa gak enak sambil ngisi SPT pajak 2008 sambil tahu kenyataan uang pajak dipakai untuk biaya pemilu yang calegnya hampir semua gak jelas. Kesempatan nyontreng nanti saya coba untuk memilih partai atau caleg yang mudah2an bisa bawa amanat dengan baik.
Epat
March 19, 2009 at 3:02 amlha ya itu mas… klo dulu demi ideologi rela berdarah-darah, sekarang jadi senang berdarah-darah hanya untuk seru-seruan dan pamer jagoan
racheedus
March 19, 2009 at 5:36 amKan yang abadi dalam politik hanyalah kepentingan. Ideologi mungkin menjadi urusan nomor sekian bagi para petualang politik yang menyebalkan.
DV
March 19, 2009 at 5:39 amPerang ideologi tampaknya memang sudah terlalu usang untuk diharapkan ada di PEMILU besok, Mas Iman. Semua lebih cenderung memilih terjun ke sisi praktis saja.
Orang sepertinya nggak butuh orasi-orasi ideologis, sementara para pemimpin juga sudah tahu tak bakalan mampu seandainya harus mempraktikkan ideologinya dalam lima tahun waktu pemerintahannya.
Waktu memang semangkin singkat!
ps: saya suka paragraf terakhir, Bos!
Splendid!
peyek
March 19, 2009 at 7:52 amEnding tulisan sampean disadari atau tidak, telah menjadi ideology terbaru mas, ya ideology tak peduli. Dan orang-orang yang berpikir praktis sepertinya akan mengadopsi ideologi ini.
Pragmatis, Hm… mas, karenaya, pandangan saya soal idialisme pribadi yang selama ini saya yakini itu bergeser, nampaknya idealisme pribadi saya dan mungkin juga partai-partai itu hanya cukup berkiprah di atas kertas dan wacana saja, saya mencoba meyakini meskipun ini juga tak selamanya bisa dibenarkan.
Khair
March 19, 2009 at 10:17 amTop…..I like this…
Aku juga bingung apa yang bisa kuperbuat dalam pemilu ini… Hubungan antara partai dengan massanya memang nggak semesra dulu… Ideologi juga hampir gak ada pembatas yang jelas… jadi seperti yang mas bilang pemilu adalah salah satu kegiatan bernegara…
hedi
March 19, 2009 at 10:43 ampemilu cuma buat cari duit, sama kayak PON dan APEC itu…jangan salahkan banyak golput kalo begini
Kunderemp
March 19, 2009 at 11:16 amBahkan PKS yang sudah bertahun2 di DPR pun, program kerja yang ditawarkannya hanya berupa pekerjaan “LSM”. Tidak ada yang salah dengan itu karena mereka mencoba menunjukkan “perduli”, tetapi sebagai wakil rakyat yang punya kekuasaan, kan juga dituntut untuk mengubah melalui sistem.
bangsari
March 19, 2009 at 11:41 amsetuju.
bangsa ini sedang menuju pada ketidakjelasan. dan karena ndak punya kuasa apa-apa, ya mending ndak ikut mikir.
dony
March 19, 2009 at 12:59 pmsaya perduli mas … tapi saya sudah terlanjur kecewa
ketika semua keperdulian kita tidak berjejak …
ideologi ??? kita sudah lupa akan itu mas
lebih menyenangkan kita bermain dengan suatu tema yang sifatnya “baik dan menyenangkan”
menyedihkan (tears)
taufik asmara
March 19, 2009 at 5:34 pmIndonesia sedang kebingungan…
Mampir di blogku ya, Mas.. Ikut ngebahas. Makasih
Neng Rara
March 19, 2009 at 9:18 pmSy termasuk yang sedikit kecewa dengan kampanye terbuka 2 hari kebelakang termasuk hari ini. Kehadiran anak-anak dalam kampanye terbuka sudah jelas dilarang keras, masih tetap terjadi. para caleg kelihatannya masih belum memiliki pola pikir legislator yang memberikan jalan keluar sebuah masalah. Ya..masih janji-janji..
Saya ikut peduli dengan keberhasilan pemilu..moga-moga sukses..deh
@ o ya..ma ksh udh mampir di blog ku mas..
abdee
March 19, 2009 at 9:51 pmsaya jadi inget dengan turnamen kartu truf yang dilaksanakan kala masih kuliah dulu…
turnamen NASAKOM cup…. dengan masing2 peserta harus menyebutkan ideologinya…
maka munculah bermacam2 ideologi… Komunis Religius, Nasionalis Demokrat, dll…
ezra
March 19, 2009 at 10:59 pmiya, spertinya ideologi dalam pemilu tahun ini lebih cenderung ke arah kompromistis. mengikuti selera pasar. idealisme sdh tdk ada lagi.
saya masih bertanya2 what’s the point of all this? lihat saja baliho2 yg berisi foto2 para caleg. begitu sama, begitu seragam. tidak ada yg membedakan mereka antara satu dgn lainnya. begitu pasaran. jadi kenapa kita repot2 melakukan ini?
tukang nggunem
March 19, 2009 at 11:29 pmDitengah ideologi2 parpol yang semakin mengambang ini, saya yakin masyarakat Indonesia sudah mulai lumayan melek politik… setelah melewati pembelajaran2 politik pada pemilu2 yang telah lalu, ditambah lagi dengan genjarnya televisi membantu pendidikan politik lewat siaran2nya, masyarakat Indonesia sudah mulai bisa meraba arah perilaku politik mereka. Melalui sosialisasi politik yang berkesinambungan, masyarakat dapat belajar tentang politik sehingga mampu menentukan sikap terhadap lembaga-lembaga politik tertentu dan bahkan mewujudkannya dalam bentuk perilaku politik. Jadi siap2 saja untuk kejutan yang bakal terjadi di Pemilu nanti…
raden djaka
March 20, 2009 at 11:41 amSaya kok jadi kepikiran tentang Ahmad Wahib ya, apakah dia yang benar ataukah dia terlalu naif ketika memproklamirkan dirinya sebagai seorang generalis yang memandang manusia sebagai manusia, tidak memandang manusia dari kelompok mana manusia itu berasal apakah dia santri, priyayi atau abangan. Dia mungkin benar tapi orang orang seperti ini akan terpental dari politik karena politik adalah tempat dimana orang orang harus berkelompok untuk mencapai tujuan, harus jelas batasnya mana kita dan mana mereka. Orang akan lari ke solidaritas kelompok untuk mencapai kekuasaan sehingga tidak akan pernah ada persatuan yang kekal melainkan persatuan yang semu demi sebuah kepentingan sampai akhirnya kita melupakan gotong royong yang menjadi budaya bangsa.
Rusa Bawean™
March 20, 2009 at 2:19 pmuntuk tahun ini
rasanya tidak mungkin
aku untuk ikut kampanye
meong
March 20, 2009 at 2:46 pmideologi?
what if : kerakyatan dan beyond religion?
arian
March 20, 2009 at 2:50 pmMengutip mas Iman: “ideology sekarang bisa diartikan simbol simbol yang diterima oleh sekelompok orang dan karena sejarah hidup mereka jadi bagian dari diri mereka” maka saya menyimpulkan bahwa ideologi sebagian besar partai sekarang adalah KEKUASAAN.
Iman
March 20, 2009 at 3:46 pmPeyek Gresik,
Mungkin ini justru menjadi pemikiran, bahwa kadang keapatisan tidak melulu diartikan tidak peduli. Justru karena kita memang terlalu peduli.
Ezra, Neng Rara,
Memang ini kembali kepada hati nurani, apakah kita akan menghargai HAK yang kita peroleh dengan ikut mencoblos pemilu atau memang membiarkan apapun terjadi dengan siapa yang memimpin dan siapa yang duduk di parlemen. Saya pribadi , seapatisnya saya..tetap ikut nyoblos sebagai bentuk kontribusi dan tanggung jawa warga terhadap penyelenggaraan praktek bernegara.
lady
March 20, 2009 at 4:35 pmyang jelas masing2 org tentu punya pilihan partai sendiri, meski masih gamang juga apakah partai yang (akan) dicontrengnya itu sesuai dengan hati nurani.
edratna
March 20, 2009 at 7:27 pmHmm pusing juga…apalagi jika memilih caleg, yang tak terlalu kenal…..untuk tanggal 9 April nanti.
peyek
March 20, 2009 at 10:14 pm@ mas iman
Saya setuju mas, karena kita memang terlalu peduli, karenanya kita apatis, saya yakin, ke-apatisan kita mempunyai alasan yang lebih kuat, bisa jadi, jauh lebih kuat dari ideologi itu sendiri.
aLe
March 21, 2009 at 9:28 amJd inget lagu band ku Mas,
Judulnya : Indonesia
Biar walau disatu sisi burukmu
Kau tetap cahaya hidupku
Tak kan kulepas walau hancur
Tak kan kubiarkan kau pergi
Reff : Ku telah bersamamu Indonesiaku
Tanah air tercinta
Kau Indonesiaku, berkibarlah
Kan ku ukir dirimu
*sayang blm rekaman*
Hoho, malah nyanyi neh ^^
Lance
March 21, 2009 at 10:22 pmIdeologi akhirnya hanya sebagai bumbu, bukan prinsip yang diperjuangkan…
biro jasa
March 22, 2009 at 7:48 amkampanye kali ini kaya nya tidak terlalu meriah..tanda masyarakat sudah cerdas???
ichanx
March 23, 2009 at 11:32 amdemi ideologi, dulu tuh tokoh2 partai taun 55 siap untuk hidup miskin… syahrir yang sosialis, natsir yang islamis, hatta yang nasionalis, bahkan aidit yang komunis…. politik dahulu adalah ajang adu ideologi… bukan ajang cari duit kayak sekarang…. 🙂
Nyante Aza Lae
March 24, 2009 at 7:04 pm*Saya memang terlalu peduli dengan Negara ini. Selamanya.*
copas dulu deh mas,keburu laper, mo makan malem…he..he
parlan
April 8, 2009 at 6:58 pmMas Iman, terimakasih atas telah di-approve-nya komen saya di posting “Mencla Mencle”. Walau baru muncul(?) pada H-1 menjelang Pemilu (saya kirim komen 1 April, berarti butuh waktu kira2 seminggu), semoga tetap berguna. Saya menyangka, Akismet mungkin sedang sensitif ya, Mas (apalagi tentu kini sedang sibuk-sibuknya). Apapun, imho, blog sedang dan akan terus menjadi sarana pencatat sejarah yang baik untuk waktu ke depan.
Untuk posting ini, ada sedikit hal yang juga perlu ditanggapi dan diluruskan.
Pertama, saya kutip saja:
Saya malah mengira, itulah (Bersih,
JujurPeduli, dan Profesional) simbolisasi agama (ad-diin?) yang cukup hakiki. Apakah kita mau melangkah mundur lagi ke zaman di mana simbol hanya membungkus pepesan kosong? Bagaimana mungkin, misalnya, ideologi Islam tak menaruh perhatian serius pada karakter bersih, peduli, dan profesional? Lagipula, bukankah citarasa umum dalam tulisan-tulisan di blog ini, juga mendukung penuh hadirnya pratik keagamaan yang melampaui batas-batas simbol, melampaui kerangkeng slogan? cmiiw.Bilapun ingin merasakan nuansa ke-khas-an Islam (dan tentu saja, ke-Indonesia-an) dalam PKS, tentulah Mas Iman dan khalayak sekalian akan mudah merasakannya. Banyak cara, mungkin misalnya dengan menelaah langsung Falsafah Dasar PKS dan Platform PKS.
Kedua, saya kutip juga:
Sekali lagi, Mas Iman, agaknya khilaf dalam membaca sejarah. Untuk soal ini, kita baca saja kutipan dari tulisan Pak Untung Wahono berjudul Piagam Jakarta, PKS, dan Demokratisasi Referensi (Kompas, 14 Des 2004), sebagai berikut:
Juga kutipan yang ini:
Begitu aja. Terimakasih. Mohon koreksi jika ada kekeliruan.
Selamat nyontreng, Mas Iman.
lili
April 14, 2009 at 10:43 amjadi kesimpulannya ideologi partai masih adakah?