Browsing Tag

Kampanye

Keberpihakan media TV dalam Kampanye

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia hasil munas 1993, Megawati Soekarnoputri pernah mengeluh kalau dirinya tak kalah cantik dengan bintang bintang sinetron di TV. Tapi kenapa tayangan wajahnya hampir tak tampak di televisi, baik TVRI atau TV swasta, tanyanya lebih lanjut. Uneg unegnya muncul pada HUT PDI di Denpasar tanggal 16 Mei 1993. Megawati secara terbuka menuntut TVRI agar lebih adil memberitakan berita seputar parpol dan Golkar. Seperti biasa protes itu dianggap angina lalu. “ Biarkan Parpol memprotes, TVRI tetap berlalu “.

Tentu jaman itu, siapa bisa melawan penguasa ? Hasil penelitian Harian Media Indonesia selama 3 bulan, April sampai Juni 1995, bisa sebagai dijadikan sample. Disebutkan TVRI menyiarkan kegiatan Golkar sebanyak 98 kali. PPP 10 kali dan PDI 2 kali. Sementara liputan ketua umum juga tidak seimbang. Harmoko menapat 38 kali. Ismail Hassan 10 kali dan Megawati 1 kali.

Menjelang pemilu 1997, Aliansi Jurnalis Independen mencatat total tayangan TVRI pada bulan Oktober – Desember 1998 adalah : Golkar 34 menit 18 detik. PPP 1 menit 20 detik, dan PDI 3 menit 9 detik. Itu diluar materi berita seperti temu kader Golkar, apel siaga dan sebagainya. Bahkan untuk HUT Golkar pada bulan Oktober 1996 , mendapat tayangan khusus berdurasi 3 jam non stop. PDI malah tidak mendapat ijin, dan massa PPP dikritik karena pawainya menyalahi aturan.

TV TV swasta yang notabene dimiliki patron patron penguasa, sama saja. RCTI , ANTeve. Selama pengamatan AJI 3 bulan itu, PPP hanya sekali masuk RCTI. Itupun berita negative, yakni calegnya yang ditolak Lembaga Pemilihan Umum. Itupun yang diwawancarai bukan orang PPP, tapi direktur BIA. Mayjen Farid Zainuddin.
Secara total RCTI meliput Golkar sebanyak 7 kali selama 8 menit, dan 7 kali di ANTeve selama 7 menit 11 detik. PPP hanya sekali di RCTI selama 55 detik, dan PDI hanya sekali di ANTeve selama 3 menit.

Continue Reading

Dicari : Presiden

Leadership is a potent combination of strategy and character. But if you must be without one, be without the strategy. —Norman Schwarzkopf

Saat Bung Karno dibuang di Bengkulu. Ia memiliki ruangan yang penuh dengan buku buku yang dibawa terus sejak dari Ende, Flores. Bagaimana tidak, hanya buku buku yang dikirim kepadanya, bisa mengurangi rasa kesepiannya. Banyak yang datang meminjam buku buku tersebut, termasuk seorang anak residen Bengkulu.
Ia kerap datang dan meminjam buku buku dari perpustakaan Bung Karno. Suatu hari ia bertanya karena selalu memperhatikan Bung Karno yang rajin membolak balik halaman buku bukunya. Kenapa Bung Karno seperti giat belajar. Jawab Bung Karno, “ Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena insya Allah saya akan menjadi presiden negeri ini “

Kok yakin sekali. Tentu ini bukan asal cuap. Sukarno memiliki segudang track record yang bisa dijual untuk menjadi pemimpin bangsa. Bersaing dengan pemimpin lainnya seperti Hatta, Syahrir atau Cipto Mangunkusumo. Jaman itu belum ada TV, internet, atau koran yang bisa mendongkrak calon calon pemimpin melalui iklan.
Sukarno juga memiliki mimpi untuk membawa rakyat dan negerinya menuju alam kemerdekaan. Bukan sekadar, ramalan. Walau tahun tahun sebelumnya di Ende dia sudah membuat naskah sandiwara berjudul ‘ Indonesia 1945 ‘. Kebetulan ? Entah juga.

Sukarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur dan Mega. Adalah Presiden Indonesia yang terjadi bukan karena kontribusi iklan. Karena situasi, mak jreng. Mereka jadi Presiden. Sukarno karena sudah dikenal, langsung secara aklamasi dipilih oleh peserta sidang PPPKI. Soeharto dipilih MPRS setelah Sukarno mundur. Habibie dan Mega ketiban jabatan karena Presidennya mundur. Gus Dur juga di luar dugaan, akibat kasak kusuk poros tengah. Padahal sehari sebelumnya protocol Istana dan Paspampres sudah berlatih simulasi pelantikan Megawati sebagai Presiden.

Continue Reading

Simbol

Dalam surat kabar ‘ Indonesia Raya ‘ minggu keempat bulan Juni 1968, Soe Hok Gie menulis pengalamannya saat duduk sebagai pimpinan Senat Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saat itu ada resolusi dari golongan nasionalis kiri dan komunis untuk membersihkan senat dari golongan kontra revolusi, yakni HMI – Manikebu.
Ia membela mati matian dan mengatakan bahwa prinsip yang harus ditegakan adalah prinsip kepemimpinan yang sehat dalam dunia mahasiswa. Seorang mahasiswa tidak dinilai oleh afiliasinya, agamanya, sukunya,keturunan maupun ormasnya. Penilaian satu satunya yang dipakai adalah benar atau salah, jujur atau maling, mampu atau tidak mampu.
Mereka saat itu setuju semuanya.

Apa yang ditulis Soe Hok Gie kini merefleksikan hiruk pikuk kampanye di Indonesia. Bahwa opini dan keberpihakan selalu diarahkan kepada kelompok mayoritas ( Jawa dan Islam ). Kita akhirnya terjebak dalam simbol simbol pembenaran absolut.

Continue Reading

Ideologi partai itu

“ Apa yang menarik dari sebuah kampanye, Mas ? “ pertanyaan itu saya dengar antara dua orang blogger mahasiswa yang sedang bercakap cakap di angkringan pinggir jalan.
Temannya terdiam. Bingung menjawabnya kecuali bertanya balik.
“ Lha menurut kamu apanya “
“ Ya ramai ramainya, bagi bagi kaos, nasi bungkus atau bagi bagi uang “ jawabnya asal. Lalu ia melanjutkan “ bahkan ada yang bagi bagi laptop gratis buat mahasiswa seperti kita “.

Tiba tiba saya mendapat pencerahan dari jawaban teman anak muda tadi. Saya mencoba nimbrung sambil mengatakan bahwa yang paling menarik adalah ideologinya.
Mereka malah bingung. Ideologi bukankah sudah usang sergahnya.

Ingatan ini melambung jelas kepada kampanye tahun 1955. Jelas tiap partai memiliki ideology yang diperjuangkan mati matian. Komunis, nasionalis, Islam – tradisional dan modern – Kristen, Katolik, sosialis dan sebagainya. Ada pembatas yang jelas.
Bahkan dalam orde baru hanya 3 partai. Islam, Nasionalis dan Birokrat.

Continue Reading

uang panas dunia kampanye

Ujang Zaenal Abidin ( 40 th ) – Caleg DPRD Lebak tak bakal menduga akhirnya ia menjadi pesakitan hamba hukum. Persoalan bagaimana membiayai kampanyenya yang semakin lama menguras kantongnya, membuatnya mata gelap. Ketika uang habis, satu satunya jalan adalah menjarah kebun kepala sawit milik penduduk desa sebelah.
Pemilu sudah merupakan investasi dan banyak orang yang terlibat berusaha meraup kemakmuran melalui ajang lima tahunan ini. Perputaran uang dalam kampanye sangat tinggi. Tidak salah forecast dari pertumbuhan ekonomi mikro tahun 2009 akan banyak berasal dari dana politik. Termasuk industri kreatif, seperti cetak kaos, film iklan sampai media penanyangan.

Tidak ada angka pasti berapa uang yang telah dikeluarkan setiap partai, kandidat Presiden atau caleg. Tak ada yang tahu nilai ladang minyak Hashim Djojohadikusumo di Kazakshtan yang dijual untuk biaya kampanye kendaraan politik kakaknya., Prabowo. Ada yang bilang antara ratusan sampai diatas satu milyar dollar.
Seorang anggota DPR , anggota Partai penguasa dan sekaligus bintang iklan mengatakan kepada saya. Partainya telah menggelontorkan hampir 250 milyar sampai bulan ini saja. Padahal masih ada hitungan 6 bulan kedepan sampai pemilihan Presiden. Sementara secara pribadi untuk biaya kampanye dirinya sendiri sebagai caleg DPR periode kedepan, si tokoh ini sudah menghabiskan dana 250 juta rupiah.

Continue Reading

Selamat datang Kampanye

Suatu hari IJ Kasimo, pendiri Partai Katolik bersama Frans Seda dipanggil Pak Harto ke Bina Graha tahun 1973. Sambil ngobrol ngalur ngidul, Pak Harto lalu mengatakan akan membuat keputusan dengan menyederhanakan jumlah partai yang begitu banyak saat itu menjadi hanya 3 partai. Yang mewakili Islam, Nasionalis dan Golongan Karya.
Partai Katolik dipersilahkan melakukan fusi – melebur – dengan partai Kristen, partai murba , dan partai partai nasionalis seperti PNI.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Jalan Borobudur, ia berpikir keras. Bagaimana mungkin ‘ partai baru ‘ ini bisa berjalan. Secara ideologi partai Katolik berbeda dengan PNI. Bahkan dalam jamannya Bung Karno, Partai Katolik bersama partai Islam lainnya ( minus NU ) menolak konsepsi Presiden tentang demokrasi terpimpin yang diwakili PKI, NU dan PNI. Namun siapa bisa menolak keputusan Pak Harto saat itu.
Sejarah telah digulirkan. Partai Persatuan Pembangunan , Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia menjadi representasi demokrasi orde baru.

Continue Reading