Blogger vs SBY

London tahun 1579. Seantero Kerajaan Inggris Raya heboh karena ada pamflet yang berisi menanyakan benar tidaknya desas desus perkawinan Ratu Elizabeth I dengan seorang bangsawan Perancis. John Stubbe sebagai penulis dan Hugh Singleton sebagai pencetak mempertanyakan apa logikanya bersatunya dua pemimpin yang selalu berperang itu.

Ratu marah karena ada orang yang berani mengomentari kekuasaannya. Keduanya masuk penjara dengan tuduhan menyebarkan berita bohong yang dikategorikan sebagai pemberontakan. Kelak keduanya dijatuhi hukuman potong tangan kanan. Stubbe tetap setia terhadap ratu. Bahkan ia menghormati ratu dengan tangan kirinya kelak. Sementara hukuman untuk Singleton dibatalkan. KIsah itu adalah catatan sejarah ketika pertama kali hukum – penguasa – bisa menuntut seseorang ke dalam penjara atas dasar tulisan yang dibuatnya.

The Charter oh human rights and principles for the internet yang dikembangkan oleh Internet Rights and Principles Coalition, pertama mendefinisikan kebebasan online untuk berekspresi termasuk kebebasan untuk menyatakan protes, kebebasan dari penyensoran, hak atas informasi, kebebasan media, dan kebebasan dari kebencian ( hate speech ).
Visioner sejak awal membayangkan internet sebagai dunia tanpa batas, di mana aturan hukum dan norma-norma sehari hari tidak berlaku. Kebebasan berekspresi telah dibayangkan sebagai hak, sebuah fitur dari dunia maya.
Pertanyaannya kebebasan yang bagaimana ?

Ini menjadi berita ketika seorang blogger Kompasiana, Sri Mulyono harus menghadapi somasi yang dilayangkan oleh pengacara yang ‘diduga’ mewakili Presiden SBY. Somasi terkait tulisan Sri Mulyono di Kompasiana berjudul “Anas: Kejarlah Daku Kau Terungkap“. Sang penulis blog berdalih, kebebasan berekpresinya telah terciderai dengan somasi ini. Secara tidak langsung ia menggalang dukungan dan simpati dari para kompasianer, Blogger Kompasiana melalui postingan berikutnya.

Namun menariknya, tidak semua blogger merasa harus mendukungnya. Bahkan banyak yang meminta agar Sri Mulyono membuktikan bahwa apa yang telah ditulisnya. Fenomena ini menunjukan bahwa solidaritas blogger tidak sepenuhnya harga mati. Hal ini karena perseteruan yg terjadi lebih kental ‘aroma’ politiknya daripada sekadar ancaman terhadap kebebasan blogger itu sendiri. Sri Mulyono adalah seorang aktivis dari ormas PPI – Perhimpunan Pergerakan Indonesia bentukan Anas Urbaningrum yang kini menjadi lawan SBY.

Sri Mulyono sendiri menantang SBY untuk membantah tulisannya dengan tulisan lain. Menurutnya, tradisi berpolemik melalui tulisan merupakan budaya para tokoh kebangsaan di era pergerakan nasional saat memeperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Budaya intelektual yang terus dilestarikan, untuk pembelajaraan politik bagi masyarakat.

Tentu implikasi sebuah tulisan di internet tidak sederhana itu. Apakah fakta atau berita fitnah bisa disikapi dengan hanya dengan hak jawab atau bantahan, ketika berita awalnya sudah tersebar secara viral.
Membandingkan dengan analogi polemik Sukarno dan Hatta di koran “ Fikiran Ra’yat “ pada awal tahun 1930an, juga tidak sepenuhnya tepat, kalau berkaca pada efek viral sebuah pemberitaan. Jaman itu hampir 95 % rakyat Indonesia buta huruf, sehingga tuduhan Hatta, bahwa Sukarno seorang yang lemah dan cengeng atau tuduhan Sukarno bahwa Hatta pengkhianat karena menerima tawaran menjadi anggota Partai Sosialis Merdeka ( Onafhankelijke Socialistisch Partij ), hanya dapat dibaca segelintir kalangan terdidik. Sementara Indonesia Internet Survey 2013 yang dibesut oleh Merketeers bersama MarkPlus Insight, mencatat 74 juta orang pengguna internet.

Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan uji materil 2 pasal UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 ( ayat 3) UU ITE yang menyebutkan. ‘ Setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ‘.
Dalam sidang dipimpin sang ketua sendiri. Moh. Mahfud MD beralasan, korban yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu lama. Dampak pencemaran nama baik ini atau penghasutan lewat internet begitu luas. Tak ada batas ruang dan rentang waktu. Demikian dalil MK.

Prof Oemar Seno Adjie
mengatakan jurnalisme yang bertanggung jawab hanya jika isinya tidak menyinggung masalah penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama, pornografi, berita bohong, tidak menyiarkan berita yang mengganggu keamanan nasional dan pemberitaan yang menghambat jalannya peradilan.

Blogger sebagai bagian dari jurnalisme warga bisa memakai rambu rambu tersebut. Seorang penulis harusnya sudah memikirkan segala implikasi yang mungkin timbul ketika dia menerbitkan postingan. Bahwa ada orang yang akan mempertanyakan keabsahan atau benar salah tulisannya. Tanggung jawab itu melekat sejak dia memikirkan konsep tulisan.

Disisi lain somasi atau tuntutan hukum bisa dipandang berlebihan karena berpotensi memasung kebebasan mengemukakan pendapat. Lebih jauh lagi, bisa saja sebuah tulisan dianggap mengandung muatan pencemaran atau penghinaan, dari kaca mata personal yang subyektif. Ini seperti pasal karet semacam Hatzaai Artikelen yang kerap dipakai penguasa orde baru.
Sebagai blogger kita bisa cemas, kalau ada yang tidak menerima bentuk tulisan kritis dalam blog. Padahal Blog bisa menjadi wadah untuk menyalurkan keluhan terhadap keseharian, pelayanan publik, penipuan produk atau hak warga Negara.

Sebenarnya soal pencemaran nama baik atau penghinaan telah diatur oleh KUHP pasal 310 dan 311. Kontsitutusi kita telah mengenal dan mengakui adanya kekebasan pers. Dalam pasal 28 UUD 45 menegaskan adanya kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, yang lain tidak lain adalah kemerdekaan pers. Jika ini induk dari segala bentuk undang undang di negeri ini mestinya UU yang yang bertentangan harus batal demi hukum.

Dalam kehidupan demokrasi saat ini, kita memang tidak bisa melarang hak hak orang yang terganggu dengan sebuah pemberitaan. Adagium balaslah sebuah kritik tulisan dengan tulisan lain memang masih relevan. Alih alih somasi atau legal action, sebaiknya perselisihan bisa dicoba memakai acuan delik pers jika terjadi perselisihan. Jika tidak puas baru maju ke pengadilan.
Sebagaimana yang dikatakan Frank La Rue, The internet is a “ plaza publica ‘ – a public place where we can all participate – Namun kita harus sepakat bahwa partisipasi publik itu harus diimbangi dengan tanggung jawab.

You Might Also Like

7 Comments

  • orbaSUCK
    January 8, 2014 at 2:14 am

    There was a time when Indonesia had intellectuals, but now all we’ve got are bloggers.

  • farizalfa
    January 10, 2014 at 8:40 am

    kadang-kadang undang-undang itu rancu banget, ada satu undang2 yang ngebolehin dan ada pula yang ngelarang. kan jadi serba salah aja kita jadi manusia jadinya kan. hehe

  • didi
    January 20, 2014 at 11:56 am

    Namanya juga undang2 buatan manusia, terserah manusianya dong

  • Ade
    February 3, 2014 at 10:31 am

    Setuju banget pada kata-kata terakhirnya: “Partisipasi publik itu harus diimbangi dengan tanggung jawab.”

  • okeyprofitsrama
    February 7, 2014 at 7:43 pm

    Association Grant Fund Treasure Indonesia – AGFTI
    Click the link here Asset Indonesian Assets
    http://okeynotes.com/index.php/blogs/3527/536/gambar-asset

  • ~Sati~
    May 12, 2015 at 9:09 am

    Saya termasuk salah seorang yang mengunggulkan kebebesan dalam berpendapat dan berkreasi lewat tulisan, namun bertanggung jawab. Jangan hanya karena bebas, jadinya malah kebablasan. Yang penting tulisan tersebut bisa dia pertanggung jawabkan jika ada pihak yang merasa dirugikan 😀

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:51 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*