Beberapa catatan tahun ini, diantaranya kekerasan terhadap agama agama minoritas masih merupakan catatan serius yang harus diperhatikan.
Tentu saja yang paling banyak menyita perhatian adalah kasus GKI Yasmin yang sepanjang tahun hampir mendominasi pemberitaan time line setiap minggu pagi.
Puncaknya hari Natal. Aparat menutup jalan menuju lokasi dan para pendemo massa Islam garis keras berteriak teriak menolak kehadiran jemaat yang ingin berdoa di hari Natal.
Sejarah kekerasan terhadap agama Kristen sudah terjadi sejak dulu. Ketika pasukan Mataram menyerang benteng garnisun VOC di Kartasura tahun 1741. Mereka menawan Komandan VOC, Kapten Johannes Van Helsen serta anak buahnya. Orang orang Eropa yang menyerah diberi pilihan. Bergabung dengan Mataram dan wajib konversi agama Islam atau yang menolak – menghadapi hukuman mati.
Banyak prajurit Eropa yang memilih pindah ke agama Islam sementara Van Velsen menolak dan dihukum mati. Kemudian benteng VOC di Kartasura di hancurkan.
Sebenarnya tidak melulu monopoli Islam. Kerajaan Portugis dan terutama Spanyol, membawa pesan Raja Ferdinand serta Ratu Isabella untuk membawa pesan untuk mendirikan kerajaan Tuhan di seluruh muka bumi. Tidak heran, bekas bekas jajahan Portugis atau Spanyol umumnya beragama Katolik.
Jauh sebelum sekarang, Pada tahun 628 Nabi Muhammad SAW mengeluarkan Piagam Anugerah kepada biarawan St. Catherine Monastery di Mt. Sinai . Berisi beberapa klausul yang melingkupi aspek-aspek hak asasi manusia termasuk perlindungan bagi umat Kristen, kebebasan beribadah dan bergerak, kebebasan untuk menunjuk hakim-hakim dan menjaga property mereka, pembebasan dari wajib militer, dan hak untuk dilindungi dalam perang.
Ini menjadi tragis karena pemimpin kita sendiri, Presiden SBY acap kali ragu dalam menjalankan konstitusi, khususnya kebebasan beragama. Dus pendirian gereja Kristen Yasmin yang secara notabene sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, setelah MA menganulir keputusan Pemkot Bogor.
Pertanyaan selanjutnya. Bagi umat Islam, apakah ini salah satu bentuk ketakutan terhadap eksistensi agama lain ?. Perasaan itu akan hilang, dengan memaksa mereka pindah agama atau menolak kehadiran gereja di tanah tanah lingkungan kita. Bangsa sendiri. Bagaimana dengan konsep perlindungan atau pengayoman terhadap mereka yang minoritas ?
Ahmad Wahib, seorang pemikir Islam yang mati muda karena ditabrak seorang pengendara motor, sudah menulis tentang ini Haruskah Aku Memusuhi Mereka yang Bukan Islam dan Sampai Hatikah Tuhan Memasukan Mereka ke Dalam Api Neraka ? – September 1969
Persoalan bangsa ini semakin pelik, ketika rakyat tersandera dengan pat gulipat sandiwara politik elite. PNS yang rekeningnya bermilyar milyar. KPK yang sepertinya mandul ketika berhadapan dengan tembok inner circle penguasa.
Tiba tiba saya takut Abraham Samad akan menjadi Don Qixot dan segala macam tekadnya yang kelihatan ‘ keras ‘ ketika dilantik, sepertinya akan sirna. Kutipan wawancaranya. “ Menteripun akan saya tangkap “ sepertinya bisa sia sia. Agak sulit membayangkan dia seperti Jaksa Soeprapto yang menangkap Menteri luar negeri Ruslan Abdul Gani jaman Bung Karno dulu.
Belum lagi ocehan seorang Nazaruddin bisa dianggap gila. Setelah Nunun tertangkap, Adang Djorojatun rajin berbicara setelah sekian lama berdiam diri. Tapi dia juga takut takut, karena bukan Miranda Gultom saja. Ada kekuatan pengusaha besar yang dia sebut sebagai sponsor penyedia uang yang dia tak berani bilang.
Sementara kekerasan terjadi dimana mana. Baik kekerasan aparat – baca : negara, terhadap rakyat. Mesuji, Freeport dan Bima adalah tempat yang mengingatkan kita, bahwa aroma rezim orba tiba tiba ada di sekitar kita. Ketika korporasi kong kalikong dengan aparat.
Jauh sebelum ini, bahkan jauh sebelum kemedekaan. Bung Karno sudah mendiskripsikan bahwa imperialisme kelak juga datang bukan dalam bentuk negara, tetapi perusahaan perusahaan partikelir dalam sistem exploitation de I’homme par I’homme. Ekploatasi manusia oleh manusia sendiri.
Barangkali Sondang – mahasiswa Universitas Bung Karno – merupakan representasi rakyat yang putus asa, tidak tahu harus bagaimana untuk memprotes keadaan semua ini. Kecuali membakar diri.
Tahun 60an, seorang biarawa Buddhis asal Vietnam Selatan, Thic Quang Duc sudah melakukan aksi bakar diri untuk memprotes rezim Vietnam Selatan. Konon, hatinya masih basah dan utuh, tidak seperti bagian tubuh lainnya yang hangus gosong. Sehingga hati itu disimpan di sebuah kuil Buddha di sana.
Saya tak tahu apakah bagaimana proses pembakaran Sondang, apakah dia meronta ronta kesakitan atau seperti Thic Quang Duc, yang tetap bersila tegak, seperti posisi bunga lotus. Dan saya tak ingin tahu. Terlalu tragis.
Keduanya sama. Gerakan aksi bakar ini tak pernah bisa meruntuhkan kekuasaan. Ini hanya saksi bisu sebuah negara yang muram.
Saya berharap agar saya tidak membayangkan sebuah negara gagal karena rakyatnya putus asa. Semoga tidak. Toh, hampir seratus lima puluh tahun kemudian. Mangkunegara VI sebagai penerus salah satu dinasti Mataram, memberi ijin kepada keluarganya di Pura Mangkunegaran yang ingin memeluk Kristen. Bagi Sri Mangkunegara VI, konsekuensi logis dari berpikir merdeka adalah mengakui pluralisme.
Selalu ada harapan untuk hidup yang lebih baik di negeri ini. Selamat tinggal 2011. Selamat datang 2012.
14 Comments
DV
December 27, 2011 at 10:48 amMencerahkan! Optimis masuk 2012 ah, semoga semua lebih baik!
tikno
December 27, 2011 at 11:44 amSemoga 2012 lebih baik. Mengingat ramalan / isu kiamat di tahun ini semoga banyak yang tobat.
Wazeen
December 27, 2011 at 12:19 pmtentang ibadah natal GKI Yasmin di hari minggu kemarin, masyarakat sekitar justru tahunya kalau aparat melindungi prosesi kebaktian, tapi faktanya justru sebaliknya, aparat yang membubarkan kebaktian, atas desakan ‘masyarakat sekitar’, benar2 aneh.
Ceritaeka
December 27, 2011 at 1:37 pmKata mamaku, harus lebih banyak berlutut berdoa..
Semoga tahun depan lebih baik, semoga…
sabai
December 27, 2011 at 8:45 pmmengutip lirik lagunya Koil: inilah negeri bodoh yang terus kubela 🙂
Makanya nggak salah kalo ada yang bilang bahwa nasih seseorang memang ditentukan oleh geografis, dimana dia dilahirkan.
Dede
December 28, 2011 at 8:20 amtak tau harus berkomentar apa, sebagaimana tak tahu harus berbuat apa di negeri ini, ketakutan akan persolana ada menjadikana manusia melupakan hal-hal yang ada disekitarnya.
makasih atas catatannya.
Rusdy
December 28, 2011 at 11:34 am“…Selalu ada harapan untuk hidup yang lebih baik di negeri ini…”
Pluralisme, mungkin memang jawabannya untuk negri ini. Masalahnya, bagaimana melaksanakan pluralisme di lapangan, sepertinya susah juga. Ketika kita memaksakan pandangan ‘pluralisme’ kita ke kaum ‘non-pluralisme’, kita melanggar ide pluralisme itu sendiri.
Contoh; saya bukan perokok. Teman kos saya perokok berat. Berhubung kami berdua memiliki semangat pluralisme, kami berdua tidak saling membantai atau saling nge-bom. Melainkan, melalui proses musyawarah dan berdasarkan pancasila, kami berdiskusi bagaimana melaksanakan hidup kos-ngekos agar tentram dan nyaman.
Masalahnya, kami tidak memiliki titik temu. Bagi teman saya yang perokok berat ini, sangat esensial baginya untuk selalu ngerokok, baik di toilet, dapur, sambil makan, nonton tepe, dll. Sedangkan, saya sama sekali tidak mau merokok, baik aktif maupun pasif. Saya tidak bisa memaksakan filosofi ‘paru-paru sehat’ saya ke dia. Dia juga tidak bisa memaksakan filosofi ‘hidup nikmat hari ini’-nya ke saya. “Kan pluralisme”, kata kami berdua.
Berhubung nggak ada titik temu, akhirnya, kami mendirikan partai politik. Ketika salah satu partai politik lebih kuat, yang minoritas akhirnya ngambek. Eh, timbul deh kaum ekstrimis. Mulai deh saling bom2an.
Yang lain, pada komplen, “Nape sih nggak bisa hidup tentram damai? Wong masalah sepele gini aja kok sampe bunuh2an? Mana semangat pluralisme-mu, ajaran kakek-nenek moyang pendahulu kita?”. Yang extremist nggak mao kalah pinter dan ngejawab, “Loh, justru kita melaksanakan ajaran pluralisme. Kalo kami semua setuju denganmu, itu bukan pluralisme, tapi mono-isme! Hormatilah kami yang extremist, kami juga punya hak! Situ punya hak hidup tentram damai, kami juga punya hak membela merokok (atau tidak merokok) sampai mati!”
Cape dee…
Jadi panjang gini yak komennya? Mao ngutip salah satu buku bijak aja deh buat nutup komen:
“…Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat
bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu…”
Alex©
January 1, 2012 at 4:08 amKalau SBY memang nggak bisa diharapkan ketegasannya. Agaknya tahun 2012 akan tetap sama. Aku pesimis karena ini soal sifat, soal karakter, yang tak semudah mengganti perpres.
Dari pihak lembaga hukum tinggi sendiri, seperti MA, ombudsman, juga tak banyak bisa diharap. Tak ada tekanan apa-apa. Bahkan seorang Menag pun bisa enteng bilang bahwa itu cuma soal kurangnya sosialiasasi oleh Pemkot Bogor mengenai keputusan MA.
Yang menggelitik itu justru “paksaan” untuk relokasi dengan anggaran tinggi. Berapalah biaya bangun gereja? Katakanlah 1 M saja. Tapi Pemkot Bogor menganggarkan 3,5 M, sebuah angka yang sangat dibutuhkan oleh banyak tuntutan lain: kesehatan ataukah pendidikan. Sudah jelas jemaat GKI Yasmin menolak relokasi, tapi ngotot juga. Ada apa? Permainan tender? Permainan anggaran? Berbau uang dengan dalih menjaga ketertiban antar umat beragama. Sehingga, aku sendiri memandang ini tak lebih dari trik lama macam dimainkan di jaman Pam Swakarsa: militankan ormas Islam, bikin isu agama, dan kucurkan uang untuk dibagi-bagi. Kasar-kasarnya, seperti hubungan mesra antara mantan petinggi Polri dengan ormas Si Habib.
😆
Bukankah itu sebab Abraham Samad “ditakdirkan” menduduki posisi tersebut? Hehehe.
Efek dari perbuatan Sondang membakar dirinya, memang belum kelihatan sampai saat ini. Apakah ini karena rakyat juga sedang jenuh, plin-plan, atau sudah masa bodoh. Atau memang karena ada isu-isu baru silih berganti (yang salah satunya juga ada peranan socmed, hingga joke garing Olga pun menjadi alternatif isu lain dibanding Mesuji). Tapi, soal meruntuhkan kekuasaan, apa yang dilakukan Quang Duc di Vietnam dulu berpengaruh besar. Silakan dicek di sini. Mungkin faktor ketokohan juga menentukan. Walau pun belum pasti, jika Syafi’i Ma’arif dan Romo Benny bakar diri berjamaah lalu kekuasaan akan runtuh. Toh, esensi dari aksi bakar diri mereka -baik Sondang, Quang Duc atau biksu di Tibet- bukanlah untuk meruntuhkan kekuasaan secara langsung. Tapi menjadi simbol dari sebuah protes. Dan kukira itu makna sebuah protes.
Apapunlah, mungkin saja memang ada harapan lebih baik bagi negara ini di tahun 2012 ini. Semoga saja. Selamat tahun baru, Mas Iman.
Amril Taufik Gobel
January 2, 2012 at 3:23 pmSemoga tahun 2012 jauh lebih baik dari 2011. Selamat Tahun Baru mas Iman!
pararang
January 6, 2012 at 10:30 pmsemoga tahun 2012, menjadi tahun yang lebih baik u/ bangsa ini.
edratna
February 17, 2012 at 11:16 amSemoga tahun 2012 lebih baik mas…soalnya kalau pesimis nanti ndak kena tambahan penyakit.
felix
February 26, 2013 at 2:02 pm@Rusdy,, komen anda cukup sederhana tp berbobot..ijin share y..thx
nike free run 2
February 10, 2014 at 6:02 amnike free run 2…
Potret Buram 2011 – Catatan Kaleidoskop | Iman Brotoseno…
ibas
October 10, 2023 at 11:13 amgood article, thank you