Browsing Category

TOKOH

Bung Karno & TVRI

 

Ide tentang siaran Televisi sudah dipikirkan Bung Karno sebelum Pemilu tahun 1955. Hanya saja situasi politik saat itu masih belum mengijinkan pembentukan televisi nasional dan proyek itu masih dianggap terlalu mahal, sehingga harus ditunda. 

Tapi menjelang perhelatan Asian Games IV tahun 1962, mantan Menteri Olahraga Maladi mengingatkan kembali Bung Karno tentang pentingnya kehadiran televisi. Maladi percaya bahwa siaran olahraga melalui televisi akan membangkitkan nasionalisme dan kebanggaan bangsa yang sempat dikacaukan berbagai gejolak pada awal kemerdekaan Indonesia. 

Bung Karno saat itu melihat tidak ada masalah dengan pendanaan karena Indonesia memilki dana pampasan perang dari Jepang. Dengan televisi, masyarakat di pelosok tanah air tak cuma mendengar suara tapi bisa melihat bagaimana para atlet Indonesua berjuang di pentas olahraga terbesar Asia itu. 

Sebagai seorang yang sudah keliling dunia, tentu Bung Karno paham bagaimana peran televisi, sebagai sebuah sarana untuk menunjukan kebesaran bangsa Indonesia ke seluruh dunia. Ia menggambarkan televisi sebagai alat untuk pembangunan bangsa, revolusi, dan pembentukan manusia Indonesia.  

Continue Reading

Mengenal Kuba

Terik matahari menyengat begitu menjejakkan kaki di terminal kedatangan Bandara Jose Marti, Havana yang sepintas seperti bangunan tua Halim Perdana Kusumah. Udara panas yang menyentuh 38 derajat Celcius tak menghalangi antusias yang meluap luap karena akhirnya bisa mengunjungi negara Kuba.

Negara yang terletak di kawasan Karibia ini terasa akrab bagi karena hubungan sejarah kedua negara, terutama periode perang dingin. Gambar gambar keakraban Bung Karno dan Fidel Castro banyak memenuhi literatur sejarah. Bahkan Bung Karno adalah kepala negara pertama yang mengunjungi Kuba pada tahun 1960 sejak Fidel Castro menggulingkan Rezim Batista yang tiran dan didukung Amerika.

Perjalanan memasuki Ibu kota Havana, kita melihat dominasi bangunan dan rumah tua yang mengesankan negeri yang terbelakang. Jalanan sepi dengan mobil yang tak terlalu banyak, sehingga hampir tak pernah ada kemacetan. Beberapa warga tampak antri di pinggir jalan menunggu kendaraan umum. Perjalanan tak sampai 45 menit sudah memasuki pusat kota yang terbagi dua antara Old Havana dan New Havana.

Khususnya bagian Old Havana memang tidak banyak mengalami perubahan sejak dulu hingga saat ini. Sementara bagian New Havana mulai tumbuh dengan munculnya beberapa gedung baru seperti perkantoran atau Hotel. Namun menurut penuturan warga, secara umum tidak banyak yang berubah sejak era Batista.

Old Havana merupakan bagian dari sejarah panjang sejak era Spanyol di Kuba. Bangunan bangunan tua eksotis masih berdiri tegak dan menjadi denyut nadi kehidupan warga Havana. Fidel Castro tidak membangun atau mengubah struktur lingkungan dan arsitek di kawasan kota. Walau beberapa tempat terkesan kumuh, karena penduduk Kuba umumnya berada dalam garis kemiskinan, namun kawasan ini menjadi obyek wisata yang paling sering dikunjungi turis mancanegara.

Para penduduk menyewakan rumahnya untuk wisatawan yang ingin bermalam. Turis turis berjalan dengan nyaman dan aman, karena angka kriminal sangat rendah disini. Ada pameo di Kuba bahwa orang lebih takut dengan penjara daripada neraka. Beberapa polisi terlihat berjaga jaga di pojokan. Memang turisme menjadi sumber pendapatan utama setelah ambruknya Uni Sovyet yang menjadi penyokong utama perekonomian Kuba. Dengan embargo ekonomi dari Amerika saja, jumlah turis yang datang bisa mencapai 4 juta orang pertahun.

Continue Reading

Peran Tionghoa dalam keprajuritan dan pertempuran di Indonesia

Prabowo mengingat jaman di Timor Timur, ada 2 sukarelawan Tionghoa yang ikut bertempur bersamanya tahun 1978. Domingus asal Ossue dan Roberto Lin Lin Kai dari Vikeke. Mereka ikut bertempur tanpa jabatan, tanpa ikatan dinas demi merah putih.

Mantan KSAL Bernard Sondakh punya kisah menarik tentang seorang perwira etnik Tionghoa yang berdinas di KRI. Masa itu persoalan rasial masih sangat terasa. Perwira ini sering diejek dengan panggilan ‘ Cino ‘ dan disepelekan oleh teman temannya. Suatu hari ada kebakaran di kamar mesin, dan semua berlarian mencari selamat. Justru si ‘ cino ‘ ini yang seorang diri masuk ke kamar mesin, berjuang memadamkan api. Setelah api padam, dengan baju kotor ia berkata di depan Komandan dan teman teman perwiranya, “ ternyata hanya perwira Cino yang tidak takut mati “. Sayangnya karena kekecewaan yang berat, kelak ia meminta berhenti dari TNI AL.

Persis cerita di atas, Ben Sondakh melanjutkan, kisah seorang perwira Marinir etnik Tionghoa yang paling berani dalam pertempuran di Timor Timur. Dia yang selalu diejek, ternyata menunjukan keberanian yang luar biasa. Sayang akhirnya gugur dalam pertempuran jarak dekat.

Mantan gubernur Sumatera Selatan, Asnawi Mangkualam pernah menuturkan pengalamannya dalam ‘ Perang kota 120 jam ‘ di Palembang 1 Januari 1947. Saat itu ia masih Letnan bersama Kapten Makmun Murod dan Kapten Ryacudu memimpin laskar rakyat menghadapi Belanda yang menyerbu Palembang. Ia mengenang ada satu anggotanya keturunan Tionghoa yang bernama Sing yang berbaur bersama rakyat lainnya, bertempur untuk negerinya. “ Pak As, saya kena “ Segera Letnan Asnawi menyambut tubuh Sing yang hampir rubuh dengan dada berlumuran darah. Akhirnya Sing meninggal karena luka yang parah.

Tahun 1950, setelah menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda, negeri ini melakukan pembangunan segala bidang termasuk pertahanan. Maka TNI AU membuka pendaftaran menjadi pilot pesawat . Setelah melalui seleksi dari 300 peserta, dipilih 60 pemuda pilihan yang akan diberangkatkan ke sekolah pilot Transocean Air Lines Oakland Alameda ( TALOA ) Academy of Aeronautics di Bakersfield California. Mereka adalah instruktur dan navigator dari pilot pilot generasi awal TNI AU. Diantaranya Omar Dhani, Saleh Basarah, Sri Mulyono Herlambang dan juga 2 orang etnik Tionghoa. Gan Sing Liep dan The Tjing Hoo.

Nama mereka tercatat dalam sejarah resmi TNI AU sebagai navigator pesawat Hercules dalam konflik Trikora. Saat itu dilakukan operasi penerjungan di daerah sekitar Merauke yang didukung 3 pesawat Hercules. Kedua perwira Tionghoa tadi menjadi navigator di 2 pesawat tersebut.

Kapten Benny Moerdani yang menjadi komandan dalam operasi Naga, sempat memancarkan kekuatiran sebelum lepas landas. Barangkali pertama kali, ia harus melakukan operasi lintas udara di daerah musuh yang sama sekali buta. Letkol Udara Moh Slamet lalu menghampiri Kapten Benny Moerdani. “ jangan khawatir, saya pilihkan the best navigator – Mayor Gan “. Rupanya di kalangan AURI, Mayor Gan dikenal sebagai navigator terbaik.
Gan Sing Liep yang lahir di Tuban 1928 kemudian berganti nama menjadi Sugandi. Ia pensiun dalam pangkat Marsekal pertama, serta dimakamkan di TMP Kalibata.

Continue Reading

Ternyata Jokowi – Ma’ruf Amin

Tiba tiba nama cawapres yang diusung Jokowi berubah dan begitu mengejutkan semua pihak. Betapa tidak, sebelumnya sebagian meyakini Mahfud MD adalah kandidat yang diinginkan Jokowi, dengan persetujuan Partai koalisi.

Sebagaimana yang tersebar di group WA, diirencanakan Jokowi dan Mahfud MD akan mendeklaraksikan pencalonannya di Pelataran Menteng, dimana sempat disebut Tugu Proklamasi sebagai tempat acara. Ranah social media berlomba lomba memberitakan sosok mantan Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. Saya seketika membuat tulisan blog berjudul “ Berharap pada Jokowi – MMD “.

Ada yang memposting foto selfie atau pose bersama Mahfud MD, sebagai kebanggaan bahwa beliau akan menjadi calon wakil Presiden. Sejam sebelumnya, Mahfud diwawancara ketika akan keluar rumah menuju Pelataran Menteng. Ia mengatakan telah diberi tahu Mensesneg, Pratikno agar menyiapkan semua menjelang deklarasi, termasuk memakai baju putih baru.
“ Ini merupakan panggilan sejarah, ketika pilihan jatuh ke saya “ demikian Mahfud menjelaskan kepada awak media.

Mahfud segera bergegas bersama rombongannya menuju rumah makan Tesate yang terletak di seberang Pelataran Menteng. Bahkan sekjen PSI, Raja Antoni telah memposting foto selfie dalam mobil dimana Mahfud yang duduk di belakang, tampak mengacungkan kedua jempolnya. Rencananya rombongan akan menunggu disana, sampai Presiden Jokowi tiba di Pelataran.

Namun sejarah tak pernah berpihak kepada Mahfud. Tiba tiba dia mendapat berita dari istana, dan mendadak ia mengatakan kepada rombongan untuk pulang kembali ke rumah.
Apa yang terjadi ?

Continue Reading

Berharap pada Jokowi – MMD

Beberapa hari setelah setelah sidang tahunan MPR pada tahun 2000, Moh Maffud MD diminta Sekretaris Negara, Djohan Effendi untuk datang menghadap Gus Dur. Akhirnya pertemuan mereka bukan di Istana
Negara, tapi di Jalan Irian No 7 Menteng. Gus Dur dan Alwi Shihab menerima Mahfud dengan hidangan kacang rebus, jagung rebus dan tempe goreng. Yang sangat mengesankan bagi Mahfud adalah, setelah enam belas tahun tak pernah bertemu atau saling kontak, ternyata Gus Dur masih mengingat dan memperhatikan track record pekerjaan Mahfud.

Dalam pertemuan ini, Gus Dur menawari jabatan Menteri Pertahanan yang mana sempat dikira Mahfud adalah Menteri Pertanahan, sehingga ia nyeletuk apakah Menteri Pertanahan yang terakhir dijabat Hasan Basri Durin akan dihidupkan kembali.
“ Bukan Menteri Pertanahan, tapi Menteri Pertahanan ‘ Jawab Gus Dur.

Mahfud diminta untuk menata persoalan militer di Indonesia sesuai dengan tuntutan demokrasi. Lebih tegas, Gus Dur meminta agar masalah militer harus diatur dengan hukum disertai langkah nyata untuk memposisikan secara tepat dalam politik dan ketatanegaraan.
“ Antum tahu bagaimana seharusnya militer itu diatur menurut hukum tata negara ‘ Kata Gus Dur.

Mahfud MD menjadi grogi karena tiba tiba harus berhadapan dengan militer yang sekian periode menjadi sosok tak tersentuh dalam tatanan politik Indonesia. Ia lalu menawar ke Gus Dur agar ia menjadi Menteri Kehakiman dan Yusril yang menjadi Menteri Pertahanan. Tapi permintaannya ditolak. Kembali Mahfud meminta agar jadi sekretaris Kabinet saja, dan Marsilam Simanjuntak yang jadi Menteri Pertahanan. Akhirnya Alwi Shihab mencolek pahanya dan memberi kode agar menerima saja penunjukan ini.

Dengan menumpang semangat dan dukungan gerakan reformasi, memang perlu keberanian untuk menata hubungan sipil – militer di Indonesia melalui langkah tegas dan nyata. Sekian lama militer menjadi ‘ penguasa ‘ bahkan dimulai dalam skala kecil ketika kondektur bus tidak berani menagih ongkos bus kepada mereka yang berbaju militer. Mahfud tahu tugas ini sangat berat. Ia , seorang sipil akan berhadapan dengan Jenderal jenderal yang mungkin alergi dengan segala kebijakan yang mengurangi privilege institusi yang dinikmati selama ini.

Harapan itu muncul kembali ke pundak Mahfud MD, ketika Joko Widodo menjadikan memintanya sebagai calon Wakil Presiden untuk periode 2019 – 2024. Ada harapan bahwa mantan Menteri Pertahanan dan Ketua Mahkamah Konstitusi ini akan kembali menjadi ksatria untuk mengatasi carut marut masalah hukum di Indonesia.

Continue Reading

Pidato Bung Karno saat melantik Ali Sadikin

Saudara-saudara sekalian, beberapa saat yang lalu, Alhamdulillah Saudara Mayjen KKO Ali Sadikin telah mengucapkan sumpah menjadi gubernur/kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya, menjadi gubernur Jakarta.
Wah, itu bukan satu pekerjaan yang mudah. Dalam hal mengangkat walikota-walikota daripada beberapa kota, saya sering mengalami kekecewaan. Sesudah saja angkat yang tadinya saya kira dan saya anggap walikota itu dapat menjalankan tugasnya sebagai walikota dengan cara yang baik, kiranya tidak memuaskan.

Misalnya, saya pernah mengangkat seorang walikota yang dia dulu sebelum saya jadikan walikota, wah, seorang pamongpraja yang gemilang, yang baik sekali, seorang bupati yang sebagai bupati, boleh dikatakan jempol sekali. Diusulkan kepada saya supaya orang ini saya angkat menjadi walikota daripada sesuatu kota. Saya angkat. Kemudian sesudah beberapa bulan dia menjalankan pekerjaan sebagai walikota, ternyata amat atau setidak-tidaknya, mengecewakan. Oleh karena menjadi walikota itu lain, Saudara-saudara, dengan sekadar memamongprajai penduduk daripada kota itu.

Walikota daripada sesuatu kota harus memenuhi beberapa syarat teknis yang amat sulit. Harus mengetahui hal, misalnya, city-planning, harus mengetahui hal accijnering, harus mengetahui hal persoalan-persoalan lalu-lintas; harus mengetahui hal architectuur, harus mengetahui hal hygiene, harus mengetahui hal sampah; harus mengetahui hal selokan; harus mengetahui hal pertanaman; etc., etc…

La, ini walikota yang saya angkat, yang saya ambil sebagai contoh tadi itu, yaitu sebagai pamongpraja bukan main bagus sekali. Tetapi sebagai walikota dia gagal. Sebab dia itu tidak tahu menahu tentang city planning. City Planning yaitu mana tempat industri, mana tempat kediaman, mana tempat pasar, mana tempat etc., etc. .. Tidak tahu tentang urusan accijnering, tidak tahu tentang urusan selokan-selokan, tidak tahu tentang hal verkeersproblem, tidak tahu tentang hal hygiene. Jadi dia gagal sebagai walikota.

Saya ganti. Barangkali ini baik saya ambil dari militer. Kiranya si militer itu pun gagal. Hij snapt er geen lor van. Sebagai walikota. Sebagai militer dia orang yang gemilang, tetapi untuk menjadi walikota hij snapt er geen lor van.

Nah, mengenai Jakarta ini bukan saja ibukota daripada Republik Indonesia. Ibukota yang– saya lo yang menetapkan beberapa tahun yang lalu, bukan saja itu ucapan saya ini– satu kota yang penduduknya 4 juta. Sama Hong kong barangkali, total jendral, penduduknya masih banyak Jakarta.

Jakarta ini adalah satu political centre. Jakarta ini adalah communication centre. Jakarta ini adalah membawa problem-problem yang hebat sekali. Problem-problem yang saya sebutkan tadi itu. Mana selokan, mana sampah mana city planning, mana lalu-lintas, etc., etc., etc. Saya cari-cari orang, cari-cari orang.

Continue Reading

Bagaimana Bung Karno memaknai fotografi sebagai kekuatan citra

Sering dibicarakan bahwa pencitraan dianggap menjadi sebuah berhala baru. Banyak tokoh di republik ini dianggap menggunakan pencitraan visual untuk mendongkrak popularitas. Karena ini multimedia maka sebuah momen dengan mudah terekam dalam sebuah medium fotografi yang kemudian tersebar secara viral. Padahal fotografi sebagai medium pencitraan tidak melulu salah. Ini adalah alat yang paling sering digunakan oleh tokoh publik.

Pertanyaannya apakah boleh melakukan setingan? Sebagai tukang pembuat film iklan, saya jawab, sepanjang tidak dianggap foto foto jurnalistik. Boleh saja dan bahkan perlu. Apalagi berhubungan dengan pencitraan si tokoh. Ini hal yang biasa, dalam pekerjaan fotografer professional. Bahwa ada orang atau para pihak yang terganggu dengan foto tersebut, ya lain masalah.

Kalau sudah demikian kita bicara 2 hal. Pertama dari sisi fotografernya ( teknis, metode ) dan Kedua, dari sisi obyek ( gaya / style, kesadaran dipotret ). Sejarah membuktikan bahwa kolaborasi antara fotografer dengan obyek ( tokoh ) akan menghasilkan gambar gambar yang secara visual menjadi bungkus branding penokohan.

Coba kita lihat foto ini. Kisah Stalin lebih menyerupai monster pembunuh berdarah dingin, yang membunuh rakyatnya. Dari dokumenter yang pernah dibuat, digambarkan Stalin bukan orang yang mudah tertawa. Ia kaku dan serius. Para pejabat pejabat sering dipanggil ke peristirahatannya, hanya untuk dipaksa menari dengan lagu yang diputar. Mereka menari dengan ketakutan ,karena ada kemungkinan bisa dikirim ke kamp Siberia jika gagal menyenangkan Stalin.
Bisa jadi ini sebuah setingan ketika Stalin bisa tertawa lepas, membaca surat sambil membiarkan rakyat memegang pundaknya. Dalam keseharian jangankan memegang pundak, melihat mata sang diktaktor saja, rakyat kebanyakan tidak berani.Disini Stalin punya keberanian untuk keluar dari zona cap kesehariannya untuk beracting, dengan tertawa. Artinya ada kerjasama, kolaborasi antara juru potret dengan obyek. Sebuah foto propaganda memang memerlukan seting seperti itu.

Namun tak ada yang memahami tentang kekuatan fotografi seperti Sukarno. Sudah menjadi kesaksian para wartawan, bahwa Bung Karno tak pernah mau pergi kemana mana tanpa ditemani fotografer. Lagipula Presiden pertama Republik Indonesia selalu mengizinkan fotografer memotretnya dari dekat, sementara wartawan tulis hanya berdiri dipojokan. Sukarno tak ragu menghentikan mobil kepresidenan di pinggir jalan sekadar untuk memberikan tumpangan kepada juru kamera yang tertinggal angkutan. Baginya lebih baik ketinggalan seorang Menteri, daripada fotografer.

Continue Reading

Rebels in Paradise

Jurnalis asal Inggris, James Mossman tahun 1961 menulis buku kisah peperangan PRRI di Sumatera berjudul ‘ Rebels In Paradise ( Indonesia’s Civil War ). Pekerjaan resminya memang sebagai jurnalis dan reporter TV untuk BBC. Namun ada yang mengatakan James Mossman adalah agen rahasia dari Mi6. Entah bagaimana, ia bisa berkelana keliling Sumatera sepanjang pergolakan PRRI. Buku ini jadi salah satu sumber referensi penting yang melukiskan suasana sewaktu PRRI hendak dan telah diproklamasikan di Padang bulan Februari 1958. Kisah selanjutnya ketika pasukan dari Jawa dikirim yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani mulai menyerbu Padang.

James Mossman banyak mewawancara tokoh tokoh PRRI yang awalnya menganggap enteng situasi dan secara keliru menganalisa sikap dari Pemerintah pusat. Kolonel Simbolon yang ditanya ‘ Bagaimana anda yakin, Sukarno tidak akan menyerang ? ‘. Maka Menteri Luar negeri PRRI itu menjawab ‘ Dia tidak akan berani ‘ ( He hasn’t got the guts ).
Kolonel Dahlan Djambek mengatakan di Bukit Tinggi, “ Sukarno will never dare invade us here “. Padahal waktu itu Pekanbaru telah jatuh ke pasukan Pemerintah pusat.

Tapi Simbolon atau Dahlan Djambek lupa, bahwa ini bukan keputusan Sukarno seorang. Ada Nasution yang mendesak untuk mengambil tindakan tegas terhadap pemberontak. Sehingga betapa kagetnya tokoh tokoh PRRI ketika Sukarno menyetujui permintaan Angkatan Bersenjata untuk menyerbu Padang. Praktis tidak ada perlawanan ketika pasukan payung diterjunkan di atas lapangan terbang, Tabing. Padahal mereka sudah menyiapkan barikade lubang lubang yang dipenuhi bambu runcing.

Continue Reading

Tentang Raja Saudi dengan Presiden kita

Ketika melaksanakan ibadah haji tahun 1955, Bung Karno disambut sebagai tamu kehormatan oleh Raja Saudi, Saud bin Abdulaziz Al Saud. Berbagai cara dilakukan Raja Saudi untuk mengambil hati Bung Karno, salah satunya memberikan hadiah mobil.

“Ketika aku akan kembali ke tanah air, Raja Arab Saudi mengatakan, Presiden Soekarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah Anda pakai selama berada di sini. Dan sekarang saya menyerahkannya kepada anda sebagai hadiah ” kata Soekarno menirukan ucapan Raja Saudi. Tentu saja Bung Karno girang kepalang dengan pemberian hadiah itu.
Pada jaman itu belum ada KPK sehingga ia tak perlu memberikan mobil itu ke KPK, seperti yang dilakukan Jokowi ketika mengembalikan bass gitar Metalica yang diterimanya ke KPK. Sebagai balasan, Bung Karno mengundang Raja Saudi untuk datang ke Indonesia.

Raja Saudi sangat mengagumi Bung Karno sebagai pendorong kemerdekaan negara negara Asia Afrika. Dia juga menemani saat Bung Karno berziarah ke makam Nabi di Madinah. Saat itu pula, Bung Karno melepaskan semua atribut-atribut dan pangkat kenegaraan yang digunakan. Kemudian Raja Saudi keheranan dan bertanya pada Bung Karno.
“ Disana hanya ada Rasulullah SAW yang memiliki pangkat yang jauh lebih tinggi dari kita, aku, dan dirimu “. Jawab Bung Karno.
Komitmen Bung Karno terhadap Islam tak pernah berhenti. Kelak Bung Karno menggagas Konperensi Islam Asia Afrika yang dilaksanakan di Bandung tahun 1964.

Continue Reading

Apakah Bung Karno seorang marxis ?

Apakah Bung Karno seorang Marxis ? Dari karangan karangannya jelas dia sangat terpesona dengan ajaran Marxis. Jika kita melihatnya berdasarkan perspektif sejarah pada masa sebelum kemerdekaan, khususnya uraian Sukarno tentang ekploatasi negara negara jajahan oleh Pemerintahan kolonial, Bung Karno dapat dikatakan seorang marxis.

Era tahun 1920an, hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak ulama dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Fenomena ini juga dikatakan oleh Dawam Raharjo dalam sebuah diskusi tentang Marxisme, bahwa pertautan Islam dan Marxis tersebut sebagai “ pertemuan di jalan “. Islam dan Marxis bergandeng tangan untuk satu tujuan. Kemerdekaan. Jadi memang para ulama memakai marxis sebagai ideologi perjuangan, karena di Islam sendiri tidak ada ideologi yang dibutuhkan seperti bagaimana melepaskan penjajahan.

Bung Karno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme seperti Semaun, Alimin, Muso atau Sneevliet. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams.

Dalam artikel berjudul ‘ Menjadi Pembantu “Pemandangan”. Sukarno, oleh…Sukarno sendiri’ di Surat Kabar Pemandangan tahun 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan. Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya adalah penemuan : Marhaenisme.

Continue Reading

Tiga Srikandi

“ Bang Pandi sangat keras dalam melatih kami. Ia sangat disiplin dan tak pernah mengenal belas kasihan. Jangankan melawan. Mendengar suara mobil VW kombinya dari kejauhan, sudah membuat kami mengkeret ketakutan “

Demikian Yana, bersama Kusuma dan Lilies menceritakan pengalamannya dilatih salah satu pemanah putra terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, Donald Pandiangan. Mereka – Nurfitriyana, Kusuma Wardhani dan Lilies Handayani – adalah trio pemanah puteri Indonesia yang merebut perak beregu di Olimpiade Seoul 1988, sekaligus atlit pertama negeri ini yang meraih medali di Olimpiade.

Saat itu ketiga remaja putri tersebut tak membayangkan, masa masa mudanya yang tercabut karena harus menjalani pusat pelatihan nasional di Sukabumi. Jangan dibayangkan sebuah pusat pelatihan yang mewah dan penuh dengan fasilitas kebugaran. Hanya sebuah rumah tua dengan rumput rumputnya yang setinggi dada di halaman. Mereka para atlet perempuan harus ikut memotong rumput rumput itu agar halaman bisa menjadi tempat latihan.

Selama setahun mereka iri melihat remaja putri lainnya bisa bercanda tawa, jalan jalan menonton film ‘ Catatan si Boy ‘, sementara mereka menjalani hari hari yang membosankan. Bangun pagi, latihan, latihan dan latihan. Skripsi Yana yang tertunda. Lilis yang terpisah dengan kekasihnya di Surabaya, atau Kusuma yang tak bisa membantu orang tuanya mencari nafkah tambahan.

Continue Reading

Supeni, diplomat andalan Bung Karno

Tahun 1949 Supeni diangkat menjadi anggota dewan Partai, dan langsung diserahi tugas untuk menyiapkan sistem pemilihan umum yang hendak dilakukan untuk pertama kalinya tahun 1955. Untuk mempelajari pengalaman pemilihan umum yang kondisi masyarakatnya tidak banyak berbeda dengan Indonesia, yakni masih banyak buta huruf, maka Supeni diikutsertakan dalam misi Indonesia untuk memantau pemilihan umum di India.

Selama 2 bulan ia tinggal dan mempelajari sistem pemiihan umum disana. Sepulangnya dari India, Supeni menulis buku “ Pemilihan Umum di India “ ( 1952 ). Kemudian Supeni juga diundang Pemerintah Amerika, untuk mempeajari pemilihan Presiden disana yang saat itu dimenangi Eisenhower.

Pengalamannya sebagai diplomat dimulai pada saat Konperensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Supeni ditugaskan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untul melobi negara negara peserta konperensi untuk mendukung Indonesia dalam masalah Irian Barat. Negara negara yang tadinya meragukan sikapnya akhirnya berbalik mendukung setelah lobby Supeni yang intensif.

Negara seperti Filipina, Pakistan dan Turki yang merupakan sekutu Amerika ( secara tidak langsung juga sekutu Belanda ) akhirnya mendukung Indonesia, walau secara pasif.
Setidaknya kesulitan kesulitan lobby yang dilakukan Supeni bisa menghasilkan rumusan “ The Asian African Conference support the position of Indonesia on West Irian “.

Walau mendapat dukungan dari Konperensi Asia Afrika, namun belum cukup untuk mendapatkan suara mayoritas dalam sidang sidang PBB untuk memaksa Belanda memasuki meja perundingan untuk penyerahan Irian Barat. Bung Karno sekali lagi mengutus Supeni untuk berbicara di Konperensi konperensi Uni antar Parlemen di London dan Rio De Janeiro. Lalu di Asia Pacific Relations Conference di Lahore, Pakistan serta sidang sidang di PBB.

Continue Reading