Selamat datang Kampanye

Suatu hari IJ Kasimo, pendiri Partai Katolik bersama Frans Seda dipanggil Pak Harto ke Bina Graha tahun 1973. Sambil ngobrol ngalur ngidul, Pak Harto lalu mengatakan akan membuat keputusan dengan menyederhanakan jumlah partai yang begitu banyak saat itu menjadi hanya 3 partai. Yang mewakili Islam, Nasionalis dan Golongan Karya.
Partai Katolik dipersilahkan melakukan fusi – melebur – dengan partai Kristen, partai murba , dan partai partai nasionalis seperti PNI.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Jalan Borobudur, ia berpikir keras. Bagaimana mungkin ‘ partai baru ‘ ini bisa berjalan. Secara ideologi partai Katolik berbeda dengan PNI. Bahkan dalam jamannya Bung Karno, Partai Katolik bersama partai Islam lainnya ( minus NU ) menolak konsepsi Presiden tentang demokrasi terpimpin yang diwakili PKI, NU dan PNI. Namun siapa bisa menolak keputusan Pak Harto saat itu.
Sejarah telah digulirkan. Partai Persatuan Pembangunan , Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia menjadi representasi demokrasi orde baru.

Ide penyederhanaan partai juga pernah menjadi wacana Gus Dur ketika ia berkuasa. Ia mencomot mentah mentah model di Amerika yang direpresntasikan dalam 2 partai, Republik dan Demokrat. Walau hampir mustahil diterapkan di sini. Ia memimpikan di Indonesia kelak harusnya hanya ada 2 partai. Partai Islam – PKB dan Partai Nasionalis – PDIP.
Begitu banyaknya partai disatu sisi menunjukan demokrasi yang berjalan dengan sehat. Sehingga pada pemilu 1999, Indonesia – mengacu jumlah penduduk – bisa dianggap sebagai negara demokratis setelah India dan Amerika. Ini juga merupakan corong yang baik tentang Islam di Indonesia sendiri. Sebagaimana yang dikatakan mantan presiden Amerika , saat The Carter Center memantau jalannya pemilu di sini.
“ Rakyat Indonesia memberikan contoh dramatik tentang perubahan politik yang damai dan dengan kukuh menafikan klaim bahwa masyarakat Islam bersifat anti demokrasi “

Bahwa tingkat kepedulian masyarakat tentang partai politik semakin menurun adalah soal lain. Bisa dilihat jumlah pemilih pada pilkada yang menunjukan sedikitnya rakyat yang menggunakan hak suara, disebabkan rasa muak dan tak percaya kepada sistem politik sekarang.
Socrates – pemikir demokrasi sekaligus korbannya– mengatakan ‘ Demokrasi sebagai bentuk Pemerintahan yang menggairahkan, penuh variasi dan kekacauan, dan hasratnya yang tak bisa dikenyangkan bisa membawa pada kehancuran ‘.
Ya. Demokrasi yang dijanjikan akhirnya hanya merupakan pengumpulan pundi pundi kekayaan anggota partai, selain sebagai alat gerbong pengangkut ke kursi kepresidenan.

Ketika seluruh pemimpin partai partai mendeklarasikan sistem pemilu yang damai setelah disahkan oleh KPU beberapa hari yang lalu, kita hanya melihat sebuah panggung politik yang menggelikan. Dimana orang orang berebut cara untuk mencari alat letigimasi atas nama demokrasi.
Bukan rahasia umum jika partai partai mendapat dana alokasi dari APBN, belum kemungkinan mendapat yang lebih besar secara halal atau tidak jika dekat dengan kekuasaan.

Untuk setahun kedepan ini, Pemilu pastinya akan memberikan kegairahan finansial terhadap semua elemen. Bukan pemahaman tentang demokrasi sendiri. Orang orang berebutan meminta obyekan sablon kaos partai dan cetakan. Biro biro iklan sibuk menawarkan strategi komunikasi kampanye. Biaya biaya sosialiasi organisasi massa dan juga organisasi agama.
Begitu besarnya dana yang berputar, konon sampai digelontorkan uang uang palsu oleh partai partai yang memiliki akses tertentu. Uang pemilu. Siapa yang tak ingin ?

Tidak ada yang salah dengan demokrasinya. Aspirasi kebebasan berserikat tidak bisa dibatasi seperti yang dilakukan Pak Harto. Namun juga tidak bisa menjadi kebablasan, ketika orang orang berkedok dalam bungkus suara rakyat. Memakai simbol Asas Vox Populi Vox Dei. Suara rakyat adalah Suara Tuhan.

Agung Laksono sendiri hanya menjawab suka tidak suka bagaimanapun juga gedung DPR harus diisi, ketika ditanya mengapa begitu rendahnya minat orang terhadap pemilu. Masalahnya bukan suka tidak suka dengan partai politik. Ada sebuah permasalahan yang ia lupa. Bagaimana ia menjawab bahwa bagaimana isi dan moral orang yang mengisi gedung itu. Merintih jika ditindas dan menjadi maling jika berkuasa.

Tentu saja saya meragukan antuasias orang ikut pesta kampanye, tidak seperti jaman dulu. Saya masih ingat jaman kuliah pertama kali mendapatkan hak coblos. Dengan gagah gempita bersama teman teman meneriakan slogan marhaen yang diusung oleh Partai Demkrasi Indonesia. Belakangan ibu saya mengatakan, PDI bukan marhaen. Hanya meminjam poster Bung Karno dibawa bawa kemana mana. Tapi ia merestui semangat saya untuk keliling kota dengan membawa kijang bak. Bahkan ia menelpon Soerjadi – Ketua umum PDI saat itu – sehingga kami diberi kaos merah langsung dari sang ketua umum di rumahnya di bilangan Gandaria Jakarta Selatan.

Pemilu terakhir saya bertambah bingung mau nyoblos apa. Tak ada lagi ikatan emosional dengan para partai. Karena menghargai hak konstitusi saya, terpaksa saya pergi ke tempat pemungutan suara. Setelah siji loro telu, ji lo ru saya menusuk PAN atau PKB saya lupa.
Lalu bagaimana nanti ? Sebagaimana IJ Kasimo yang sampai akhir hayatnya tak sempat merasakan lagi kebebasan mendirikan partai. Mungkin saya tak akan pernah bisa melihat partai mana yang benar benar mewakili amanat penderitaan rakyat. Bisa jadi memilih partai mana yang meminta jasa saya membuat film kampanye. Toh para politisi itu tidak tahu bagaimana untuk menawar harga sebuah film. Satu hal yang saya harap. Mudah mudahan tak mendapat pembayaran uang palsu.

foto : Ian Wilson dan Indonesia Under Soeharto’s years

You Might Also Like

57 Comments

  • Catshade
    July 18, 2008 at 8:17 am

    Hati-hati Mas Iman, duit dari bikin film kampanye kemungkinan besar duit harom 😛

  • Heny
    July 18, 2008 at 12:34 pm

    Udah musim kampanye lagi yah?…wah kalau yang lalu saya GOLPUT tuh…sekarang?…mungkin IDEM

  • gambarpacul
    July 18, 2008 at 8:42 pm

    hi..hi..kampanye…..paling sebagai panggung janji lucu-lucuan politikus dan satu lagi……dangdutan!!

  • agus salim ujung
    July 19, 2008 at 12:03 pm

    kampanye = pemborosan…kampanye bisa bikin caleg bangkruth.
    sekarang, banyak orang latah jadi caleg, padahal dia sebenarnya sadar, tak pantas jd wakil-nya rakyat.

  • aminhers
    July 19, 2008 at 12:50 pm

    Banyak partai sapa takut, kan yg dipilih cuma satu

  • rezco
    July 19, 2008 at 2:06 pm

    Kata Natsir, demokrasi masih terjaga selama masih ada Partai. Saya setubuh dengan ucapan beliau yang mengkontekskan pernyataan itu waktu Indonesia di zaman demokrasi liberal 50-an. Tapi, kalau Partainya seperti sekarang, mungkin Natsir perlu meralat ulang pernyataannya.

    Anw, saya tetep nyoblos deh. Meski sambil merem

  • Mewarisi Darah Perampok | Gunungkelir
    August 27, 2009 at 12:50 am

    […] pengetahuannya tentang ke pahaan lantas memaklarinya jadilah dia raja juga ( enak dong ) walau saat kampanye wih wihhhh menebar seribu janji. […]

1 2

Leave a Reply

*