Browsing Tag

ORDE BARU

Kisah Supersemar yang tercecer

“ Harto, saya sudah diakui sebagai pemimpin dunia. Konsep Nasakom sudah saya jual kepada bangsa bangsa di dunia, Sekarang saya harus membubarkan PKI. Dimana muka saya harus ditaruh ? “

Bung Karno tentu bersikeras menolak untuk membubarkan PKI. Pertama ia juga tidak yakin PKI yang merencanakan kudeta ini. Ia lebih mempercayai bahwa hanya oknum oknum PKI yang keblinger bersama anasir kekuatan luar yang merancang semuanya. Soeharto sendiri sudah bosan dan hampir menyerah untuk membujuk Bung Karno membubarkan PKI. Posisinya sulit, karena disatu pihak, dia menghormati Presiden tapi disisi lain, para mahasiswa, demonstran, bahkan jenderal jenderal seperti HR Dharsono, Kemal Idris atau Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie juga mendesak untuk mengambil tindakan keras kepada Bung Karno.

Asisten Soeharto, Jend Alamsyah mempunyai usul untuk memakai orang non ABRI, orang sipil yang dikenal dekat dengan Bung Karno juga. Jadilah Alamsyah mengutus Hasyim Ning dan Dasaad untuk membujuk Bung Karno. Usaha ini juga gagal, bahkan Hasyim Ning harus terkena asbak yang dilempar Bung Karno
“ Kamu orangnya Soeharto “ Begitu Bung Karno berteriak.

Jenderal Amir Mahmud, Pangdam Jaya waktu mengakui bahwa semuanya serba khaos, bahkan bisa dibilang tidak ada disiplin militer. Karena ada tarik menarik kekuatan diantara ABRI sendiri. Mana yang pro Bung Karno dan mana yang mendukung Pak Harto. Waktu Bung Karno membetuk kabinet baru. Banyak nama nama jenderal yang sebenarnya tidak dalam ‘ persetujuan ‘ ABRI.
Jenderal Nasution misalnyanya juga memerintahkan untuk tidak mengijinkan Jend Moersid dan Jend Sarbini masuk ke Departemen Hankam untuk serah terima jabatan.

Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, Jend Sabur sudah menelpon Pangdam Jaya, Amir Mahmud menanyakan jaminan keamaan pada sidang kabinet hari itu. Tentu saja Amir Mahmud menjamin keamanan, padahal dia juga tidak tahu bakal ada pasukan liar dari Jenderal Kemal Idris. Bahkan Pangdam Jaya juga ada di beranda Istana menemani Bung Karno bersama Waperdam Leimena, Subandrio dan Chaerul Saleh sebelum bersama sama ikut masuk ke dalam sidang.

Saat Bung Karno sedang membacakan pidato. Tiba tiba Jenderal Sabur mengirimi nota ke Amir Mahmud yang memintanya keluar sebentar. Nota itu didiamkan oleh Amir Mahmud, karena ia tidak mungkin main slonong boy keluar dari rapat yang dipimpin Presiden. Rupanya Brigjen Sabur tidak sabar dan tak mau ambil resiko, lalu dia menyampaikan sendiri nota ke Bung Karno.

Dalam catatan Amir Mahmud.
“ Saya lihat tangan Bung Karno gemetar membaca notanya, lalu berbicara dengan Subandrio. Setelah itu sidang diserahkan kepada Pak Leimena. Bung Karno dan tergopoh gopoh meninggalkan istana, diikuti Subandrio dan Chaerul Saleh “.

Continue Reading

Pembantaian yang tidak tercatat

Di Jawa kami harus menghasut penduduk untuk membantai orang orang Komunis. Di Bali kami harus menahan mereka, untuk memastikan bahwa mereka tidak bertindak terlalu jauh – Sarwo Edhie , Komandan RPKAD.

Ucapan mertua Presiden SBY, itu dalam sebuah konperensi pers awal tahun 1966 antara telah dilaporkan dalam beberapa bentuk. Ini menjelaskan, salah satu sejarah paling kelam dalam bangsa ini, yang tak pernah ditulis dalam buku buku sejarah anak anak kita di sekolah.
Pembantaian mereka yang dianggap komunis paska pemberontakan G 30 S PKI yang gagal.
Kita mestinya sepakat bahwa pengungkapan itu bukan untuk menorah luka lama. Tetapi untuk sebagai bahan pelajaran sehingga tak terulang.

Laporan The Econimist London, berdasarkan informasi ilmuwan ilmuwan Indonesia, mengemukakan bahwa 100.000 orang tewas hanya dalam hitungan bulan Desember 1965 hingg Februari 1966.
Menurut Komisi Pencari Fakta yang dibentuk setelah peristiwa berdarah itu, jumlah korban hanya 78.000 orang. Tapi, Oei Tjoe Tat – menteri negara jaman Bung Karno – yang menjadi ketua tim, justru meragukan penemuan itu. Dalam perjalanannya melakukan penyelidikan ia justru dihambat oleh aparat militer setempat. Ia menyebutkan angka itu terlalu dikecilkan. Dengan menyindir ia menyebut bukan 78.000 tapi 780.000.

Continue Reading

Jangan Galak Galak

Jangan Galak galak. Teguran ini diucapkan SBY, konon kepada para purnawirawan militer yang menjadi petinggi partai. SBY juga merasa sakit hati jika dituduh curang dalam pemilu. Lebih lanjut ia membuat pernyataan counter, bahwa ia memiliki memori yang cukup kuat tentang apa saja yang telah dilakukan para jenderal jenderal itu di masa lalu. Hanya saja ia membiarkan untuk mengubur masa lalu demi membangun masa depan bersama.
Ada kesan. SBY balik menggertak. “ Gue buka rahasia masa lalu kalau lu ribut ribut tentang kecurangan pemilu “.
Jelas tudingan SBY ditujukan kepada Prabowo yang ditenggarai masih memiliki catatan kelam seputar penculikan mahasiswa, atau bahkan pembumihangusan Timor Timur atau Pam Swakarsa bagi era Wiranto.

Menarik bahwa keduanya menanggapi dengan santai. Siapa yang galak ? kata Prabowo sambil tertawa di markas besar PDI-P Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ia hanya meminta transparansi carut marut DPT. Sementara Wiranto seperti biasa tanpa ekspresi tak berkomentar terhadap pernyataan bekas Kasospol jaman kekuasaannya dulu.

Sepertinya SBY harus lebih bijak menanggapi suara suara protes tetang kacaunya pemilu kali ini. Ini memang cacatan buram pemilu paling amburadul setelah reformasi. Sialnya, ini terjadi dalam pemerintahannya.
Wajar jika banyak pihak menyamai seperti patgulipat Golkar dalam orde baru. Tanpa berpretensi buruk . Kenapa juga ketua KPU yang mestinya harus netral, malah duduk bersama sama SBY di Cikeas mengawasi hasil pemungutan suara pada hari pemilu. Padahal semua orang tahu, Cikeas selalu diasosiasikan dengan markas Partai Demokrat.

Continue Reading

Selamat datang Kampanye

Suatu hari IJ Kasimo, pendiri Partai Katolik bersama Frans Seda dipanggil Pak Harto ke Bina Graha tahun 1973. Sambil ngobrol ngalur ngidul, Pak Harto lalu mengatakan akan membuat keputusan dengan menyederhanakan jumlah partai yang begitu banyak saat itu menjadi hanya 3 partai. Yang mewakili Islam, Nasionalis dan Golongan Karya.
Partai Katolik dipersilahkan melakukan fusi – melebur – dengan partai Kristen, partai murba , dan partai partai nasionalis seperti PNI.
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Jalan Borobudur, ia berpikir keras. Bagaimana mungkin ‘ partai baru ‘ ini bisa berjalan. Secara ideologi partai Katolik berbeda dengan PNI. Bahkan dalam jamannya Bung Karno, Partai Katolik bersama partai Islam lainnya ( minus NU ) menolak konsepsi Presiden tentang demokrasi terpimpin yang diwakili PKI, NU dan PNI. Namun siapa bisa menolak keputusan Pak Harto saat itu.
Sejarah telah digulirkan. Partai Persatuan Pembangunan , Golongan Karya dan Partai Demokrasi Indonesia menjadi representasi demokrasi orde baru.

Continue Reading