Unbelievable Nation

Seorang penulis Norwegia, Stig Aga Aanstad dalam bukunya Surrendering to Symbols ( 2006 ) mengingatkan bahwa Indonesia pernah menjadi negara besar periode 1960 – 1965. Bagi Amerika Serikat, Uni Sovyet ( dulu ) dan China, negeri yang bernama Indonesia tak mungkin diabaikan. Jumlah penduduk, kekayaan alam dan letak geografisnya. Demikian wartawan senior, Budiarto Shambazy pernah menulis.
Ia meneruskan bagaimana Bung Karno mengancam menasionalisasi migas dengan Undang Undang No 44 tahun 1961. Presiden Kennedy kebakaran jenggot lalu mengirim utusan khusus. Demikian juga Nikita Kruschov mengutus menteri pertahanannya untuk bersaing dengan Amerika. Tak ketinggalan Mao Ze dong mengirim Presiden China Liu Shaoqi untuk tujuan serupa.
Akhirnya Amerika “ menang “ , Bung Karno dan Kennedy menyetujui kontrak karya. Multi National Corporation ( MNC ) harus menyerahkan 25 % wilayah eksplorasinya dalam 5 tahun ke Pemerintah RI dan 25 % lagi dalam 10 tahun, serta wajib menyuplai kebutuhan domestik. Indonesia juga berhak atas 60 % keuntungan.

Bung Karno pintar memainkan kompetisi persaingan AS – Uni Sovyet – China. Ketika Indonesia meminta teknologi nuklir dari China, Presiden Kennedy buru buru menawarkan pembangunan reaktor nuklir tujuan damai di ITB. Kennedy langsung memerintahkan pengiriman uranium untuk reaktor yang dijadwalkan beroperasional pada tahun 1972 – 1973.
Kini siapa yang bisa menggugat kalau stempel negara besar itu pudar ?
Apakah anda termasuk yang percaya bahwa negara ini masih bangsa yang besar ?

“ Unbelievable Nation “ sebuah gerakan untuk mengembalikan semangat kebangsaan itu. Bahwa kita adalah negara besar dan bangsa yang bermartabat. Logo gerakan ini memakai lambang UN ( United Nations – PBB ) membuat saya teringat, bahwa dulu Bung Karno pernah menawarkan konsep Pancasila dan Berdikari dalam pidatonya “ To Build a world anew “ yang sangat fenomenal di depan sidang PBB tahun 1963. Saat Indonesia diperhitungkan dalam konstelasi geopolitik dunia.
Kaos, stiker dan leaflet kampanye ini mungkin tak ada artinya dengan kampanye Visit Indonesia Year 2008 yang sampai sekarang juga tak jelas gaungnya. Memble.
Namun, kita mesti bersyukur bahwa masih ada orang yang peduli dan cukup gila untuk terus menyuarakan hal hal kebangsaan. Kampanye sederhana ini merupakan kelanjutan dari kampanye pariwisata “ Travel Warning = Dangerously beautiful “, saat negeri ini dimasukan dalam daftar larangan negeri berbahaya untuk dikunjungi. Sebuah cara yang menggelitik dan unik.

Kadangkala kita memang harus berkaca dari masa lalu, untuk mengembalikan kejayaan bangsa ini. Kita mestinya malu bahwa negara sekecil Singapura kini tak pernah takut dengan Indonesia. Hal mana yang hampir tak mungkin terjadi masa lalu, ketika Indonesia hanya ‘ head to head ‘ berhadapan dengan negara macam Amerika Serikat atau Inggris.
Tadinya saya tak begitu peduli dengan cerita kebesaran masa lalu. Mungkin hanya mitos. Sampai suatu hari saya mencari jaket musim dingin murahan di pojok kota London saat menjadi perantau mahasiswa yang hidupnya pas pasan.
Disebuah toko kecil milik seorang tua asal Pakistan , bertanya dari mana saya berasal.
“ Indonesia,..? “
“ Our brother..Ahmad Soekarno .. “ teriaknya bangga.
Alhasil sebuah jaket dengan discount 50 % dapat saya miliki berkat sebuah nama. Indonesia. Ya, saya hampir menangis saat itu.

You Might Also Like

59 Comments

  • ario
    March 5, 2008 at 2:10 pm

    Saya tetap semangat Indonesia bangkit,.mungkin jangan harap dari ekonomi, politik, hukum dulu,.bagaimana mulai dari seni dan budayanya dulu,.hanya itu satu2nya milik bangsa yg masih dihargai di dunia luar. tapi bukan budaya korupsinya,.hehehe

  • stey
    March 5, 2008 at 3:03 pm

    saya sudah punya kaosnya, stikernya..yang belum saya punya keyakinan untuk kembali percaya, Indonesia itu dangerously beautiful..geezz..ironis..

  • ratie
    March 6, 2008 at 8:56 am

    Mas, Ayo kita bikin pergerakan baru di negeri ini!!! Aaaarrrggghhh… saya banyak menemukan blogger2 yang menyiratkan banyak kepedulian terhadap negeri ini melalui tulisan2nya. Tapi saya merasa jika kita terus sporadis, kapan majunya?? Apakah memang harus ada sumpah pemuda lagi? Ide itu ga bisa lepas dari kepala saya,mas…

  • pepe
    March 7, 2008 at 4:23 pm

    wah….mas,kelak kalau saya ke london masih bisa ketemu orang pakistan itu ga ya?????

    saya juga pengen nangis terharu karena bangga jadi orang Indonesia, biarpun di negeri orang. daripada di negeri sendiri, saya beneran nangis karena miris ketemu orang-orang yang hidupnya jauh lebih miris…….

  • auliahazza
    March 8, 2008 at 5:41 pm

    Untuk paragraf terakhir, saya juga terharu …. 🙂

  • extremusmilitis
    March 13, 2008 at 5:07 pm

    Bener-bener mem-bangkit-kan nasionalis-me Mas 🙂

  • arthur
    March 14, 2008 at 12:11 pm

    Kalo pemerintahnya aja gak keliatan nasionalisme, cuman sibuk memperkaya diri sendiri, takut terhadap golongan tertentu, dsb.. gimana kita mau jadi besar kaya dulu lagi ya 🙂

  • Hilmans
    March 25, 2008 at 8:59 am

    Saya ini penggemar berat tenis meja. Dulu tenis meja kita berjaya, bahkan mampu menyabet bahkan menyapu mendali emas di Sea Games, sekarang 1 pun sulit. Apakah itu kemunduran kita….

  • yando
    July 14, 2008 at 10:03 am

    saudara2 sekalian bagi yang punya friendster tlong join di grub saya ya,,,
    UNBELIEVABLE NATION
    heheheehe,,

1 2

Leave a Reply

*