Tunai sudah 3 Srikandi

Tunai sudah perjalanan film ini, ketika akhirnya diputar dalam Gala Premiere tanggai 27 Juli kemarin. Sebelum penayangan untuk tamu undangan, ‘ 3 Srikandi ‘ diputar secara khusus untuk media pada siang harinya. Saya diam diam mengintip untuk melihat reaksi para jurnalis. Terus terang ini seperti hari penghakiman. Bagaimana tidak, dari mereka kelak akan keluar resensi atau review film yang ujung ujungnya kalau bagus menjadi lokomotif promosi.

Saat saya melihat ada yang diam diam terisak menangis sampai bertepuk tangan ketika anak panah Lilies menghujam di tengah papan target – sebagai pamungkas kemenangan team Indonesia melawan team Amerika Serikat – disana saya merasa kerja keras selama hampir 2 tahun itu tidak sia sia. Inilah esensi yang lebih penting, yang saya katakan dalam sesi wawancara, yakni bagaimana membawa penonton kembali ke bioskop. Masalah film ini ternyata laku adalah bonus.

Perasaan saya kembali membuncah saat melihat 3000 tamu undangan memberikan apresiasi setelah melihat film selesai. Saya benar benar bertanya, apakah kalian menyukai ? Terus terang saya belum bisa tidur nyenyak sampai film itu tayang secara nasional di bioskop bioskop mulai tanggal 4 Agustus nanti.

Sejak proses development bersama Swastika Nohara, Hanifah Musa, Adi Nugroho dan Anirudya Mitra, saya selalu menegaskan bahwa film dibuat bukan sekedar idealisme sang sutradara, tapi jauh lebih penting adalah bisa menghibur penonton. Tentu saja, karena latar belakang saya sebagai pembuat iklan televisi, maka kompromi kompromi seperti ini bukan hal yang tabu. Dalam pembuatan film iklan, sutradara harius berkompromi dengan advertising agency dan klien dalam menyampaikan pesan kepada target market. Bagi saya, no hard feelings.

Richard Stanley, penulis buku “ How to become famous then infamous “ menulis “A director is a general in charge of an army of traitors like any showman. An audience will love you, laugh with you and wait outside your stage door when you’re hot and on a roll, but no audience is ever truly friendly. Not for long. Bore them or disappoint them – even once – and they’ll turn on you and tear you to pieces, regardless of who you are or might once have been ”

Untuk mencapai customer satisfaction, saya selalu melakukan apa yang biasa dilakukan dalam pembuatan konsep iklan, yakni FGD – Focus Group Discussion. Beberapa kelompok responder dari background usia, gender dan status profesi yang berbeda selalu saya undang untuk melihat film ini. Saya memerlukan opini mereka. Apa yang mereka tidak suka, sehingga bisa editing film bisa saya bongkar lagi demi kepuasaan responden.

Saya tidak tahu apakah metode FGD lazim dalam industry film nasional, tapi di Amerika para pembuat film lazim mengundang audiens untuk melihat ‘ test screening ‘ untuk mengetahui respon publik terhadap filmnya. Kadang feedback dari audiens membuat perubahan yang signifikan terhadap jalan cerita film. Sebut saja film film seperti Goodfellas, Lisence to Kill atau Titanic. Bahkan dalam film Pretty Woman, produser harus melakukan syuting ulang untuk ending. Dalam versi original, ending digambarkan Edward Lewis ( Richard Geere ) mengantar Vivian ( Julia Robert ) pulang dan membiarkan pergi keluar dari limosinnya. Penonton benci dengan ending seperti ini, sehingga sutradara Garry Marshall dan Disney memutuskan memilih the happy, rags-to-riches finale. Vivian bak putri yang akhirnya mendapat cinta sang pangeran.
Bahkan judul asli film tersebut adalah ‘ 3000 ‘ yang diambil dari harga 3000 dollar untuk biaya menyewa perempuan prostitusi selama seminggu. Lagi lagi audiens merasa judul 3000 seperti sebuah film science fiction, sehingga akhirnya produser mengubah judul menjadi Pretty Woman.

Jadi itu menjelaskan bagaimana saya akhirnya membuang shoot shoot adegan tentang bagaimana teknis memanah. Dalam FGD yang telah saya lakukan, audiens hanya melihat anak panah tepat menancap di tengah papan target sebagai tanda kemenangan. Mereka tidak perduli dengan cara berdiri kaki membuka 45 derajat sampai penghitungan nilai.
Ini mungkin bisa saya analogikan ketika penonton Indonesia melihat film Hollywood yang bertemakan American Football, seperti Any Given Sunday misalnya. Kita juga tidak tahu cara bermain olahraga itu sampai apa itu peran Quarterback, kecuali pemahaman bahwa pemain harus membawa bola sampai ujung lapangan dengan melewati pemain pemain lawan.
Jauh lebih penting penonton merasakan naik turunya drama ketika menuju proses kemenangan.

Sejak awal memang saya sudah menanamkan keyakinan untuk tidak berpretensi apa apa dengan resensi atau review yang muncul. Kritik atau pujian semuanya datang dari perspektif berbeda. Bagi saya, sudah merupakan kebanggaan buat saya. jika film 3 Srikandi muncul dalam resensi di harian Kompas atau pemerhati film, Leila Chudori sampai harus menulis kritiknya di majalah Tempo.

Dalam beberapa wawancara, saya selalu ditanya tentang akurasi data film 3 Srikandi. Saya jawab, 70 % fakta dan 30 % fiksi. Tentu saja saya seijin keluarga dan pelaku sejarah. Alasan saya tentu akan tidak menarik jika film dibuat melulu berdasarkan kejadian sebenarnya. Ini bukan film dokumenter, tapi film hiburan buat penonton. Tapi semua proses latihan dan kehidupan di Sukabumi sampai pertandingan di Seoul itu benar benar berdasarkan kejadian sesungguhnya, termasuk kematian ibu Lilies. Bahkan kalau ada kritikus yang merasa terganggu, dengan teriakan ‘ Indonesia Indonesia ‘ di tribun Seoul. Justru berdasarkan petikan wawancara dengan Srikandi pelaku, saat itu penonton Korea merasa harus mendukung Indonesia karena perasaan sesama negara Asia melawan hegemoni Amerika.

Banyak orang film sendiri yang mencibirkan saya. Orang iklan yang tidak bisa menyutradarai film, sampai tidak tahu komposisi. Satu hal, saya tahu apa yang saya lakukan sejak kamera roll diteriakan, bahkan saya sudah memikirkan apa yang akan dilakukan dalam editing saat ada key crew yang mempertanyakan shoot saya. Akhirnya kerja keras ini tidak sia sia. Chelsea dengan mata berkaca kaca mengatakan kepada saya bangga menjadi bagian dari film ini. Ia mengatakan ” Saya selalu percaya dengan Mas Iman “. Bunga Citra Lestari juga memeluk saya erat erat. Dalam after party setelah Gala premiere, Reza Rahadian terus memeluk sambil membisikan apresiasi. Bahkan ia memanggil managernya untuk menegaskan jangan menyia-nyiakan panggilan dari saya untuk film berikutnya. Nikmat apa yang saya dustakan daripada mendengar apresiasi dari pemain pemain saya sendiri ?

Pada akhirnya saya merasa berterima kasih dengan para bintang bintang besar perfilman Indonesia, Reza, Bunga, Tara dan Chelsea yang telah sabar mau bekerja dengan saya. Juga Donny, Indra, Mario dan banyak pemain pendukung yang telah membuktikan komitmen kerja kerasnya.
Saya percaya film 3 Srikandi bukan sekadar tontonan, tapi sebuah Legacy yang akan bercerita tentang kejayaan atlit atlit panahan Indonesia di ajang Olimpiade. Bahwa perjuangan membutuhkan kerja keras dan air mata. Dan sejarah ini akan terus dibisikan sampai akhir jaman.