“Kita doa bersama untuk Pak Sabam. Terima kasih Tuhan, ketika orang mengatakan politik itu kotor, kami bisa melihat Pak Sabam yang mengatakan politik itu suci,” kata Ahok dengan khusyuk.
Itu bukan basa basi Ahok. Ini memang diucapkan Wagub Jakarta saat ulang tahun sesepuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ini bisa jadi legitimasi, bahwa tidak ada yang salah dengan politik. Yang salah adalah orang orangnya. Persoalannya memang tak semudah itu ketika makin lama, rakyat ( baca : kelas menengah ) cenderung apatis dan tak perduli dengan politik. Berita korupsi, penyalahgunawaan jabatan, patgulipat oknum partai dan proyek menjadikan politik sebagai penyakit kusta yang harus dijauhi. Tingkat kepercayaan terhadap partai merosot drastis, sehingga angka Golput cenderung besar.
Tapi mungkin tidak sepenuhnya benar. Kelas menengah masih perduli jika ada ancaman terhadap keadilan dan pilar pilar demokrasi. Ini bisa dianalogikan sebagai koboi yang datang membela warga kota dari ancaman bandit bandit. Mereka akan pergi lagi ketika bandit bandit berhasil ditumpas, dan kota hidup aman.
Kita bisa melihat fenomena ini dalam hiruk pikuk di social media tentang kisruh KPK dan Polisi. Posisi kelas menengah dan kaum intelektual sebagai elit penjaga demokrasi dan keadilan semakin jelas. Dorongan kepada KPK untuk tetap kuat, membuat tidak mudah bagi mereka yang ingin mengancam KPK. Hastag #SaveKPK di twitter menjadi trending topics dunia. Ini tak bisa disalahkan, karena secara moral rakyat harus membela KPK.
Presiden Jokowi dan elite partai pendukung ( PDIP dan Nasdem ) menjadi tidak popular, karena dianggap melindungi koruptor. Kini mereka harus berhadapan dengan kelas menengah yang ironisnya adalah pendukung mereka dalam pemilu kemarin.
Hatta pernah menulis surat ke temannya Sudjadi, sebelum ia kembali ke Indonesia tahun 1932. Waktu itu ia sangat meragukan kaum intelektual untuk berkorban dalam perjuangan negeri ini.
“ Kritik atas sikap intelektuil intelektuil Indonesia tidak baru. Berulang ulang orang membuktikan, bahwa kaum intelektuil itu yang terbanyak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, hidup senang dan gaji besar “
Mungkin Hatta akan tercengang melihat perubahan fenomena ini. Kelas menengah yang asyik dengan gadget dan gaya hidup di kota besar, ternyata tak kehilangan hati nuraninya melihat persoalan bangsanya, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Social media telah bertransformasi tidak sekadar alat percakapan di ruang publik. Lebih jauh lagi menjadi penggerak dorongan publik terhadap kebijakan pemimpinnya atau negerinya.
Pertanyaan sekarang, apakah gerakan moral yang disuarakan di social media akan menyentuh rakyat grass root yang menjadi mayoritas komposisi penduduk Indonesia.
Ini menjadi tantangan bagi kelas menengah, agar suaranya tidak hanya berputar putar di social media , tapi juga keluar menggapai kaum urban, petani, wong cilik, santri dan sebagainya.
Dalam sebuah artikel di harian ‘ Fikiran Ra’jat “ tahun 1933 , seorang anak muda bernama Sukarno dengan lantang menulis : “ Sekali lagi. Djangan banjak bitjara, Bekerdjalah ! tetapi Banjak bitjara, banjak bekerdja ! “
Ini reaksi spontan Sukarno atas kritik kaum nasionalis yang menuduhnya banyak omong, gembar gembor di atas podium dan lebih banyak menulis di surat kabar daripada bekerja nyata di lapangan untuk mendirikan hal hal yang lebih bermanfaat.
Secara tegas Sukarno mengatakan, banyak bicara penting asalkan bermanfaat untuk memberikan harapan, membentuk ideologi dan rasa kebangsaan untuk membebaskan rakyat dari penjajahan. Dengan tajam Sukarno berkata bahwa mendirikan warung, koperasi, rumah anak yatim piatu atau badan badan sosial itu baik. Tapi menurutnya tetap dibutuhkan orang orang yang bicara, membanting tulang untuk menggugah kesadaran, menumbuhkan keinsyafan politik rakyat, menyusun organisasi untuk pergerakan. Bagi dia semboyan yang tepat memang, banyak bicara banyak bekerja.
Pernyataan Sukarno, mungkin bisa menjadi sindiran bagi aktivis jempol, demikian mereka yang hanya aktif berjuang di TL social media tapi enggan turun ke lapangan ke dunia nyata untuk menggerakkan publik.
Ini pekerjaan rumah bagi kelas menengah agar issue korupsi ini tidak menjadi issue lokal di kalangan kaum established, tapi juga menjadi issue nasional di seluruh penjuru negeri. Sehingga bisa membalikkan pernyataan sebagian orang, bahwa rakyat kecil hanya perduli pada kenaikan harga BBM dan bahan sembako.
Jadi memang kita harus bekerja secara nyata di lapangan. Bukan hanya ngetwit
( gambar dari : https://wordstemplar.wordpress.com/2012/10/21/indonesia-berantas-korupsi/ )
5 Comments
Antyo
January 31, 2015 at 10:20 amKelas menengah dalam arti “bukan yang secara ekonomis (sedang) miskin” memang mestinya bagian dari penggerak. Politik yang menyenangkan adalah bagian dari penyaluran. Orang mengeluhkan trotoar yang buruk, dan nasib pejalan kaki, lalu berhimpun meminta pemerintah agar trotoar bisa dilalui namun juga teduh, itu juga politik.
Kalau masih ada politikus yang menjadikan politik tampak busuk, korup, maka kesalahan juga ada pada khalayaknya: kok (dulunya) percaya sama mereka sih? Lalu kenapa hari ini dan esok masih mempercayai mereka? 😛
Adham Somantrie
January 31, 2015 at 10:22 am“Jadi memang kita harus bekerja secara nyata di lapangan. Bukan hanya ngetwit.”
– Masiman, 2015
msi
February 1, 2015 at 11:48 amTest
imed
February 2, 2015 at 9:35 amwell, besikeli, sukarno bilang bahwa peran provokator itu penting. wkwkw
Wahyudi Adhiutomo
March 4, 2015 at 5:22 pmTulisan menarik. Diakui atau tidak, begitulah kondisi kelas menengah yg antara pragmatis, opotunis atau apalah.