Browsing Tag

Maulwi Saelan

Apakah Bung Karno mengetahui rencana G 30 S PKI ?

Ada beberapa analisa bersumber dari buku maupun kesaksian perwira militer seperti Brigjend Soegandhi atau Kolonel ( KKO ) Bambang Wijanarko yang mengatakan Gerakan G 30 S PKI sepengetahuannya Bung Karno. Dengan kata lain dirinya adalah dalang dari peristiwa penculikan Jenderal Jenderal. Secara logika hal itu tidak masuk akal jika Bung Karno yang menggerakan pemberontakan ini. Buat apa ? Saat itu kedudukan Bung Karno sangat kuat, dimana secara politis dia memegang kekuatan militer dan partai.

Sebagian besar AD ditambah AL, AU, Kepolisian praktis sangat loyal. Jika ada perwira seperti Soeharto yang dianggap kurang loyal, hanya memegang kesatuan Kostrad yang saat itu belum nerupakan pasukan pemukul seperti sekarang. Masih merupakan kesatuan cadangan Angkatan darat. Mayoritas seperti Brawijaya, Siliwangi, Diponegoro bahkan merupakan Soekarnois. Jadi buat apa dia melakukan kudeta untuk dirinya sendiri. Siapa yang diuntungkan? Lagian apa untungnya menghabisi Jenderal Yani, yang justru pagi itu sudah ditunggu di Istana untuk diberi tahu tentang proses alih jabatan.

Peran seseorang atau kelompok dalam suatu kegiatan berbanding lurus dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam peristiwa 1965 itu Sukarno adalah pihak yang dirugikan karena selanjutnya ia kehilangan jabatannya, sedangkan Soeharto sangat diuntungkan. Ia yang selama ini kurang diperhitungkan berpeluang meraih puncak kekuasaan karena para seniornya telah terbunuh dalam satu malam. Bagi Bung Karno, jangankan membunuh para jenderal. Membunuh nyamuk atau mengurung burung saja dia tidak tega.

Continue Reading

Memaknai Film G 30 S PKI

Embie C Noer, yang menjadi penata musik dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI, masih ingat kata kata kakaknya Arifin C Noer yang menjadi sutradara film ini. “ Ini film horror mbi “.

Bagi Embie itu cukup untuk mengembangkan tafsir musik dan bunyi bunyian. Embie memilih meramu suling bamboo, tape double cassette, keyboard dengan semangat pseudo- modern sebagai representative politik Indonesia saat itu.

Sementara Amoroso Katamsi yang mempelajari karakter Soeharto selama 3 bulan, mendapat kesempatan untuk bertatap muka langsung sambil mengikuti kegiatan Soeharto. Kadang Amoroso memakai baju tentara, karena saat itu ia masih berstatus Letkol Angkatan Laut. Soeharto memang tidak banyak bicara. Setelah sutradara menyerahkan scenario padanya, ternyata tidak ada perintah spesifik untuk revisi. Soeharto juga cenderung tidak perduli dengan hal hal detail. Jajang C Noer yang saat itu juga membantu riset kostum, dimarahi Soeharto karena bertanya terlalu detail untuk urusan pakaian.

Soeharto hanya mengatakan kurang setuju dengan Eddy Sud yang awalnya diplot untuk memerankan Bung Karno. Akhirnya peran itu jatuh ke Umar Kayam. Menurut pengakuan Amoroso, dalam “ Pak Harto – The Untold Story “. Mereka bertemu setelah film itu selesai. Lagi lagi Soeharto tidak banyak bicara. Ia tidak memuji, juga tidak menggurui. Ia hanya mengatakan “ Film itu bagus “.

Adalah Syu’bah Asa, budayawan dan wartawan majalah Tempo yang dipilih Arifin untuk memerankan Aidit. Menurut pengakuannya sebagaimana dikutip seri buku TEMPO, ia ingin memberikan perwatakan yang lebih utuh. Apalagi ia sudah mendapat bimbingan melalui diskusi yang intens dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. “ Tapi Arifin bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja “.

Maka seperti yang kita lihat dalam film berdurasi 271 menit itu, wajah Aidit muncul dengan fragmen mata melotot marah atau gaya merokok yang terus menerus seperti gelisah. Syu’bah merasa tidak sukses memerankan Aidit. Sang mentor, Amarzan hanya mengatakan buruk terhadap peran yang dimainkan Syu’bah.

Belakangan Amarzan mengakui sempat terlibat dalam proses produksi atas ajakan Arifin dan Danarto, penata artistik film. Ia memberikan masukan tentang suasana rapat rapat PKI dan situasi yang terjadi pada saat itu. Namun ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar. Akhirnya kita melihat adegan adegan rapat tersaji seperti guru yang mengajar di kelas yang sempit dengan asap rokok yang memenuhi ruangan. Kesan perencanaan gerakan yang besar seolah kehilangan konteks, karena diisi orang orang gelisah yang merokok tiada henti. Belakangan Danarto mundur sebagai penata artisitik. “ Setelah berbulan bulan melakukan riset, saya akhirnya mundur sebagai art director karena soal honor “ Danarto menjelaskan.

Continue Reading