Browsing Tag

Hatta

Tantangan kelas menengah

“Kita doa bersama untuk Pak Sabam. Terima kasih Tuhan, ketika orang mengatakan politik itu kotor, kami bisa melihat Pak Sabam yang mengatakan politik itu suci,” kata Ahok dengan khusyuk.

Itu bukan basa basi Ahok. Ini memang diucapkan Wagub Jakarta saat ulang tahun sesepuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ini bisa jadi legitimasi, bahwa tidak ada yang salah dengan politik. Yang salah adalah orang orangnya. Persoalannya memang tak semudah itu ketika makin lama, rakyat ( baca : kelas menengah ) cenderung apatis dan tak perduli dengan politik. Berita korupsi, penyalahgunawaan jabatan, patgulipat oknum partai dan proyek menjadikan politik sebagai penyakit kusta yang harus dijauhi. Tingkat kepercayaan terhadap partai merosot drastis, sehingga angka Golput cenderung besar.

Tapi mungkin tidak sepenuhnya benar. Kelas menengah masih perduli jika ada ancaman terhadap keadilan dan pilar pilar demokrasi. Ini bisa dianalogikan sebagai koboi yang datang membela warga kota dari ancaman bandit bandit. Mereka akan pergi lagi ketika bandit bandit berhasil ditumpas, dan kota hidup aman.
Kita bisa melihat fenomena ini dalam hiruk pikuk di social media tentang kisruh KPK dan Polisi. Posisi kelas menengah dan kaum intelektual sebagai elit penjaga demokrasi dan keadilan semakin jelas. Dorongan kepada KPK untuk tetap kuat, membuat tidak mudah bagi mereka yang ingin mengancam KPK. Hastag #SaveKPK di twitter menjadi trending topics dunia. Ini tak bisa disalahkan, karena secara moral rakyat harus membela KPK.
Presiden Jokowi dan elite partai pendukung ( PDIP dan Nasdem ) menjadi tidak popular, karena dianggap melindungi koruptor. Kini mereka harus berhadapan dengan kelas menengah yang ironisnya adalah pendukung mereka dalam pemilu kemarin.

Continue Reading

PRRI – Pemberontakan separuh hati

Kesaksian wartawan Keyes Beech dalam bukunya “ Not without the americans “ yang menggambarkan pengiriman senjata ke Padang tahun 1957. Sebuah kapal barang Amerika diatur untuk mengangkut alat alat berat dan bahan pembangunan yang akan di turunkan di Padang. Kapal itu juga membawa sejumlah persenjataan yang dalam manifest ditujukan untuk kebutuhan militer Thailand. Ketika kapal merapat di pelabuhan, Kolonel Ahmad Husein – komandan militer Sumatera tengah – dilapori atas penemuan senjata senjata di kapal ini. Ia lalu memerintahkan agar senjata senjata tadi dibongkar dan ‘ diamankan ‘. Seminggu kemudian si penulis bertemu agen CIA di Bangkok. Sang Agen mengamini, bahwa cara cara seperti yang dilakukan untuk memasok senjata untuk pemberontak PRRI di Sumatera.

John Foster Dulles, Menteri luar negeri Amerika saat itu sudah sangat cemas melihat PKI bertambah kuat di Indonesia. Instruksinya kepada Duta besar Allison pada permulaan tahun 1957 lebih jelas lagi :

“ Jangan biarkan Sukarno sampai terikat dengan komunis. Jangan biarkan dia menggunakan kekerasan melawan Belanda. Jangan dorong ekstremis-nya. Dan diatas segala galanya, lakukan apa saja yang dapat anda lakukan agar Sumatera ( pulau penghasil minyak ) tidak sampai jatuh ke tangan komunis “

Dalam hal ini, Hatta sengat kecewa dengan pembentukan Pemerintahan tandingan. Terlebih dengan tokoh tokoh yang membelot seperti Sumitro Djojohadikusumo, Burhanudin Harahap, Sjafrudin Prawiranegara, Simbolon, Kawilarang sehingga dianggap membuat daerah ‘ semakin berani ‘ mengancam pusat.

Ditengah ketegangan, Sukarno melakukan perjalanan ke luar negeri selama 6 minggu pada January 1958. Ketika Kolonel Sumual masih mencari senjata di Maniila. Sebuah ultimatum kepada Presiden Sukarno dikeluarkan oleh Kolonel Simbolon dan Ahmad Hussein di Padang, Sumatera Barat tgl 10 Februari 1958. Ultimatum itu diberi nama “ Piagam Perjuangan untuk menyelamatkan Negara “ menuntut Kabinet Djuanda mengundurkan diri, Sukarno kembali ke kedudukan sebagai Presiden ‘ konstitusional ‘. Kemudian Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX membentuk ‘ zaken kabinet ‘ yang terdiri dari orang jujur, terhormat serta tidak memasukan golongan komunis.

Perdana Menteri Juanda tak mungkin memenuhi tuntutan pemberontak. Saat Sukarno masih di luar negeri. Justru Nasution mengambil keputusan memecat Ahmad Hussein, Lubis, Simbolon dan Djambek dari tentara. Nasution juga memerintahkan penangkapan mereka dengan tuduhan “ melakukan percobaan pembunuhan kepada Presiden, berencana mengubah negara dan pemerintah dengan kekerasan “.
Dengan habisnya batas waktu ultimatum, maka diumumkan tanggal 15 Februari 1958 di Padang, terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI ).

Continue Reading

Sumpah ( Korupsi ) Pemuda

Keputusan menggunakan bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda tahun 1928 ternyata membuat kebingunan para peserta. Mereka yang umumnya lebih paham bahasa Belanda merasa tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Salah seorang peserta, Sogondo Djojopuspito mencoba memakai bahasa Indonesia dalam pidatonya, namun penggunaan kalimat ‘ blepotan ‘ janggal tidak sempurna malah menimbulkan kebingungan dari peserta sidang. Sementara Siti Soendari, langsung memakai Bahasa Belanda dalam pidatonya. Ia mengakui tidak bisa berbahasa Indonesia.

Ada yang jauh lebih menarik, untuk pertama kalinya para pemuda ‘ memaksa ‘ dirinya menerima bahasa Indonesia sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan. Setidaknya bagi mereka yang tidak bisa mengerti bahasa Indonesia, akhirnya meminta maaf sebelum memulai orasinya karena memakai bahasa Belanda.

Ini pengorbanan para pemuda untuk melepaskan identitas etnisnya , mencoba memakai bahasa baru yang justru asing bagi mereka. Sesederhana itu sebagai simbol komitmen pemuda untuk nasionalisme negerinya.
Saat itu cukup para pemuda bergotong royong mencari untuk memenuhi kebutuhan ‘ event organizer ‘ penyelenggaraan kongres. Maruto Nitimihadjo , sebagai mahasiswa Recht Hoge School dan ketua Club Indonesia di Kramat Raya Jakarta, ikut menyumbang sedikit dari pendapatan tambahannya mengajar kursus jurnalistik.
Muhammad Yamin karena sudah mengusulkan memakai bahasa pengantar, bahasa Indonesia dalam kongres ini, Mau tidak mau, harus kerja keras sebagai ‘ volunteer ‘ menjadi penerjemah, bagi yang kurang mengerti bahasa Indonesia dengan baik.
WR Supratman juga tidak pernah berpikir, berapa honor yang harus diterima, untuk memainkan melodi ‘ Indonesia Raya ‘ didepan peserta Kongres.

Lalu yang diharapkan jika kelak negeri yang dinamakan Indonesia ini merdeka? Ketika impian para pemuda akhirnya tercapai. Tentu belum begitu dipikirkan bagaimana mengelola negeri ini demi kemakmuran rakyatnya. Apakah mereka para pemuda akan tetap tulus, ikhlas dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dalam mengisi kemerdekaan.

Continue Reading

Benarkah Sukarno minta ampun ?

Cerita tentang permohonan maaf Sukarno, adalah kisah yang paling kontroversial sekaligus absurd dari kisah kehidupan perjuangannya. Mungkinkah Bung Karno – yang dipuja sebagai bapak kemerdekaan Indonesia – pernah meminta ampun dan berjanji bertobat ke Pemerintah kolonial ?.

Ditambah dalam pembuangannya di Ende, Flores, Bung Karno menyibukan diri dengan hal hal di luar politik. Saat itu ia mulai belajar shalat dengan meminta kiriman buku “ Panduan Shalat “ dari A. Hassan, seorang pemuka Islam dari Bandung. Selain itu dalam koresponden rutinnya dengan Hassan, ia sering bertanya tentang Islam, maupun permintaan dikirimi buku buku Islam lainnya.
Kegiatan lainnya Bung Karno adalah membentuk group tonil sandiwara yang dinamakan ‘ Toneel Klub Kelimutu ‘. Group tonil ini diakui Bung Karno menjadi salah satu nafas yang membuatnya bertahan hidup di tanah pembuangan

Sejumlah penulis asing mengangkat topik ini dalam bukunya. Bernard Dahm dan Lambert Giebels mungkin yang paling menonjol.
Bernard Dahm pernah menulis hal ini. “ Sukarno and the struggle for Indonesian Independence – Ithaca NY : Cornell University Press – 1969 ) dalam halaman 166 – 173. Ia mengutip cerita Maskun, bekas pengikut PNI lama yang masuk bergabung dengan PNI baru, yang juga ditangkap dan dimasukan ke penjara Sukamiskin. Ia mengatakan kalau istrinya pernah dititipkan surat dari Sukarno kepada Inggit untuk disampaikan kepada Pemerintah kolonial.
Maskun memang pernah tinggal bersama Sukarno dan Inggit di Bandung, sehingga cukup dekat.

Cerita itu agak aneh. Buat apa Sukarno harus menitipkan surat kepada istri Maskun. Mengingat Sukarno bisa mengirimkan surat itu melalui sipir penjara atau langsung ke istrinya sendiri karena Inggit selalu rutin mengunjungi Sukarno.
Perlu diketahui saat itu tingkat persaingan para tokoh pergerakan dari kelompok Sukarno ( Partindo ) dan Hatta ( PNI Baru ) sangat tinggi. Debat debat keduanya mengisi halaman halaman koran Daulat Ra’jat, Menjala, Api Ra’jat dan Fikiran Rakjat selama berbulan bulan. Sukarno, seorang pendorong agitasi masa, yang berbeda dengan Hatta untuk membentuk kader kader terdidik dalam organisasi.
Tentu perseteruan ini turun sampai ke kader kader di bawahnya.

Hatta percaya tentang surat itu tapi tidak pernah melihat surat itu sendiri. Ia menduga bahwa Sukarno seorang pemimpin yang sulit berpisah dengan rakyat. Ia terbiasa dielu elukan rakyat yang menghadiri pidatonya dengan suara yang menggelegar dan membuai. Ia disalami disambut seusai pidato. Dengan kata lain menurut Hatta, Sukarno merupakan pahlawan yang kesepian jika harus tinggal di daerah tanpa peradaban seperti Digoel. Waktu itu ada pemberitaan Sukarno akan diasingkan ke Digoel, walau akhirnya ia dibuang ke Flores.

Sedangkan John Ingleson dalam “ Road to Exile : The Indonesian Nasionalist Movement 1927 – 1934 “, menulis setelah ditahan Sukarno berkirim surat kepada Jaksa Agung bahwa ia menarik diri dari pimpinan Partindo, menyesal atas kegiatan politiknya serta bersedia bekerja sama di masa mendatang dengan Pemerintah, asalkan ia dapat bebas.

Cerita tentang surat permohonan ampun Sukarno ini pertama kali diangkat oleh Rosihan Anwar dalam artikelnya “ Perbedaan antara politik Soekarno dan Hatta “ dalam harian Kompas 15 September 1980.
Berbagai reaksi muncul dari tulisan ini. Ada yang menuduh Rosihan menyebar fitnah, ada pula pula yang biasa saja. Mulai dari Sitor Situmorang, Ong Hok Ham, Anwar Luthan, sampai tanggapan Presiden Soeharo dan Wapres Adam Malik di harian Merdeka. Namun umumnya menolak dengan keras tuduhan ini.
Moehamad Roem dengan mempertaruhkan namanya, ia menuduh bahwa pemerintah kolonial sengaja memalsukan surat permintaan ampun Soekarno.

Continue Reading

Tentang Hatta

Agustus 1932. Udara lembab dan panas begitu menyengat para penumpang kapal “ Rotterdamse Llyod “ yang baru saja bersandar di pelabuhan Batavia setelah menempuh perjalanan panjang dari Negeri Belanda. Seorang pemuda berusia 30 tahun, merapal kerinduan tanah airnya. Hatta, apa yang kau lihat dari atas kapal ? Kemiskinan yang tergambar dalam hilir mudik koeli koeli telanjang dada mengangkut barang ? Aroma pemberontakan menyeruak ke dadamu yang selama 11 tahun merantau, menuntut ilmu di negeri sang penjajah. Studimu selesai dan gelar doktor telah ditangan, namun kau tak bisa menahan diri untuk melakukan sesuatu untuk bangsamu yang tertindas .

Teriakan teriakan inspektur Polisi bercampur hiruk pikuk pelabuhan, memanggil penumpang yang baru turun untuk melakukan pengecekan barang barang yang dibawa. Seorang intel Belanda membisiki sang inspektur polisi, sambil melihat ke Hatta yang berdiri mengantri bersama penumpang lainnya. Kau tahu bahwa hidupmu tak menjadi lebih mudah dengan kedatanganmu ke tanah air. Suasana kolonial memang berbeda dengan negeri dingin tersebut.

Bayang bayang masa lalunya berkecamuk tiba tiba. Kau yang ditinggal mati ayahmu sejak berusia delapan bulan, dan setiap pagi diantar naik bendi kakekmu – Ilyas Baginda Marah – bersekolah di sekolah dasar Belanda.
Kau juga teringat masa kecilmu saat berusia 10 tahun. Wajah wajah marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang orang yang lewat. Sekitar 10 kilometer dari kota kelahirannya. Di Kampung Kamang rakyat berontak karena menolak membayar pajak. Terjadi konflik berdarah. 12 orang marsose tewas dan ratusan penduduk ditembak mati. Banyak orang ditangkap, termasuk Rais, pamanmu. Ia melambaikan tangannya dirantai dari jendela kereta api yang membawanya dari Payakumbuh ke Padang. Ini adalah dalih pemerintah kolonial memakai pemberontakan Kamang untuk menangkap Rais, karena ia pernah menulis kritik tentang kelakukan pejabat Belanda dalam surat kabar ‘ Utusan Malayu ‘ di Padang.
Hatta kecil melihat dengan jelas karena ia menunggu kereta api yang lewat di dekat rumah.

Wajah wajah pucat berkulit putih kemudian mendominasi pikiranmu. Masa masa perjuangannya bersama ‘ Perhimpunan Indonesia ‘ di negeri Belanda. Kau memang seorang yang gemar membaca. Dari oase ilmu pengetahuan yang kerap dilahap, melahirkan tulisan dan pemikiran tentang bangsanya. Tulisanmu yang menggegerkan berjudul “ Indonesia di tengah tengah revolusi Asia “ di muat dalam buku peringatan 15 tahun berdirinya Perhimpunan Indonesia pada tahun 1923.
Siapa yang mengira dari sebuah brosur yang ditulis Tan Malaka tahun 1925, Naar de Republiek Indonesie ( Menuju Republik Indonesia ), Kau semakin terpengaruh dengan ide ide kemerdekaan negerimu. Dalam brosur itu Tan Malaka meramalkan kemungkinan pecahnya perang pasific, yang akan memberikan kesempatan Indonesia melepaskan penjajahan Belanda.

Continue Reading

NU & Sukarno

Banyak yang bertanya tanya, apakah NU itu semacam ormas semangka ? Luar hijau tapi dalamnya merah. Analogi ini mengacu pada kedekatan kaum nasionalis dengan nahdliyin sejak dulu.. Kita tentu mengingat awal awal orde reformasi, Gus Dur sendiri menitipkan keponakannya untuk ditaruh di PDI P. Selain itu konsistensi NU dalam menyikapi masalah kebangsaan dari bingkai pluralisme, menjadi benteng terhadap gerusan ide ide sectarian dan negara Islam. Tentu kita harus menarik garis merah sejarah bagaimana nasionalisme melalui Sukarno bisa bertautan dengan Islam.

Pada tahun 1930an, tulisan tulisan Sukarno tentang kebangsaan, sudah dibaca dan dikagumi di kalangan pesantren.. Khususnya tulisan Sukarno “ Mencapai Indonesia merdeka “ yang memberikan obor semangat nasionalisme pada para santri. Sehingga walau tidak ada bukti kedekatan fisik antara Sukarno dan NU, namun dalam tingkat ide, pemikiran Sukarno bukan sesuatu yang asing bagi NU.
Ini menjelaskan artikel “ Riwayat singkat Nahdlatul Ulama “ dalam Majalah Gema Muslimin – yang dimuat Feb 1945 – menulis bahwa para santri di Tebu Ireng tahun 1930an sudah menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya setiap hari kamis, setelah mata pelajaran terakhir.

Pada muktamar NU ke 25 di Surabaya tahun 1940, NU justru melihat Sukarno – yang saat itu dalam pembuangan – menjadi calon pemimpin Indonesia yang mumpuni jika Indonesia merdeka kelak. Saat itu dibuat semacam konvensi Presiden masa sekarang, yang dipimpin oleh KH Mahfud Siddiq. Mereka berkumpul memilih nama nama calon pemimpin yang muncul dari tokoh tokoh pergerakan Islam atau kebanggasaan. Dari 11 ulama senior dalam pemilihan konvensi itu, 10 memilih Sukarno dan 1 memilih Hatta.

Menarik mengapa justru Sukarno yang sekular yang terpilih, bukan Hatta yang dari permukaan tampak lebih Islami.
Ada beberapa persamaan Sukarno dan NU. Sama sama Jawa Timur dan sama sama mencintai kebudayaan lokal, sehingga agama dan budaya bisa menjadi satu, menjadi Islam. Namun lebih dari itu, sejak lama NU mengamati tulisan tulisan Sukarno, dan khusus pada tulisan ‘ Nasionalisme, Islam dan Marxisme ‘.
Mereka terpukau bahwa Sukarno menawarkan titik temu antara nasionalisme dan Islam. Ini menunjukan kesamaan pola pikir, NU mempunyai metodologi yang nyaris sama. Gemar menyatukan dua hal yang tampaknya berbeda.

Continue Reading

Sepenggal pemikiran tentang Kemerdekaan

Kita selalu memikirkan proklamasi dengan renungan beratnya jaman penjajahan. Orang orang Belanda dan Jepang adalah musuh yang yang harus dibasmi habis. Bahkan ketika malam menjelang pagi tanggal 17 Agustus 1945. Para golongan muda masih mencari musuh bersama, yakni golongan tua yang dianggap sebagai kaki tangan Jepang. Padahal tujuannya sama sama mulia. Ingin secepatnya memerdekan Indonesia.

Sejak awal para golongan muda sudah merasa Soekarno , Hatta dan golongan tua lainnya sebagai pengecut, tidak percaya diri karena masih tergantung dengan panitia persiapan kemerdekaan bentukan Jepang.
Lihat saja teks proklamasi versi Sukarni yang mewakili golongan muda “ Bahwa dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Segala badan badan Pemerintah yang ada harus direbut oleh rakyat, dari orang orang asing yang masih mempertahankannya “.

Isi teks ini tentu saja tidak memuaskan Soekarno – Hatta yang khawatir jika Jepang akan menghantam rakyat habis habisan.
Adu urat leher menjelang sahur, akhirnya mencapai kesepakatan. Sayuti Malik mengetik naskah proklamasi tersebut.
“ Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang mengenai perpindahan kekuasaan dan lain lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat singkatnya “.

Continue Reading

Soekarno – Hatta

Walau hubungan Soekarno dan Hatta mengalami pasang surut. Sebenarnya kedua orang ini sesungguhnya tetap bersahabat sampai akhir hayatnya. Sejak dulu keduanya memang berbeda dalam cara memperjuangkan kemerdekaan. Soekarno adalah orator ulung dan menginginkan penggerak revolusi massa, sementara Hatta sebaliknya. Ia pencerah alam pemikiran dengan pembawaannya yang tenang.

Menurut Soekarno jejaka Hatta adalah orang sangat malu dan merah mukanya jika bertemu gadis. Ia tak pernah berdansa, tertawa dan menikmati hidup. Tapi cara terbaik untuk melukiskan pribadi Hatta menurut Soekarno adalah dengan mengisahkan suatu kejadian.

Continue Reading

ruang hening proklamasi kita

Persoalan suara siapa yang harus didengar tidak menjadi monopoli jaman sekarang. Para generasi muda saat ini yang progressive menyuarakan mereka yang lebih berhak memimpin bangsa ini daripada ‘ old establishment ‘ generasi tua.
63 tahun lalu para pemuda menolak dengan keras ide proklamasi dengan melibatkan PPKI ( Panitia Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia )- bentukan Jepang – karena dianggap representasi sebuah kemerdekaan yang diberikan oleh Jepang. Ini sesuai yang dikatakan Jenderal Terauchi pada tanggal 12 Agustus 1945 kepada Soekarno dan Hatta di markas besarnya Saigon. Bahwa Pemerintah Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Persoalan tua muda, siapa yang layak mengambil keputusan atas nasib bangsa tidak melulu dilihat dari umur. Soekarno Hatta yang berumur 40 tahunan sudah dianggap barang rongsokan oleh generasi muda seperti Soekarni, Wikana, Soebadio, Soebianto Djojohadikusumo, Chaerul Saleh pada saat itu.

Continue Reading