Sepenggal Kisah Supir Taxi

Malam semakin larut di kantor dagdigdug. Sepi sekali dan saya masih menunggu taxi BlueBird di pelataran bawah pohon. Agak lama, dan tidak seperti biasanya. Lagu Stairway to Heaven masih sayup sayup terdengar dari bilik kamar Paman Tyo . Ia masih berkutat dengan logo dan desain sebuah project tampaknya.
Akhirnya taxi yang saya pesan itu muncul.
Setelah saya masuk, supir taxi meminta maaf karena agak lama. Sambil berjalan ia bercerita ketika berhenti di perempatan lampu merah blok M. Tiba tiba ada mobil yang berhenti dari sisi seberang. Seorang wanita berlari keluar, menghampiri dan memaksa untuk naik.

Sambil menangis ibu itu memohon untuk sekarang juga mengejar sebuah taxi lain yang baru saja berjalan. Menurut si ibu, taxi itu berisi pembantu yang membawa lari anaknya yang masih berumur 9 bulan. Ia bersama suaminya sedang melakukan pengejaran, dan mobilnya tak bisa memutar balik, karena taxi itu menuju arah berlawanan.
Supir taxi itu terpaksa menolak, karena terikat perintah untuk menjemput pelanggan. Sementara jalanan semakin macet, lampu berganti hijau dan taxi tak bergerak karena si ibu tetap memaksa naik.

Nafas saya tercekat. Udara semakin sesak.
Saya menyergahnya. Kenapa tidak memprioritaskan pasangan suami istri itu yang sedang panik dan membutuhkan pertolongan. Tiba tiba saya merasa bersalah.

Sang supir mengatakan bahwa ia bisa terkena sanksi perusahaan, karena sebelumnya ia sudah menekan kode melalui radio bahwa ia akan mengambil seorang pelanggan. Apapun alasannya, pasti akan melalui proses birokratis di perusahaan. Ujung ujungnya ia pasti salah, karena mengabaikan komitmen perusahaan terhadap customer satisfaction.
Supir taxi akhirnya melaju meninggalkan wanita yang menjerit jerit menangis itu.

Walau penjelasan supir itu hampir tidak masuk akal. Kejadian itu membuat saya semakin menyadari bahwa hidup itu adalah tentang pilihan. Seberapa pahitnya itu. Kadang kita tak bisa memilih sesuatu yang jelas secara nalar harus diambil didepan mata. Ada pertimbangan yang jauh lebih besar di luar kekuasaan kita.
Ini menyakitkan ketika kita tak berdaya terhadap pilihan itu.

Jika supir taxi itu memilih jaminan kelangsungan perut keluarganya – dengan tidak di skors bekerja – daripada menolong orang lain. Mungkin jadi terasa pragmatis. Bahwa orang akan menutup mata terhadap kejadian di sekelilingnya.

Kita bisa tetap memilih calon presiden yang mungkin memiliki catatan ketidakberpihakannya pada rakyat kecil dan keadilan manusia.
Kadang Rakyat juga tersandera dengan memilih calon calon presiden yang itu itu juga. Disisi lain walau SBY sudah memilih Budiono. PKS masih saja bingung memilih posisinya sebagai partai dakwah atau mengejar kekuasaan. Tak punya pilihan selain mutung dan ngambek, karena tidak diajak berembug oleh SBY menentukan calon pasangan wapresnya.

Dalam konteks kebangsaan yang lebih luas, bagaimana menarik partisipasi aktif warganya yang semakin tidak berdaya menghadapi pemerintahan atau penguasa yang semakin besar. Penguasa yang mengontrol nasibnya. Kondisi ini sering kali melahirkan apatisme.
Dan apatisme membusukan vitalitas demokrasi.
Seorang filsuf demokrasi John Stuart Mill mengatakan. Biarkan orang warganegara tidak melakukan apa apa untuk negaranya, maka lama kelamaan ia tidak peduli dengan negaranya.

Dalam perjalanan saya masih memaksa supir taxi untuk melaporkan ke kantor pusatnya melalui radio. Siapa tahu bisa mengecek keberadaan taxi blue bird yang saat itu mengambil penumpang wanita dan seorang bayi di perempatan lampu merah blok M.
Ia hanya menjawabnya. “ Sudahlah pak,..toh saya juga tak mengenal wanita yang kehilangan bayi itu.”

Sebuah jawaban yang mengubur ketidakberdayaan seorang manusia. Pada akhirnya kita tahu bahwa ketidakberdayaan dan ketidakpedulian sangat tipis batasnya. Orang menjadi apatis dan lebih baik memilih membeli ‘ tangga ke surga ‘ seperti lagu Led Zeppelin itu.

You Might Also Like

48 Comments

  • didut
    May 17, 2009 at 5:09 pm

    aduh kalo bener ceritanya kok sedih emen to ibukota akui

  • Oca V
    May 17, 2009 at 5:16 pm

    Hm*menghela nafas*
    Miris ya mas..*sambil geleng” kepala*

  • kombor
    May 17, 2009 at 8:05 pm

    Seperti penggalan cerita sebuah sinetron. Lama-lama saya amati kejadian di sekitar kita ini justru mengikuti apa yang ada di dalam film atau sinetron, bukan sebaliknya. Contoh penembakan Nasrudin Zulkarnaen itu. Kronologinya seperti korban film Amerika. Hanya satu tololnya, Yamaha Scorpio Sang Eksekutor tidak disamarkan atau dicopot plat nomor polisinya.

    BTW, semoga ibu itu berhasil merebut kembali anaknya. Hati siapa yang tidak akan iba melihat ibu itu. Akan tetapi, si sopir taksi juga tidak dapat disalahkan apabila ia memilih menjemput pelanggan sesuai order yang sudah diambilnya melalui radio komunikasi.

    Tidak usah terlalu merasa bersalah, Mas Iman.

  • bung tobing
    May 17, 2009 at 8:05 pm

    Waduh, saya kira ujung2nya bakal ada kejar2an seru sama taksi si penculik.

  • hedi
    May 17, 2009 at 8:14 pm

    ya ini sama peliknya dgn kasus pencopetan di bis kota tapi mayoritas penumpang cuek, antara bingung mau nolong dan tidak

  • mbakDos
    May 17, 2009 at 8:17 pm

    ternyata ada kalanya hati nurani dipaksa bungkam ya 😐

  • Wazeen
    May 17, 2009 at 9:53 pm

    however wanita itu masih sangat misterius, mungkin sopir taksi-nya masih masih berpikir “jangan-jangan”, btw Jakarta di malam hari memang begitu aneh.

  • bang fiko
    May 17, 2009 at 10:01 pm

    gak bisa komentar aku, Mas… Emang terasa menyakitkan ketika harus mengalami kejadian seperti yang Mas alami.
    BTW mohon maap dah lama gak mampir kesini. Habis udah keenakan baca tulisan Mas Iman via imel.

  • oscar
    May 17, 2009 at 10:24 pm

    saya sudah lama apatis…

  • ahmad
    May 17, 2009 at 11:03 pm

    Hidup memang sebuah pilihan…. walau kadang menyakitkan

  • Yoga
    May 18, 2009 at 12:50 am

    Misalkan mas Iman memberikan taksi itu ke si Ibu dan si sopir taksi diminta bertindak as if telah menjemput pelanggan atas persetujuan mas Iman, kira-kira kemudian apa yang terjadi? *wondering.. sambil mendengarkan Stairway to Heaven, favorit saya*

  • -GoenRock-
    May 18, 2009 at 12:59 am

    Semoga apa yang dijelaskan oleh si supir taksi itu tidak mengada-ada, mungkin dia sebetulnya peduli, tapi memang posisinya yang lemah yang mengharuskannya mengambil pilihan yang terkesan kejam. Semoga si Ibu bisa nemuin bayinya lagi 😐

  • Dony Alfan
    May 18, 2009 at 2:54 am

    Tak mampu, atau memang tak mau? Lawan!

  • DV
    May 18, 2009 at 5:44 am

    Saya merasakan ‘kesenyapan’ dalam cerita ini.
    Jadi ingat komentar teman, ‘ Di negara ini, nilai keapatisanku diasah’ 🙂

  • Ismawan
    May 18, 2009 at 7:26 am

    Saya jadi mikir, apa saya masih pengen balik lagi ke ibukota ya…

  • Koen
    May 18, 2009 at 8:38 am

    Aku jadi berprasangka buruk sama itu sopir taksi.
    Ia memilih terus membawa Mas Iman, pemesan yang sudah diverifikasi perusahaannya, dijamin aman dan nyaman; daripada harus menolong orang lain, yang berpotensi memberikan resiko tambahan pada pekerjaannya, biarpun atas perintah Mas Iman sendiri.
    Terlalu sering aku melihat ‘orang’ bekerja dengan cara itu. Orang yang hidupnya sudah tidak menarik lagi, sekedar satu dari kerikil-kerikil buram.

  • Koen
    May 18, 2009 at 8:40 am

    Eh, maaf, aku berkomentar panjang; padahal aku nggak ikut mengamati suasana sebenarnya. 🙂 Sorry.

  • dony
    May 18, 2009 at 10:31 am

    hidup itu pilihan kan mas ?
    supir taxi itu sudah memilih untuk memastikan ia bisa bekerja terus dengan nyaman
    dibandingkan ia harus menolong ibu itu

    ah pilihan 🙂
    miris dan berat

  • wku
    May 18, 2009 at 10:53 am

    sebuah pilihan yang berat… ternyata memang hidup ini penuh dengan pilihan, terkadang kita susah mencerna, tapi terkadang pula kelak kita seolah merasa lega telah menentukan sebuah pilihan itu… pfuiihh…

  • zam
    May 18, 2009 at 1:20 pm

    di jakarta, semua bisa jadi aneh. bisa juga si “ibu” itu salah satu anggota genk perampokan supir taksi? kita juga tak tau. terlalu banyak kepura-puraan di Jakarta, sehingga kita perlu waspada. dan si sopir taksi, sepertinya juga memilih “jalur aman”. kalo misal si sopir taksi “mengikuti hati nurani” menolong si ibu, tapi ternyata si ibu itu bagian dari komplotan perampok taksi, bijimana?

    yah, terkadang rasa iba dan kasihan di Jakarta ini dijadikan titik lemah seseorang, mas..

  • nuuii
    May 18, 2009 at 3:34 pm

    sedih ceritanya mas…
    seharusnya ketika ketika “memilih” tidak hanya sekedar isi kepala yang bekerja tapi hati nurani juga ikut serta 🙂

  • epat
    May 18, 2009 at 4:26 pm

    terkadang memang harus mematikan nurani, itu pilihan…

  • yoyok
    May 18, 2009 at 5:06 pm

    @zam

    tul, aku kerampokan jg gara2 itu 😀

    ~bukan sopir taksi

  • -tikabanget-
    May 18, 2009 at 7:58 pm

    mas iman ndak bilang gini,
    “besok kalo anak bapak diculik di depan mata saya,
    maap ya pak, kayaknya saya lagi buru-buru mau syuting..
    toh saya ndak kenal anak bapak..”

    betewe, sopir taksi itu kayaknya cuma males.
    karena, sayah pernah naek taksi “BLUEBIRD” dan lalu saya ngajak orang laen (yang notabene sayah ndak kenal) naek taksi itu bareng2.
    toh pada akhirnya, dia juga yang bakal dibayar kalo argonya banyak gara2 muter2 gak jelas.

  • -tikabanget-
    May 18, 2009 at 8:02 pm

    saya jadi inget buku “Kick Andy” yang minggu kemaren saya baca.

    Si Bang Andi itu cerita di salah satu bab bukunya, kalo suatu hari dia naek angkot.
    Lalu dia seangkot sama cewek dan cowok aneh.
    Si cewek turun ketakutan, karena si cowok ndempet dia terus.
    Si Bang Andi waktu itu bimbang antara ikut turun atau ngurus urusannya sendiri.
    Besoknya, dia baca koran, dan ada berita kalo si cewek itu ditemukan terbunuh di dekat lokasi si cewek itu turun.

    Si Bang Andi menulis di buku itu, kalo itu salah satu penyesalannya yang terbesar di hidupnya.

  • edratna
    May 18, 2009 at 8:53 pm

    Duhh menyedihkan sekali…
    Karena panik, ibu tadi langsung cari taksi yang lewat…padahal kalau pakai ojek malah bisa cepat ya? Karena taksipun bisa macet, jika jalanan macet

    Disisi lain, anakku kehilangan dompet, terjatuh ditaksi warna putih hari Jumat sor tgl. 15 Mei 2009. Udah hopeless, Minggu malam dia lapor ke polisi dan rencananya Senin pagi mau mulai mengurus KTP, SIM, ATM dsb nya. Senin pagi rumah digedor, ternyata pak Satpam dititipi nomor telepon oleh sopir taksi, yang menemukan dompet anak saya. Setelah ditelepon, semua isi dompet masih utuh…di Jakarta ternyata masih ada sopir taksi yang baik, nama taksinya eksekutif.

  • nika
    May 18, 2009 at 11:26 pm

    aduh pak ceritamu bikin gregetan… sebagai ibu yg punya anak, sedih bgt ibu itu gak bisa ngejar anaknya. tapi yg ini cerita beneran gak sih??

  • nika
    May 18, 2009 at 11:29 pm

    tapi zam bener juga. dan seperti kata bu edratna, kenapa juga gak naik ojek ya??

  • racheedus
    May 19, 2009 at 1:42 am

    Sebuah potret zaman yang pilu. Menolong orang lain dan mengorbankan kepentingan diri sendiri ternyata suatu pilihan yang langka.

  • Nazieb
    May 19, 2009 at 3:20 am

    Saat hati harus berhadapan dengan logika..

    Menyedihkan, memang..

  • antyo rentjoko
    May 19, 2009 at 6:54 am

    pahit. tapi inilah hidup. persoalannya adakah sebuah pola baku yang berlaku untuk segala kasus? orang sok bijak bilang, hidup ini tidak putih.

    suatu hari seorang pemuda segera turun dari bus yang terjebak kemacetan karena di dalamnya ada penodongan oleh beberapa orang. ketika dia berjalan menyusuri trotoar, rombongan bedebah itu turun dari bus, berjalan cepat.

    karena lalu lintas masih nggremet, pemuda itu sudah disalip oleh bus yang tadi. dia naik lagi. di dalamnya dia mendengar beberapa ibu korban penodongan menyumpahi para lelaki penumpang yang menurutnya pengecut.

    pemuda itu merasa bersalah. ketika mendapatkan pengakuan itu, kakaknya menghibur dia, “ini jakarta. kalau kamu sok pahlawan padahal penumpang lain tak mendukung, sehingga kamu masuk rumah sakit, apakah ibu-ibu itu akan menjengukmu?”

  • mikow
    May 19, 2009 at 10:14 am

    temen saya yg kebetulan supir taxi biru itu pernah kena skors gara2 taxinya di stop massa untuk menolong korban kecelakaan di perempatan mampang, sementara dia harus memenuhi panggilan penumpang di daerah kuningan. mungkin ini yg jadi pemikiran supir taxi yang mas naekin itu.

  • ea
    May 19, 2009 at 10:30 am

    semoga kelak kita bisa lebih berani mengahdapi pilihan ya mas

  • anderson
    May 19, 2009 at 4:04 pm

    Hidup di Jakarta kadang membuat banyak orang jadi apatis. Udah banyak kan cerita orang yang niat menolong ternyata malah dikerjain sama rampok. Paling-paling orang akan bilang,” lugu amat sih. makanya jangan sok jadi pahlawan” *bingung*

  • iman brotoseno
    May 19, 2009 at 6:56 pm

    Koen,
    he he life is too short to worry

  • mimut
    May 19, 2009 at 8:48 pm

    yaa…. gimana dong…??? tapi sungguh miris, buat si ibu dan si supir taxi…

  • wieda
    May 19, 2009 at 10:47 pm

    ngeriii….kayanya rasa kemanusiaan sudah hilang tertelan “ego”

    hehehe enakan ndengerin stairway to heaven sambil ngisep grass kalee yah?……yuhuiiiiiii

  • acip
    May 19, 2009 at 10:54 pm

    wew…mas…jadi sedih baca tulisan sampeyan yg ini…hiks..hiks..hiks..=(

  • dilla
    May 19, 2009 at 11:37 pm

    kejamnya jakarta bikin serba salah, terlalu curiga bisa jadi salah, terlalu baik juga sama aja.. ikutin kata hati aja lah..
    tapi miris juga kalo kejadian si ibu itu beneran terjadi 🙁

  • Sarah
    May 20, 2009 at 6:27 am

    Jakarta bisa dan selalu unpredictable…

  • Ihsan Kusasi
    May 23, 2009 at 10:16 am

    hidup adalah menentukan skala prioritas… dalam menentukan mana prioritas yang paling tinggi maka pengalaman hidup sangatlah penting… tidak salah kalo banyak orang bilang pengalaman adalah guru yang terbaik… di sanalah terdapat buah kebijaksanaan… jelas sopir taksi tersebut belum pernah memetik buah tersebut…

  • Adhini Amaliafitri
    May 23, 2009 at 3:00 pm

    prihatin bacanya 🙁

  • kw
    May 26, 2009 at 10:20 pm

    benar mas, aku juga sudah sangat keterlaluan ketakpedulianku pada negara..
    cuman apa yang aku bisa? 🙂

  • Catra
    May 26, 2009 at 10:48 pm

    Oportunis. Satu kata buat si supir taxi itu.

  • funkshit
    May 27, 2009 at 2:54 pm

    pas sd.. sopir taksi itu pasti akan memilih untuk menolong ibu2 itu pada pelajaran ppkn.. namun setelah dewasa.. semua tidak sesederhana itu..

  • Asyiro
    May 29, 2009 at 5:34 pm

    Itu sepenggal fragment, mas. Tinggal kita sbg apa dlm kisah tsb. Sopir taksi, anda sendiri, ibu yg nangis gegerungan, aturan lalulintas yg macet atau ……. Kita selalu dihadapkan pd pilihan-2 dlm hidup (bernegara & berbangsa) yg pastinya ‘lebih cepat lebih baik’ tetapi juga apakah harus ‘lanjutkan’ ini yg kadang sulit kita mengerti.
    Waduh, negeri tercinta ini semakin miris.

  • Rudra
    June 20, 2009 at 7:16 pm

    “Ini Jakarta,bung”
    Kalimat ini sering terlontar setiap ada kejadian yang mengikis hati nurani karena ketidakpedulian orang yang berada di sekitar tempat kejadian.
    Buat Saya Jakarta adalah kota yg menakutkan. Tingkat kepedulian terhadap sesamanya rendah,sangat rendah.

  • Kem
    June 27, 2009 at 3:33 pm

    Betul.. dalam hidup selalu dihadapkan pada sebuah pilihan..

Leave a Reply

*