Perjalanan itu terasa melelahkan. Bayangkan saja. Pukul 12.00 tengah malam, kami sudah meninggalkan kota Gorontalo menuju arah selatan. Sengaja memilih perjalanan malam, agar kami bisa tiba subuh di perkampungan Suku Bajo Torosiaje yang tinggaldi atas laut. Beberapa tahun lalu saya pernah melewati route ini, dari Gorontalo menuju kota pelabuhan kecil Marisa untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Kepulauan Togean, di Teluk Tomini.
Dari Gorontalo menuju Marisa ditempuh sekitar 3 jam, yang kemudian diteruskan lagi selama 3 jam sebelum tiba di Torosiaje.
Apa yang menarik dari Torosiaje sehingga bisa memaksa kami datang ?
“ Rumah dan perahu itu sama saja. Di rumah atau di perahu kami tidak dapat berjalan. Jadi kaki kaki kami hanya terbiasa hidup dengan cara seperti ini. Tapi kami senang hidup begini “
Demikian petikan seorang nelayan bajo yang menceritakan tentang sejarah dan cara hidup suku Bajo.
Konon seorang gadis puteri raja asal Malaka yang hilang atau melarikan diri dengan perahu lalu hanyut sampai di Bone, Sulawesi. Ayah si gadis itu lalu memerintahkan semua rakyatnya untuk pergi mencari anaknya yang hilang. Jadilah mereka merantau ke berbagai arah mata angin. Beranak pinak. Ini dianggap hikayat yang menjelaskan tentang komunitas bajo yang tinggal di India, Filipina , Jepang bahkan sampai Eropa. Di Indonesia sendiri perkampungan suku bajo ditemukan juag di Manado, Kalimantan sampai Flores.
Ini kilas balik ketika tahun 1926, Torsiaje resmi menjadi desa tradisional. Dikatakan desa karena tahun itu pertama kali suku Bajo membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda.
Waktu itu desa hanya berupa soppe soppe ( perahu perahu besar berukuran panjang 8 – 10 meter, tempat orang bajo tinggal ). Saat itu orang orang bajo mulai berkelompok.
Bahkan 30 tahun yang lalu Torosiaje hanya merupakan tempat singgah singkat bagi orang orang Bajo. Mereka berpindah pindah tempat dalam kelompok 5 sampai 10 soppe dan singgah di sekitar pulau pulau dikawasan teluk tomini.
Waktu dulu seorang Haji tinggal di sebuah pulau tempat sekarang menjadi desa Torosiaje. Orang bajo hanya singgah ke sana menjual ikan dan kulit penyu. Mereka menyebut tempat itu Toro ( tanjung ) si Haji. Demikianlah disebut Torosiaje.
Pulau itu lama lama digerogoti air laut dan tinggal sepetak kecil yang diperkuat dengan onggokan batu batu karang. Dulu memang setiap orang bajo singgah dan kadang menetap di Torosiaje dengan soppe nya. Lalu ada seorang pegawai pemda yang masih setengah keturunan bajo, mengumpulkan semua kelompok bajo yang tersebar ini dan membangun sebuah desa permanen.
Kini Desa Torosiaje terdiri kurang lebih 40 KK dengan penduduk sekitar 1300 orang, yang terbagi dengan 2 dusun. Dusun Mutiara dan Bahari Jaya. Terasa sekali pengaruh birokrat dengan penamaan dusun seperti itu.
Orang bajo biasa menangkap ikan seumur hidupnya. Ia hanya berhenti pada saat dia mati. Sehingga ketika pemerintah daerah pernah ‘ memaksa ‘ mereka pindah ke darat pada tahun 1982 , dengan menyediakan rumah dan kebun untuk bercocok tanam. Tak ada yang bisa bertahan. Mereka perlahan lahan meninggalkan daratan dan kembali ke laut. Rumah rumah semacam rumah transmigrasi pemberian pemerintah, ditinggalkan begitu saja.
Kami melewati rumah rumah yg terbengkalai tersebut sebelum tiba di bibir pantai hutan bakau. Matahari baru saja muncul dari balik cakrawala. Suasan sungguh sepi.
Hutan bakau dibelah oleh sebuah jalanan jembatan terbuat dari semen menghubungkan dermaga tanggul tempat kapal kapal kecil bersandar. Dari sinilah untuk tamu tamu diantar ke perkampungan.
Tak begitu jauh jarak dari dermaga menuju perkampungan Bajo Torosiaje. Mesjid, sekolah, puskesmas, warung, bahkan hotel sederhana dengan tarif Rp 100, 000,- per malam.
Rumah rumah tersebut berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas laut yang saling berhubungan. Mereka juga memiliki nama nama jalan yang menghubungi antar blok. Seperti nama jalan di darat. Jika orang orang darat memelihara kambing atau sapi. Orang orang bajo memelihara ikan, dalam karamba atau menjemur tripang di pekarangannya.
Walau Suku bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam dimensi leluhur. Budaya mantera mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat masih mendominasi kehidupan mereka. Peran dukun masih ada menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu ilmu.
Orang Bajo sangat mempercayai setan setan yang berada di lingkungan sekitarnya. Rumah dan dapur dapur mereka.
Mereka percaya pantangan pantangan larangan meminta kepada tetangga seperti minyak tanah, garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan upacara tebus jiwa. Melempar sesajen ayam ke laut. Artinya kehidupan pasangan itu telah dipindahkan ke binatang sesaji. Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya.
Kami mampir ke rumah merangkap warung Pak Jackson – entah kenapa dia diberi nama demikian, oleh orang tuanya – untuk melepas penat sambil memesan sarapan.
Nama orang orang dari yang sangat lokal seperti Bajo Mbo Me, Ua Denu ada yang berbau barat seperti Diana, Carima bahkan Jackson. Ini menarik mungkin persinggungan budaya sebagai suku yang gemar merantau, ketika singgah di pelabuhan atau daerah lain.
Rumah orang orang bajo sangat jarang dipenuhi perabot furniture seperti kursi meja kecuali memang mereka orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau pedagang.
Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga kita bisa melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.
Saya menyempatkan buang hajat, di kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur di rumah Pak Jackson.
Kamar mandi ini hanya semacam bilik terbuka, yang ditutupi kayu setinggi leher orang dewasa. Sambil jongkok, saya memandangi ikan ikan yang menyerbu ‘ makanan ‘ yang baru saja ditumpahkan.
Pada pagi hari, laut surut dan airpun mengalir membawa segala jenis sampah, sisa kupasan kulit buah, juga kotoran manusia menuju laut lepas. Jika tidak mereka hanya berputar putar dibawah kolong rumah.
Tidak mengherankan, kalau penyakit muntaber dan kolera sering kali menyerang penduduk desa Torosiaje.
Air bersih merupakan persoalan utama perkampungan ini. Jika dulu mereka mengambil air tawar dari sungai dan mengisinya di drum drum. Sekarang aliran air PAM di alirkan dari darat melalui pipa pipa bawah laut. Walau debit yang keluar sangat kecil.
Jadi jika hujan turun, merupakan kebahagian bagi penduduk kampung untuk mengisi tempayan dan tempat penampungan air mereka.
Pak Jakcson bercerita bahwa pemanasan global sekarang, orang orang bajo kesulitan memantau perubahan iklim. Padahal biasanya mereka sangat presisi dalam mengantisipasi. Gelombang pasang, letusan gunung berapi bisa diprediksi jauh hari sebelumnya.
Untuk berlayar di siang hari. Pada saat mereka tidak bisa melihat pantai, mereka mengandalkan ombak dan angina. Pada malam hari, bintang bintanglah yang menunjukan jalan.
Mereka menyebut bintang itu mamau atau karangita. Mamau atau karangita bisa menjadi penunjuk arah yang dituju.
Saya pernah mengalami ini dulu ketika menyeberangi dari pelabuhan Marisa menuju Kepulauan Togean. Kami mulai berangkat jam 4 sore dan tiba di Puau Kadiri, sekitar jam 12 malam dengan menggunakan kapal klotok tanpa penerangan. Kapten kapal yang asal suku bajo, bisa melewati kegelapan malam tanpa peralatan navigasi modern. Hanya melihat bintang bintang saja.
Laut adalah sumber hidup mereka. Sejak bayi dilahirkan, ia langsung dimandikan airl laut. Para dukun melakukan ritual dengan memandikan dengan air laut. Mereka juga menolak bala dengan memasang tanda tanda tertentu di atas laut.
Orang Bajo hidup dari mencari ikan. Jika tidak untuk berdagang, mereka hanya mencari ikan untuk makan sehari hari. Jika mereka ingin makan, mereka akan mencari dilaut atau di pasar desa.
Orang Bajo bangun pagi pagi seiring terbitnya matahari. Mereka duduk di lantai dapur atau di depan rumah sambil menghirup teh atau kopi. Kadang kadang sarapan dengan umbi umbian.
Mereka tidak terbiasa menyimpan makanan. Makanan yang ada di rumah itu – seberapa banyak – akan dimasak semua. Dihabiskan.
Ini terjadi ketika kami memesan makanan. Maksud hati hanya ingin mencicipi kuah asam seekor ikan kerapu serta sedikit papeda – makanan dari sagu – untuk kami berenam. Namun mereka menghidangkan begitu banyak makanan. Selain kuah asam, Ada berbagai macam ikan bakar, sayuran dan ikan kerapu yang dimasak dengan santan dan kunyit. Tentu saja tidak enak menolaknya.
Jadi sambil menunggu suami pulang menangkap ikan. Para perempuan bajo, menanak nasi. Bisa juga dia ke desa dengan menggunakan perahu, menanyakan kepada perempuan perempuan yang suaminya telah menangkap ikan pada malam atau dinihari sebelumnya.
“ Nya Daya “ – Apakah ada ikan ?
Saya berjalan keliling perkampungan sambil menikmati kehidupan suku bajo. Anak anak kecil berlari lari mengejar meminta di potret. Sementara beberapa lelaki tua duduk di beranda sambil memperbaiki jala.
Saya memperkenalkan diri dengan menyapa. Memperkenalkan datang dari Jakarta. Mereka tertawa, dan menyebut ‘ bagai Jawa “. Oh, orang dari Jawa.
Mereka bercerita, tentang seorang bernama Sengkang. Ia manusia ikan yang pernah hidup di Torosiaje. Sejak kecil ia memilih hidup berendam di air, dan bisa menyelam berjam jam tanpa ke permukaan. Sampai usia 40 tahun, sebelum ia meninggal, Sengkang – yang selalu telanjang – menjadi atraksi bagi orang orang yang datang ke perkampungan Torosiaje.
Jika Sengkang berenang mengelilingi perkampungan Bajo, sambil berteriak teriak merupakan pertanda malapetaka akan datang. Misalnya wabah penyakit atau gelombang pasang.
Memahami suku bajo di Torosiaje, bisa merupakan cermin bagaimana kita belajar memahami alam sekitarnya. Mengasah kepekaan dengan lingkungan kita hidup. Mereka selalu mengajarkan alam akan menghidupi mereka jika mereka hormat dan respect terhadap alam.
Mereka tidak pernah mencari ikan dengan peledak atau potas racun. Bukan kami yang melakukan itu. Itu orang orang Buton. Ketika ditanya apakah pernah mengebom untuk mendapatkan ikan.
Orang orang Bajo barangkali tidak pernah sedemikian kompleks memandang kehidupannya sebagaimana kita orang orang ‘ modern ‘ . Mereka tidak serakah mencari ikan. Cukup untuk hidup hari ini.
Barangkali ini yang tersisa dari sebuah peradaban ketika hutan ditebangi, dan lautan di kuras habis. Masih ada orang orang yang menjaga alamnya, karena mereka percaya alam yang akan menghidupi mereka. Dan kita manusia modern, tidak pernah percaya. Sedikitpun.
31 Comments
DV
February 23, 2012 at 6:00 amKampung seperti ini juga ada di Sumbawa.. saya pernah ke sana dan baru sadar mereka punya stereotipikal yang kurang lebih sama… Tulisan yang bagus, foto yang tak kalah bagusnya, Mas!
@jarwadi
February 23, 2012 at 9:17 amkereeen mas iman. seolah saya sedang membaca sebuah dongeng dari negeri antah barantah sebelum jaman dewata cengkar. tetapi mas iman melihat dengan mata kepala sendiri
Cut Ratu
February 23, 2012 at 8:26 pmWow…What a wonderful picture! Nice share mas Iman…
Btw jadi dalam rangka apa mas Iman kesana?
venus
February 24, 2012 at 12:41 amsemacam iri. njenengan enak banget ya bisa jalan kemana-mana :))
sabai
February 24, 2012 at 8:30 amMiris setiap dengar cerita klasik pemerintah orde baru memaksakan cara hidup yang menurut mereka lebih ‘beradab’ dan lebih baik, seperti memaksa orang laut tinggal di darat, ‘memaksa’ masyarakat di Indonesia timur makan beras sebagai makanan pokok dan lain-lain.
Masyarakat tradisional yang sudah terbukti hidup bahagia dengan cara dan kearifan suku mereka, kenapa musti dipaksa mengadopsi cara hidup yang sama sekali asing bagi mereka?
Kenapa nggak program2 pemerintah itu difokuskan pada memperbaiki kesehatan warga dan pendidikan anak-anak Bajo?
sabai
February 24, 2012 at 8:41 amSatu hal lagi, semoga warga kampung Torosiaje belum dan tidak akan pernah terbiasa makan mi instan. Menurutku, invasi mi instan adalah teroris nomor dua (setelah program-program salah kaprah dari pemerintah orde baru) yang merusak banyak sisi kehidupan masyarakat tradisional.
Di banyak desa yang masyarakatnya sudah tercemar mi instan, jadi malas memasak makanan tradisional mereka dan beralih ke mi instan, termasuk untuk sajian pada tamu.
Salah satunya yang bikin hati saya hancur adalah ketika menginap seminggu di desa nelayan tradisional di sebuah pulau kecil bernama Saponda (Sulawesi Tenggara). Rumah-rumah panggung nelayan-nya juga dibangun di atas laut, dengan lantai papan yang tidak rapat sehingga debur ombak terasa persis di bawah kaki kita di dalam rumah. Di dapurnya, para perempuan biasa memasak mi instan lalu dengan santainya membuang bungkus plastik mi ke laut melalui celah lantai papan itu!
Entah sudah berapa tahun kebiasaan ini mereka lakukan, karena tidak semua bungkus mi instan ini terbawa arus laut. Di bawah rumah-rumah nelayan itu bukan lagi bintang laut yang bertebaran tapi plastik bungkus mi instan.
Yahya Kurniawan
February 24, 2012 at 10:38 amCatet, masukin daftar tujuan liburan keluarga. Entah kapan tapi realisasinya 😀
hedi
February 24, 2012 at 11:41 amsuku seperti Bajo ini punya kearifan lokal, yg sudah langka di kota besar. Eh fotonya keren2 mas 😀
boyin
February 28, 2012 at 6:58 pmfotonya keren mas, tapi itu laut gak bisa di berenangi ya…kok ijo gitu…
Iman Brotoseno
March 1, 2012 at 10:56 amCut Ratu,
hanya jalan jalan saja ke sana,
Boyin,
Bisa kok diberenangi,
Sabai,
Iya itu problem besar masalah kebersiha. Karena MCK , sampah juga disekitar rumah mereka. Penyakit muntaber , kolera adalah wabah penyakit yg kerap merenggut nyawa penduduk bajo
Ceritaeka
March 7, 2012 at 11:51 amAku membayangkannya adalah kehidupan yang tenang tentram ya mas…
Kesulitan ada, tapi hidupnya gak neko-neko…
didut
March 10, 2012 at 7:47 amsaya juga ikut miris mas dengan isu sanitasinya, bagian yg menyeramkannya malah yg itu 😐
tira
March 11, 2012 at 2:14 pmKita selalu menganggap kehidupan suku2 asli tenteram, damai dan tidak serakah. Benarkah demikian, atau hal tersebut karena mereka tidak memiliki teknologi dan kesempatan untuk bersikap serakah? (teknologi penangkapan ikan besar2an, tekn penyimpanan, dst)
ipungmbuh
March 11, 2012 at 3:55 pmKalau ngga salah, daya jelajah suku bajo bisa sampai sulu dan filipina, betul begitu masiman?
edratna
March 16, 2012 at 9:06 amCerita kehidupan yang menarik, tentang alam, kehidupan orang-orang nya, adat istiadatnya.
Dan bagaimana kehidupan sederhana, tidak serakah, apa yang cukup dimakan hari itu….sungguh menyejukkan hati setelah kita mendapati tiap hari berita-berita yang bikin kesal.
Tulisan mas Iman yang selalu membuat rindu untuk datang kesini.
mochbudiarto
March 30, 2012 at 10:32 pmwah bagus foto-fotonya mas
Coach Factory
April 14, 2012 at 9:24 amThis is a quite good choice. You will be better.
Anna
May 4, 2012 at 8:45 amWaah luar biasa fotonya mas Iman. Mohon ijin saya share ke teman-teman. Saya pernah baca masyarakat Bajo ini punya kearifan lokal dalam mempertahankan keberlangsungan sumber daya alam laut yang dinamakan “Eha Laut”. Aturan hukum adat yang berisi larangan pengambilan sumber daya laut selama 3-6 bulan. Sama halnya seperti “Hawear laut” di Kepulauan Kei…
Ery Aryani
August 21, 2012 at 12:49 amSuka sekali baca postingan ini. So far dari semua postinganmu yang aku baca (guna memenuhi rasa kantuk) dinihari ini hanya ini yang membuat perasaan aku campur aduk. Salut banget untuk masyarakat Bajo. Memang sie, menghidupi hidup ya untuk hari itu saja, jadinya enak and enteng banget ngejalaninnya. But sad I can’t and you’re damn lucky can be there. Again, thanks brother for share 🙂
AYAT NUFUS RUSLI
October 3, 2012 at 8:40 amkeren mas cerita nya,,, d daerah sya jga da perkmpungabn suku bajo. d pulau sumbawa bagian timur tepatnya di teluk bima.. mereka juga merupakan suku pengembara. tapi sekarang mereka muali menetap..
yus
November 9, 2012 at 8:46 pmdmna ya bisa dapatin buku tentang suku bajo ditorsiaje?
KISMAN BAJO
November 21, 2012 at 8:12 pmSIATURU PATTJU NE KITA
firdaus
January 19, 2013 at 9:35 pmmas, punya contact person di suku Bajo? punya rencana bln april ini mw kesana
Aini
March 27, 2013 at 10:35 pmMas imam, saya mau berkunjung ke torosiaje.bolehkah saya tanya2 via email? saya tunggu responnya ya..terimakasih
Iman Brotoseno
March 29, 2013 at 8:15 amAini,
silahkan…..
Han
April 25, 2013 at 2:50 pmKemarin baru ada liputan di Trans7 kalo orang-orang disana nyari ikan sambil menyelam pake tombak. Ngga tanggung-tanggung mereka diving bisa sampai 15 – 30 menit tanpa alat pernapasan. Modalnya cuma kaca mata super sederhana. Hebat banget. Mungkin kalo tanding sama orang-orang buat nahan napas di air, orang-orang dari suku Bajo bakalan menang.. 🙂
clara
December 29, 2013 at 10:58 pmmaaf sekedar berbagi, kebetulan saya juga sempat ke Torosiaje dengan teman2 untuk tugas kuliah. informasi yang saya dapat dari tetua adat di torosiaje kalau dulunya suku bajo tidak menetap disatu tempat karena mereka sering berpindah tempat. Torosiaje berasal dari 2 kata yaitu Toro (teluk) dan Si Aje (nama orang pertama suku bajo) jadi Torosiaje artinya teluk yang dimiliki Aje (perempuan).
Ahda mulyati muluk
October 15, 2014 at 1:23 pmMas imam, sy juga pernah kesana, kebetulan disertasi saya mengenai suku bajo. Tapi ada bbrp istilah yg belum saya dapatkan, kira2 ada informan yg bisa saya hububgi ?
kevin kujiman
August 2, 2015 at 2:43 pmDatang kamari jo ngoni samua di gorontalo nnti sama” dgn kt ksna di torosiaje.kt asli gorontalo ponaolo ti mai
Harry gobel
February 7, 2017 at 4:58 pmTerima kasih mas Imam sudah berbagi. izin share buat teman teman saya.
ibas
October 10, 2023 at 11:11 amgood article, thank you