Perfilman yang ( akan ) mati suri

Rangga Maya, adalah sosok produser baru di Indonesia setelah meluncurkan film “ Merantau “, sebuah aksi laga yang cukup fenomenal untuk ukuran film nasional. Namun kini ia berpikir ulang untuk menginvestasikan uangnya untuk seri film laga berikutnya. Sementara aktor Nicholas Saputra harus lebih berhati hati menerima tawaran film. Ia tidak bisa lagi memerankan adegan menghisap ganja seperti dalam film ‘ Tiga hari untuk selamanya ‘.
Semua itu terkait dengan dengan pasal 6 Undang Undang perfilman yang baru yang berisi larangan dalam sebuah karya film yang ingin diproduksi.

Larangan tersebut diantaranya mendorong khalayak melakukan kekerasan, perjudian, penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya. Lalu sesuatu yang bisa merendahkan martabat manusia.
Juga ada larangan menonjolkan pornografi yang semuanya masih merupakan ranah abu abu. Mana yang mesum atau tidak, karena akan mengundang perdebatan yang subyektif.

Timbul satu pertanyaan bodoh yang hitam putih. Jika semua pasal di atas diterapkan, lalu bagaimana tokoh penjahatnya karena dia tidak boleh lagi kasar apalagi memukul, menyiksa atau merendahkan martabat manusia. Walhasil penjahat hanya bisa berteriak teriak saja.
Aktor Iko Uwais juga tidak boleh memperagakan ilmu bela diri pencak harimau untuk membela kebenaran. Dilarang menghajar penjahat dengan pukulan dan kekerasan, sang jagoan kini mungkin harus menyadarkan si penjahat dengan dakwah atau pendekatan persuasif.

Yang paling sial adalah film film horror. Para hantu setan gentayangan itu nanti bukan berasal dari manusia yang mati diperkosa, di tabrak bus, di bunuh, atau jatuh dari jembatan. Ia harus berasal dari manusia yang mati penasaran karena serangan jantung, demam berdarah, atau mati kaget.
Tiba tiba saja saya geli membayangkan betapa seragamnya kelak tema film nasional kita.

Undang Undang film ini menunjukkan pemerintah tidak peka atau parahnya tidak tahu sama sekali dengan yang namanya perfilman. Larang sini larang sana, seperti ketika jaman orde baru, Departemen Penerangan melarang lagu lagu Cengeng diputar di TVRI.
Banyak aturan aturan baru yang seperti sertifikasi, ijin ijin dan standarisasi yang justru berpeluang menimbulkan kolusi dan rantai birokrasi.
Para pembuat film juga wajib melaporkan kepada Menteri tentang judul film, isi cerita dan rencana pembuatan film.

Kebijakan Pemerintah ternyata menjadikan film sebagai tangan birokratis dan represif sekaligus. Lihat saja pasal pasal sanksi administrasi dan pidananya. Dalam perundang undangan ini, Pemerintah hanya mementingkan aspek regulator dan komersialnya.

Bahkan aspek pendidikan dan pembinaan film luput dari program. Lihat saja minimnya kebijakan tentang kelompok film indie yang justru secara menakjubkan dalam dekade terakhir menjadi embrio munculnya sineas dan film film nasional secara swadaya. Komunitas indie terbentuk hampir di seluruh pelosok negeri tanpa bantuan pemerintah.
Tak ada pasal yang menunjuk mekanisme misalnya pendanaan film melalui bank atau lembaga dana khusus, seperti yang lazim di luar negeri.

Sekali lagi pasal mengenai sensor yang masih menimbulkan perdebatan. Karena para pekerja film masih menyuarakan metode klasifikasi daripada sensor. Ditambah diperbolehkan mendirikan Lembaga Sensor di daerah. Jadi bisa saja sebuah film bisa ditolak di suatu daerah karena budaya dan perilaku adat yang berbeda.

Pemerintah lupa, bahwa ada aspek kreatif, dan independen di dalam film. Biarlah semua urusan perfilman dikembalikan kepada orang orang pelaku film, termasuk untuk regulasinya. Biarkan mereka mau membuat film horror, cinta memble, aksi laga, drama, film anak, musikal atau apa saja. Toh uang uang mereka sendiri. Pasar yang akan membuktikan mana film sampah dan film berkualitas.
Pertumbuhan film nasional selama ini karena daya juang dan kerja keras insan film sendiri. Tak jelas peran pemerintah selain menyelenggarakan Festival Film Indonesia dan mengirim beberapa kali ke festival film di luar negeri disamping memajaki seluruh komponen film mulai dari bahan baku, sampai prosesing. Belum lagi pajak tontonan.

Daripada menjadi biang pengrecok dengan segala macam regulasi, lebih baik Pemerintah hanya mendorong iklim bisnis film seperti insentif perpajakan, kredit pembiayaan atau kalau mau lebih mulia, sekalian memfasilitasi bioskop alternatif untuk film film indie.
Sebagaimana yang teman saya katakan. Bahwa tidak lucu ditengah pertumbuhan film yang pesat , tiba tiba Pemerintah mengklaim sebagai pihak yang paling berjasa dan mengatur ngatur.

Barang kali memang benar sinyalemen saya, bahwa pemimpin atau pejabat negeri ini tidak memiliki rasa seni. Bahkan tidak peduli terhadap suatu proses karya penciptaan film. Stigma orde baru masih saja melekat bahwa film dianggap sebagai alat propaganda bukan sebagai bagian dari budaya dan fungsi hiburan sekaligus. Sehingga harus dijaga agar tidak melenceng.

Kalau sudah begini Rangga Maya akan lebih pusing. Selain tidak bisa memproduksi film film laga lagi. Bisa jadi sang suaminya – Gareth Evans – tidak bisa menyutradarai, seperti pada ‘ Merantau ‘. Bukankah pada pasal 21 wajib mengutamakan pekerja film nasional, termasuk sutradaranya ?

You Might Also Like

51 Comments

  • Jadong
    November 23, 2010 at 6:48 pm

    Lha…. mending ke negara lain aja kalo mau bikin pelem!!!

1 2

Leave a Reply

*