Memfilmkan ( menafsirkan ) Sukarno

Tidak seorangpun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro – kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit, dan dipuja bagai dewa – ( Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat )

Budayawan Umar Kayam pernah merasa kurang enak, saat memerankan sosok Sukarno dalam film ‘ Pengkhianatan G 30 S PKI ‘ terutama pada scene pangkalan Halim. Saat itu ia – Sukarno – harus menepuk nepuk pundak Brigjend Soeparjo yang melaporkan gerakan tersebut. Bagaimana tidak, bahasa tubuh yang diperankan dalam film itu jelas mengamini penonton, bahwa Sukarno merestui penculikan para jenderal. Penulis novel ‘ Para Priyayi ‘ yang mantan Dirjen Radio, TV & Film itu memang tak pernah dekat dengan Sukarno. Tapi ia tahu bahwa penguasa saat itu berkepentingan menggambarkan Sukarno menurut versi mereka, demi legitimasi rezim orde baru.

Setelah Soeharto tumbang, banyak bermunculan sanggahan untuk meluruskan sejarah, diantaranya bekas panglima Angkatan Udara Omar Dhani yang hadir di Halim saat itu. Menurutnya, Sukarno justru memarahi Soepardjo dan meminta menghentikan semua gerakan. Ditambah kesaksian Ratna Sari Dewi dan ajudan Mangil, yang menunjukan ketidaktahuan Sukarno atas apa yang sesungguhnya terjadi subuh dini hari tersebut.

Menafsirkan Sukarno tidak hanya medium tulisan, dalam bentuk buku. Tapi juga memasuki ruang audio visual. Tercatat ada 4 film biopic Sukarno. Hanung Bramantyo dengan “ Soekarno : Indonesia Merdeka “ sedang bersiap diputar bioskop. Ada juga “ Soekarno “ besutan Viva Westi yang bercerita kehidupan sang proklamator pada masa pembuangan di Ende. Selain itu ada versi berjudul “ Kuantar ke Gerbang “ dan “ 9 reasons, Great leader Great Lover “ yang entah jadi apa tidak memasuki produksi.

Banyak harapan film film Sukarno ini akan menjadi cerita sejarah ‘ alternative ‘ kalau tidak bisa dibilang sebagai pelurusan sejarah Sukarno yang sekian lama ditulis sejahrawan orde baru. Dari pihak keluarga Sukarno sendiri berkepentingan agar sejarah Sukarno diletakan pada rel yang sesungguhnya.
Menariknya para pembuat film berusaha menceritakan sejarah Sukarno dengan intepretasi masing masing. Pertanyaannya, sumber manakah yang paling sahih sebagai pemegang tafsir sejarah Sukarno ? Apakah buku buku sejarah yang sudah dipublikasikan, data data dokumentasi yang selama ini tersembunyi atau biografi Sukarno sendiri ?.

Ternyata biografi Sukarno paling popular yang ditulis Cindy Adams “ Bung Karno penyambung lidah rakyat Indonesia “ telah mengalami pemutarbalikan sejarah yang tidak sesuai dengan edisi asli bahasa Inggris. Ketika buku buku Sukarno sulit ditemukan paska 1965. Justru buku ini mengalami cetak ulang beberapa kali ( 1966, 1982, 1984, 1986, 1988 ). Pada cetakan pertama, masih tertulis nama penerterjemah Mayor Abdul Bar Salim. Pada edisi berikutnya pangkatnya tidak disebut lagi. Namun ada pengantar penerbit bahwa penerjemahan ini direstui Menpangad Letjend Soeharto, selain kata sambutan dari Soeharto sendiri. Dalam pengecekan yang dilakukan Yayasan Bung Karno, ternyata ada kekeliruan terjemahan, dan penambahan alinea dalam bahasa Indonesia sejak tahun 1966, misalnya kisah Sukarno yang seolah bisa membacakan proklamasi kemerdekaan tanpa kehadiran Hatta.

Bagaimana dengan sumber militer ? Kesaksian bekas ajudan Kolonel (KKO) Bambang Widjanarko kepada Teperpu ( Team pemeriksa pusat ) menyebutkan keterlibatan Sukarno pada gerakan. Anehnya pemeriksaan pada Kolonel Bambang dilakukan setelah Sukarno meninggal. Apakah ini guna menghindari dikonfrontir secara langsung ? Ajudan lainnya, Kolonel Maulwi Saelan membantah dengan mengatakan kesaksian Bambang telah diatur untuk memenuhi skenario Teperpu. Semua ini dibayar dengan tidak memasukan Bambang Wijanarko ke dalam penjara, sebagaimana yang dialami ajudan ajudan lainnya.

Dalam perjalanan hidup setelah turun dari kekuasaannya, Sukarno mengalami pasang surut , dimulai dengan mencapnya secara resmi sebagai kriminal pengkhianat negara, melalui TAP MPRS No 33 tahun 1967. Dalam salah satu butir Ketetapan MPRS tersebut antara lain berbunyi: “….Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.”
Sukarno juga mengalami karantina politik, dalam kehidupan sehari harinya. Bahkan sebelum menjalani tahanan rumah, ia dilarang memakai peci atau baju berkantung empat, yang bisa mengingatkan rakyat kepada sosok Sukarno masa silam.
Setelah 17 tahun, angin berubah ketika Sukarno bersama Hatta dijadikan nama bandara baru yang baru dibangun di Cengkareng. Disusul tahun 1986, ketika Soeharto menganugrahkan gelar pahlawan proklamator, dan belum berapa lama pemerintahan SBY memberikan gelar pahlawan nasional.

Sukarno adalah sosok menarik untuk dikupas dalam pergulatan sejarah perjuangannya. Namun banyak penulis atau penafsir yang gagal, karena tidak bisa memahami perspektif pribadi Sukarno yang bisa jadi sangat subyektif. Perpindahan minat Sukarno dari panggung politik ke panggung teater, semasa di pembuangan Ende, dianggap sebagai pertobatan seorang Sukarno. Saat itu dia membentuk group tonil sandiwara yang dinamakan ‘ Toneel Klub Kelimutu ‘. Sebagai sutradara dan penulis naskah – ada 12 naskah sandiwara – Sukarno menggunakan kelompok sandiwara ini untuk menyusupkan ide ide perjuangannya. Salah satu lakon yang paling terkenal adalah Dr. Sjaitan yang ditulis tahun 1936. Konon cerita itu diilhami oleh film Frankestein yang dikenal sebagai mayat yang dihidupkan kembali oleh doctor Boris Karloff.
Adegan transpantasi organ tubuh ke mayat menjadi kunci yang menarik. Apakah semua penonton tahu makna adegan itu ? Sukarno sendiri pernah mengatakan, bahwa moral cerita itu adalah, Tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi. Bangsa Indonesia akan bangkit dari tidur panjangnya di masa penjajahan.

Ia juga menciptakan naskah sandiwara yang diberi judul “ Indonesia 1945 “. Kenapa tahun 1945 ? Tidak tahu juga, apakah Sukarno semacam dukun yang bisa melihat masa depan. Dalam naskah tadi diceritakan bahwa bangsa Asia akan bangkit melawan penjajah. Kemudian “ Indonesia 1945 “ menjadi kenyataan yang diproklamasikan oleh penulisnya sendiri. Group tonil ini diakui Sukarno menjadi salah satu nafas yang membuatnya bertahan hidup di tanah pembuangan.

Kasus Sukarno dianggap sebagai kolaborator dengan Jepang, menunjukan ketidaktahuan apa yang terjadi saat itu. Padahal kolaborasi yang dilakukan Sukarno, Hatta dengan Jepang itu merupakan kesepakatan tiga serangkai – Sukarno – Hatta dan Syahrir. Tentang Romusha, pada awalnya Sukarno sendiri tidak bakal menduga bahwa kerja itu akan mencelakakan bangsanya sendiri. Apalagi waktu itu Sukarno dan Hatta menggunakan pengerahan tenaga kerja sebagai cara mengurangi angka pengangguran rakyatnya.

Sukarno lahir di bawah rasi Gemini. Sebuah lambang kekembaran, dua sifat yang berlawanan, sebagaimana dia pernah katakan sendiri. Dia idealis sekaligus pragmatis. Kepada Soebadio Sastrosatomo, Soebadio dan Soedjatmoko yang menghampiri Sukarno pada awal 1944 dan memprotes dukungan Sukarno terhadap Jepang. Ia mengatakan, “ dengan setan sekalipun saya mau bekerja sama andaikan dengan demikian saya dapat menolong bangsa saya “.

Menyimpulkan Sukarno seorang demokratis juga tak sepenuhnya benar, karena dia memberangus koran pengrikitiknya dan memenjarakan penentangnya. Dalam biografi bekas tokoh Permesta, Ventje Sumual. Dia menceritakan Sukarno tak sepenuhnya nasionalis, karena memilih Nasution sebagai KSAD atas pertimbangan agama Islam, dibanding Simbolon yang Kristen. Alasannya karena dia membutuhkan dukungan politisi Islam di parlemen. Sumual mendengar dari Letnan Kolonel Prajogo, komandan CPM yang mendengar penuturan langsung dari Sukarno yang tak menduga kalau si komandan CPM beragama Katolik.

Kebiasaan Sukarno menonton film seminggu sekali di Istana menunjukan dia sebagai sosok yang egaliter. Sukarno mengajak seluruh pegawai Istana untuk berbaur bersama bersama anak anaknya dalam ruangan pemutaran film. Dia bisa sangat marah ketika ada yang masih bercakap cakap ketika film diputar. Tapi dia juga mempersilahkan pengawal pengawalnya untuk memakan suguhan yang disediakan untuk keluarga Presiden. Sebagaimana dikisahkan oleh ajudan Mangil. Sukarno bisa tidak tega – memalingkan wajahnya – ketika melihat adegan seekor rusa yang ditembak oleh pemburu. Kisah ini melukiskan Sukarno sebagai pribadi yang hangat, terbuka, bergelora, sensitive dan sangat kompleks.

Frans Goedhart, wartawan harian ‘ Het Parool ‘ yang hadir dalam perayaan proklamasi kemerdekaan pertama di Jogja pada 17 Agustus 1946, mempunyai komentar ringkas setelah ia mendengarkan pidato presiden Sukarno. “ Fier en met open vizier, zo is Sukarno “ – Gagah berani dan dengan dada terbuka, begitulah Sukarno.
Dia memang sosok percaya diri sekaligus sombong. Dia pernah mengatakan kepada anak residen Bengkulu yang bertanya mengapa ia rajin sekali menghabiskan waku dengan membaca. Jawab Sukarno, ia perlu terus belajar karena dirinya adalah calon pemimpin masa depan Indonesia. Ya Sukarno seorang yang optimistis.
Satu hal menurut Fatmawati, Sukarno tak pernah munafik, selalu terus terang walaupun perkataannya akan menyakiti orang lain. Sukarno memang tak pernah sembunyi sembunyi mengemukakan perasaan cintanya kepada orang lain. Dia sangat gentlemen.

Berbagai hal di atas tentang pribadi Sukarno, bisa menjadi rujukan ‘ character development ‘ bagi sineas yang akan memfilmkan Sukarno. Perlu dipahami walau Sukarno seorang Jawa namun ia adalah produk Belanda yang ke-barat baratan. Ia lebih suka berbicara bahasa Belanda. Bahkan ia berpikir dalam bahasa Belanda. Ketika seorang sineas memberikan tafsir Sukarno yang berpikir dalam cara Indonesia, pasti akan membuat penokohannya tidak pas.
Berbeda dengan orang Jawa pada umumnya, Sukarno tidak pernah malu untuk berani mencium gadis yang disukai di sekolah. Jika membaca yang tersurat dalam biografi Inggit Ganarsih, bisa disimpulkan Sukarno muda sudah mengisi malam malam sepi si istri pemilik rumah kosnya, yang selalu ditinggal pergi suaminya. Apakah ini menjadi semacam men-down grade karakter Sukarno ketika ditampilkan di layar lebar ? Saya rasa tidak. Itu menunjukan Sukarno yang sesungguhnya. Seorang pencinta ulung.

Dalam salah satu film Sukarno yang berkisah kehidupannya di Ende. Si Bung terlihat selalu memakai kopiahnya dimana mana, termasuk di dalam rumah. Juga para anggota tonil sandiwara yang dikumpulkan, datang dengan hampir semua memakai kopiah. Tiba tiba saya bertanya, ini di Ende, Flores atau Riau, Sumatera timur ? Prosesi menyanyi Indonesia Raya sebelum pementasan di Aula Gereja Immaculata juga mustahil. Bagaimana mungkin mereka menyanyi didepan para tamu audiens yang ada orang Belandanya. Sementara Syahir di Banda, harus sembunyi sembunyi di pantai, ketika mengajarkan lagu kebangsaan.

Dalam ‘ Soekarno’ nya Hanung. Saya menghargai konstruksi sejarah yang ia tampilkan untuk generasi sekarang yang tidak mengenal bapak bangsa kita, walau si Bung terlihat gloomy dan seperti kehilangan semangatnya. Saya juga tidak mempersalahkan perbedaan persepsi, misalnya Riwu Ga yang digambarkan pulang terlebih dahulu, padahal ia tetap tinggal sampai proklamasi. Tak ada yang tahu kalau Riwu Ga adalah corong kemerdekaan yang pertama. Setelah para pemuda pulang. Soekarno memanggil Riwu. “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.” Waktu itu hampir mustahil menggunakan radio, mengingat fasilitas masih dikuasai Jepang.
Dengan menaiki jip terbuka yang disupiri Sarwoko, Adiknya Mr. Sartono, sahabat Soekarno dari PNI. Riwu berteriak dengan megaphone di jalan jalan dan gang gang Jakarta mengabarkan. Indonesia sudah merdeka.

Selain itu ada versi lain, bahwa sesungguhnya Sukarno mengantar Inggit pulang ke Bandung dengan oto ( mobil ). Kartika, anak angkat mereka duduk di tengah diantara Sukarno dan Inggit. Sementara Kyai Haji Mas Mansur ikut mengantar duduk di depan, sebelah supir. Saya hanya terganggu bahwa baju baju pada masa itu terlihat sangat rapih serta orang orang yang perutnya buncit. Padahal jaman Jepang dikenal sebagai jaman susah, baik sandang maupun pangan.

Tapi tafsir dari seorang sutradara, tidak ada yang lebih pas dari kemampuannya memilih cast pemeran. Terus terang Hanung memberikan yang terbaik. Namun jika saya boleh berandai andai. Saya meminta Hanung memberi porsi sedikit waktu saja kepada Inggit, ketika Sukarno membacakan teks proklamasi. Mungkin ini sangat personal. Bagi saya dari seluruh jasa Sukarno memerdekakan negerinya, sebagian besar ada ‘ saham ‘ dari Inggit yang mendampinginya dalam jalan panjang yang bukan bertabur bunga.

Bagi seorang sutradara film, kemampuan mengangkat sebuah cerita sejarah yang selama ini tersembunyikan, bisa menambah bobot film. Semakin kontroversial -walau belum tentu laku – bisa semakin tinggi pula bobotnya. Sebagai perbandingan, Oliver Stone membuat film “ JFK “ dengan mengadaptasi buku “ On the Trail of the Assassins “ by Jim Garrison dan “ Crossfire: The Plot That Killed Kennedy “ by Jim Marrs. Film JFK menuai kontroversi, karena banyak surat kabar utama Amerika menuduh Stone mengutak atik fakta- fakta sejarah. Termasuk implikasi dalam film ini, bahwa Presiden Lyndon B. Johnson adalah bagian dari kudeta untuk membunuh Kennedy.
Untuk melindungi dari serangan media, Stone menggambarkan filmnya sebagai mitos fiksi.

Sementara itu, sudah menjadi rahasia umum, tahapan riset dalam pembuatan film di Indonesia sangat singkat dan ala kadarnya. Bagaimana mungkin memahami sebuah peristiwa yang puluhan tahun di belakang masa Kennedy hanya berbekal riset dalam waktu singkat. Akhirnya film itu akan dangkal seperti kita membaca buku sejarah biografi ‘ mainstream ‘ pada umumnya.
Oliver Stone ketika hendak memulai skenario JFK, ia meminta Zachary Sklar yang juga editor buku Crossfire: The Plot That Killed Kennedy, untuk mengumpulkan data dan menyaringnya menjadi sebuah skenario besar. Selama setahun Zachary Sklar melakukan riset dan memberikan 550 halaman skenario kepada Oliver Stone. Kemudian Stone meringkasnya, menulis ulang dalam beberapa bulan menjadi skenario normal.

Kekuatan film-film Oliver Stone ada pada riset yang detil.. Film JFK muncul melawan opini ‘mainstream’ tentang kematian presiden John. F Kennedy. Opini mainstream seringkali menghubungkan insiden Dallas dengan rezim Castro di Kuba. Tapi sebagai propaganda psikologis yang masuk akal, film JFK memperlihatkan analisa historis yang sangat detail. Lengkap dengan dokumen-dokumen resmi sebagai bukti. Latar belakang Oliver Stone yang panjang di kemiliteran membuatnya begitu paham untuk menceritakan konsep film yang diinginkannya. Sementara banyak sineas di sini yang tidak gemar membaca sejarah, tapi mempunyai mimpi membuat film sejarah.

Memang kata orang, setiap generasi akan menulis sejarahnya sendiri. Peran Sukarno sebagai bapak bangsa yang membangun nation-state tidak akan terciderai karena tafsir pembuat filmnya, jika dibandingkan apa yang telah dilakukan membawa bangsanya ke gerbang kemerdekaan.

Sukarno barangkali contoh klasik pemimpin yang tragis. Ia membebaskan bangsanya dari penjajahan, namun ia sendiri hancur oleh ekperimen politiknya. Betapa kontroversialnya sosok Sukarno, yang jelas ia selalu mencintai rakyatnya. Bahkan teramat mencintai, dan tidak rela terjadi pertumpahan darah dari rakyat penentang dan pendukungnya. Padahal saat itu Angkatan Laut, Udara, Kepolisian, Divisi Siliwangi, Brawijaya ada dipihaknya jika ia memilih bertahan berkuasa. Panglima KKO, Jenderal Hartono berulang kali meminta, agar dia diberi perintah komando. Namun Sukarno tak mengeluarkan sepatah kata. Ia memilih mundur

Jika dalam pidato peringatan satu tahun proklamasi kemerdekaan di Jogja, Sukarno mengatakan ..” Republik Indonesia telah berdiri satu tahun. Dan Insya Allah, kalau kita dapat berdiri satu tahun, kita dapat berdiri pula dua tahun, kita dapat berdiri tiga tahun, tiga puluh tahun dan seterusnya, sampai akhir zaman “.
Semestinya inspirasi Sukarno akan selalu hadir dalam perjalanan semangat kebangsaan kita. Moral stori film film Sukarno akan membuatnya hadir di tengah rakyatnya dengan caranya sendiri. Bagaimanapun kemerdekaan rakyat adalah yang di cita- citakan. Kebahagiaan rakyat juga yang di idam-idamkan. Umar Kayam pasti mengingat momen pengambilan gambar di Istana Merdeka. Sambil menunggu scene selanjutnya, beberapa pelayan tua di Istana yang telah bekerja dari jaman dulu, datang menyalaminya. Bahkan ada yang berusaha mencium tangannya. “ Pak Karno rawuh “ ( hadir ) bisik mereka.

Foto foto syuting film tentang Sukarno dari sini dan
disini

You Might Also Like

25 Comments

  • kunderemp
    December 23, 2013 at 6:36 pm

    Pertamax kah?
    Mas Iman, versi Viva Westi sudah selesai dan ditayangkan di TVRI awal Desember lalu tengah malam.

  • Manusiasuper
    December 23, 2013 at 6:42 pm

    Menarik, menunggu film Soekarno yang disutradarai Mas Iman.

  • Enny
    December 23, 2013 at 7:01 pm

    Betapapun, saya menunggu film Soekarno ditayangkan…karena kawatir ditarik dari peredaran. Memang tak mudah membuat film sejarah…..dan banyak anak yang tak tahu lho, kalau si bung “Lelananging jagad”.

    Saya menunggu film-film Soekarno yang lain.
    Andai Inggti masih muda….mungkinkah Bung Karno terus dengan Inggit? Entah kenapa, kok saya merasa, Inggit paling pas mendampingi Soekarno.

  • Rifqi
    December 23, 2013 at 7:08 pm

    tulisan menarik mas, salah satu problem saya dgn film sejarah di Indonesia adalah pilihan wardrobe yg terlalu putih bersih bahkan menyilaukan. Apa iya di era awal Republik baju2 kita sebersih dan seputih itu? Barangkali diperlukan kemauan untuk membuat kostum yang lebih membumi

  • Iman Brotoseno
    December 23, 2013 at 7:20 pm

    Kunderemp,
    Iya saya sudah nonton juga
    Rifqi,
    Saya tulis khan diatas,..Saya hanya terganggu bahwa baju baju pada masa itu terlihat sangat rapih dsb

  • sesy
    December 23, 2013 at 7:24 pm

    yg menjadi pertanyaan besar saya ketika ntn film sukarno by hanung adalah reaksi anak2 ibu fatmawati. gambaran kecemburuannya singkat tp dalam. kira2 mereka keberatan g ya?
    penasaran jg ma bukunya cindy adams versi aslinya

  • adi 80
    December 23, 2013 at 8:33 pm

    gwe nonton waktu preview di century xxi, yang positif cuma jajanannya, sunggu gwe amat kuciwa nonton itu pelem, produser bolywood jelas gak ok lah, mana cuma dibikin dalam 72 hari, itu jelas2 bikin dengan semangat sinetron. bagus gak beli karcis. gwe jd kebayang kalau nonton sama si item, ude pasti die ngajak keluar, terus nge-wine yang disediain gretong. MERDEKAH

  • jarwadi
    December 23, 2013 at 9:55 pm

    sama seperti manusiasuper. untuk seseorang yang sangat tokoh seperti sukarno menurutku hanya keren difilmkan oleh orang yg idealis spt mas iman 🙂

  • Yenni
    December 23, 2013 at 10:22 pm

    Mungkinkah baju2 tsb memang ‘sengaja’ dibuat putih bersih? Agak aneh rasanya kalau hal tersebut terlewatkan sementara perkakas lain di dalam film itu sudah disesuaikan dengan jamannya secara rinci dan detil…

  • leksa
    December 23, 2013 at 10:39 pm

    Selain komentar mas Imas di atas, saya sedikit terusik dengan Soekarno di Hanung yg “ujug2” dia hadir udah “jadi”.
    Padahal proses ideologi Soekarno selama di SI dan Bandung, baik PNI maupun PARTINDO. Karyanya seperti “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” lahir di masa-masa pergulatan ideologi politik itu.

    Termasuk momen tertangkap saat PNI, masuk banceuy tetapi diasingkan ke Bengkulu. Lompatan yg jauh sekali sih menurut saya …

    Memang ini soal durasi.
    Tapi saya harus berterima kasih sama Hanung dan Zen, jadinya saya membaca ulang Bung Karno setelah sekian Tahun tidak pernah..

  • rasarab
    December 23, 2013 at 11:46 pm

    Selalu seneng baca kalau mas iman udah mbahas Sukarno. Jujur belum liat film nya yang dibiokop itu. rencana minggu ini.
    Di tunggu tulisan Sukarno nya lagi 😉

  • ekowanz
    December 24, 2013 at 10:48 am

    menunggu mas iman membuat romansa bung karno dan inggit…

    @leksa kayanya film sukarno ini pasti bermasalah di durasi. Sangat tidak mungkin menceritakan semuanya bila tak dipotong2 menjadi chapter2 kecil kehidupan bung karno yg sangat besar.

  • iPul Gassing
    December 24, 2013 at 12:09 pm

    Pasti berat memfilmkan kisah Soekarno secara utuh, apalagi tidak dibarengi riset yang panjang.
    mungkin akan lebih menarik kalau Hanung mengambil satu cerita saja dari sekian banyak chapter kehidupan Soekarno.

    masalahnya, mengangkat satu cerita tentu beresiko hasilnya jadi kurang komersil dan cenderung idealis. Punjabi pasti tidak setuju hihihihi

  • Pak Doel
    December 25, 2013 at 5:23 am

    Mas Iman, Asslamu’alaikum … Frase ini : “… Betapa kontroversialnya sosok Sukarno, yang jelas ia selalu mencintai rakyatnya. Bahkan teramat mencintai, dan tidak rela terjadi pertumpahan darah dari rakyat penentang dan pendukungnya. Padahal saat itu Angkatan Laut, Udara, Kepolisian, Divisi Siliwangi, Brawijaya ada dipihaknya jika ia memilih bertahan berkuasa. Panglima KKO, Jenderal Hartono berulang kali meminta, agar dia diberi perintah komando. Namun Sukarno tak mengeluarkan sepatah kata. Ia memilih mundur.” … menimbulkan pertanyaan sekaligus dugaan pd benak saya bahwa bukankah Pak Harto jg melakukan hal yg sama (walaupun tdk begitu persis) pd saat di akhir kekuasaannya?

  • lodra
    December 25, 2013 at 8:21 pm

    Salam kenal kang Iman, untuk referensi tentang sosok Soekarno saya suka interpretasi anaknya sendiri yaitu Guntur di buku “Bung Karno Bapakku, Kawanku, Guruku…

  • orbaSHIT
    December 26, 2013 at 11:10 am

    @pak doel sama sekali berbeda konteks dan keruwetan masalah yg dihadapi BK dan HARTO….BK jelas2x dikup ama HARTO! sedangkan HARTO “tepar” karena saling berebutnya para “loyalis” cendana thd kursi2x empuk disekelilingnya (RPKAD (prabowo)vs kostrad(wiranto)) dimana mereka2x ini adalah buffer inner circle cendana……HARTO bagai orang tua yg pandir karena TENTARA sudah menjauh dari dirinya (baik AD,AU maupun AL)

  • Ampiik
    December 27, 2013 at 1:42 pm

    Film ‘Soekarno’ sukar menggelegar sejarah aslinya

  • orbabest
    December 29, 2013 at 1:55 pm

    @orbashit, soekarno tidak dikup terus mau dibiarkan rakyat mati kelaparan, inflasi 660%, dan makan tikus sesuai instruksi Soekarno sementara Soekarno enak-enakan indehoi dengan gundik Jepang, istri-istri baru dan selir-selirnya? Lagipula yang terjadi tahun 1967 bukan kup terhadap Soekarno melainkan pelurusan UUD’45 secara konsekuen, karena Soekarno telah melanggar ketentuan bahwa presiden Indonesia menjabat lima tahun sekali dan selanjutnya harus pemilu. Ini malah Soekarno jadi presiden seumur hidup.

    Yang terjadi tahun 1998 baru namanya kup, karena Pak Harto terpilih secara sah berdasarkan pemilu dan diangkat MPR. Sudah tahu belum seorang Amien Rais saja sudah mulai kena sindrom Saya Rindu Soeharto karena para pemberontak ternyata tidak bisa berbuat lebih baik daripada Pak Harto dan hanya bisa menjadikan Indonesia sebagai bangsa bebek? Hehehe

  • orbabest
    December 29, 2013 at 2:53 pm

    Untuk filmnya Hanung cukup lumayan menggambarkan puncak karir Soekarno kok..bicara Soekarno dan Hatta maka puncak karir mereka adalah proklamasi, selanjutnya karir mereka menurun dengan tajam. Dimulai dari ketakutan Soekarno kepada Tan Malaka sehingga dia seenaknya “mewariskan” jabatan presiden kepada Tan Malaka, emang siapa Soekarno seenaknya warisin jabatan presiden?

    Setelah itu berlanjut dengan perseteruan dengan Muso dan Amir Sjarifuddin, untung menang dan ketika agresi militer belanda malah memilih menyerah kepada Belanda karena takut bergerilya dengan Soedirman, sampai dia dimaki oleh Sjahrir karena pengecut.

    Setelah Indonesia nyaris komplit, Soekarno malah tidak bisa urus negara dan timbul pemberontakan dimana-mana. Ekonomi dan rakyat tidak diurus tapi dia malah urus syahwat “revolusi dan perang” dan “syahwat birahi”, sampai terakhir jatuh karena G30S/PKI. Untung dilindungi Pak Harto supaya tidak diadili, kalo diadili dapat dipastikan Soekarno meninggal karena kebanyakan makan obat kuat di penjara bukan di wisma yaso, dan KTP keluarga soekarno akan ditandai sebagai keluarga PKI.

  • diansyah
    January 4, 2014 at 2:59 pm

    Seperti kata mas iman, kalau untuk masyarakat, terutama yang masih muda, film sukarno sudah cukup buat nimbulin curiousity ttg sosok sukarno. Jadi mungkin mereka setelah liat film itu bakal baca atau googling ttg sosok bapak bangsa kita. Tapi ya meskipun gegara ‘permintaan pasar’, menurut saya, seharusnya filmnya lebih banyak menyoroti ttg sukarno dalam hal karyanya, gerakan politiknya. Soalnya di film itu menurut saya, fokus utamanya justru ke arah kehidupan percintaan sukarno. Seperti scene2 kedekatannya dengan fatmawati yg cukup pajang dan menurut saya gak perlu. Terus adegan awal sukarno berlatih pidato gegara ditolak orangtua gadis belanda, memang benar banyak budayawan yg menafsirkan kalau penolakan menjadi salah satu alasan sukarno bangkit. Tapi kok ya, di film yang untuk banyak orang, kok ya gak etis dibentuk persepsi kyk gt buat banyak orang jaman skr, seakan-akan apa-apa ttg sukarno di sederhanakan dengan wanita, nafsu dan cinta. Terus ttg setting film, hanung bulkannya cenderung gak bisa membawakan suasana yang pas untuk film degan setting jaman dulu ya?? Saya si bandinginnya sama film sang penari, itu secara setting lebih pas menrut saya. Terus, untuk bapak @orbabest, mbok ya mikir pak, indonesia kacau skr, defisit, banyak utang, banyak tambang yang dijual, dll kan gegara bapak besar suharto + keluarga cendana kurang mikir panjang, nyiptain kondisi damai semu jaman dulu itu toh.

  • orbaSHIT
    January 4, 2014 at 5:23 pm

    @orbaWHATEVER rakyat makan tikus??? setau gw rakyat tuh makan BULGUR kebanyakan nonton pilem penghinatan XXXX seeh lu wakakakkka… apa jaman HARTO yg katanya swasembada pangan enggk ada rakyat yg kelaparan gettuuu??? lha ada kelaparan massif di kabupaten jayawija yg membuat ratusan rakyat tewas tp sang bapak pembangunan justru punya solusi yg bisa dikatakan JENIUS, yaitu rakyat irian disuruh makan TIWUL! WTF 😛 pada Agustus 1997, Ketika itu diberitakan bahwa ribuan penduduk Kabupaten Tulangbawang dan Lampung Selatan telah memakan tiwul akibat paceklik pangan yang mereka alami….kekeringan juga menimpa Surakarta di Jawa Tengah. Diberitakan ada sekitar 750 kepala keluarga dari sekitar 3.500 warga yang sudah tidak lagi menikmati nasi, mereka hanya mengkonsumsi nasi aking LoL….yeah kemakmuran ORBA yg sangat gemilang! satu lagi BK dan HATTA tidak takut bergerilya di dalam hutan JUSTRU TB SIMATUPANG yg menghendaki mereka tetap ada di yogyakarta (laporan dari banaran)

  • orbaSHIT
    January 4, 2014 at 5:32 pm

    @orbaKOPLAK apakah BK mengangkat dirinya sendiri jadi “dear leader”? hi3x mari tanyakan ke SUHARDIMAN seorang TENTARA (AD) dan ketua SOKSI yg mengusulkan PERTAMA KALI agar BK diangkat jadi presiden seumur hidup…hal ini didukung oleh TENTARA juga melalui NASUTION dan AHMAD YANI di MPR he3x……pelurusan UUD 45 secara konsukwen dengkulmu leee HARTO telah menghancurkan tatanan UUD 45 dari pembukaan hingga batang tubuhnya

  • okeyprofitsrama
    February 7, 2014 at 7:42 pm

    Association Grant Fund Treasure Indonesia – AGFTI
    Click the link here Asset Indonesian Assets
    http://okeynotes.com/index.php/blogs/3527/536/gambar-asset

  • Ariean Rachmat
    June 5, 2015 at 12:55 am

    menurut saya kelemahan film Soekarno ini krn hanung mengambil ruang lingkup riwayat BK yg terlalu besar, bayangkan rentang waktu antara kelahiran, mondok di rumah HOS Tjokro, kuliah d bandung, aktivis mahasiswa, penjara, pengasingan, penjajahan jepang, sampai merdeka dijadikan ke dlm 1 film dg durasi terbatas. alangkah lebih baik riawayat BK dibuat lewat film trilogi, kisah BK di masa kecil-remaja smpai diasingkan belanda, kisah BK di masa perjuangan di zaman jepang smpai revolusi kemerdekaan, lalu kisah zaman demokrasi terpimpin/nasakom smp kejatuhan dan meninggalnya Bung Karno. sayang sekali jika tokoh sebesar beliau diringkas dlm 1 film saja…

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:51 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*