18 March 2013
Memahami manusia social media
Posted by iman under: BISNIS & PEMASARAN; PERIKLANAN; SOCIAL MEDIA .
Baru baru ini iklan sebuah produk Sidomuncul di layar TV membuat percakapan yang seru di media sosial. Ini bukan iklan tematik atau promo regular. Hanya sebuah iklan CSR, terhadap komitmen perusahaan untuk membantu operasi katarak secara gratis ke seluruh penjuru negeri. Persoalannya adalah bintang iklan itu KSAD. Seorang Jenderal aktif.
Langsung beberapa teman bertanya apakah saya yang membuat, karena kebiasaan saya membuat beberapa iklan produk produk keluaran perusahaan tersebut. Dan memang bukan saya yang membuat.
Menariknya komentar para pekicau di media sosial mempertanyakan pemakaian simbol negara – dalam arti atribut miter – untuk iklan komersial. Ada juga yang bertanya, apa ini bagian dari pencitraan sang Jenderal sehubungan pilpres 2014 yang mendekat ?
Saya tahu niat tulus Irwan Hidayat, pemilik Sidomuncul untuk membantu para penderita katarak. Dia salah satu pengusaha di Indonesia yang memadukan fungsi marketer dan public relations yang baik. Saya juga tahu dibalik pemakaian bintang iklan Jenderal, karena hanya institusi Angkatan darat yang memiliki akses teritorial sampai ke pelosok negeri. Koramil sampai babinsa bisa didayagunakan untuk menjaring penderita katarak. Belum lagi rumah sakit lapangan yang mobile.
Yang menarik justru ini mengingatkan saya pada sebuah prediksi yang ditulis James Surowiecki dalam buku ‘ The Wisdom of Crowds ‘. Ia mengatakan bahwa orang banyak alias crowd akan mampu menghasilkan keputusan yang sering kali lebih baik dibanding keputusan yang dibuat oleh tiap tiap individu.
Dalam perkembangan mutakhir ini, trend social media membuat semua orang bisa berinteraksi dan mengemukakan pendapatnya di sebuah forum terbuka tentang sebuah iklan. Hal mana mustahil pada jaman ‘ kegelapan ‘ komunikasi beberapa tahun silam. Sebuah iklan TV hanya bentuk promosi semata. Komunikasi searah, top-down dari produsen. One to many. Ditambah kanal mana yang mampu menampung percakapan bahkan protes dari konsumen ?
Inilah yang saya singgung dalam sharing saya di PERHUMAS. Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia, kemarin, tentang memahami manusia manusia social media.
Dalam era digital sekarang. Promosi menjadi sebuah Conversation. Dimana perubahan paradigma komunikasi dua arah, menjadi bottom up, many to many. Horisontal. Disini conversation merupakan interaksi kedua belah pihak. Produsen dan konsumen. Disini kebenaran merupakan ‘ common truth ‘ kebenaran bersama . Kebenaran bukan datang dari pemilik perusahaan.
Menurut Surowiecki, ada persyaratan agar crowd mampu bertindak dengan baik.
Pertama. Setiap orang harus memiliki informasi yang unik untuk menjamin variasi pemikiran. Kedua. Adanya kebebasan berpendapat. Ketiga kemampuan masing masing orang berdasarkan local knowledge.
Keempat. Harus ada metode bagaimana mengumpulkan pendapat tadi untuk diolah menjadi keputusan kolektif.
Kembali ke studi kasus iklan Jenderal tersebut. Dari ketiga syarat telah dipenuhi, dan walau ada karena alasan resistensi terhadap simbol militer. Hal yang wajar dalam dunia netizen karena pengalaman masa lalu di negeri ini.
Intinya. Hampir semua mengatakan penolakan pemakaian simbol militer dalam sebuah komunikasi produk. Ini sebuah percakapan dalam dunia netizen. Saya tidak tahu apa ini mempengaruhi brand image produk yang bersangkutan.
Tentu kita ingat dengan tagline ‘ Orang pintar minum tolak angin ‘ beberapa tahun lalu juga awalnya dianggap tidak mewakili kesetaraan. Yang bodoh meminum merk lain. Tapi sekarang justru menjadi punch line yang sangat dingat konsumen.
Hanya saya tidak melihat komunitas – sebagai syarat nomer empat, yang bisa merepresentasi suara konsumen. Tentu saja komunitas produk Sidomuncul tersebut.
Ini menjadi syarat utama dalam komunikasi modern. Dimana perusahaan pemilik produk harus mengindetifikasi komunitas komunitas yang ada. Kalau tidak ada baru bisa mempelopori berdirinya sebuah komunitas. Lihat komunitas motor, Coklat, makanan, minuman energy sampai memasak yang menjadi berdiri sejajar dengan perusahaan.
Komunitas bukan menjadi target perusahaan. Targeting dilakukan oleh perusahaan. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, seorang bisa menjadi target. Orang hanya obyek. Bukan subyek. Sebuah komunikasi bersifat searah.
Ini adalah Confirming. Mengakui adanya komunitas. Sehingga perusahaan melibatkan dan memberdayakan pelanggan dalam suatu komunitas sehingga mereka bisa merasakan manfaatnya sendiri. Menciptakan networking diantara pelanggan sendiri. Mampu menciptakan collective wisdom.
Ini trend sosial dimana orang untuk mendapatkan kebutuhannya, lebih memilih dari orang lain ketimbang dari produsen. Ini bisa juga mencari informasi produk melalui orang lain, teman, sosial media. Bukan melalui informasi resmi. Jadi jika saya ingin membeli sebuah gadget. Pertama yang saya lakukan adalah bertanya kepada teman yang sudah memakainya. Bukan bertanya kepada produsen.
Kalau sudah begini saya jadi teringat ucapan Hermawan Kartajaya, dalam obrolan sore sore di kantornya minggu lalu. Dalam business dan pemasaran kita tidak boleh melupakan 3 hal. Youth, Woman dan Netizen.
Suara netizen akan mempengaruhi aspek pemasaran. Ini bisa menjadi pedang bermata dua. Manusia social media, sebagai agen perubahan, Change Agent. Menjadi humas secara gratis. Ia bisa jadi akselator efek viral. Jika ia senang. Ecxited, bisa meng-share, download, link, like, RT. Tapi jika dia benci, dia akan benci sekali sekaligus tetap meng-share, RT dsb.
Suara manusia di media sosial merupakan suara rakyat. Bagaimana tidak, survey terakhir mengatakan Netizen menghabiskan waktu di internet rata rata 3 jam per hari. Hampir sepertiga dari waktu aktivitas pekerjaan sehari hari.
Ini merupakan proses horizontal dalam dunia digital. Mereka adalah manusia manusia yang mengalokasikan pos pengeluaran perbulan untuk komunikasi telpon dan internet lebih besar dari pos belanja makanan, perawatan tubuh, bahkan kesehatan.
Jangan sekali kali mengabaikan apa yang dikatakan orang banyak.
Bagaimana dengan iklan produk dengan KSAD tersebut ? Hanya waktu yang akan membuktikan. Siapa yang benar. Tentu saja saya memahami pemikiran seorang Irwan Hidayat.