Sarah Azhari sempat mengutarakan kekesalannya dalam sebuah dialog publik, sambil menunjuk aneka pemberitaan media info hiburan ( infotainment ) yang kerap menulis dan bernada menyudutkan. Lebih jauh ia menggugat tiadanya verifikasi terhadap dirinyasebelum berita itu muncul. Persoalan ini menjadi ide pembahasan menarik sebuah jurnalisme – terutama blog – sampai seberapa penting sebuah pemberitaan memerlukan cross check atau tidak sama sekali karena justru karena sifatnya yang instant dan lebih mementingkan ke-kinian up to date.
Berbeda dengan prinsip dan pola kerja jurnalistik mainstream yang berpedoman pada koridor jelas, yakni kode etik dan profesionalisme. Dalam blog sepertinya memang tak ada tatanan yang mengaturnya. Padahal dalam perjalanannya, selain menjadi media pewartaan, blog bisa mengusung issue issue seperti halnya infotainment – yang menurut Komisi Penyiaran Indonesia, info-hiburan dikategorikan sebagai program faktual alias program siaran yang menyajikan fakta nonfiksi – Panas, mendebarkan dan sekaligus membuat sebagian orang kebakaran jenggot.
Kejadian pemberitaan dalam blog Mas Wicak , tidak bisa otomatis dikategorikan fakta non fiksi. Mungkin saja masuk kategori fakta fiksi – dalam tanda kutip – silahkan mengartikannya sendiri.
Sampai sekarang masih ada kegamangan untuk memasukan blog sebagai alternative media jurnalistik. Identitas pemilik blog tidak semuanya terbuka. Bagi yang tidak pernah melakukan ‘ kopdar ‘ mungkin hanya mengetahui nama nama samaran saja. Url tidak bisa disamakan dengan data identitas diri seperti Kartu Tanda Penduduk. Sehingga pertanggungjawaban sebuah berita bisa menjadi sumir. Mungkin hanya beberapa orang seperti saya yang begitu bodoh – membuka diri – memakai nama sesungguhnya sebagai nama blog saya.
Sehingga verifikasi yang bagaimana pada dunia yang maya ini. Dalam sebuah perdebatan di sebuah milis group. Seseorang mengatakan, blogger tidak perlu kros check ketika memposting surat pembacanya. Banyak media mainstream tradisional melakukannya tiap hari, dan tidak ada yang mengeluh. Kalau blog mau jadi pewartaan yang mengimbangi media tradisional, mengapa harus diperlakukan berbeda.
Ada yang lain mengatakan perlu karerna arus perbincangan di blog itu tidak seperti koran yang tidak memungkinkan isu berkembang dengan cepat dari satu blog ke blog yang lain. Koran itu rapi dan runtut kalau polemiknya diikuti. sementara dalam blog mudah jadi bola liar. Sehingga tanpa verifikasi akan mempertaruhkan nama baik yang bersangkutan.
Kedua opini sama sama memiliki dasar pembenaran dan tidak melulu salah. Harus dipahami aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian. dengan menyatakan siapa/Who, apa/What, kapan/When, di mana/Where, mengapa/Why dan bagaimana/How. Juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend.
Dalam sebuah sisi saya bisa membenarkan tindakan Mas Wicak memposting surat itu. Saya tidak tahu motivasi surat itu dikirim. Saya asumsikan pengirim tidak sekadar curhat, karena isi surat sudah seperti investigative reporting. Sehingga bisa dipahami surat itu sebagai ‘ delik aduan ‘. Disini harus dipahami peran seorang bloger.
Seorang polisi yang menerima laporan dari seseorang tentang adanya pencurian di tetangganya, bisa langsung menindaklanjuti ‘ delik aduan ‘ tanpa harus ada laporan dari korban sendiri. Walau si pelapor akhirnya menyesali telah mengadukan ke polisi karena kompleknya jadi heboh dan terusik para polisi yang hilir mudik.
Perlu dicatat, bahwa sejarah media tidak pernah benar benar netral. Sifat struktur psikologis manusia tidak bisa pernah bisa netral. Termasuk dalam sebuah pewartaan gagasan di sebuah blog. Seorang jurnalis tak akan mampu melihat segala sudut pandang pada saat yang sama. Mau tidak mau ia harus memilih sebuah sudut pandang dari sebuah kejadian. Secara sosialitas sejak lahir manusia tak memungkinkan manusia terbebas dari keberpihakan secara sosial. Ketika ia mengambil sikap untuk tidak berpihak, sekalipun ia telah memilih keberpihakannya. Paradoksalnya justru disini.
Jadi jika ada orang orang yang terusik dengan sebuah pewartaan. Justru disini letak nikmatnya demokrasi blog. Hak Jawab.
Sebagaimana mekanisme jurnalistik lainnya. Para pihak bisa menuliskan paparan bantahan – baik di kolom komentar – atau lebih baik dalam bentuk cerita versi masing masing di blognya sendiri. Ini jauh elegan daripada sekadar mengancam atau menteror bloger pewarta. Sebuah verifikasi sanggahan akan melengkapi both sides cover story. Saya percaya prejudice memang menyakitkan. Tapi bagaimanapun sebuah kebenaran harus melalui tahapan yang tak pernah mulus jalannya. Selalu ada proses berliku.
Bagi saya berita berita seperti itu tidak harus disikapi seolah olah bisa terjerat pasal karet hatzai artikelen– karena mengganggu ketertiban umum – jaman orde baru. Ini dunia blog yang bergerak cair dan cepat. Hanya satu barometernya. Jujur dan Adil. Saya rasa dengan integritas Mas Wicak, ia telah menulis dengan fairness sesuai intuisinya, tanpa harus berpretensi buruk. Masalah ada yang terusik itu soal lain. Mudah mudahan Hak jawab itu bisa dipakai sebagai media pemberitaan yang berimbang.
Anda tidak sepakat dengan saya ? Kalau begitu kita sepakat untuk tidak sepakat. Should be proud living in democracy.
Wong blog saja kok repot repot. Sarah Azhari saja akhirnya tak mau pusing pusing meributkan ini.
61 Comments
Gum
August 3, 2008 at 10:58 pmya2, hak jawab itu yang harusnya jadi senjata paling ampuh seorang blogger.
sayangnya banyak blogger yang nggak percaya diri dengan senjatanya sendiri.
Gum
August 3, 2008 at 11:02 pmfirst??!! wow 😀
btw, tindakan njenengan patut ditiru, pak.
tetap update blog, sementara blogger yang lain pada ngeplurk dan meninggalkan blognya.
reader saya sepi 2 hari ini.
padahal lagi banyak waktu luang. hiks…
where are you, people?? T_T
*curcol*
ndoro kakung
August 3, 2008 at 11:12 pmanehnya, banyak yang merasa masih belum terwakili suaranya atau hak jawabnya padahal sudah meninggalkan komentar.
Epat
August 3, 2008 at 11:27 pmLha ya itu mas. wong ya salah satu fitur unggulan blog khususnya dengan wp adalah fasilitas trackback dan pingbacknya, kok ya ndak di manfaatkan. Dengan membuat postingan diblognya sendiri untuk memaparkan hak jawabnya dan kemudian mengirimkan trackback ke postingan blog yang dianggap perlu didiskusikan maka saya pikir justru lebih mendewasakan cara kita memanfaatkan blog sebagai media untuk berdiskusi.
Catshade
August 3, 2008 at 11:27 pmMungkin otak saya yang terlalu lelah karena di sini sudah jam 11 malam, tapi ada yang bisa menjelaskan pada saya bagaimana suatu hal bisa diketagorikan ‘fakta’ sekaligus ‘fiksi’?
…apakah mas Iman punya standar yang serendah itu terhadap jurnalisme investigatif? Maaf kalau terdengar sinis, tapi saya bersikap begitu karena bagi saya intonasi suratnya seperti orang sedang bergunjing ala infotainment… and ‘cek & ricek’ is a sad irony to ‘investigative reporting’. Mungkin kalau suratnya lebih bernada serius, saya dan banyak pihak lain yang tidak teryakinkan juga bisa menyikapinya dengan lebih serius.
Tentu, dengan memakai analogi mas Iman, polisi akan mendalami kasus itu terlebih dahulu dan memeriksa saksi serta bukti yang ada sebelum mengadakan konferensi pers (itupun kalau kasus itu memang layak publikasi). Untuk apa polisi mengundang wartawan-wartawan hanya untuk bilang, “kami mendapat laporan akan kasus X, tapi sama sekali belum kami tindak lanjuti?”
Ya, hak jawab mungkin adalah prosedur operasional standarnya. Tapi dari belasan surat hak jawab yang pernah saya lihat di media massa, hampir tidak ada yang ditulis dengan nada ketenangan dan penuh damai. Yang ada adalah rasa kecewa, marah, dan pada beberapa kasus, ancaman implisit untuk melakukan somasi. Kalau semua itu bisa dihindari dengan pemberitaan yang lebih baik, kenapa tidak?
Catshade
August 3, 2008 at 11:33 pmSaya rasa anda sudah menjawabnya sendiri, Mas Iman: 😀
Iman
August 4, 2008 at 12:03 amcatshade,
Sepertinya memang selera saya rendah dalam memandang investigative reporting. Atau mungkin inilah yang dinamakan investigative reporting ala koran kuning dengan cara bergunjing. Mungkin juga karena dia tak mengerti seperti Bob Woodard dan Carl Bernstein dalam mengupas ‘ Watergate ‘ . Entahlah,.. yang jelas saya justru memahami kesinisan anda. Karena saya memang hanya bloger yang tak begitu memahami jurnalisme. No worries. Its only blog,.. nobody dies
Sebagaiman yang ditulis…tentu saja saya sudah menjawabnya, sehingga tak perlu repot repot membalas panjang lebar ..he he..wong sudah jam dua belas malam. Bukankah kita sepakat untuk tidak sepakat..
leksa
August 4, 2008 at 12:53 amsaya berani bilang sepakat untuk sepakat dengan tulisan Mas Iman…
bagi saya tool dan kesempatan yang diberikan blog sudah demikian lahirnya dengan teknologi yang sudah dipertimbangkan demikian dari dulunya,..
silahkan sampaikan hak jawab dari sebuah cerita tersebut, fiksi atau tidak fiksi…
tidak memiliki hak jawab? ya silahkan berkomentar.
Integritas lah yang menjadi senjatanya. Integritas dari si Poster untuk berani bertanggung jawab atas kehadiran tulisannya, dan sekaligus integritas si komentator dengan komentar2nya…
idealnya,..demikianlah sebuah kehidupan blog yang sehat dalam pemikiran saya..
Anang
August 4, 2008 at 1:08 amya betul. gitu aja kok repot. yg penting ak dah klarifikasi. dan ak slamet. he. fiuh…
merahitam
August 4, 2008 at 2:10 amKalau menurutku sih, ini jadi pelajaran buat semuanya untuk berhati-hati. Hati-hati bertindak, hati-hati menulis.
OOT: Mas Iman, saya diajarin nulis script iklan dong 😀
zen
August 4, 2008 at 2:50 am“….Wong blog saja kok repot repot….”
ya, memang kudu mau repot, mas, kalo postingannya membawa2 orang lain dalam isu yg sensitif. kalo cuma curhat nyampah sih ya… bebas-bebas aja.
zen
August 4, 2008 at 3:24 amsatu lagi, mas iman:
susah memang dg cara apa kita mengukur postingan pakde wicak. diukur dg prosedur jurnalisme juga ndak tepat, krn pakdhe wicak di situ berlaku bukan sebagai satu dari empat redaktur utama koran tempo, tapi berlaku sebagai bloger yang tidak terikat oleh satu pun kode etik yang tertulis dan tak ada satu pun konsensus ttg prosedur pewartaan di blog, kendati anehnya masih ada saja blogger yg keukeuh ingin disamakan dan diperlakukan sama dg media massa.
bisakah kita memperlakukan postingan ndoro sbg “surat pembaca” pada saat blog sendiri belum punya pagar api yang membedakan dg jelas batas antara berita, opini, surat pembaca dan adpertensi?
jika memang ingin diperlakukan sama, siapkah para blogger menulis dg prosedur yg bisa diukur secara obyektif akan halnya media? siapkah blogger melakukan pewartaan yang berimbang akan halnya media? siapkah blogger belelah-lelah melakukan kroscek pada semua pihak akan halnya media?
ada banyak kesamaan antara media massa dengan blog, sama banyaknya dg perbedaan antara blog dan media massa. hakikat jurnalisme memang mewartakan sesuatu, tp jurnalisme pada saat yang sama meniscayakan adanya prosedur peliputan (wawancara scr cover both side, dll) berikut panduan kode etik yang bisa dipilih mana yg diacu, tergantung si wartawan tergantung pada organisasi wartawan mana dan tergantung pada media mana ia bekerja (krn setiap media biasanya pny kode etik internal sendiri).
mas iman benar saat menyebut bahwa di dunia blog “hanya satu barometernya. Jujur dan Adil”; satu kriteria yang begitu personal dan subyektif dan karenanya sukar diukur, berbeda dg “jurnalisme konvensional” yang sedikit banyak sudah memiliki prosedur standar dan kode etik, yang dari sana sebuah berita bisa dinilai layak/tidak, bagus/tidak, trial by the press/tidak.
sudah saatnya kita sama2 mengingatkan diri bahwa sampai sejauh ini ada beda mendasar antara blog dg media massa. menuntut untuk disamakan dg media massa tidaklah adil, bukan hanya tidak adil bagi media massa, tp juga tidak adil bagi para blogger dan blogosphere.
tentu saja tidak harus seserius itu untuk menulis di blog. tp, jika kita memutuskan menulis hal ihwal yg menyangkut kehormatan orang lain, apa boleh buat, mas iman: setiap blogger memang harus serius dan berhati-hati, tak peduli kita pny kode etik yg baku atau tidak, tak peduli kita sudah punya konsensus atau tidak mengenai prosedur penulisan di blog.
berhati-hati dan tidak sembrono saat posting mengenai kehormatan orang lain, jauh lebih baik ketimbang memasang disclaimer susulan atau pun menyediakan hak jawab. sebab, seringkali, hak jawab dengan space yg unlimited sekali pun tidak sebanding dg kehormatan yang kadung rusak.
zen
*kapan buku sjahrir itu bisa saya baca, mas iman? buku yang saya tulis sudah sampai pada pembahasan ttg hari-hari terakhir sjahrir, je :)*
Gus Dur Palsu
August 4, 2008 at 5:20 amgitu aja kok repot…
fisto
August 4, 2008 at 6:09 amyup. kuncinya harus tetap jujur dan adil, kemudian klarifikasi kalau ada yg terusik…masalah clear…
kw
August 4, 2008 at 7:41 amsepakat, mendukung ndoro, dia kan hanya melempar fakta (menarik), nih ada email beginian entah kebenaranya…..
aprikot
August 4, 2008 at 8:09 amjadi mas iman ada hubungan apa ama sarah azhari? *ilang fokus*
Iman
August 4, 2008 at 8:11 amzen,
saya rasa justru disini seni demokrasi blog – yang tidak usah menuntut disamakan dengan media konvensional lainnya – dengan tool pingback dan trackback yang dimiliki bisa menggiring sebuah klarifikasi opini yang obyektif. Jurnalis blog akan memaksa orang untuk memihak salah satu sudut pandang. Ia tidak bisa digiring tentang omong kosong kenetralan dan ketidakberpihakan. Tentu saja Hak Jawab dengan space yang terbatas – bahkan dalam kolom komentar – siapa tahu bisa menkonstruksi kehormatan yang kadung rusak.
Sementara kehormatan yang dipergunjingkan itu kadang relatif kebenarannya. Jelas postingan mas Wicak mungkin bisa dikatakan bernada tendensius, namun kalau kita lihat responsnya. Ada justru sebagian korban mengakui , disamping ada yang tidak. Ini membuktikan bahwa issue issue kontroversial berpretensi memiliki kebenaran. Setipis apapun.
Bahkan dari komentar reaktif, defensif dari para korban atau tokoh yang dibicarakan. Sedikit banyak saya bisa saja curiga dengan kehormatan apa yang dipertaruhkan ? Sebuah domain dot com yang kadang berlindung dari nama samaran. Bahkan mereka mungkin tidak peduli dengan tidak menulis sebuah hak jawab yang proper di blognya masing masing. Mungkin issue itu sudah lupa. Siapa perduli, toh tak ada yang mengenalnya – kecuali mereka yang pernah kopdar – dalam dunia maya ini.
Justru postingan itu tidak sembrono, karena memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melihat versi yang sesungguh sungguhnya. Dan saya percaya kehormatan – kalaupun itu dipertaruhkan – tidak akan mudah rusak. People buying issue, but they still dont get a clue eventually.
Its okay zen, bukankah sebagaimana quote saya terakhir. Kita sepakat untuk tidak sepakat.
Bagaimanapun diskusi ini juga memberikan pelajaran ( Kalau ada yang bisa dipelajari di sini ) kepada orang orang di luar sana tentang nikkmatnya demokrasi blog. Sebuah forum yang konstruktif, tidak emosional dan tidak ngamuk ngamuk nggak keruan.
Buku Syahrir itu ? Baiklah jumat depan saya bawakan di BHI..jangan terlalu malam datangnya !
mantan kyai
August 4, 2008 at 8:41 amkalo pake konfirmasi + cross check, trus nanti apa bedanya dengan media konvensional. apa perlu diganti IMANBROTOSENO POST 😀
dilla
August 4, 2008 at 8:44 amhhhh…capek bacanya..
why so serious? *timpuk pake kartu joker* 😛
Fikar
August 4, 2008 at 10:29 amgk usah repot2 mas
Pito
August 4, 2008 at 11:45 amkenapa saya ‘kesulut’ sama postingan yg bikin geger itu? karena saya mencoba empati sama nama2 yg terpampang jelas disitu. again, nobody in their sane mind want to be called stupid and become laughingstock, especially with all the world to see. orang laen sih enak aja bilang ada “hak jawab”, tapi pernah gak sih coba berpikir dengan sisi yang berbeda, misalnya menggunakan sudut pandang dan logika si korban?
don’t do what you don’t want others do to you. rasanya gampang banget jalaninnya. saya yg bego aja bisa koq. apa kita semua sudah terlalu tinggi hati untuk mengakui kalo ada yang terlukai dalam hal ini?
mbah gundul
August 4, 2008 at 11:52 ammmm…cuman sempat baca sarah azhari. selebihnya bingung. maklum otak bandeng. 😀
win
August 4, 2008 at 12:11 pmAda yang turun gunung katanya di blognya curhat bebas…tambah rame kayaknya..
Iman
August 4, 2008 at 12:25 pmPitoe,
mungkin saatnya kamu menulis dari sisi korban – entah dia mengakui dia korban atau tidak – siapa tahu kebenaran akan terkuak. Bukankah kamu sudah sempat bertanya kepada pihak ybs. Ini bukan masalah tinggi hati, egosime semu atau sekadar hak jawab saya rasa. Mungkin ini juga caranya tidak terlalu personal dalam menilai obyektivitas. Again, semua memang tidak bisa tidak berpihak. Kenetralan omong kosong yang nisbi.
Hidup memang paradoksal kok pit. Siapa tahu ada martir martir disana.
bangsari
August 4, 2008 at 1:12 pmblog, oh blog…
Fitra
August 4, 2008 at 1:14 pmNah, ramenya pindah ke blog ini deh…asiikkk….*duduk depan PC sambil ngunyah kacang, menjadi penonton setia keramean* :p
Catshade
August 4, 2008 at 1:15 pmMaaf kalau komentar saya yang ini bakal sangat ofensif, tapi karena saya sudah gregetan sama Mas Iman dan Ndoro Kakung, izinkan saya menumpahkan uneg2 emosional saya:
@pitoe:
Sudahlah, rasanya percuma berdiskusi secara normal dengan mereka. Soalnya argumen-argumennya sudah merambah awang-awang dunia metafisika, tinggi tak terjangkau oleh ranah berpikir manusia konkrit yang sederhana seperti kita. Ya, hidup memang paradoks yang berisi martir-martir. Kenetralan adalah omong kosong yang nisbi. Semua memang tidak bisa tidak berpihak, dan jangan tidak terlalu personal dalam menilai obyektivitas. Oh ya, fakta, juga kebenaran, itu relatif, yang ada hanya klaim. Dan kita, dalam keterbatasan, akan bersama-sama menemukan kebenaran lebih lanjut seperti mengupas kulit bawang yang pedih di mata kita. Lalu…empati terhadap korban? Apa sih sebetulnya korban? Dari kaca mata siapa seseorang digolongkan korban? Jangan-jangan kita semua ini sesungguhnya adalah korban. 😀
Terimakasih Mas Iman, sejak awal sudah bersepakat untuk tidak sepakat. Kalau tidak kepala saya sudah meledak. Seriously guys, bahkan Goenawan Mohamad pun lebih mudah dimengerti dan lebih punya substansi daripada kalian.
Sekian makian saya. Silakan menggunakan hak jawab jika ada kata-kata yang kurang tepat atau berkenan bagi anda.
NB: Sejarah blog adalah penjelajahan mendapatkan Ratu Adil yang hanya akan datang ketika ia tidak dibutuhkan lagi. 😀
serdadu95
August 4, 2008 at 2:00 pmSaya hanya kecewa ajahh dgn cara beliau menangani “konflik” nyang terjadi. Saya ndak ada urusan dgn benar-salah-nya masalah postingan nyang bikin heboh itu. Bagi saya… “kotak pandora” dan “postingan ndangdut”-nya… bukanlah sebuah penyelesaian, tapi merupakan sebuah “pembelaan diri” nyang buruk.
Saya memang sempat request ke “Mbelgedez” nyang suka “blak-blakan” dgn logikanya untuk ngebahas masalah postingan di blognya Ndorokakung dan komen saya di sana di-“bold” sama beliaunya. Meski sering menggunakan kosa kata nyang “aneh” tapi saya sangat respect dgn beliaunya (mbelgedez). *klo ada waktu… silakan Mas main ke sana*
Intinya… sementara ini saya kecewa ajahh dgn “cara penanganan” beliau (Mas Wicak) atas masalah ini. Makanya untuk sementara waktu… saya “off” dari blog-nya sembari berharap ada sabda dari paklik-nya nyang meneduhkan itu.
Jahh… semuanya emang terserah dan suka2 beliaunya dalam menjawab “hak jawab” nyang sudah dimutahkan para komentator (termasuk saya). Atau mungkin… “kotak pandora” dan “postingan ndangdut”-nya itu bisa dikatakan sebage perwujudan dari “nikmatnya demokrasi blog” yakk Mas..??
**yakk… ini memang curhat… tapi bukan sihir**
MaNongAn
August 4, 2008 at 2:35 pmmakanya saya punya ide postingan blank, setidaknya saya mencoba untuk merenungkan kembali segala tulisan itu bermanfa’at atau mudhorat, menyinggung perasaan orang lain atau tidak, dan segala hal pertanyan lainnya.
kepala serta isinya tiap orang berbeda-beda, tergantung bagaimana diri kita dalam memahami dan menyikapi untuk mengambil tindakan. Pinginnya sih aman-aman dan damai saja lah.
.::he509x™::.
mbelGedez™
August 4, 2008 at 2:59 pmPemikiran sayah sejalan sama Catshade ato Serdadu95.
Sayah seneng jugak kok Posting bergunjing. Mungkin inih bagiyan dari dari budaya ndeso sayah.
Tapi menurut otak sayah nyang lemah inih, apah Posting Ndorokakung ituh ndak isa disamarkeun, ndak perlu nyebut nama. Minimal ndak usah make Link, lah….
Apapun dobosan kita, kalok kita udah berlindung dibalik
ato
Rasanya kok ndak fair, ya mas….
Donny Verdian
August 4, 2008 at 4:14 pmSaya lebih setuju dengan cara-cara hak jawab seperti yang terungkap di atas ketimbang penyelesaian yang melibatkan kata “maaf”.
Bukannya saya mau ikut arus besar dan “orang besar” tapi saya merasa bahwa masalah ini memang seharusnya dapat diselesaikan dengan setidaknya mengisi komen di posting yang berkaitan (dan ini sudah dilakukan) atau bikin postingan sendiri. Habis perkara…
dobelden
August 4, 2008 at 4:30 pmseperti yg di beberkan om mbel tentang kasus-kasus yg bertebaran di blog dan sempat bikin posting juga, dan semakin banyaknya blok-blok dalam dunia blog ini membuat saya berfikir untuk kembali KE HUTAN
*sayang hutan berkurang dipangan para pembalak*
Iman
August 4, 2008 at 5:12 pm( Zen ) pejalan_jauh
1:54
sayang catshade jadi emosional gitu ya, mas
Iman Brotoseno
5:03
ha ha iya..padahal berbeda pendapat bukan haram hukumnya..justru barokah
pejalan_jauh
5:19
seni berpolemik kan di situ: kemampan menahan diri, mengontrol diri, tak peduli jengkel dan emosinya kita.
kemampuan menahan diri dan mengontrol kata2 itu bisa jadi lebih penting daripada kesuksesan dalam meyakinkan orang lain dg argumen kita
Iman Brotoseno
5:20
betul..karena sejak dari awal pikiran, tujuan ini bukan memaksa pendapat orang berubah karena argumen kita….
pejalan_jauh
5:21
iya, ini membabar problem2 yg muncul dalam blogosphere
di mana tantangannya, di mana yg mesti diperbaiki, di mana mesti dipertahankan
zam
August 4, 2008 at 5:50 pmduh.. masih ini lagi, ya?
*mendesah*
c e l o bukan celia
August 4, 2008 at 6:23 pmnyandet di fakta fiksi…. :p
fakta fiksi…??? kalo pake kerangka menjelaskan dijelaskan sih bukannya bisa….
katakanlah dalam sebuah novel fiksi tokoh utamanya adalah A… fakta dalam novel fiksi tersebut ternyata si A adalah anak B, walaupun karakter C terus bilang nggak mungkin, faktanya A adalah anak B nggak akan berubah di karangan fiksi itu kan…???
fakta yang dkarang-karang lol…
kalo soal postnya… saya pribadi sedikit setuju dengan mas iman 😛 walaupun nggak salah… tapi bukankah tanggung jawab itu selain dipegang oleh pelapor juga dipegang oleh redaksi yang memang sudah tugasnya untuk memilah milah mana berita yang layak publish, mana yang nggak layak publish… kalaupun bagi redaksi layak publish, tapi kalo pasar mengatakan nggak layak publish, saya rasa tetap kesalahan redaksi sih…
atau bukan…??? pencerahan plisss *serius*
ndoro kakung
August 4, 2008 at 6:24 pmwoh, efek long tail yang tak tepermanai … 😀
torasham
August 4, 2008 at 7:06 pmsaya sering mendengar bahwa blog, condong kepada satu sudut pandang. si pemilik blog. Apakah dari dasar ini yg membuat seorang blogger boleh memberitakan sesuatu tanpa kros cek ulang..?
Lance
August 4, 2008 at 7:53 pmcatshade,
sayang sekali anda tidak bisa mengendalikan emosi…Bukankah kita harus menghargai perbedaan pendapat. Jika pada akhirnya kita tidak bisa memaksakan kehendak / pikiran kita pada orang lain.
Salut buat Zen.
meong
August 4, 2008 at 9:03 pmsaya kok bisa memahami ya, knp catshade emosi.
mungkin saja sedari awal ia memposisikan seandainya dia julia.
emosi adl hal yg netral, tgtg gimana anda meresponnya.
dan sejauh ga merugikan org lain, gpp kok. release tension. katarsis.
salah satu menejemen stress.
ok ??
elistia
August 4, 2008 at 10:12 pmlama2 pusing juga baca blog2 ‘berat’…
Epat
August 4, 2008 at 10:34 pmngudek kopi, nyumet rokok…bull kebuull..kebull…
saya punya sedikit analogi, jika ada kejadian pelecehan seksual pada sebuah keluarga katakanlah seorang kakek memaksa ataupun secara halus merayu cucu putrinya untuk menuruti hawa nafsu sang kakek. kemudian dalam jangka waktu tertentu si cucu itu tidak kuat menanggung beban deritanya, kemudian bercerita ke temannya tetangga si cucu tsb. temannya itu karena masih keterbatasan daya, akhirnya bercerita pada salah satu keluarganya katakanlah pakdhenya untuk mencari solusi terbaik. Kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si pakdhe temannya si cucu itu?
Dan bagaimana jika anda yang menjadi pakdhe itu?
Meskipun si cucu akan terbongkar statusnya sebagai korban dan itu adalah aib seumur hidup khususnya aib bagi lingkungan seputar mereka tinggal, namun kejahatan si kakek harus diungkap dan kebenaran harus ditegakkan.
Terkadang kita terjebak untuk membela pada objek yang berstatus penderita paling bawah, namun pembelaan jangan sampai melupakan esensi pengungkapan fakta, pewartaan kebenaran agar semua bisa mengambil pelajaran dan hikmah serta bisa bersikap lebih waspada.
Pembelaan berlebihan yang mengabaikan itu semua tampak layaknya pahlawan kesiangan, atau hanya sekedar berdialek, berparadoks yang tak kunjung berhenti. iya apa iya hayo?
regards
moh arif widarto
August 4, 2008 at 10:51 pmAnu Mas Iman, mbok ya Sarah Azhari itu diajari ngeblog. Biar semua Sarah bisa ngeblog. Jangan hanya Sarah yang itu saja.
Usul, Mas, usul.
-tikabanget-
August 5, 2008 at 2:15 amsayah jadi kangen nulis yang bikin sayah sendiri ketawa ketawa..
edratna
August 5, 2008 at 6:18 am….Mungkin hanya beberapa orang seperti saya yang begitu bodoh – membuka diri – memakai nama sesungguhnya sebagai nama blog saya…..
Hehehe, saya termasuk yang bodoh juga ya mas Iman, memang pernah ada yang mengomentari kok saya berani memajang nama asli, lengkap dengan friendster segala…tapi karena saya berniat baik, ya enggak apa-apa.
Ternyata seminggu banyak di luar rumah, nggak sempat blogwalking, hanya sekedar menjawab komentar dan bersilaturahmi pada yang memberi komentar, membuat saya ketinggalan berita….kemarin sempat membaca blognya ndoro, tapi ga terlalu mudeng….
Ntar ahh berkunjung kesana lagi….
Bolo BHI
August 5, 2008 at 8:34 amMas/Mbak KUCING
Mesti belajar anger management dulu,..kasihan deh kamu, sampai ngamuk ngamuk di blog orang. Udah bagus Nggak dihapus komennya sama Mas Iman. Nyantai aja, beda pendapat biasa. nggak usah jadi kesulut gitu dong. Kita sih di BHI tetap jernih otaknya walau harus beda pendapat.
Padahal Mas Iman, Pito sama Zen ketawa ketawa di bunderan HI ngelliat kelakuanmu yang emosional
kunderemp
August 5, 2008 at 8:45 amSaya tetap tidak sreg dengan nDoro Kakung yang tidak mencoba verifikasi dulu ke korban2 (bahkan kalau perlu ke pelakunya) sebelum memosting e-mail. Setidaknya dengan menghubungi korban2nya dulu, nDoro Kakung bisa menimbang2, apakah nama2nya perlu disamarkan atau dibuka begitu saja.
Jadi saya sepakat untuk tidak sepakat dengan Mas Iman.
@epat:
dalam analogi mas Epat,
di Australia ada etika untuk tidak memberikan nama asli dan lokasi tempat tinggal untuk mengidentifikasi si anak.
Lihat di
http://www.abc.net.au/mediawatch/transcripts/s2276504.htm
didut
August 5, 2008 at 8:45 amloh tontonannya pindah ke sini to?!?
*gelar lapak*
Sarah
August 5, 2008 at 9:32 amMbak Tika,
kyk kita bisa ketwa tawa di sini, ngeliiat ada orang yang marah marah gag keruan. Pdahal maz Iman senyum senyum kalem. Memang nikmat kalau diskusi penuh kearifan . ( bukan Mas arif kombor lho )
Dony
August 5, 2008 at 12:21 pmSaya justru tertarik membahas awal permasalahannya. Si pengirim email sebenarnya ingin ‘melaporkan’ suatu hal kepada seseorang yang duduk di kursi ketua pesta blogger 2008, yakni Pak Wicak.
Dan si pengirim email tidak menyangka bahwa email yang dia kirim bakal diposting mentah2. Wajar jika bahasa yang digunakan oleh si pengirim email terkesan tidak runtut dan seperti bergunjing, itu karena niat dia adalah mengirim email secara personal, dari dia kepada Pak Wicak – kita semua yang sok tau ini sebenarnya cuman outsider.
Sialnya, email itu diposting mentah2, tanpa tedeng aling2 di blog yang tenarnya minta ampun, lalu dibaca dan terbaca oleh ribuan orang – baik blogger maupun bukan. Email yang tadinya cuman rasan2 dari satu orang kepada satu orang lainnya itu pun akhirnya menjadi konsumsi ribuan orang.
Seumpama si pengirim email hendak membuat posting tentang hal yang sama di halaman blognya, harusnya dia bisa membuat bahasa yang lebih baik dan lebih berhati-hati ketimbang bahasa yang digunakan dalam email tadi.
PS: Pak Wicak bilang, popularitas itu membelenggu. Nah, sekarang siapa yang terbelenggu oleh popularitasnya itu?
Paling aman ya jadi blogger gurem kayak saya ini 😀
meong
August 5, 2008 at 5:43 pmeh tambahan, kenapa saya bisa memahami emosionalnya catshade.
kemungkinan ke2, bs jadi ia sgt mengagumi dan menghormati sang tokoh senior -mas wicak- tsb. dan ktk timbul geger2 ini, bs jd, ia punya harapan ideal seorang idola, tp tyt harapannya tsb meleset.
lagian ia hanya curhat.
curhat is salah satu bentuk dr katarsis. ia bisa mengungkapkan dan mengeskpresikan perasaannya. salah satu bentuk kecerdasan emosi.
*mo nambahi cerita kok mikir kl jd OOT*