Awal September 1949. Kapal boat Republik Indonesia panjang 110 kaki dan berukuran 60 ton “ The Outlaw “ baru saja berlabuh di pelabuhan Bhuket, semenanjung Malaya. Para awak kelelahan, setelah kesekian kali lolos dari sergapan kapal perang Belanda. Semalam tepat selepas Penang, di laut bebas mereka bertemu dengan kapal patroli Belanda yang mengejarnya sambil melepaskan tembakan boffors dan miltraliurnya.
Kelihaian kapten ‘The Outlaw”, Mayor John Lie kembali teruji, untuk bisa membawa barang barang komoditi seperti karet, gula, teh untuk di jual dan ditukarkan ban, senjata, mobil dan kebutuhan perang kemerdekaan.
The ‘ Outlaw ‘ adalah legenda saat itu. Radio BBC selalu menyiarkan keberhasilan kapal itu dalam menembus blokade Belanda. Ini membuat Belanda semakin geram dan terus berusaha menjegat kapal kebanggaan Republik.
Saat saat beristirahat sambil membongkar muatan. John Lie kedatangan seorang wartawan LIFE Magazine – Roy Rowan – yang mewancara dan kelak dimuat dalam majalah tersebut Edisi 26 September 1949. Artikel itu berjudul “ GUNS –AND BIBELS – ARE SMUGGLED TO INDONESIA “
John Lie seorang keturunan Tionghoa, telah menjadi pelaut di pelayaran KPM Belanda sebelum perang kemerdekaan. Ia kemudian bergabung menjadi ABK di armada laut sekutu ketika Perang Dunia II.
Revolusi Kemerdekaan telah menggerakannya untuk bergabung dengan pejuang pejuang Republik. Padahal banyak golongan Tionghoa yang memilih tak perduli atau bahkan memihak Belanda.
John Lie seorang nasrani yang religius. Ia selalu membawa dua alkitab – satu berbahasa Inggris dan satu berbahasa Belanda – ditengah tengah pertempuran lautnya. Roy tercengang melihat sebuah kata kata yang ditulis didinding kabin.
‘ Kemudikan kapal ini, demi Tuhan, negeriku dan kebaikan umat manusia ‘.
Selama dua tahun John Lie menjadi salah satu tokoh penting dalam organisasi penyelundupan senjata yang wilayahnya terbentang dari Malaya, Singapura, Filipina, Thailand bahkan sampai India. Ia bolak balik menembus laut, menangani jual beli senjata dari Malaysia, Thailand ke Aceh, Sumatera timur dan pulau pulau terpencil di Indonesia.
Dari lima kapal yang dibeli dari Inggris di Singapura, hanya kapal John Lie yang tak pernah tertangkap meski dikejar dan dihujani peluru serta bom. Ia cerdik mengelabui dan melarikan kapalnya di balik pulau pulau kecil di Sumatera.
Menutupi kapalnya dengan ranting dan dedaunan sambil menunggu kapal terbang Belanda dan kapal patroli menghentikan pencariannya.
Kelak ketika ia menjadi komandan Kapal perang KRI Rajawali, ia harus membawa berlayar Bung Karno dan Perdana Menteri Cina, Chou En Lai. Ketika saatnya makan siang, seperti kebiasan di kapalnya, John Lie selalu memimpin doa secara nasrani.
Maka ia berkata kepada Bung Karno, untuk tetap mengijinkan melakukan kebiasaan ini.
“ Kau seorang nasrani yang taat, silahkan melakukan apa yang telah menjadi kebiasaanmu di sini. “ demikian Bung Karno mengijinkan.
Jadilah John Lie memimpin doa dimeja makan, didepan ABK, Bung Karno dan perdana Menteri Cina yang komunis itu. Entah apa yang dipikirkan Chou En Lai saat itu.
Sejarah mencatat masalah banyak persoalan apriori yang menjadi penghambat hubungan etnis tionghoa dalam bangsa Indonesia.
Selama orde baru, etnis ini dikebiri dalam budaya dan dipaksa untuk melebur masuk kedalam sub etnik masyarakat Indonesia. Ini karena salah kaprah melibatkan etnis ini sebagai salah satu pendukung G 30 S PKI. Aksara dan prosesi barongsai dilarang. Ketika Slamet Mulyana mengeluarkan buku bahwa sebagian Wali Sanga adalah keturunan Tionghoa, langsung buku buku itu diberangus oleh Kejaksaan Agung.
Padahal jaman dulu sudah biasa melihat etnis Tionghoa menjabat sebagai Menteri. Bahkan menjelang kemerdekaan Indonesia, ada beberapa sosok dari etnis tionghoa yang juga duduk di BPUPKI.
Dalam Pemerintahan kolonial, etnis Tionghoa sudah terlibat dalam bentuk perlawanan terhadap penguasa. Sejak dari pemberontakan Pecinan jaman VOC.
Tahun 1912, berbarengan dengan tahun baru Imlek. Di Batavia, Pemerintah melarang etnis Tionghoa mengibarkan bendera Tiongkok sehubungan dengan diproklamirkan Republik Tiongkok oleh dr. Sun Yat Sen.
Sementara di Surabaya, polisi melarang etnis Tionghoa membunyikan petasan pada acara tahun baru itu. Ini mengakibatkan kerusuhan dan situasi yang memanas.
Dalam perjalanan sampai saat ini, masih ada kerikil dalam proses akulturasi etnis tionghoa menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Salah satunya adalah tidak adanya pahlawan dari suku bangsa ini.
Menarik, sejahrawan Taufik Abdulah mengibaratkan deretan pahlawan nasional sebagai album foto keluarga. Masing masing ingin melihat wajahnya sendiri dalam album itu. Kalau diperluas dalam ‘ album bangsa ‘ apakah ada sosok yang dekat atau menjadi representasi etnis atau daerah yang sama dengan kita.
Ternyata dalam daftar pahlawan nasional tak terdapat yang berasal dari etnis Tionghoa. Dengan memasukan sosok sosok dari etnis Tionghoa yang memang berjuang bersama etnis lain dalam mempertahankan kemerdekaan, membuat ada perasaan senasib dan sepenanggungan dalam berbangsa.
John Lie adalah sosok yang terlupakan. Ia merupakan sosok yang dekat dengan laut. Air yang bergerak bergelora. Berani menembus lautan untuk mencapai tanah seberang sana. Ini mirip dengan legenda Tiongkok kuno ketika Sang Kaisar mengadakan perlombaan menyeberangi sungai untuk menentukan binatang mana yang cocok dengan waktu tertentu. Untuk menentukan kalender tahun Cina. Segala jenis binatang hadir disana.
John Lie mungkin sebagai sosok kerbau yang dengan baik hati mau membantu menyebrangkan tikus dan kucing yang tidak bisa berenang.
Wartawan Roy Rowan, takjub melihat kapten kapal ini. Seorang patriot dari etnis yang paling terpinggirkan di sebuah bangsa yang besar. Alkitab, bazooka, senjata menjadi property yang disimpan rapat di kapalnya.
Ditengah tengah hiruk pikuk kuli pelabuhan menurunkan muatan. John Lie menutup wawancaranya sambil memandang ke laut lepas.
“ Ini bukan bisnis mengerikan. Ini kehendak Tuhan, dan sebelum Belanda pulang ke negaranya, kapal ini akan tetap berlayar “
51 Comments
meong
January 26, 2009 at 10:05 pm*jd inget pertanyaan yg kuajukan di plurk yg menyangkut topik sensi ttg akankah di indonesia kejadian spt obama, minoritas di indonesi mjd presiden ?*
hedi
January 26, 2009 at 11:11 pmpokoknya jangan jadi orang rasis, nanti kena sendiri hehehe
*pengalaman pribadi*
omoshiroi
January 26, 2009 at 11:19 pmsosok yg memukau
omoshiroi
January 26, 2009 at 11:42 pmTp memang entah mengapa ya, di indonesia tuh slalu membesar-bsarkan perbedaan, bkanya mencari ksamaan..padahal perbdaan itu sangat nyata ada di sini..
Sandhi
January 27, 2009 at 12:08 amOot..
Saya kagum dgn mas imam kl lg bertutur tentang sejarah.
Slalu ada ‘sisi lain’nya,dan bisa bkin saya ikut terbawa dlm critany.
Jauh bgt ama gaya penuturan pljaran sejarah jaman skolah dulu.
Semoga sukses slalu.
odiboni
January 27, 2009 at 12:54 amKenapa yah kroni2 yg dekat dg Cendana, macam Bob Hasan, Salim atau Tommy Winata gak protes atas perlakuan rezim Orba terhadap etnisnya?
Doohan
January 27, 2009 at 2:08 amSaya baru tau kalau dulu ada seorang gagah berani bernama john lie. Seperti saya juga tidak tau apakah orang ini sudah jadi pahlawan nasional atau belum. kalau sudah syukur, kalau belum kenapa? apakah masalah etnis juga?
Saya yakin bahwa saat john lie berjuang dia tidak pernah berpikir tentang etnis, tapi bagaimana indonesia bisa merdeka.
Terima kasih untuk mas Iman, lewat blog mas ini saya bisa tau banyak tentang sejarah yang tak pernah diceritakan sejak saya mulai mengenal huruf.
Apakah mas Iman tidak berpikir untuk membuat film tentang John Lie ini?
mantan kyai
January 27, 2009 at 2:17 ambener2 baru tau 😀
Andri
January 27, 2009 at 5:30 amReferensinya dari mana nih?Kayaknya mas ini punya banyak buku sejarah. 😀 Tapi bagus kok artikelnya,seperti yg sebelum2nya. 🙂
gadis FHM
January 27, 2009 at 6:30 amweleh…ga usah jauh2 ras, suku, dan agama.
gimana perlakuan gw sama orang jelek/ga ganteng/ga cakep/muka jongos/muka babu ato sama orang bodoh/lemot/telmi/ga nyambungan/geek/weirdo ato sama mrk yang ga gawul/ndesit/mebo/ga level, pokoke sama mereka berbeda sama gw getu dehhh…..
gajah_pesing
January 27, 2009 at 7:38 amTerima kasih sudah membagi ilmu sejarah tentang Jhon Lie, saia baru tau.
*trims sudah berkunjung di Puncak Acara Ziarah Wali Blogger*
rackoen
January 27, 2009 at 8:04 amkok aku jadi kebayang master and commander russel crow ya mas, pasti asik kejar-kejaran kapal dan pesawat di balik pulau-pulau yang indah itu.
Indah Sitepu
January 27, 2009 at 9:52 amwahh thanks ya mas Iman…
jadi tau kalau ada sosok John Lie…
mmhhh keren- keren…
*sambil manut-manut*
sekartaji
January 27, 2009 at 10:46 amsangat layak apabila Laksamana Muda JOHN LIE diusulkan sebagai Pahlawan Nasional dari etnis Tionghoa atas jasa beliau selama ini
bangsari
January 27, 2009 at 11:38 amkadang-kadang saya mikir, deretan pahlawan nasional itu apa perlu sepanjang itu ya? maksud saya, apa di negara-negara lain hal seperti itu normal?
rasa-rasanya tambah lama tambah banyak.
edratna
January 27, 2009 at 11:55 amMudah2an bangsa ini makin banyak belajar, tak mengkotak-kotakkan berdasar suku bangsa dan agama….karena pada dasarnya adalah bangsa Indonesia.
kunderemp
January 27, 2009 at 1:19 pmAkhirnya, Mas Iman nulis juga tentang John Lie.
@odiboni
Karena ada dua paham, kelompok pendukung integrasi dan kelompok pendukung asimilasi.
andrias ekoyuono
January 27, 2009 at 5:24 pm*selalu kagum akan referensi sejarah mas Iman*
mie2nk
January 27, 2009 at 7:17 pmwaduh aku malah baru tau mas soal JOHN LIE.
Bener bener referensi yang bagus ni mas, buat nambah pengetahuan sejarah saya yang masih cetek *dangkal*….
mbelgedez™
January 27, 2009 at 8:11 pm.
@Meong;
Rasanya masih perlu waktu, boss….
Situh jangan mengecilkan masalah besar.
Inget, Amerika sudah belajar berdemokrasi selama 200 tahun….
Amerika juga sudah milih presiden lebih dari 40 kali….
Saat inih mereka memang udah siap untuk dipimpin minoritas kayak Obama….
Kalo boleh nanya, ya meong….
Punyakah mereka presiden perempuan seperti Indon ???
Punyakah mereka presiden yang buta matanya ???
Demokrasi seperti apa lagi yang situh impikan ???
🙄
dafhy
January 27, 2009 at 8:45 pmsaya kok baru tau ya?
cc-line
January 27, 2009 at 8:57 pm….dan tulisan Mas Iman selalu ditutup dengan baris-baris yang mengesankan, meski kutipan dari ucapan John Lie. Tapi ketika ditaruh di akhir postingan membawa kita pada sebuah perenungan panjang tentang semangat, optimisme dan patriotisme.
meong
January 28, 2009 at 12:48 am@ mbel : yup, saya sudah menduga akan ada respon seperti ini.
palagi jika kita melihat negara2 di asia, dg gloria arroyo, benazir bhutto, dll. <
saya sendiri tidak mngecilkan masalah. malah, di situ saya bermimpi, indonesia dalam hal perlakuan terhadap perbedaan akan menjadi lebih baik drpd sekarang, bahkan lebih baik dari embahnya demokrasi.
jika saya menggunakan ilustrasi obama, karena itu yang paling dekat. amerika sendiri hingga tahun 50-60an masih bersikap rasialis walaupun perbudakan sudah dihapus abad sebelumnya.
tetapi ternyata sekarang mempunyai presiden kulit berwarna.
i have a dream…
bukan soal demokrasinya. tetapi pada perlakuan dan sikap kita, terhadap perbedaan.
boyin
January 28, 2009 at 11:26 ammenambah wawasan sejarah saya..
denologis
January 28, 2009 at 12:33 pmpertama kali melihat tayangan tentang John Lie sepulang dari Gunungkelir, di rumah saudara di Jogja. 🙂
John Lie adalah sosok yang membuktikan bahwa Indonesia dibangun dengan berbagai macam suku bangsa, meskipun dia sempat dinistakan, hilang dalam sejarah.
Bersatulah Indonesia!
bodrox
January 28, 2009 at 1:47 pmudah liat biografinya di Metro TV, keren juga beliau satu ini.
taufikasmara
January 28, 2009 at 5:16 pmMas Iman, ijin ngelink ke tulisan mas ya… (maaf posting commentnya gak nyambung)
mbelgedez™
January 28, 2009 at 7:55 pm@MEONG;
Owgh…
Kalo soal menyikapi perbedaan, tentu kita bicara soal yang laen lagi, boss
Tapi kalo situh memberi sample nya adalah Afro Americans, tentu soal laen lagi.
Menurut pemikiran sayah, “pemberian kesempatan” minoritas amrik untuk menduduki posisi penting udah dirancang matang jauh hari. Apalagi sampai dekade 90 an aroma rasis masih sangat kental. Bahkan kalo misalnya kita ke amrik, mereka suka dnak ramah sama kita, lho Meth…
Amrik memang butuh suatu “pembuktian” tentang “ke demokraisan nya” pada politik luar negrinya. Dimulai dengan Collin Powel, dan kemudia Condoliza Rice….
Sekarang mereka memakai Obama sebagai puncaknya.
Sementara inih, Indon cukup segini dulu. Jangan terlalu cepat “demokrasi ala amrik” kalo ndak ingin Indon tercabik-cabik seperti bangsa laen….
…………. 😉
iman brotoseno
January 28, 2009 at 11:36 pmtaufik,
silahkan..
sekartaji,
itulah dan akan membuat etnis ini lebih merasa sebagai bagian dari bangsa, jika ada potret pahlawan mewakili golongan dan etniknya.
sarah
January 28, 2009 at 11:37 pmternyata etnis tionghoa tidak sedikit kontribusi pada kemerdekaan negara ini.
Salut
meong
January 29, 2009 at 1:04 am@ mbel :
jadi kalo afro-amerika berbeda dg etnis tionghoa ?
bagaimana dengan etnis aborigin, etnis indian, dll ?
saya pernah baca, kisah sejati James Yee, seorang anggota chaplain corps di amrik sonoh. sudah tionghoa, muslim lagi.
oke, saya akui, saya terlalu ekstrim kasi contoh. tapi justru dari situ, saya pengin tau, gimana sikap masyarakat, jika ada capres yg mencalonkan diri dan kebetulan dia itu minoritas ? yah, mungkin kejadiannya bisa disamakan dengan pilkada dimana calon dari minoritas. bagaimana pandangan terhadap calon minoritas, apakah memandang berdasar SARAnya atau berdasar track recordnya ?
saya paham dan mengerti, demokrasi membutuhkan proses.
begitu juga, di indonesia.
tapi perilaku dan sikap kita mengenai perbedaan, tak hanya kepada SARA, tapi bahkan kepada yg berbeda (misal) secara fisik dan sosek dibanding kita, bijimana. yg lebih gendut lah, yang difabel lah, dll.
termasuk juga perbedaan cara pandang dan pikiran.
itu bukan mengenai demokrasi kan ? iya toh, iya toh ?
well, kalo mo diskusi ttg ini bisa panjang, karena komen saya di atas hanya secuil dari apa yang saya maksudkan. sambil ngupi2 santai, diskusi dan ngobrol beginian…
zam
January 29, 2009 at 2:24 pmayo bikin film-nya mas! saya siap jadi kapal selamnya!
DV
January 30, 2009 at 4:36 amAh, pengetahuan baru Mas, terimakasih.
Semoga bangsa kita menyadari betapa sebenarnya sejak puluhan lalu Indonesia telah belajar baik menjadi sebuah bangsa yang menghargai segala suku yang menjadi komponen di dalamnya.
anderson
January 30, 2009 at 4:38 pmCerita sejarah pejuang-pejuang Indonesia selalu menarik perhatian. Apapun etnisnya, selama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, kita harus angkat topi kepada mereka. Kalau banyak yang mempolitisir dan bawa-bawa isu SARA, itu mah emang bawaannya nyari ribut. Biarkan posting Mas Iman ini tetap menjadi pembuka wawasan sekaligus sarana penghormatan buat sang pahlawan, John Lie..
pinky
January 31, 2009 at 9:57 amSoal pahlawan ber-etnis tionghoa sebenarnya ada banyak, tapi entah mengapa peranan mereka dlam perjuangan kemerdekaan seakan tidak pernah dianggap..suatu saat saya pernah masuk di salah satu makam pahlawan dan ternyata disana banyak nisan dari para pejuang yang ber-etnis tionghoa..
Embun
January 31, 2009 at 6:47 pmPada generasi merdeka, referensi benak saya cuma ada Soe Hok Gie, Kwik Kian Gie dan Prof. Nelson Tan Sue. Adakah yang lain mas?
racheedus
February 1, 2009 at 12:40 amPenulisan sejarah di zaman Orde Baru tampaknya memang cenderung rasis. Jadi, tidak aneh kalau sosok John Lie jadi terlupakan. Di sisi lain, harus diakui pula di zaman perjuangan, sebagaimana ditulis sendiri oleh Mas Imam, memang “banyak golongan Tionghoa yang memilih tak perduli atau bahkan memihak Belanda”. Hal itu juga mungkin membuat sejarah segelintir golongan Tionghoa pejuang menjadi tenggelam di antara arus utama sejarah mereka yang berisi ketidakpedulian atau keberpihakan mereka kepada Belanda. Tapi, bagaimanapun harus mulai diupayakan untuk menulis sejarah dengan jujur tentang perjuangan sebagian mereka dalam melawan kolonialisme Belanda. Mas Imam sudah memulainya.
adie
February 3, 2009 at 3:44 pmijin copy tulisan ini mas…
mpep
February 10, 2009 at 11:52 amjohn lie. mungkin kalau ceritanya ditambahkan pada adegan ‘perang-perangan’ di laut seperti apa lebih menarik mas. seperti ojong menulis dalam perang eropa. seperti ikut dalam peperangan ketika membaca, he-he-he.
o, ya. di posting john lie masih berpangkat mayor. terakhir kabarnya laksamana muda. bagaimana ini ceritanya bisa naik pangkat tiga trap: letkol, kolonel, laksamana pertama mas?
joe.stevanus
February 16, 2009 at 4:19 pmSaya adalah cucu dr laksamana john lie.. apabila mas imam ingin mengetahui sejarah dari john lie..mas bisa hubungi ke 021 – 3900 371 ( kel ibu rita lie)
saya berharap ini dapat difilmkan karena banyak makna unsur jiwa nasional,sosial, budaya dan agama..
Iwan Pirous
April 17, 2009 at 9:11 pmSalut dengan Pak Iman dan narasi sejarahnya yang membuat kehausan saya akan narasi republik terpuaskan. Tentang John Lie. Saya dan teman-teman FKAI (Forum Kajian Antropologi Indonesia) juga mengangkat tokoh ini dalam materi pameran Peranakan di awal tahun ini. Pameran tersebut kaya dengan foto-foto etnografis termasuk foto sejarah. Kami ingin agar pameran peranakan tidak sekedar pameran warna2 merah dan naga, tapi bagaimana peran peranakan dapat tersorot dalam bingkai Indonesia. Foto John Lie yang dipamerkan adalah milik keluarganya yang saya dapat dari salah-satu cucunya. Dalam foto itu kira-kira usia Lie sekitar 26 tahunan dengan jaket gaya detektif dan rambut tersisir rapi serta senyumnya yang khas. Lebih mirip bintang film daripada jagoan perang lautan. Peranakan Tionghoa sangat berjasa dalam membangun nasionalisme Indonesia, tapi mereka dilupakan.
guest123
January 13, 2010 at 6:59 pmbro2 sekalian.. saya lagi cari buku tentang john lie nih
buat bahan skripsi saya
penting bgt
udah cari di toko2 buku di seluruh jkt stoknya abis smua
kalau ada yg tau infonya mohon bantuannya ya
syukur2 ada yg punya bukunya, saya bersedia membeli
mohon bgt bantuannya ya….
salute buat John Lie… salam
Jansen Justin
January 16, 2010 at 5:50 pmmas klu boleh tahu dapat sumbernya dariman seh???
karena tulisan mas semuanya tidak pernah ku baca/ketahui selama ini (khususnya tentang sukarno) klu boleh di kasih tahu ke saya karena saya sangat suka sejarah apalagi yang berhubungan dengan sukarno.. trims!
Free Artikle
June 16, 2010 at 11:46 pmshares use a superb web page decent Gives thanks for the efforts to help out me
JAW SUPPORTER
August 19, 2010 at 3:23 pmSite owner, I may be right in saying your web server stopped responding yesterday because I found this page through Jaw Supporter and all I saw was a failure page. I would email your hosting provider to ensure that it doesnt occur again as your losing visitors. I was using IE 8 browser if that helps.
brun
February 27, 2011 at 7:23 pmseharusnya dari dulu2 para KSAL2 yang pernah menjabat, jauh2 hari sudah memikirkan tentang perjuangan dan keberadaan john lie telah membantu negara ini untuk merebut kemerdekaan dan upaya untuk mengusulkan ke presiden (pemerintah) sebagai pahlawan nasional. namun sangat disayangkan sampai hari ini belum ada yang memikirkan john lie sebagai pahlawan nasional.
ard
July 21, 2011 at 9:23 pmJohn Lie sudah diangkat jadi pahlawan nasional pada hari pahlawan tahun 2009.
Dimas
November 10, 2011 at 9:15 amWah tulisan lama Mas Iman tapi baru daku baca. Keren Mas! 🙂
Koen
November 14, 2011 at 12:42 amBaru setelah ditulis Bung Iman, Laks John Lie diangkat menjadi Pahlawan Nasional; 10 November 2009.
lukman
March 2, 2014 at 7:41 pmbro. ane ad surat2 asli jhon lei thn 63an n surat utk margaretha kondow 081296619954