16 January 2012
Esemka
Posted by iman under: DALAMNEGERI; EKONOMI .
April 1993. Marimutu Sinivasan diundang oleh Presiden Soeharto ke Bina Graha. Saat itu penguasa orde baru itu mengatakan bahwa Indonesia masih mengimpor semua komponen otomotif dan menjadi sekadar perakit. Inti percakapan itu, Soeharto meminta pengusaha Indonesia harus bisa membuat sendiri komponen mesin serta memproduksi sendiri mesinnya.
Sebenarnya agak aneh, karena pabrik Group Texmaco ini bukan industry otomotif seperti Astra. Bukan juga punya pengalaman karoseri seperti Armada atau beberapa perusahan asal Magelang. Mereka awalnya lebih dikenal sebagai penghasil tekstil sampai mesin industri, termasuk mesin tekstil.
Lima tahun kemudian. Dua bulan sebelum turun dari kekuasaannya, Presiden Soeharto akhirnya meresmikan produksi perdana truk buatan dalam negeri sendiri. Ia memberi nama “Perkasa “ pada truk buatan pabrik milik Marimutu Sinivasan. Ini adalah kendaraan otomotif buatan dalam negeri yang pertama. Berbeda dengan merk ‘ Timor ‘ yang hanya ganti merk. Sementara body, mesin dan onderdilnya tetap dari KIA.
Namun keperkasaan Perkasa hanya sebentar. Ia keburu tenggelam seiring turunnya Soeharto. Tak ada yang salah dengan kemampuan mesin atau desain truknya. Problemnya selainnya rontoknya group Texmaco karena krisis moneter. Juga Texmaco tidak punya pengalaman urusan industry otomatif. Jual kendaraan truk, bukan urusan menjual saja. Tapi juga ada kesediaan spare parts, after sales service dan sebagainya.
Sementara pabrik truknya hanya di Karawang, Jawa Barat.
Kini demam mobil nasional kembali marak, dengan munculnya mobil ESEMKA yang dibangun anak anak SMK Solo dan pemilik bengkel Sukiyat. Walikota Solo segera menyambar propotype pertama mobil ini untuk kendaraan dinasnya. Lebih enak daripada Toyota Camry katanya. Sejarah seperti berulang, ketika tahun 1894, Pakubuwana X membeli Mercedes Benz Phateon, buatan Jerman sebagai mobil pertama di Indonesia.
Tiba tiba saja semua orang ingin membeli mobil ESEMKA. Anehnya yang paling nafsu memiliki mobil ini justru politisi, orang partai, ormas, menteri sampai anggota DPR. Tak pernah terdengar orang biasa biasa saja yang memesan mobil ini. Euphoria ini menjadi komodoti baru tentang nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat.
Tak mau ketinggalan. Sekolah Menengah Kejuruan di kota lain, juga berlomba menghasilkan produk otomotif. Seperti di Magelang, Jogja, Malang. Bahkan di SMK Penerbangan di Jakarta, mengklaim. Pesawat terbang pertama buatannya akan siap terbang akhir Januari 2012. Pesawat ini dibanderol 1,3 milyar saja.
Jokowi tidak salah, demikian juga para politisi dan birokrat yang ramai ramai memesan. Mereka hanya menggunakan momentum. Walau mobil ini belum lulus uji kelayakan dan tetek bengek lainnya sebelum diluncurkan ke masyarakat.
Sebenarnya pekerjaan rumah tentang mobil nasional adalah bagaimana membuat penduduk negeri ini bangga menggunakan produk atau merk dalam negeri. Sudah menjadi rahasia umum kalau orang lebih suka memiih merk luar negeri. Proton yang didirikan tahun 1983 membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun untuk bisa masuk jajaran merk merk di pasar Malaysia.
Fenomena ini justru semakin menegaskan betapa tidak populernya industri pertanian dan peternakan. Murid murid Sekolah Kejuruan hanya mudah terpikat dengan komoditi sexy seperti otomotif. Lupa, bahwa bahwa ada bidang Pertanian, Kelautan dan Peternakan yang juga membutuhkan inovatif mesin mesin tepat guna. Pengguna mobil hanya sebagian kecil penduduk negeri yang hidup di perkotaan.
Sekaligus menunjukan salah urus metode pembangunan negeri ini. Menggenjot pabrik barang barang consumer, lalu melabeli dengan stempel ‘ rakyat ‘. Kalau perlu nanti membangun pabriknya di atas lahan subur pertanian, dengan menggusur sawah sawah produktif.
Emil Salim, pernah menjelaskan ini. Mestinya pabrik pabrik dan industri jangan dididirikan di tanah Jawa yang subur.
Kembali ke Esemka. Saya sebagai pencinta otomotof mungkin memiliki pandangan pragmatis sebagai konsumen. Lupakan nasionalisme. Tidak penting jargon mobil rakyat. Jika harus memilih, saya akan memilih merk asal Jepang yang harganya tidak beda jauh, namun punya track record sebagai brand, jaringan service, kesiapan spare parts dan tidak cepat rusak.
Tidak perlu kuatir tentang permodalan. Bakrie konon sudah woro woro akan membantu urusan permodalan agar mobil mobil Esemka siap diproduksi massal. Yang paling penting adalah kesiapan menjadi bagian dari industry. Juga keberpihakan Pemerintah. Katakanlah meniru cetak biru Malaysia membangun Proton atau India dengan merk Tata.
Kita bisa membuat pesawat terbang dan kapal laut, tentu tidak masalah membuat mobil.
Pertanyaannya apakah SMK itu industri ? bukankah itu hanya sekolah kejuruan setingkat SMA yang menyiapkan tenaga kerja siap pakai, dengan kata lain buruh industri.
Para siswa SMK masih menggunakan cara manual, diketok untuk membentuk rangka body. Sementara sebuah industri massal tentu sudah memakai cara lebih modern dengan cetakan. Untuk satu mobil dibutuhkan waktu 3 – 4 bulan. Tidak bisa dibayangkan jika siswa SMK harus memenuhi quota ribuan kendaraan. Berapa orang siswa yang dibutuhkan untuk mengetok, atau 23 SMK di seluruh Indonesia harus mengerjakan urusan merakit mobil.
Semangat anak anak SMK ini tetap perlu dijaga dengan proporsi yang tepat. Sesuai jalurnya. Bukan dikarbit memasuki industri. Jangan hanya menjadi komoditi bagi para petualang politik. Juga pemahaman tentang pasar bebas dan konsumen adalah raja. Bagus tidak sebuah produk ditentukan oleh konsumen, bukan promosi Walikota atau proteksi dari Menteri. Jalan masih panjang. Teramat panjang untuk mencapai sebuah brand yang mumpuni.
Phateon milik Sri Susunuhan lebih sering jadi pajangan. Bukan karena raja tidak bisa menyetir. Tapi karena tidak ada bengkel mobil di kota Solo, sehingga ketika rusak, pilihannya hanya kembali ke kereta kuda.
Sukiyat mesti berkaca dengan Marimutu Sinivasan. Pasar bebas dan konsumen akan menentukan hidup matinya sebuah produk. Bukan dukungan politis.