Renungan capres dari Imogiri

Tak ada yang lebih nikmat daripada – pagi pagi – menikmati semangkok soto di pinggir sawah sambil duduk memandang hamparan hijau disepanjang perjalanan menuju Imogiri, Jogyakarta. Kalau Soetrisno Bahchir mengatakan dalam iklannya, Hidup adalah perbuatan. Saya lebih suka memilih tagline, Hidup adalah kesempatan. Ya , kesempatan mengisi perut dengan nasi hangat, toge, kol, tomat, suwiran ayam tipis tipis yang dikepyuri jeruk nipis. Kesempatan yang mungkin seorang Soetrisno Bachir tak mungkin lagi merasakan.
Bapak tua penjual soto mungkin juga tak pernah tahu siapa Soetrisno Bachir atau Prabowo Subianto dalam iklan iklan gebyar sosialisasi capres. Wong di sana, di Imogiri ia tidak memiliki televisi. Tapi orang orang seperti pak tua tadi, selain anak anak kecil, petani, masyarakat marjinal yang menjadi icon perjuangan mereka. Untuk bersama menuju sebuah Indonesia baru.

Dalam iklannya Rizal Malarangeng sampai harus ke rumah bekas pembuangan Bung Karno di Ende, Flores. Bisa duduk duduk bersama anak anak di pinggir laut. Ia menunjuk sebuah cakrawala di kejauhan. Entah apa yang dibisikan. Sebuah harapan ?
Sebenarnya tiba tiba saja banyak orang orang yang sebenarnya peduli dengan nasib bangsa ini. Masalahnya apakah mereka cukup paham atau sekedar menebak nebak apa yang menjadi aspirasi pak tua penjual soto itu.
Kolumnis Budiarto Shambazy memberikan ilustrasi menarik. Komentator sepak bola biasanya tak bisa bermain bola. Jadi apakah seorang komentator politik otomatis bisa bermain ‘politik ‘ ?

Hiruk pikuk ini bertambah dengan wacana saatnya kaum muda memimpin. Politisi, anggota DPR, mantan menteri semuanya ingin menjadi Presiden. Mereka menawarkan yang muda yang progresif. Mereka menunjuk Barack Obama yang baru berusia 45 tahun, Presiden Russia, Medvedev yang baru berusia 42 tahun. Memimpikan masa lalu, seperti Bung Karno menjadi Presiden pada usia 43 tahun.
Mereka lupa bahwa Soekarno muda sudah bolak balik masuk penjara. Pada usianya yang belum 27 tahun ia sudah begitu menakutkan bagi pemerintah kolonial. Belum lagi tulisan dan pemikirannya untuk bangsa ini. Selalu ada proses.
Kalau ditanya saya akan memilih pemimpin yang memiliki track record komitmen kebangsaan – dan mungkin ide ide progresivenya. Bangsa ini perlu perombakan revolusioner bukan sekadar janji.
Kita memilih pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Pilih dulu saya menjadi Presiden dan saya akan memberikan resep bagaimana mengurus negara ini. Begitu konon semboyannya. Terus terang saya agak meragukan mereka memahami suara rakyat , apalagi melihat sejarah kontribusi nyata mereka selama ini.
Bagi saya Butet Manurung yang dengan sukarela mengajar anak anak pedalaman suku kubu jauh lebih menarik karena integritas dan komitmennya.

Hiruk pikuk capres ternyata bukan hanya urusan patron politik dan belanja media kampanye yang puluhan milyar. Ia juga menyerempet urusan klenik dan mistis. Sehingga seorang pensiunan jendral bintang dua – bekas kepala staf Kostrad – harus mengganti namanya menjadi Sutiyogo. Karena berbekal ramalan Jayabaya, pemimpin bangsa yang bisa membawa kemakmuran harus memenuhi kriteria Notonagaro. No untuk Soekarno, To untuk Soeharto. Sekarang tinggal Go yang tersisa.
Bukan kebetulan juga, tanah imogiri yang mistis bisa memberikan pelajaran tentang kesombongan. Gubernur Hindia Belanda, Lucien Adams pernah meremehkan Imogiri. Dengan sombongnya ia mengabaikan Sri Sultan HB VIII yang memintanya berpakaian Jawa ketika mengunjungi makam makam raja Jawa. Ketika ia belum sampai di tangga atas yang jumlahnya ratusan. Seorang utusan menyusulnya dan mengabari anaknya kecelakaan. Sebuah kejadian yang memaksanya tidak sampai di atas.

Kita memang harus menghargai setiap warga negara untuk mencalonkan diri menjadi Presiden. Sebuah nilai luhur.
Namun dengan banyak orang orang merasa pintar untuk bisa menjadi manajer republik yang baik. Saya justru merasa takut jika mereka terlalu sombong dan gede rumongso untuk bisa mengurus negeri ini. Yang mana mungkin akan membunuh cita cita luhur itu sendiri.
Jadi sambil menikmati soto dan alam yang menarik ini. Saya justru berpikir betapa semakin tidak menariknya negeri ini.

You Might Also Like

53 Comments

  • Bajan
    March 10, 2009 at 2:39 am

    ah ramalan Notonogoro itu mungkin mengarah kepada pemimpin yang benar-benar fenomenal ya. negeri ini tetap menarik mas.

  • Tomi Yahya
    March 21, 2009 at 2:06 pm

    Sepertinya Mas Iman bisa masuk dalam jajaran pemimpin yang bisa membawa kemakmuran nih,
    Kan ada akiran “no” untuk Iman BrotoseNo.

  • andy indrama
    September 17, 2009 at 6:36 pm

    Menurut pandangan saya, urut-urutan pemimpin Indonesia adalah ”notobuwono”
    Karenanya semua nama presiden Indonesia sampai saat ini dapat terwakili dalam tiap suku kata maupun huruf dari kata NOTOBUWONO.,
    SOEKAR(NO)
    SOEHAR(TO)
    (B)AHARUDDIN JUSUF HABIBIE
    ABD(U)RRAHMAN WAHID
    MEGA(W)ATI SOEKARN(O)PUTRI
    SUSILO BAMBANG YUDHOYO(NO)
    Pemimpin yang diwakili satu huruf saja menggambarkan masa kepemimpinan yang singkat dibawah dua tahun.
    Bisa saja Indonesai bukan hanya gambaran sebuah kerajaan negara(notonogoro), tapi gambaran kerajaan dunia/jagat(notobuwono)

1 2

Leave a Reply

*