Bekraf. Geregetan ?

Mantan Gubernur Jakarta, Ali Sadikin bisa dibilang memiliki visi yang luar biasa tentang bagaimana mengembangkan potensi seniman. Disamping membangun museum museum, dia juga mendirikan Pasar seni Ancol, Taman Ismail Marzuki, Pusat Perfilman Usmar Ismail. Ia juga menggelar ‘ Jakarta Fair ‘ yang kini bertransformasi menjadi Pekan Raya Jakarta, sebagai etalase produk produk unggulan dalam negeri. Karena ia mewajibkan bioskop bioskop di Jakarta memutar film nasional, maka Bang Ali juga seperti Kepala Bekraf sekarang yang rajin menghadiri pemutaran perdana film nasional.

Pada jamannya siapa yang berpikir mata rantai ekonomi kreatif ? Bung Karno ketika melantik Ali Sadikin hanya menitipkan, ‘ Jadikanlah Jakarta sebagai kota yang bersaing dengan kota kota besar dunia lainnnya ‘. Maka Bang Ali hanya memikirkan kelengkapan standar kota Metropolitan. Ia menyelenggarakan kontes ratu ratuan, Malam Muda Mudi, Festival Film Asia sampai sidang sidang dan rapat Internasional sehingga secara tidak langsung menumbuhkan pemahaman tentang event organizer.

Tapi itu dulu. Secara tidak langsung Bang Ali menjadi lokomotif Industri kreatif dalam skala yang sederhana. Berkaca dengan potensi yang bisa diraih, jika ekonomi kreatif ini dijalani serius, maka mimpi pemerintahan sekarang mencoba memfocuskan bidang ini.
Kalau Amerika punya Hollywood, Asia punya Korea Selatan. Negeri Ginseng itu bisa disebut negara yang sukses memasarkan industri kreatifnya, dengan andalan drama dan musik K-Pop. Lihat saja remaja di Indonesia sangat tergila-gila dengan muisk dan selebriti Korea.

Drama Korea memiliki skenario yang bagus dan karakteristik berbeda, terutama jika dibandingkan produk Amerika. Drama Korea, lebih berisi drama keluarga yang bisa diterima ke negara Asia lainnya, misalnya dengan nilai-nilai kekeluargaan, puitis romantis, model cinta kasih tak sampai. Coba bandingkan drama Amerika, yang banyak nuansa laga, serta mengeksploatasi hubungan bebas yang dianut. Drama Korea tidak menampilkan adegan yang negatif seperti itu, mereka mencoba menebarkan pesan dari dalam negerinya yang sarat budaya lokal.

Bagaimana dengan Indonesia ? Bisakah kita meniru Korea yang menjadi patokan cetak biru ekonomi kreatif Indonesia. Jokowi sudah terpukau dengan Lembaga Kreatif di Korea yang mengurusi hal ini. Tentu pejabat Badan Ekonomi Kreatif – Bekraf sudah melakukan studi langsung ke Seoul.

Namun selalu ada problem tidak mutu yang gampang ditebak. Dari sisi luar Bekraf. Masih banyak birokrasi dan betapa tidak sinkronnya antar departemen atau lembaga yang mestinya menopang tujuan Bekraf. Misalnya aturan larangan domisili usaha di virtual office yang akan berlaku mulai 1 Januari 2016, berdasarkan surat edaran dari Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI. Padahal untuk start up pemula tidak akan kuat untuk menyewa ruang usaha karena belum tentu produknya laku, sehingga domisili usaha di Virtual Office sangat penting terutama bagi mereka yang berkecimpung di industri kreatif.

Saat dilantik menjadi Presiden Korea Selatan, pada Feb 2013, Park Geun hye sudah mengedepankan visi menciptakan ” Keajaiban kedua di Sungai Han ” melalui pengembangan ekonomi kreatif. Presiden Korea Selatan yang juga putri dari Park Chung Hee – Presiden Korea Selatan yang mati terbunuh tahun 1979, ditembak kepala intelejennya sendiri – menyadari bahwa bahwa ekonomi kreatif adalah mesin pertumbuhan ekonomi baru, melalui konvergensi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fusi budaya dan industri.

Ia langsung membentuk Departemen baru, Teknologi Informasi Komunikasi dan Perencanaan Masa Depan, dibuat dari tiga instansi pemerintah yang sebelumnya terpisah, untuk memimpin dalam pengembangan, koordinasi dan melaksanakan kebijakan terkait. Hanya 4 bulan setelah dilantik. Pemerintah Korea sudah memperkenalkan ” Rencana Aksi Ekonomi Kreatif.” Strategi ini mencakup seperangkat insentif pajak, dana baru dan reformasi peraturan untuk mengatasi tantangan pembiayaan untuk perusahaan start-up.

Melihat permasalahan di Indonesia, kita sendiri masih belum paham dengan definisi Teknologi Informasi dan Komunikasi, atau bahasa gaulnya ‘ Internet ‘. Kasus pelarangan virtual office sudah menyiratkan betapa gagapnya birokrat Pemda memandang trend kantor virtual.

Lalu sejak Triawan Munaf dilantik menjadi Kepala Bekraf pada bulan Januari 2015 disusul pembentukan struktur organisasi di bulan Juni, sampai blog ini ditulis akhir tahun 2015, kita tidak melihat portal resmi atau web yang menjelaskan rencana aksi ekonomi kreatif. Dengan adanya portal Bekraf, kita bisa melihat arah dan komitmen Pemerintah untuk meringankan birokrasi, sekaligus mengembangkan sektor inovatif.

Mungkin bisa mengambil contoh Menteri Perikanan, Susi Pujiastuti. 2 bulan setelah dilantik, ia menggandeng Angkatan Laut untuk menenggelamkan kapal kapal pencuri ikan milik negara tetangga. Ini penting untuk menunjukan keberadaan departemen yang dipimpinnya. Ada keberpihakan kepada nelayan lokal, dan ujungnya masyarakat menghargai.

TrimunKita memahami betapa pusingnya para praktisi seperti Triawan Munaf atau Ricky Pesik yang menghadapi kabel kusut birokrasi. Memang semua prosedur birokrasi pemerintah harus ditempuh untuk melengkapi struktur organisasi sebagai lembaga pemerintah non kementerian.
Mungkin ini ide gila, sambil menunggu cairnya dana dari Pemerintah yang tersendat. Kepala Bekraf bisa mencuri panggung ‘ keberpihakan ‘ seperti Menteri Perikanan, daripada hanya menampilkan foto foto seremonial disana sini melalui akun twiter.
Misalnya meminta pencabutan blokir terhadap situs Vimeo yang dilakukan Kementrian Kominfo. Semua orang tahu bahwa vimeo sebagai tempat etalase karya karya audio visual anak bangsa. Kalau perlu Bekraf harus bisa meyakinkan Presiden. Mestinya situs internet yang menawarkan tempat mengunduh lagu lagu secara gratis yang justru harus diblokir. Ini bisa menanggapi kerisauan pencipta lagu.

Apakah Bekraf mengurusi razia lapak lapak DVD atau CD bajakan. Kenapa tidak ? Ini lebih memiliki efek gentar, dibanding beramai ramai membawa artis musisi dan produser ke Bareskrim untuk membuat pengaduan. Seperti Menteri Susi yang meminjam tangan Angkatan Laut. Kepala Bekraf bisa meminjam tangan Kepolisian dan Satpol PP menggerus pembajak pembajak di pojokan kota.

Tidak usah jauh jauh juga. Sebagai mantan praktisi periklanan, pejabat pejabat Bekraf pasti mengerti tentang produksi pembuatan film iklan. Bukan rahasia umum, kalau banyak sutradara, cameramen, penata rias sampai penata makanan asal luar negeri yang bekerja illegal di NKRI. Sekali sekali melakukan inspeksi mendadak bersama Dirjen Imigrasi, Kementrian Tenaga Kerja menuju lokasi syuting. Ini menimbulkan efek perlindungan terhadap pekerja film dalam negeri.
Lucunya ada beleid yang pernah dikeluarkan oleh Menkominfo, dalam bentuk peraturan Menteri tentang larangan penayangan iklan TV yang tidak memenuhi persyaratan sumber daya lokal.

Saya mendengar film akan menjadi salah satu andalan Bekraf, disamping musik, aplikasi digital dan game developer. Tidak perlu merasa kuatir, ewuh pakewuh dengan lintas departemen, misalnya menurut UU Film secara teknis dibawah Kementrian Pendidikan. Tanpa basa basi, Bang Ali pernah menyurati Lembaga sensor film yang meminta agar DKI diberi jatah anggota. Alasannya, agar LSF tidak semena mena main potong film, karena memasung kreativitas dan Jakarta kota metropolitan yang berbeda dengan daerah terpencil di Indonesia. Bang Ali juga nekad mendatangi Ali Wardhana, Menteri Keuangan untuk berdebat keras meminta dibelikan bus bus PPD.

Agar tidak terasa sendiri, Bekraf bisa menggandeng Kementrian BUMN dan Kementrian Dalam Negeri, sebagai lokomotif ganda mendirikan bioskop bioskop independen kelas menengah ke bawah di ibu kota propinsi atau Kabupaten. Banyak gudang gudang BUMN yang mangkrak dan lebih baik disulap jadi bioskop. Kalau perlu bekerja sama dengan PFN – Perusahaan Film Negara dan Kementrian Koordinator PMK sebagai penanggung jawab jalannya Revolusi Mental. Tanpa harus berlebihan, film bisa menjadi propaganda negara dalam arti yang positif.

Korea Selatan dengan populasi 50 juta penduduk, film box office-nya bisa ditonton sampai 15 juta orang. Bandingkan Indonesia dengan jumlah penduduk 250 juta, film sudah dianggap box office dengan ditonton 1 juta penonton.

syut filmBayangkan juga, Kepala Bekraf menggelar konperensi pers di depan Museum Fatahilah, setelah mendapat restu dari Gubernur Jakarta, yang mengatakan seluruh fasiltas publik di Jakarta dibebaskan dari pungutan perizinan. Bukan rahasia umum biaya perizinan menjadi salah satu elemen biaya besar dalam industri film di Indonesia. Jangankan syuting film. Kita memotret untuk pre-wedding di kawasan kota tua saja, harus menyetor uang perizinan.
Kota Vancouver di Canada dalam menarik pembuat film dari Amerika juga membebaskan biaya perijinan dari sebagian fasilitas publik yang ada.

Tahun depan dengan budget lebih dari 1 Trilyun. Katakanlah alokasikan 50 M untuk bantuan kerja sama start-up. Walau nilainya kecil tapi memberikan rasa negara hadir untuk insan creator yang tak memiliki modal. Saya percaya Bekraf sudah melakukan pembicaraan dengan lembaga perbankan atau lembaga keuangan bukan bank untuk partisipasi pembiayaan start-up. Tentu kita bermimpi seperti di Hollywood, sebuah skenario bisa dijadikan jaminan bank. Bukankah Bung Karno sebagai kreator furniture dan interior pernah mendirikan perusahaan start-up spesialisasi mebel “ Soekamerindoe “ di Bengkulu tahun 1938 yang dibantu urusan dana oleh Haji Oei Tjeng Hien.

Lihat saja Korea yang terus meningkatkan investasi publik pada start-up sebesar 40 persen pada 2017. Dengan kata lain, Bekraf harus mendukung sektor baru yang menjanjikan inisiatif kewirausahaan melalui pendidikan dan pendekatan publik. Kebijakan Ekonomi kreatif tidak sekadar memanfaatkan teknologi mutakhir, budaya, dan seni. Fokus kebijakan negara harus ditempatkan untuk mendukung dan memperluas usaha kecil menengah yang dapat menyebabkan penciptaan lapangan kerja atas rantai ekonomi ini.

Memang sekian lama para kreator kita berjuang sendiri mencari pasar. Mereka sudah terbiasa survive, menyelenggarakan event sendiri. Sutradara film jalan sendiri merangkap pencari dana, mengurusi promosi, distribusi sendiri dan tidak berharap banyak pada Pemerintah. Tapi bukan berarti mereka terus sendiri. Negara bagaimanapun harus ada. Mungkin Triawan Munaf harus sedikit koppig, keras kepala seperti Ali Sadikin. Berani lantang meminta, dan menunjukan ke publik. “ Mana hak kami ? “. Tentu saja kami, insan kreator akan mendukung gebrakan Triawan Munaf.
Sebagaimana lagu yang pernah diciptakan. Masa tidak Geregetan melihat Bekraf tidak beroperasi penuh sepanjang 2015 ?

You Might Also Like

2 Comments

  • Anggara
    January 14, 2016 at 2:21 pm

    Masih penasaran saja, sejauh mana kewenangannya Bekraf ini. karena ada beberapa yang menyangkut kewenangannya Pemda dan ada yang kewenangannya Pemerintah Pusat.

    Sejauh mana Bekraf bisa melintasi kewenangan2 tersebut termasuk untuk urusan di daerah sih masih jadi pertanyaan.

    Mudah2an kalau Presidennya ganti, Bekrafnya tetap ada hehehehe

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:31 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*