Usai sudah hiruk pikuk kampanye partai partai politik di dunia nyata. Memasuki hari hari tenang sebelum hari pencoblosan. Tapi tidak demikian di dunia maya. Hari hari tenang ini justru kampanye dari akun resmi atau sosok capres, atau melalui relawan dan buzzer buzzer resmi, justru bertambah heboh. Eskalasi serangan, sindiran makin meningkat.
Fenomena menggunakan medium buzzer dalam era kampanye saat ini membuat TL seakan dipenuhi konflik politik. Tidak aneh jika produk produk consumer goods atau brand lain, menahan diri tidak menjalani brand aktivitas sampai pileg atau bahkan pilpres. Percuma, kata seorang teman Marketing Manager. Percakapan di Media Sosial hanya melulu politik. Jika kita membuat sebuah aktivasi, hanya numpang lewat. Demikian dia berasumsi.
Tidak tahu apa asumsinya benar. Saya hanya bisa mengamini bahwa masa masa jelang kampanye juga menyita waktu saya. Membuat saya memilih untuk ‘ cuti ‘ dari dunia periklanan untuk sementara waktu. Praktis sejak Oktober lalu, saya banyak mengurusi partai PDIP sebagai konsultan social media mereka.
Bagi PDIP, ini merupakan tantangan baru, setelah sekian lama hanya mengandalkan grassroot yang setia dan fanatik. Pejah gesang nderek Banteng.
Tiba tiba hidup saya berubah, karena menjalani aktivitas kegiatan partai. Ikut meeting di ruangan fraksi Gedung DPR, kantor DPP di Lenteng Agung sampai rapat rapat tengah malam sampai subuh di rumah petinggi partai. Saat masa kampanye, saya juga wajib mengikuti perjalanan Ibu Mega atau Mbak Puan ke pelosok Indonesia.
“ Kami juga sedang kaget karena muncul serangan baru “ kata Iman Brotoseno, juru kampanye partai itu di media sosial, Rabu pekan lalu. Pukulan baru itu berhubungan dengan sepatu Nike yang dikenakan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP, Puan Maharani. Putri Megawati itu mengenakannya ketika berkampanye di Medan pada pertengahan Maret lalu. Pemakaian sepatu merek luar negeri itu dicibir tidak nasionalis, yang lagi lagi bertentangan dengan jargon kampanye.
Menurut Iman, jawaban terhadap tuduhan itu sangat mudah. Menurut dia, pabrik sepatu Nike berada di Tangerang, Banten yang mempekerjakan banyak tenaga kerja Indonesia. “ Maka menggunakan sepatu itu justru menghidupi bangsa sendiri “. Ia mengklaim.
Penggalan paragraph diatas muncul dalam Laporan utama ‘ Musim Permak Wajah Partai ‘ Majalah Tempo, edisi 31 Maret – 6 April 2014. Tentu saja dalam wawancara saya dengan wartawan Tempo., saya tidak mencap sebagai juru kampanye. Bahkan saya selalu bilang – sebagaimana live talk show di NET TV, bahwa saya hanya sebagai Konsultan Media Sosial PDIP. Memang dalam wawancara selama 2 jam itu, saya lebih banyak mengupas strategi partai menggunakan media sosial dalam menggaet suara untuk pemilu. Ada 40 juta suara pemilih baru di social media. Mereka terlalu banyak untuk ditinggalkan. Mereka juga cenderung apolitis, bisa dikategorikan massa mengambang – swing voter, tapi mudah meraih simpati mereka dengan pendekatan yang mengetuk hati.
Sebenarnya pemilihan kata juru kampanye diatas, membuat saya agak canggung. Ackward. Bagaimanapun saya tidak pernah berkampanye dengan gaya jurkam nasional yang memang harus menggelora, bombastis di depan massa simpatisan. Team buzzer atau gaya komunikasi di media sosial dari ‘ Indonesia Hebat ‘ juga umumnya memakai pilihan kata yang bukan kampanye ala jurkam di lapangan. Konotasi juru kampanye seolah bombastis. Itu bukan gaya berkomunikasi efektif di media sosial.
Kita menciptakan gaya komunikasi sesuai karakter masyarakat netizen, yang terdidik, well-informed dan ‘ gaul ‘. Misalnya berusaha memahami mereka generasi yang kritis. Maka kita buat lomba kontes blog. Mereka generasi yang suka narsis. Maka kita memberi wadah kontes lomba selfie. Mereka tidak suka dengan pendekatan yang cenderung langsung ala baliho dan poster caleg di pinggir jalan. Maka kita ketuk hatinya dengan issue issue kebangsaan.
Setelah saya pikir pikir, kenapa harus malu dengan panggilan jurkam ? Mungkin ini karena persepsi sebagian orang, bahwa politik itu kotor seperti penyakit kusta yang harus dihindari. Padahal buzzer brand atau consumer goods sebenarnya juga dikategorkan juru kampanye. Bagi seorang marketer atau agency. Merk mobil atau Presiden atau partai tetaplah sebuah produk yang ujungnya jualan. Bukankah saya pernah membuat iklan Partai Golkar sejak dulu. Iklan SBY – JK sampai PDIP juga. Pertimbangannya murni professional.
Tapi kali ini dengan PDIP, mungkin ada semangat yang berbeda, ketika saya yang selalu menulis dalam blog dan twitter tentang Bung Karno, sekarang terlibat dalam partai yang mengusung semangat dan pemikiran Bung Karno
Setelah pileg ini, saya bisa kembali mengerjakan iklan produk. Ada dua produk yang mengantri untuk dibesut bulan ini juga. Saya justru penasaran apakah para kawula muda ini akan mencoblos ? Berhasilkah kampanye yang dilakuka di social media selama ini ?
Ketakutan saya ( kita ) bahwa golongan putih makin lama mendominasi partisipasi warga dalam pesta demokrasi ini.
Golongan putih (golput) pada dasarnya adalah sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta, sebulan sebelum hari pemungutan suara pada pemilu pertama di era Orde Baru dilaksanakan. Arief Budiman sebagai salah seorang pelopor golput berpendapat bahwa ini bukan gerakan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih tepat sebagai simbol tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa. Menurut kelompok ini, dengan atau tanpa pemilu, kekuatan efektif yang banyak menentukan nasib negara ke depan adalah militer atau ABRI.
Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan, jumlah pemilih golput hanya 6,67%. Pemilu 1977 golput sebesar 8,40%. Tahun 1982 (9,61%). Tahun 1987 (8,39% ),tahun 1992 ( 9,05% ), Tahun 1997 (10,07% ), Tahun 1999 (10.40%), Tahun 2004 ( 23,34% ). Sementara pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah golput 30% bila dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT ) sebesar 171.265.442 jiwa, yang setara dengan 51.379.633 pemilih. Jadi Golput adalah partai pemenang yang sesungguhnya pada Pemilu 2009.
Saya sepakat bahwa pesta demokrasi memilih anggota legislative dan Presiden ini harus diikuti oleh sebanyak mungkin warga negara. Jika mengutip Majalah Tempo : minimnya partisipasi pemilih pada tingkat paling ekstrem akan membuat demokrasi kehilangan rohnya. Suara terbanyak adalah mereka yang menarik selimut pada hari pencoblosan dan sang pemenang adalah mereka yang dipilih sekelompok kecil orang. Fasisme di Eropa – terpilihnya Adolf Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia – karena apatisme semacam ini.
Golput pada saat dicetuskan tahun 1971 adalah sebagai perlawanan politik terhadap rezim Soeharto yang otoriter. Ketika atas nama demokrasi, negara dan militer membantu kemenangan Golkar. Namun berbeda dengan konteks saat ini. Partai partai yang ada bukan bentukan Pemerintah.
Memang apatisme muncul karena kemuakan warga melihat patgulipat partai dalam bernegara. Politisi yang korup serta koalisi untuk kepentingan kelompoknya.
Kelas menengah menyumbang banyak dalam angka Golput ini. Banyak mereka lebih memilih Presiden daripada Partai. Jika diterjemahkan, Presiden yang terpilih tidak akan didukung partai yang memiliki suara mayoritas di DPR. Ini bakal merepotkan. Berbeda dengan masyarakat akar rumput yang cenderung antusias pada pileg atau pilpres.
Saya berpikir betapa menyedihkannya jika wakil rakyat yang terpiilih, bukanlah representasi yang kita inginkan. Jika kita apatis dalam proses bernegara, kritik dan suara kita kelak seolah tidak memiliki legitimasi. Karena itu peran warga negara menjadi penting, dengan memberikan suara kita pada pemilu. Kita dipaksa untuk menjaga hak hak kita.
Lebih dari itu. Jika mengingat pesan Bung Karno. Sesungguhnya pemilu bukan tempat untuk ajang pertempuran partai partai yang bisa memecah persatuan bangsa. Mari kita pergi mencoblos pada hari pencoblosan !
2 Comments
Wazeeen
April 8, 2014 at 8:56 amDari posting ini saya jadi baru ngeh mas, di forum lari ada yang nyinggung masalah gaji buruh Nike dan jersey Timanas Inggris (bukan Arsenal 😀 ) yang dibuat oleh, konon, buruh Nike yang di Indonesia, ah masa kampanye ini terkadang gimana gitu.
ibas
October 10, 2023 at 8:47 amgood article, thank you