Halmahera

Gunung Gamalama kelihatan gagah berdiri dibalik kota Ternate, dilihat dari atas pesawat baling baling Fokker 27 yang membawa saya. Udara panas dan terik menyambut kami di bandara Sultan Babulah, para rombongan crew TV dan fotographer dari seluruh Indonesia yang diundang Bupati Halmahera Utara untuk merekam catatan pariwisata daerahnya.
Nama bumi Halmahera sudah ditulis dalam catatan penjelajah Eropa ketika Fransisco Serrao dari Portugis menjejakkan kakinya di Ternate tahun 1512 dan disusul Juan Sebastion de El Cano tahun 1521 bersama armada Trinidad dan Victoria dari Spanyol yang mendarat di bumi Tidore.
Mengherankan bahwa dalam pelajaran sejarah kita, sedikit sekali referensi mengenai kebesaran Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Nusantara selain Aceh dan Demak. Bahkan Sultan Babulah berhasil mengusir Portugis dari bumi Maluku selamanya pada tahun 1575 setelah peperangan sengit selama 5 tahun.
Sisa kebesaran itu tidak sama sekali kelihatan. Halmahera adalah potret buram sebuah daerah yang tertinggal. Pemekaran menjadi Maluku Utara justru ajang pertikaian para elit dan proses pemiskinan rakyatnya.

Halmahera sesungguhnya bumi yang indah. Matahari menyembul dengan pendar oranye merah jingga dibalik gunung gunung dan lautnya yang biru terhampar. Namun Ucu Botapone, mahasiswa Universitas Khairun, Ternate yang menjadi Liason Officer atau pendamping dari group kami justru merasa malu. Ia malu karena kami justru menjadi saksi para elitnya yang berkelahi di parlemen daerah dan pilkada. Pejabat pejabat dinas propinsi yang masuk bui karena korupsi, hutan hutan yang gundul di Halmahera Timur akibat proses penambangan dan juga rusaknya ekosistem terumbu karang karena pemboman penangkapan ikan.
Sebuah negeri yang jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta, dan mungkin penguasa di ibu kota tak pernah peduli. Membiarkan terpuruk atas dasar prinsip demokrasi. Sesuatu yang dinamakan otonomi daerah.

Dalam perjalanan menembus lautan menuju Pulau Morotai di utara yang berbatasan dengan Samudra Pacific. Saya menyaksikan kebesaran negeri ini. Hamparan kebun kelapa dan pasir putih membuat kita terpekur. Berpikir apa yang bisa kita lakukan untuk negeri ini. Dan kita tersadar bahwa Indonesia tidak dilihat dari wangi wanginya Mall di Jakarta, atau hiruk pikuk kebebasan berekspresi di Internet. Justru di pelosok gunung kidul, Mentawai atau Alor. Sementara di Morotai sini, jalanan becek – bukan kiasan Cinta Laura – pasar dan rumah kumuh yang banyak ditempeli poster wajah wajah kontestan Pilkada. Para pedagang menjajakan pakaian pakaian bekas di pinggir jalan, dan nelayan nelayan yang apatis akan hidupnya.
Sebuah pikiran liar terlintas. Menyewakan pulau ini kepada Jepang atau Amerika. Agar mereka bisa mengelolanya sebagai tempat pariwasata. Mengingat banyaknya peninggalan sejarah sisa perang dunia II. Itupun dari yang masih tersisa, karena hampir sebagian besar rongsokan kapal, pesawat, tank telah dilego menjadi bahan peleburan besi tua.

Ucu Botapone yang asal Sanana, Maluku memang tidak pernah menyerah dengan masa depan daerahnya. Ia selalu percaya selalu ada perubahan di masa depan. Saya yang tadinya apatis, selalu berusaha percaya. Karena Ucu tidak pernah mau menerima uang tip pemberian kami.
“ Saya sudah menerima upah untuk pekerjaan ini “
Ia juga tidak mau melakukan korupsi. Saat kami ingin membayar makanan, ia selalu bersikeras menolak. Padahal dengan memegang sejumlah uang yang diberikan dinas pariwisata untuk menyewa mobil, boat dan membeli makanan. Bisa saja ia membiarkan kami membayar makanan, dan ia melaporkan kepada atasannya bahwa ia yang membayar semua pengeluaran.
Hampir seminggu saya memotret dengan mata hati. Bukan keindahan alam Halmahera yang mempesona. Justru kemiskinan, keterbelakangan dan harapan yang saya rekam dalam catatan perjalanan ini.
Saya ingin kembali ke tanah ini mungkin di masa depan, dan melihat orang orang seperti Ucu yang mengelola daerahnya. Sekali lagi ia menolak keras uang pemberian kami ketika mengantar kami di bandara untuk menuju Manado. Saya hanya tersenyum dan melambaikan tangannya dari balik jendela pesawat. Suara baling baling terlalu keras memekakan telinga.

You Might Also Like

53 Comments

  • Nindarwan
    May 9, 2009 at 4:51 pm

    Memang ironis maz,Saya juga Asal sanana
    saya selalu berharap suatu saat nanti tempat kelahiranku itu menjadi lebih baik…

  • ndafender
    October 11, 2009 at 10:26 am

    indahnya halmahera saya belum pernah kesana oh… prasa katanya oke banget… heheheee…

  • fandi
    January 1, 2010 at 2:04 pm

    Emang negerinya kaya dengan potensi sumber daya alam tapi pejabatnya juga kaya dengan hasil korupsinya minta ampun melebihi kekayaan alam mas!

1 2

Leave a Reply

*