Kisah Nabi Sulaiman selalu diulang ulang saat menceritakan bagaimana dengan bijaknya selalu menemukan solusi hukum atas keadilan yang dicari cari rakyatnya. Ketika seorang ibu menghadapinya dan meminta keadilan karena seorang ibu lain telah menukar bayinya dengan bayi yang sudah mati. Sang Baginda pun bersabda dengan memberikan solusi dengan ‘ membagi dua ‘ bayi itu untuk menentukan siapa ibu sesungguhnya.
Kita tahu akhir cerita ini, dan jauh ribuan tahun sebelum jaman sekarang, ternyata hukum sudah melakukan terobosan untuk menemukan keadilan.
Sedemikian sulitkah mencari keadilan ? Ini bukan sebuah cerita khayal dari Fransz Kafka, seorang penulis Ceko keturunan Yahudi. Tentang seorang yang mendatangi pintu gedung hukum, dan bertanya kepada penjaga apakah ia bisa menemui sang keadilan. Si penjaga, dengan gagahnya – karena ia melindungi gedung hukum – serta segala wibawanya, mengatakan bahwa mungkin ia harus menunggu.
Orang itu terus menunggu sampai bertahun tahun, sampai ia tua, lemah dan matanya rabun. Di pintu itu ia tetap terpekur, sampai akhirnya mati. Sebelum mati, Kafka menuliskan. Ada sebuah cahaya yang tak pernah mati, mengalir dari dalam pintu hukum itu. Ini mungkin sebuah satire yang mengejek hukum itu sendiri. Orang itu tak pernah menemukan keadilan yang sebenarnya, hanya sejengkal dibalik pintu besar itu. Tertutup oleh kekuasaan.
Ketika suara rakyat mendorong dorong agar pintu hukum itu dibuka. Mencengangkan, Presiden kita, SBY masih saja terpekur di balik pintu hukum yang dijaga ketat oleh aparatnya. Ia hanya menunggu dan selalu ragu. Apakah hukum ini merupakan jawaban atas keadilan yang ditunggu tunggu rakyat.
Prof. Sacipto Rahardjo menulis dalam rubriknya di harian KOMPAS , bahwa pekerjaan hukum bukan semata melakukan rule making ( membuat dan menjalankan ) tetapi juga – dalam keadaan tertentu – melakukan terobosan. Rule breaking.
Dengan dinamika tuntutan yang sedemikan besar dari rakyat tentang rasa keadilan yang terciderai dalam kasus perseteruan Bibit Chandra dan Polisi/ Kejaksaan di pihak lain. Presiden bisa menjadi langkah terakhir untuk melakukan tindakan progresif. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan kita dari ‘ belenggu kerangkeng hukum ‘. Kita membutuhkan hukum, tetapi jangan sampai hukum justru membelenggu kita.
Jangan paksa saya. Sang Presiden memang menolak menjadi juru taksir sebuah kebenaran. Ia terus mengelak. Sepertinya SBY kelihatan bijak dengan bersembunyi dalam doktrin trias politica, bahwa tidak semestinya eksekutif memasuki pagar yudikatif.
Tapi ia lupa, bahwa rakyat yang telah memilihnya kemarin, tak melulu harus mengerti konsep konsep teori politik Montesque. Mereka butuh jawaban keadilan, hari ini juga. Bahwa keadilan tak harus sedemikian rumitnya untuk dinalar dengan akal sehat.
Demi kemashalatan umum dan publik, sebagai pemegang amanat rakyat. Seorang Presiden bisa mengenyampingkan teori teori kolot tentang etika politik.
Ada pameo di kalangan para hakim, lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada khilaf menghukum orang yang tak bersalah. Persoalan dan hiruk pikuk tonil sandiwara yang begitu menyita perhatian publik, sudah bukan urusan hukum semata. Ini sudah menjelma menjadi issue politik dan bernegara, karena harus memenuhi ekspektasi rasa keadilan yang dituntut publik.
Seberapa berani SBY akan memenuhi tuntutan publik ? Semoga ia berani berkaca bahwa sejarah selalu mengajarkan hal yang sama. Ketika arus kekuatan rakyat tersumbat, ia akan merobohkan kesewenang wenangan. Apapun bentuknya.
Memang tidak mudah menjadi bijak seperti Nabi Sulaiman. Tetapi sangat mudah untuk mengerti bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan.
28 Comments
Koen
November 19, 2009 at 8:12 pmTito menghukum mati seorang perwiranya. Terlibat penjarahan harta rakyat.
“Tapi pasukan kami sedang lapar,” bela si perwira.
Tito tak bergeming. “Pada titik kritis seperti sekarang, berdiri atau runtuhnya negara ini tergantung pada sikap rakyat terhadap kita, dan dengan demikian sikap kita terhadap rakyat.”
Negeri ini semestinya diurus seorang pemimpin. Atau setidaknya seseorang yang paham bahwa pada titik seperti sekarang, berdiri atau runtuhnya republik tergantung pada keberanian pribadinya. Ah, negeri yang malang.
manusiasuper
November 19, 2009 at 10:15 pmTujuan adanya hukum sejatinya adalah untuk mengawal ke arah kebaikan, keamanan, kemapanan, kenyamanan… Jika hukum justru membuat ketidak nyamanan, maka itu… kebodohan…
Tadi sore, Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy, kalau tidak salah, menyebutkan quote “salah satu tanda negara korup adalah negara tersebut memiliki banyak undang-undang”…
areef
November 19, 2009 at 11:32 pmhmmm…sepertinya pak presiden lupa apa yg terjadi 11 thn silam…
terlalu bnyk diam,menunggu,bertele-tele dan dramatisasi…(persis seperti lakon2 BODOH TOLOL di sinetron2 dan sebagian besar film kita…)
sementara rakyatnya berteriak2 minta keadilan..bygkan seorang nenek2 di hukum cuma gara2 3 BIJI KOPI!!!sementara para pembantunya ( dan lawyer2 ‘penghisap darah’ mereka ) seenaknya memutar balikkan keadilan..
apakah anda menunggu MARTIR pak PRESIDEN?!!!semoga tidak…
Nika
November 20, 2009 at 1:41 amAmat sangat sangat sangat menyesal telah menjatuhkan pilihan pada anda, pak SBY. Harusnya kupilih JK..
Nika
November 20, 2009 at 1:42 amAmat sangat sangat sangat menyesal telah menjatuhkan pilihan pada anda, pak SBY. Harusnya kupilih JK..
*smg SBY baca*
DV
November 20, 2009 at 5:36 amHehehehehe, dari dulu sifatnya peragu, Mas Iman.
Heran saya, ada purnawirawan jenderal kok seperti itu… apa karena terlalu ‘textbook’ ketimbang ‘berperang’ ya? Semoga saya salah…
iman brotoseno
November 20, 2009 at 8:41 amNika,
SBY belum tentu baca, tapi ada pembantu dekatnya yang berlangganan RSS feed saya..he he.. mudah mudahan disampaikan.
Sarah
November 20, 2009 at 8:42 amNyesel milih SBY kalau gini,..Kalau pemilu diadakan sekarang, dijamin suaranya dia jeblok
yati
November 20, 2009 at 10:49 amHmmm…beda ya kalo anak FH yang nulis. Enak bacanya :p sementara saya, marah2 terooosss.
Bener yang mas iman bilang di twitter, kasus nek minah dan kakao itu, adil. Tapi hukuman yang sama ga diterapkan terhadap pencurian yang berjuta kali lipat nilai 3 biji kakao itu.
Makanya postingan saya tetep marah2 :d
mitra w
November 20, 2009 at 11:23 amsetujuuuu 🙂
mitra w
November 20, 2009 at 11:25 amngakak baca komen Nika, 😀
tya
November 20, 2009 at 1:45 pmahhhh keren banget sih mas tulisannya
aku padamu…
seandainya, seandainya pak JK masih menjabat mungkin ga akan kacau atau berlarut2 gini
fyuh…
andyan
November 20, 2009 at 3:41 pmhufff
semoga ada yang bisa bertindak dengan benar
zam
November 20, 2009 at 9:10 pmoh dunia!
bangsari
November 21, 2009 at 10:27 amsiapa tidak memihan kebenaran, bisa ditebak dia andil dalam kesalahan itu. yah, siapa dalangnya anda tentu tahu.
Prof. Sacipto Rahardjo (apa Satjipto Rahardjo ya?). Saya kagum sama orang ini. Pemikirannya jauh, dengan bahasa yang bagi saya gampang, dan sangat jernih.
Kekaguman ini berawal dari tulisan yang sayta baca dulu, dari Kompas juga setelah era reformasi Dia menuliskan bahwa hukum seharusnya berdiri di atas nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tidak terpaku pada prosedur dan birokrasi.
Nendang banget.
trian
November 21, 2009 at 7:39 pmsaya kurang sependapat dengan bagian akhir tulisan, lebih pas “suara rakyat adalah suara Tuhan” (with apostrophe). rakyat tidak selalu benar, apalagi dihubungkan dengan konspirasi media yang menjadi suara rakyat tersebut. buktinya sekarang, suara rakyat hasil pemilu untuk SBY juga terlihat tidak benar nya.
tapi saya percaya, keadilan itu ada pada hati nurani. sayang sekali jika pemimpin tidak peka terhadap hati nurani rakyat dalam kebijakan nya. dan lebih menyedihkan lagi, pemimpin tidak berani mengambil resiko untuk keadilan tersebut.
didut
November 22, 2009 at 8:47 amsemakin tdk tahu hrs berkata apa thdp pemimpin untuk keadilan di negri ini
giru
November 22, 2009 at 9:25 amsby tuh bukan orang bodoh, tanpa bikin tim 8 pun dia pasti dah ngerti apa yang sebenernya terjadi, presiden gitu loh
tapi tipikal sby lah, bertele2, kebanyakan gaya. ngga jendral banget
Gadis Pasrah
November 23, 2009 at 1:39 amSulit buat SBY dan jelas berbeda dengan sulaiman….
SBY pake hukum manusia… (mudah di edit dan direkayasa…) Sulaiman pake hukum Tuhan….(absolut)
Jadi kalau mo merubah wajah negeri ya………. kembalikan ke ajaran Illahiyah……..
Seperti kejayaaan Negeri Nusantara…………….
Crayon Shinchan
November 24, 2009 at 2:48 amInilah Indonesia .. tak ada yang tak mungkin
klepo
November 24, 2009 at 4:29 pmkok bisa yak sby jadi jenderal dulu…??slah siap dulu bisa melejitkan sby jadi jenderal??? kesan sby ituh gak tegas gitu, muter2..tipikal jenderalkan kalo ngasih putusan hitam atau putih titik..sby malah putusannya abu2 mulu…
maynot
November 24, 2009 at 4:54 pmHehe… jadi ingat lelucon jaman dulu, tentang seorang kenek, yang selalu terlambat memberhentikan bis. “Salembaaaaa … Rawamanguuuuun…. Pasar Genjing ada turuuuuun?”. Keburu sampai Rawamangun baru bisnya berhenti, deh 🙂 (leluconnya siapa dulu ya?)
Mungkin Bapak Presiden juga seperti itu ya? Orang udah teriak, “Kiriiii! Kiriiiii, Bang!” beliau masih ragu2 aja untuk nyuruh supir berhenti 🙂
Untung beliau cuma presiden, bukan supir bis. Bisa telat terus saya kalau beliau supir bisnya *cynical mode: ON*
ati
November 25, 2009 at 11:31 ammakanya pilih pemimpin tuh yang beragama, tegas, mau nunggu kelambanan 5 tahun lagi??? semoga masih punya kesabaran huffff
lady
November 25, 2009 at 5:23 pmpak JK… di manakah anda? banyak yg merindukan dirimu lho..
Epat
November 25, 2009 at 5:25 pmjadi mas iman siap untuk 2014? *pesen umbul-umbul*
arham blogpreneur
November 26, 2009 at 2:07 am“suara rakyat adalah suara Tuhan” hal ini lah yang juga saya temukan dalam rule of social media marketing PR.
Tak salah pula rasanya kalau kita katakan bapak normatif akan segera lengseng dengan people power, kalau terus menerus multi intrepertasi lagi lagi dan lagi lagi bergulir
sayang kemenangan sang terpilih, kiranya hanya kisah semu dibalik tabir hitam kantong anggodo.
sesy
November 26, 2009 at 4:26 pmno comment, cuma mau tau hidden agenda nya SBY
wijoyo
November 26, 2009 at 9:27 pmaaahh…lega sekali tidur saya selama ini karena dulu tidak milih SBY, si peragu dan penakut itu.