BAGAIMANA MENILAI SUTRADARA ITU BAIK ATAU BURUK

Seorang pemerhati film pernah berkata, kenapa film film iklan yang dibuat Riri Reza pada beberapa tahun yang lalu, kok biasa biasa saja ( mungkin dia mau mengatakan buruk tetapi merasa tidak pas ungkapannya ). Sementara karya layar lebarnya sangat luar biasa dan menjadi salah satu pencapaian film film terbaik dalam sejarah perfilman nasional. Di kisah lain,ketika menghadiri Pinasthika Award di Jogja, seorang Creative Director mengeluarkan uneg unegnya kepada saya disela sela makan malam menyambut para tamu, bahwa dia tidak akan memakai si sutradara anu karena dia tidak menunjukan perform yang diharapkan sewaktu membuat sebuah iklannya. “ kayaknya si anu dan PH anu nggak bakalan dipakai lagi di tempat gue..”. Padahal setahu saya si sutradara anu tersebut yang berkebangsaan asing, mempunyai karya yang bagus bagus. Bahkan salah satunya menjadi salah satu kategori terbaik dalam Festival Film Iklan Fines beberapa bulan yang lalu. Lalu ia terus bercerita bahwa lighting mood yang dihasilkan oleh sutradara itu tidak sesuai dengan harapan si creative. Karena ini iklannya bercerita sebuah konser, si sutradara hanya memakai available light dari tata cahaya panggung, disamping jumlah talent penontonnya yang terlalu sedikit. Saya hanya berpikir , Mungkin saja si sutradara sudah meminta equipment tertentu atau tambahan crowd, hanya dari pihak PH tidak mengabulkan. Jadi siapa salah ? tetap saja si sutradara, karena baik atau buruk, predikat itu akan lari ke sutradara pada akhirnya.

Ini agak kompleks permasalahannya dan kita melihat dari sisi mana ? tentu masing masing pihak akan mempunyai pembenaran yang akan sangat subyektif pada akhirnya. Mungkin bisa juga sejak awal sudah tidak ada hubungan chemistry antara sutradara dan kreatif, bisa juga sejak awal konsepnya sudah ‘basi’ sehingga mau diulik bagaimanapun juga tetap saja menjadi sebuah iklan yang biasa, atau lebih jauh lagi si sutradara merasa menjadi sasaran tembak karena tidak ada support dari production house, yang ujung ujungnya ia tidak mempunyai passion untuk mengerjakan iklan itu. Jadi tidak bisa dilihat secara kasus per kasus.Ada teman yang sampai sekarang tidak bisa bekerja dengan salah satu biro iklan besar di Jakarta, karena pada awal karirnya 7 tahun yang lalu dianggap membuat kesalahan pada sebuah iklan, padahal kita tahu saat ini ia adalah salah satu sutradara papan atas untuk iklan. Bagaimana dengan saya sendiri ? mungkin ada biro iklan yang menganggap saya sutradara jelek, nggak focus, malas dsb tetapi ada juga biro iklan yang sudah ‘ kasmaran ‘ pada saya dan mempercayai memegang sebuah produk selama 3 tahun !

Saya jadi teringat seorang creative director sebuah biro iklan multinasional, waktu itu saya diminta mengerjakan sebuah iklan produk elektronik yang selama ini belum pernah membuat iklan di Indonesia, karena banyak mengambil iklan adaptasi dari luar negeri. Tentu saja saya agak sedikit stressed out karena tentu semua mata dari biro iklan dan klien akan melihat ke film iklan ini. Ternyata selama syuting, si creative director itu sama sekali tidak pernah berkomentar atas shoot shoot saya, bahkan seperti ia tidak perduli. Ketika syuting selesai, ia hanya meminta memutar seluruh rekaman take take yang sudah diambil, setelah itu ia berkata “ Okay ..bagus “. Saya menanyakan kenapa selama syuting ia sama sekali diam. Ia hanya tertawa dan mengatakan bahwa ia hanya melihat secara keseluruhan, obyektif iklan ini, Lebih lanjut dia mengatakan dia tidak peduli apakah saya mau mengambil low angle, atau apapun shoot yang saya rancang, asalkan secara keseluruhan iklan ini sesuai konsep strategi komunikasi yang ia buat. Saya menyimpulkan ia berpikir secara macro, bukan melulu detail detail setiap shoot. Tapi ada juga creative yang selama syuting selalu duduk di sebelah saya, memberi petunjuk setiap shoot, sampai ikut melihat framing melalui view finder camera.

Tapi ada petunjuk menarik dari Hal Riney, dari Publicis & Hall Riney Advertising San Fransisco. Ia justru menyalahkan creative yang banyak bergantung dan menyerahkan seluruhnya kepada sutradara. “ When I go into production. I know every nuance and frame of the film I expect to end up with. Anything to director contributes in addition is a bonus. But I will never turn over the responsibility for my work to a director. He has no responsibility, in fact because when the’s shooting’s over, he’s outta there, and Im left here with the result.” Sementara sutradara papan atas, Ipang Wahid dalam pelatihan sutradara iklan muda di Gedung Film kemarin mengatakan, bahwa justru ia banyak dipercaya oleh beberapa creative director, istilahnya “ terserah deh ini mau diapain pang..” Beruntung Ipang sudah memiliki chemistry relationship yang enak dengan para creative director, dan ini tentu tidak dibangun dalam sekali dua kali membuat iklan bersamanya. Sementara saya, begitu sudah tidak ada hubungan chemistry, rasa rasanya hilang sudah passion mengerjakan iklannya. Udah nggak mood. Paling paling saya dianggap sutradara buruk, Tapi sepertinya tidak perlu kuatir. “ Life is too short to worry “.

You Might Also Like

4 Comments

  • kopilova.blogspot.com
    October 17, 2006 at 4:52 pm

    Alangkah sedapnya kalau dalam setiap initial prepro (sambil ngupi dan angkat kaki di sofa tentunya) antara director dan CD atau teamnya tercapai kesepakatan tentang kebutuhan komunikasi yang akan dilakukan. Sehingga long lasting chemistry bukan semata-mata karena kemewahan penggunaan lampu HMI atau ke-fanky-an treatment (yang belum tentu semua diperlukan). Tetapi lebih pada kesamaan bahasa antara director dan creative team terhadap ejaan : K-O-M-U-N-I-K-A-S-I yang akan dibuat. 😛

  • Iman Brotoseno
    October 22, 2006 at 11:14 am

    that ideal situation, but sometimes shit happpened, especially when the young fresh graduate creative people gone too far while the the group head is away far behind. And the CD ocassionally visit the meeting ..Im not pesimism but just a bitter realist aja.
    I think KOMUNIKASI is middle of my name.

  • -mayanoto-
    January 2, 2007 at 4:40 pm

    Hmm.. penilaian sutradara oleh “pemerhati” film ya? Susah juga, karena seorang pemerhati film belum tentu mengerti tentang behind the scene atau detil pembuatan lainnya. Jadi akhirnya sering menilai dari kacamata seorang awam yang kebetulan suka menonton film.

    Buat saya pribadi, seorang sutradara nggak bisa melulu dinilai dari hasil akhir filmnya. Terlalu banyak orang yg terlibat sehingga hasil akhir itu bukan murni menggambarkan sutradara. Saya lebih suka menilai dari bagaimana si sutradara mengolah film itu. Saya pikir sutradara lebih berperan sebagai gate-keeper:
    – Menghilangkan yg tidak harus ada
    – Mengadakan yg seharusnya ada

    Singkat kata: bukan detil artistiknya yg saya nilai, tapi detil logikanya. Karena di situlah ramuan sang sutradara yg sesungguhnya.. 🙂

    OOT: makanya saya kecewa banget ketika Hanung Bramantyo, setelah membuat film yang se-natural Jomblo, tiba2 “merendahkan diri sendiri” dengan membuat illogical film yang banyak goof-nya seperti Lentera Merah ;).

  • Thomas
    April 5, 2010 at 6:46 pm

    Hey I love your style I will subscribe for your feed please keep posting!

Leave a Reply

*