Sultan Hamengku Buwono IX

Suatu hari terjadi hiruk pikuk kehebohan di depan pasar Kranggan tahun tahun selelah Indonesia merdeka. Saat itu ada seorang wanita pedagang beras yang jatuh pingsan. Usut punya usut, wanita tua itu baru mengalami kejadian yang hanya terjadi seumur hidupnya. Sebelumnya wanita ini sedang menunggu kendaraan di tepi jalan, tiba tiba muncul kendaraan jeep dari arah utara menuju selatan. Wanita ini memang biasa nunut nunut kendaraan yang lewat, dan membayar satu rupiah untuk sekali jalan.
Jeep Willys itu berhenti dan wanita itu menyuruh si ‘ supir ‘ untuk membantu mengangkat karung berasnya. Entah berapa karung, dan supir itu menurutinya.

Setibanya di pasar Kranggan, supir itu juga menurunkan beras berasnya dan menolak ketika dibayar oleh si wanita itu. Tentu saja wanita tua itu marah marah karena mengira si supir meminta uang lebih. Di tengah kemarahannya, si supir lalu pergi begitu saja.
Belum selesai marah marah, seorang polisi menghampiri dan memberitahu siapa sosok supir yang menolak uang tadi.
Tak heran kemudian ia jatuh pingsan. Supir itu adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sang Raja Jogja.

Sultan selalu tersenyum kalau ditanya tentang kejadian ini. Ia seorang raja yang demokratis dan menghargai rakyatnya. Ia memang tak suka formalitas, dan senang menyupir sendiri mobilnya. Seorang wartawan Jogja yang hendak menyembahnya saat mewancara Rajanya, diminta untuk bersikap biasa saja. Bersalaman.
Dalam perjalanan dari Jakarta menuju Jogja, karena udara panas. Di daerah Cirebon Sultan melepas bajunya dan ia menyetir telanjang dada. Seorang polisi sempat menyetopnya dan memeriksa SIM. Polisi itu kalang kabut mengetahui bahwa sosok di dalam mobil itu seorang Raja dan Menteri Pertahananan RI.

“ Walaupun saya mengenyam pendidikan barat, namun pertama tama saya adalah dan tetap orang Jawa. Maka selama tak menghambat kemajuan, adat akan tetap menduduki tempat yang utama dalam Keraton yang kaya akan tradisi ini “
Demikian petikan pidato pelantikannya sebagai Raja Jawa di Bangsal Kencana pada tanggal 18 Maret 1940.

Sejak kecil Dorodjatun – nama kecilnya –oleh ayahandanya dititipkan pada sebuah keluarga Belanda. Ini agar ia mendapat pendidikan secara barat dan bisa memahami jalan pikiran orang orang Belanda. Ia selanjutnya meneruskan kuliah di jurusan Indologi Universitas Leiden yang terkenal di negeri Belanda.
Dorodjatun tak menyelesaikan karena ia dipanggil pulang ayahnya yang sakit keras.
Di pelabuhan Batavia, ia merasa heran ketika adik adiknya menyambut dengan bahasa Jawa halus. Bukan bahasa Jawa sehari hari yang biasa mereka pergunakan. Ia baru mengerti semua ini saat sang ayah yang menunggu di Hotel Des Indes, memberikan keris Kiai Jaka Piturun. Konon menurut kepercayaan di Kasultanan Jogjakarta, pemberian keris pusaka itu sebagai tanda pewarisan tahta kerajaan.

Raja muda itu sama sekali tidak merasa sangsi terhadap masa depan kerajaannya saat proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Sehari setelah kemerdekaan ia mengirim kawat ucapan selamat kepada Soekarno – Hatta, dan dr. Rajiman Wediodiningrat, sebagai ketua BPUPKI.
Ia yang sebelumnya tak begitu mengenal Soekarno – Hatta, percaya dengan hari depan Republik baru ini.
Dua hari kemudian pada tanggal 20 Agustus 1945, Sultan mengirimkan kawat lagi yang dengan spontan ia mengatakan “ sanggup berdiri di belakang pimpinan mereka “. Kedua kawar itu diikuti oleh pernyataan yang sama dengan jalan yang sama dari Paku Alam.

Pada tanggal 5 September 1945, Sultan mengeluarkan amanat yang intinya Nyayogkarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan bagian dari Republik Indonesia dan memiliki hubungannya bersifat langsung dengan Pemerintah pusat serta bertanggung jawab terhadap Presiden RI.

Pemerintah Pusat juga mengirimkan piagam mengenai kedudukan Yogjakarta,
Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan :

Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat,pada kedudukannya dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran,tenaga,jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.

Jakarta 19 Agustus 1945
Presiden Republik Indonesia

Suatu keputusan yang tepat ketika Republik muda ini menghadapi ancaman musuh, ternyata Sultan danYogja menampilkan diri sebagai pendukung yang tangguh.
Pada tanggal 4 Januari 1946, di Stasiun Tugu Sultan sendiri menyambut pimpinan Republik yang mengungsi dan memindahkan ibu kota Pemerintahannya di Jogjakarta. Sejak itu Jogja menjadi kota revolusioner dengan gegap gempita perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dukungan ini tidak setengah setengah. Ada beberapa bulan Sultan harus mengambil peti peti kerajaan yang berisi uang perak dan gulden untuk membayar gaji pegawai Pemerintahan. Juga menyediakan gedung gedung untuk administrasi pemerintahan negara muda ini.
Bung Hatta pernah mengatakan jumlah uang yang dikeluarkan Sultan mencapai 5 juta gulden, dan ia pernah menanyakan kepada Sultan, apakah perlu diganti. Sultan tak pernah menjawabnya sampai akhir hayatnya.

Apa jadinya Republik ini tanpa dukungan Kesultanan Jogja ? Sultan selalu menolak ajakan kerja sama dari Belanda saat pendudukan Agresi Militer. Kolonel Van Langen – Penguasa Militer Jogjakarta – selalu berhadapan dengan Raja Jawa yang cerdas, berwibawa dan tak mau berkompromi.
Tawaran untuk menjadikan Wali Super atau Raja atas wilayah seluruh Pulau Jawa dan Madura ditolaknya. Sama sekali tak ada keraguan untuk menyambut proklamasi dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Sultan seorang yang rendah hati bahkan ketika penguasa orde baru ingin meminggirkan perannya dalam proses Serangan umum 1 Maret 1949.
Waktu itu Pak Harto menginginkan posisi yang seimbang dalam Film “ Janur Kuning “, sewaktu pertemuan mereka di Prabuningratan sebelum serangan umum. Dengan memakai kursi yang sama. Padahal dalam situasi sebenarnya, dalam ruangan itu hanya satu kursi yang memiliki dua lengan disampingnya dan kursi kursi biasa tanpa lengan.
Kursi dengan lengan hanya untuk Raja. Sementara posisi Pak Harto dengan memakai pakaian abdi dalam harus duduk di kursi biasa.

“ Sudah biarkan jika itu maunya dia “ Sultan mengatakan kepada Sutradara filmnya ketika datang berkonsultasi.

Sultan sangat paham bahwa tradisi Jawa bisa seiring dengan dunia modern, sehingga ia berpendidikan barat masih nglakoni budaya tradisinya. Seperti bertemu Ratu Pantai Selatan yang ia panggil Eyang Rara Kidul.
“ Setelah menjalani ketentuan seperti puasa, saya bisa menemuinya. Pada jam 12 malam wajahnya cantik, tetapi semakin larut pagi, wajahnya semakin tua “.

Sultan juga seorang seniman yang menciptakan tarian Bedhaya Manten. Bahkan tarian Golek Menak ada campuran unsur Minangkabau dan Sunda. Ia memang seorang pluralis dan menghargai keanekaragaman bangsanya. Tak berlebihan, masa revolusi Jogja menampung pejuang pejuang dari seluruh negeri. Sahabat sahabat Sultan sendiri dari berbagai kalangan suku bangsa.

Apa yang membuat kedudukan Jogjakarta menjadi Istimewa selain kontribusinya dalam revolusi Kemerdekaan ? Pada dasarnya sesuai penjelasan pasal 18 UUD 45 di wilayah Indonesia terdapat 250 zelfbesturende land schappen seperti desa di Jawa, Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, termasuk keraton.
Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan kedudukan daerah Istimewa tersebut dan ingin menjaga keseimbangan politik atas wilayah yang dulu bernama Hindia Belanda.
Namun bahwa arus revolusi ternyata menggilas semua swapraja kecuali Kesultanan dan Pakualaman yang segera setelah proklamasi Kemerdekaan menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Selama revolusi fisik memang ada usaha untuk menghapus Kesultanan dan Pakualaman, tetapi tak pernah berhasil. Ini karena kedua pemegang kekuasaan swapraja sangat tanggap terhadap perubahan politik yang ditimbulkan oleh proklamasi Kemerdekaan. Kedua raja ini telah menempatkan sebagai ahli waris dari kerajaan terhormat yang sejak dahulu selalu mengadakan perlawanan terhadap penjajah.

Jadi apakah kita masih harus memperdebatkan status Daerah Istimewa yang dimiliki Yogjakarta ?

You Might Also Like

91 Comments

  • andrias ekoyuono
    October 21, 2008 at 2:52 pm

    tidak diperdebatkan, dan selalu istimewa, terutama di hati saya 🙂
    pertamax ? hihihi ngejunk juga

  • aria turns
    October 21, 2008 at 3:11 pm

    Wah..hebat

  • Anang
    October 21, 2008 at 3:47 pm

    memang tak bisa dipungkiri jogja memang memiliki peran penting dalam sejaqah indunesah

  • gde sebayu
    October 21, 2008 at 4:04 pm

    mas iman,
    pernah saya dapat kabar kalau sri sultan HB IX dan pak harto pernah ‘nglakoni ngelmu’ satu guru dan HB IX jadi mengerti betul ‘watak dan sifat’ pak harto. betulkah kabar itu benar, mas iman???

  • Setiaji
    October 21, 2008 at 4:19 pm

    Baru tahu ternyata peran Sultan Hamengkubuwono IX & Yogya sangat menentukan di awal2x kemerdekaan RI. Seorang pemimpin sejati yang sangat bersahaja. Semoga selalu ada orang2x seperti beliau untuk memimpin Negeri ini.

  • Kyai slamet
    October 21, 2008 at 4:30 pm

    Kata penganut faham modernisasi, kebudayaan tradisional menghambat pembangunan.
    Ah, apa kita masih percaya modernisasi?

  • bangsari
    October 21, 2008 at 4:37 pm

    lha itu dia masalahnya. penguasa pusat itu sepertinya tak pernah membaca sejarah. lha gimana mau baca sejarah, kalo kesibukannya cuma memperkaya diri?

  • Catshade
    October 21, 2008 at 6:56 pm

    Jadi apakah kita masih harus memperdebatkan status Daerah Istimewa yang dimiliki Yogjakarta ?

    Apakah Mas Iman berani menjamin bahwa cucu-cicit HB X kelak bakal sepintar, sebijaksana, dan sebersahaja dirinya atau ayahandanya? Ya, both are great kings, tapi tak ada jaminan para ahli waris kerajaan bakal sedigdaya HB IX ketika memerintah hanya karena di urat nadi mereka terkandung sebagian DNA-nya. Ya, kita memang harus menghargai sejarah pengorbanan Sri Sultan di masa lalu, tapi tidak dengan cara yang menurut saya memiliki potensi untuk mengorbankan masa depan Yogyakarta (ok, mungkin saya agak hiperbolis :P).

    Tentu saja, itu adalah pandangan ideal saya. Di lapangan, saya mafhum kalau sebagian besar rakyat Jogja masih merasa nyaman dengan sistem yang ada sekarang dan bakal resah kalau itu diutak-utik. Oh well, vox populi vox dei, saya rasa… lagipula kesultanan masih jauh lebih baik daripada anarki 😀

  • Herman Saksono
    October 21, 2008 at 7:15 pm

    Sebagai warga Jogja sejak lahir hingga sekarang, saya tidak ingin Keistimewaan Jogja diterjemahkan menjadi Jogja Provinsi Monarki. Negara ini demokratis, dan pemerintahannya pun harus melalui proses demokratis, bukan herediter dengan pembenaran romantisasi masa lalu.

    Saya menghormati betul sosok HBIX, menurut saya beliau adalah satu dari sedikit negarawan yang bisa menjadi panutan. HBX, dengan segala kekurangan pemerintahannya dan pengaruh nama besar nama ayahnya, adalah kepala daerah yang sangat baik.

    Tapi siapa yang bisa menjamin HBXI, HBXII, HBXIII atau HBXIV akan menjadi pemimpin yang baik tepat untuk masa-nya? Siapa yang bisa menjamin para penerus itu akan menjadi pemimpin yang kuat dan efektif. Melalui pemilu kita bisa mengganti pemimpin buruk tiap 4 tahun, dengan monarki kita harus menunggu puluhan tahun.

  • Yoyo
    October 21, 2008 at 7:30 pm

    semoga Jogja tetap “istimewa” segala hal yang baiknya…….hal buruknya jangan deh….. 🙂

  • kyai slamet
    October 21, 2008 at 8:12 pm

    Keistimewaan Djogja ada pada sarkem-nya!

  • bah reggae
    October 21, 2008 at 8:30 pm

    Keistimewaan yk adalah mengikuti jaman. Ketika Indonesia lahir, HB IX segera OK. Semestinya penerusnya juga OK pula ketika jamannya menuntut pilkada. Cerita ttg yg “hebat2” di masa lalu adalah satu hal. Itu mmg nyata. Thx. Silakan keplok. Tp hal lain yg juga nyata adalah jaman berubah. Dan ia membutuhkan crita yg lain.

  • iman brotoseno
    October 21, 2008 at 8:53 pm

    Herman catshade,
    Kenapa Keistimewaan harus diterjemahkan dengan monarki absolut dan fungsi otomatis suiltan sebagai gubernur. Bukankah Sultan sendiri sudah mengindikasikan menolak perpanjangan jabatan. Tentu saja kita harus sepakat demokrasi sebagai sistem terbaik, termasuk pilkada misalnya. Justru pemerintah pusat harus menyikapi dengan memperjelas status istimewa itu. RUU daerah istimewa di DPR yang terus tertunda, dibandingkan pembuatan RUU migas atau perbankan yang bisa cepat jadi. Keistimewaan bisa dengan melibatkan fuingsi keraton dalam pemerintahan daerah, siapapun gubernurnya. Sultan bisa seperti wali negara di Aceh yang bisa terlibat jika diperlukan. Saya melihat seperti aceh jaman orba, menyandang status daerah istimewa tapi kenyataan sama saja dengan propinsi lain. Dengan tak melupakan fungsi budaya dan sejarah mestinya pemerintah pusat bisa menghargai keistimewaan jogja

  • edratna
    October 21, 2008 at 9:17 pm

    Sultan HB IX memang berwibawa, sederhana dan dekat dengan rakyatnya…dan Sultan HB X sekarang juga dihormati rakyatnya.

    Yogya memang wilayah istimewa, tapi memang perlu dipikikan bagaimana jenis istimewa untuk kedepannya….tapi juga tak bisa disamakan dengan wilayah lainnya.

  • ilham saibi
    October 21, 2008 at 9:58 pm

    sebagai pendatang yang hanya baru beberapa tahun di tanah jogja, saya masih menginginkan jogja tetap seperti ini hingga nantinya. Siapapun gubernur di tanah ini, pemilik tanah ini sejatinya tetaplah kraton.

  • Sarah
    October 21, 2008 at 10:21 pm

    Keistimewaan Jogja sekaligus tetap demokrasi yaa

  • Lance
    October 22, 2008 at 1:30 am

    Negara sebenarnya berhutang banyak dengan daerah seperti Aceh ( yang awal Kemerdekaan rakyatnya menyumbang emas untuk membeli pesawat ), juga kontribusi Jogjyakarta menjadi Ibu Kota RI. Ini bukan sekadar romantisme semu, Ini adalah sejarah. Generasi sekarang mungkin banyak yang menyepelekan fakta ini, seperti Pemerintah Pusat yang ogah ogahan untuk memperjelas status daerah khusus atau daerah istimewa. Ada keengganan terutama dikaitkan dengan sirkus politik di DPR, dan sebagian elite negeri ini.
    Bagaimanapun peran Keraton mesti dijaga dalam pemerintahan daerah. Entah sebagai simbol atau memiliki hak veto terhadap kebijakan Gubernur ( bukan veto ngawur ). Ini adalah simbol budaya dan tradisi.

  • Herman Saksono
    October 22, 2008 at 3:15 am

    Mas Iman, walaupun nampaknya kita sepakat, tapi secara umum opini yang mengakar di masyarakat adalah seperti itu (sultan = gubernur). Aku menghormati betul pikiran mereka, tapi kurasa apa yang mereka yakini tetap harus dalam rel kenegaraan kita.

    Yang saya bayangkan adalah Kepala Daerah tetap di tangan Sultan. Akan tetapi kepala pemerintahan daerah dilimpahkan kepada seorang patih yang dipilih langsung (namanya harus patih, karena Jogja adalah Daerah istimewa, dan itu tidak merubah substansi :p ).

    Apakah artinya Sultan diamputasi? Kurasa tidak, karena menjadikan Sultan sekadar gubernur berarti menempatkan beliau setara dengan DPRD. Itu artinya mengumpankan Sultan untuk dicaci maki DPRD; mengumpankan Sultan sebagai sosok yang harus berkompromi dengan wakil rakyat.

    Melepaskan Sultan dari jabatan politik, justru memposisikan beliau sebagai panutan wong cilik dalam Agama, Sosial, dan Kebudayaan.

  • aLe
    October 22, 2008 at 3:43 am

    Debat? No komeng ^^

  • zen
    October 22, 2008 at 6:04 am

    Mas Iman, numpang komen soal polemik keistimewaan Jogja dan sedkit komen ttg HB IX seperti yg terposting.

    Bagi saya, polemik soal keistimewaan Jogja adalah contoh bagaimana sejarah digunakan sebagai legitimasi kekinian.

    Argumen untuk menabalkan keistimewaan Jogja dan menetapkan Sultan sbg Gubernur tanpa pemilihan nyaris semuanya beralaskan argumen-argumen sejarah. No question about Sultan HB IX. Dia –seperti kata Ricklefs– memang besar, juga agung, pantas disebut sbg Sultan terbesar dalam sejarah Jogja, bersama Mangkubumi sbg Sultan I, tentu saja. Jogja memang punya jasa besar pada Repubik.

    Tapi bagaimana dengan keistimewaan Jogja hari ini? Pariwisata? Dia tak (akan) pernah melampaui Bali, dan tanpa Borobudur-Prambanan (yg sebenarnya d Jateng) pariwisata Jogja tak akan sebesar sekarang. Kota pendidikan? Mungkin, tapi UGM tak pernah melampui UI dan ITB dalam rangking perguruan tinggi di Asia. Jumlah kampus banyak? Mungkin. Tapi biayanya jg makin banyak. Kota seniman? Barangkali ya. Pawai akbar Mei 98 berjasa besar pada lengsernya Soeharto? Mungkin, tp itu bukan satu-satunya faktor.

    Untuk menyandang istimewa luar dalam, butuh berlipat-lipat nilai lebih dibanding daerah lain yang tak masuk kategori istimewa. Kalo cuma satu dua kelebihan sih ndak bs dibilang istimewa. Liatlah, bagaimana jalanan makin sumpek, baliho dan spanduk tak teratur di mana-mana, pendapatan per kapita yang tak tinggi dan UMR yang jauh dari istimewa.

    Jogja di masa lalu punya jasa yang istimewa pada Republik? Setidaknya ya antara 1945-1950, tapi pada era pergerakan Solo jauh lbh mempesona.

    Ayo bicara dan berbincang tentang (bagaimana agar) keistimewaan Jogja itu benar-benar nyata hari ini. Agar melankolia tidak menjadi raja di isi kepala kita.

    [NB: Untuk Sultan X: Jangan main dua kaki dong, Sinuhun!]

  • mantan kyai
    October 22, 2008 at 7:05 am

    kalau saya mendukun DIS Daerah Istimewa Surabaya.

  • tyas
    October 22, 2008 at 9:17 am

    kalo dipikir2 Indonesia dulu memiliki banyak sosok pemimpin besar ya mz iman
    spt Pak Karno, Pak Hatta, Ali Sadikin, dan tentu saja Sri Sultan HB IX spt yg mz iman ceritakan

    tapi…apakah kita bisa melihat kualitas kepemimpinan mereka pada pemimpin2 dan calon2 pemimpin kita saat ini???yaa mari kita lihat saja nanti 😀

  • dina
    October 22, 2008 at 10:29 am

    I LOVE HIM :”>

  • iman brotoseno
    October 22, 2008 at 10:45 am

    Justru itu menarik untuk ditelaah, kenapa persepsi sebagian besar masyarakat Jogja menginginkan Sultan = Gubernur. Mungkin dari sudut psikologis Catshade bisa menjelaskan,,atau Memed.
    Apakah Pemerintah Pusat menafikan ini, dan secara sombong SBY didepan media massa mengatakan..Gubernur tanpa dipilih bertentangan dengan Demokrasi. Siapa tahu ada cara yang lebih santun melemparkan ide ini. Bagaimanapun juga sudah lebih setengah abad, rakyat Jogja hidup dalam sistem ini, dan tak ada gejolak politik.
    Hanya pikiran liar, bagaimana seandainya diadakan referendum, justru rakyat memilh opsi ini ?
    Ide yang dipaparkan Momon bahwa Sultan sebagai kepada daerah yang lepas dari politik – Simbol budaya dan tradisi – memang pernah disebut sebut sebagai wacana lain, dalam keIstimewaan Jogja. Ini lebih menarik hanya menjadikannya simbol budaya dan tradisi. Sebagai salah satu sentra budaya yang masih terisisa, setelah melihat Keraton Solo rontok, Deli hancur dsb.
    Ini jika dikaitkan dengan pendapat Zen dengan segala salah urus dari manajemen kota, perekonomian, politik dll. Apa sih di negeri ini yang tidak salah urus. Karena keistimewaan Jogja harus dilihat dari sudut Budaya dan tradisi. Itu yang harus dipertahankan. Masalah romantime sejarah masa lalu, anggap saja bonus.

    Lepas dari itu bagi saya sah sah saja menggunakan sejarah sebagai legitimisasi kekinikian. Karena saya selalu percaya sejarah menunjukan siapa diri kita. Mungkin bagi generasi sekarang ah apa sih artinya lima tahun pergolakan revolusi kemerdekaan. Toh suatu saat Indonesia pasti merdeka atau bahkan hanya negara Jawa. negara Indonesia Timur atau negara Pasundan. Pendapat ini bisa sangat subyektif, karena saya besar dalam lingkungan yang tak henti hentinya mengajarkan sejarah perjuangan dan kecintaan pada negeri ini.

    Jaman memang sudah berubah, progesive dan modern. Siapa peduli dengan monarki pula ??? atau masih ada yang butuh ditengah kegamangan jaman.
    Btw, Zen..Solo lebih mempesona masa pergerakan dulu ? ah itu khan romantisme KIRI yang yang selalu kau kagumi he he

  • zam
    October 22, 2008 at 11:10 am

    mari kita bikin Daerah Istimewa Wit-witan.. hehehe

  • rey
    October 22, 2008 at 11:39 am

    wah ternyata ternyata aku dan sultan HB IX sama, sama2 suka nyupir sendiri, hehehe. Tapi bedanya, yg disupiri Sultan mobilnya sendiri, lha gue nyupirin mobil org laen (supir beneran dong??) 😀

  • Anti RUU Pornografi
    October 22, 2008 at 12:18 pm

    Saya melihat daerah Istimewa Jogja harus dipertahankan, sebagai bentuk pengakuan pluralisme republik dan budaya. Jogja sebagai garda depan penolak RUU Pornografi memanggul beban simbol kebinekaan

  • Buyung
    October 22, 2008 at 12:41 pm

    Ini postingan menggugah dan cerdas pendekatannya. Sama sekali tidak menyinggung HB X dan tendensi wacana Sultan harus selalu menjadi Gubernur.
    Hanya mendongeng ketokohan SultanHB IX, tokoh Jawa sekaligus modern pola pikirnya, juga Kontribusinya terhadap Republik. Sekarang kita kembalikan kepada kita atau rakyat Jogja. Apa yang mereka mau dan apa yang mereka inginkan..??
    Sepakat bagaimanapun tanpa ada Jogja, siapa tahu tak ada republik ini…Ini bukan hal remeh.

  • Ray
    October 22, 2008 at 2:40 pm

    Saya hanya tidak ingin Jogjakarta akan ribut seperti Sulawesi / Maluku atau daerah daerah lainnya, keributan soal PILKADA yg tidak pernah usai meski mungkin pimpinannya sudah lengser nanti.

    Keributan yg sudah menyangkut politik biasanya bertahan lama, masing masing kubu akan tetap pada pendiriannya, dan kompromi adalah hal yg sangat susah dicapai.

    Meski saya bukan warga Jogja (asli), tapi saya berharap, sampai kapanpun Jogjakarta tetap daerah yang Istimewa, dimana Sultan / Raja tetap dihormati dan menduduki Posisi tertinggi, meskipun itu ada seorang gubernur sekalipun.

  • nico
    October 22, 2008 at 3:53 pm

    waaa.. mas iman dah posting buat wajah jogja!

  • bangpay
    October 22, 2008 at 4:29 pm

    dan –entah kenapa bapak saya agak-agak piye dengan anak sultan ke sepuluh… 🙂

  • moh arif widarto
    October 22, 2008 at 5:45 pm

    Sebagai putra DIY, saya memandang bahwa wilayah DIY ini, saat dulu Sri Sultan HB IX dan Sri Paduka Pakualam VIII menyatakan bergabung dengan RI sebagai sebuah Daerah Istimewa, wilayahnya adalah wilayah Kasultanan dan Pakualaman. Saat itu, Kasultanan dan Pakualaman merupakan entitas monarki yang memiliki kekuasaan dan wilayah. Sampai saat ini pun saya masih memandang hal tersebut masih berlaku.

    Keistimewaan DIY, berbeda dari daerah lain, adalah karena faktor yang saya sebutkan di atas: wilayah DIY adalah wilayah Kasultanan dan Pakualaman. Fakta sejarah berkaitan dengan DIY, bukan hanya dongeng pengantar tidur. Ada bukti-bukti de jure yang menyertai, baik itu maklumat dari Sultan dan Sri Pakualam maupun produk hukum lain dari RI yang berkaitan dengan DIY.

    Ketika Pemerintah dan DPR mengeluarkan produk hukum yang cacad berupa UU Pemerintahan Daerah yang lupa memasukkan klausul khusus mengenai pemerintahan di DIY, bukan berarti kemudian DIY-nya yang harus dikorbankan. Justru UU Pemerintahan Daerah itu yang harus diamandir. Apalagi, apabila ternyata UU itu bertentangan dengan UUD dan produk hukum tahun 1956 mengenai DIY.

    Mengenai salah urus kota Yogya, Zen seharusnya dapat memilah-milah masalah. Pembangunan Kota Yogyakarta merupakan hasil kerja Pemkot Yogyakarta yang berarti Walikota dan DPRD Kota Yogyakarta. Salah apabila menimpakan kesalahan urus tersebut kepada Gubernur. Ingat, otonomi kita saat ini berada di Kabupaten/Kota, bukan di Provinsi.

    Pendek kata, saya tetap menginginkan DIY seperti yang dimaklumatkan Sri Sultan HB IX dulu. Saya tetap menginginkan Raja Yogyakarta dan Adipati Pakualaman sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Modernitas tidak perlu menghapus segala hal. Demokrasi juga tidak selalu berarti kepala daerah harus dipilih melalui pilkada. Apabila memang perlu direferendumkan di DIY, mari kita referendumkan. Referendum juga salah satu alat demokrasi. Saya kok yakin, rakyat DIY sebagian besar masih sependapat dengan saya.

  • Herman Saksono
    October 22, 2008 at 7:40 pm

    Referendum ini adalah alat yang berbahaya, karena mengingkari gagasan dari demokrasi yaitu Majority Rule dan Minority Right. Bagi saya solusi interim yang terbaik adalah mengukuhkan Sri Sultan sebagai gubernur selama 5 tahun ke depan. 10 tahun jika perlu. Tapi pada esensinya adalah memberi kesempatan penduduk jogja untuk mematangkan kepribadian politik mereka.

    Sebetulnya saya agak tertarik dengan apa yang dilontarkan oleh Kang Kombor perihal “Demokrasi juga tidak selalu berarti kepala daerah harus dipilih melalui pilkada.”

    Saya rasa mungkin saja proses demokrasi daerah cuma dilimpahkan di DPRD, toh itu bisa disebut demokrasi. Tapi, kalau begitu demokrasi DIY akan terasa pincang, karena fungsi kontrol masyarakat hanya ada bertumpu di sisi legislatif. Sisi eksekutif, seburuk apapun (dan sebaik apapun) tidak akan mendapat ganjaran yang pantas.

  • Herman Saksono
    October 22, 2008 at 7:49 pm

    Saya tidak terlalu yakin penyebab turunnya pamor Kasunanan Solo karena rajanya tidak memiliki kekuatan politis. Dari yang saya tahu, Kerajaan Solo memang memiliki konflik internal dan tokoh utama mereka, dalam hal ini Pakubuwono, tidak dapat mempersatukan keluarga ningrat tersebut. Sayangnya konflik ini harus meluas ke luar, sehingga kita terpaksa menjadi saksi sengketa tersebut.

    Kasultanan Jogja lebih bersih di muka publik, nyaris tidak ada konflik atau desas desus yang tidak sedap. Tapi tentu saja kita tidak bisa menafikan peran Alm. HBIX yang telah merekatkan keluarga kasultanan. Ya semoga HB-HB yang seterusnya bisa menjadi pemersatu kraton, karena bagaimanapun juga mereka adalah wajah Yogyakarta.

  • silly
    October 23, 2008 at 5:39 am

    Wahhh, tidak heran kalo orang bilang wong jogja itu selalu humble down orangnya, rupanya mengacu pada sifat yang diteladani dari pemimpinnya toh…

    Ah, Andai saja Sifat itu menurun dalam DNA manusia yahhh… 🙂

  • Agus
    October 23, 2008 at 10:25 am

    @ Arif,
    Saya nggak tahu apakah salah urus Jogja ini bersinggungan dengan fungsi eksekutif , dalam hal ini gubernur. Rasanya masuk akal bila lebih tepat ke walikota.
    @ Herman,
    Referendum tetap merupakan refleksi demokrasi. Itu tak ada bedanya dengan Pengungutan suara atau pemilu atau pilkada. Selalu ada pihak yang dikalahkan, walau tidak berarti harus mengingkari hak hak mereka yang kalah. Jadi bahasa majority Rule dan Minority Right tetap ada dalam struktur referendum. Referendum sering dipakai sebagai representasi suara rakyat, karena lebih cepat dan tidak perlu kampanye seperti pula. Dari referendum di Papua 1967, masalah Kalimantan Utara dan Malayisa, Aceh, Kasmir di India, pembentukan Pakistan atau Bangladesh, dan banyak di belahan bumi lainnya.
    Justru orang pengecut yang takut dengan referendum, karena tidak yakin dengan suaranya sendiri.

  • Iman
    October 23, 2008 at 2:24 pm

    Herman,
    Kekisruhan di keluarga Sunan Solo memang salah satu intrik keluarga yang tak habis habisnya, tetapi itu sudah biasa terjadi di raja raja Mataram. Termasuk dinasti Hamengku Buwono. Bahkan ayah HB IX, yakni HB VIII terkenal suka berfoya foya dan pesta besar.
    Jaman Paku Buwono X adalah salah satu puncak keemasan Kasunanan Solo ( secara ekonomi dan finansial ) bahkan tak ada dari trah HB yang bisa menyamai.
    Paku Buwono XII dilantik secara mendadak hanya 3 bulan sebelum proklamasi dan masih dalam usia yang sangat muda ( 18 – 20 tahun ). Ia belum memiliki jam terbang tinggi untuk menentukan sikap politiknya. Berbeda dengan Sultan HB IX yang sudah matang, pernah sebagai mahasiswa Leiden, dan sudah melakukan kontrak politik dengan Gubernur Jendral Hindia Belanda,Lucien Adam beberapa tahun sebelumnya.
    PB XII akhirnya tidak memiliki kekuatan politik, karena sikap keraguan raguan terhadap Republik.
    Itu bisa dilihat ketika Pemerintah RI membentuk Daerah Militer Istimewa Solo dengan Gubernur Militer, Wikana – dikasih pangkat Letjend Tituler, bukannya PB XII. Berbeda dengan Jogja, Daerah Militer Istimewa Jogja gubernur militernya Jend urip, kemudian diganti dengan Sultan HB IX ( dengan pangkat tituler Letjend ).

  • t3guh
    October 23, 2008 at 8:20 pm

    1. Satu sumbangan sejarah yang perlu direnungkan. Pada agresi militer II, praktis republik tinggal nyaris nama. Jogja wilayah RI satu-satunya sudah direbut, Soekarno-Hatta ditangkap, sementara tentara kocar-kacir (PDRI di mata asing, bukanlah faktor kunci). Hanya dua faktor yang menyelamatkan republik saat itu. Dukungan AS karena keberhasilan republik menggebuk komunis di Madiun dan kukuhnya Sultan HB IX untuk tetap berada bersama republik. (Belanda tak berani menangkapnya sama sekali, karena HB IX adalah sahabat remaja Ratu Juliana yang baru saja dilantik). Seandainya Sultan menyerah – yang tentu diikuti rakyat Jogja – republik wassalam.

    2. Sebagai orang yang dilahirkan di era modern, tentu saja saya prodemokrasi. Tapi sejarah memang tak bisa diabaikan begitu saja. Bukan bermaksud mengagungkan romantisme, tapi memang sumbangan Sultan HB IX tak bisa kita anggap percuma begitu saja. Karenanya, meski secara pribadi saya meragukan Sultan HB X, sukar untuk mereduksi begitu saja peran dalam peta politik di Jogja. Apa mau mendudukkan Sultan Jogja seperti Sunan Solo yang bak kucing tak bergigi?

    Bagi saya, mini monarki mungkin jalan terbaik. Gubernur dan wakilnya bisa dipilih rakyat seara demokratis. Namun wali negara dengan beberapa hak veto (ala Thailand) tetaplah pemimpin Jogjakarta….

  • Ndoro Seten
    October 24, 2008 at 11:09 am

    Raja Jawa Sejati!

  • paman doblang
    October 24, 2008 at 3:48 pm

    Sudahlah……
    Kalo mau merdeka…. aku dukung..
    aku mau pindah ke yogya aja…lebih bangga, daripada jadi WNI…..Maluuuuuuuuuu

  • meong
    October 24, 2008 at 6:21 pm

    mungkin perlu dilihat dr kacamata batin, makro-mikrokosmos?;-)

  • marshmallow
    October 25, 2008 at 2:03 pm

    saya menikmati membaca posting ini, seperti belajar sejarah dengan pendekatan yang ringan, tapi ternyata sarat muatan.
    banyak sekali wacana mengenai kepemimpinan di republik ini. yang mana pun, saya setuju kalau kita tak boleh melupakan sejarah–apalagi memutarbalikkannya–demi apa pun.

    (kenapa kalau ke sini harapan saya jadi bisa banyak belajar sejarah, ya? jujur, saya tidak pernah suka membaca dan mempelajarinya, karena berasa berat–atau mungkin karena sejarah negeri selama ini banyak dimanipulasi? entahlah. tapi dengan membaca tulisan seperti ini, saya justru tertarik dan ingin catch up banyak hal yang selama ini ketinggalan. hehe! makasih, mas.)

  • bocah_ilang
    October 28, 2008 at 9:00 pm

    JOGJA……mboten saged ilang saking manah kawulo..
    Adem tentrem kerta raharja.

    Jo diganggu Kang..!!
    Ntar mbah Marijan marah loh :’C

  • escoret
    October 29, 2008 at 9:35 am

    aku kok punya filing ga nyaman jika sultan keluar dr zona aman jogja….

    lebih cocok ngurus jogja deh kyknya….

  • Donny Verdian
    October 30, 2008 at 10:08 am

    Bagiku Jogja sejak kutinggali, hingga sekarang hingga selamanya tetaplah istimewa, Mas.
    Meski bagi saya, orang Pacitan yang namanya SBY yang kemarin bilang “ketoprak” terhadap Ngarso Dalem itu lebih istimewa bagi saya.. istimewa anehnya 🙂

  • yati
    October 30, 2008 at 10:13 pm

    yang jelas, pernyataan sultan mo jadi presiden bisa bikin sby paniiikkkk…!

  • Kunderemp An-Narkaulipsiy
    November 1, 2008 at 7:42 am

    Saya pikir masalah urusan gubernur bisa dipisahkan dari masalah daerah istimewa. Dan pernyataan HB X untuk menolak memperpanjang jabatan seharusnya dihormati (lepas dari apapun motivasinya), seperti halnya Habibie yang menolak dicalonkan untuk jadi Presiden di tahun 1999.

    Saya pikir, jalan terbaik buat Yogya adalah menyerahkannya pada rakyat Yogya, bukan dengan diutak-atik oleh pemerintah pusat atau komentar dari orang-orang daerah lain yang tak tahu sifat masyarakat Yogya.

    Saya pernah hidup di Yogya selama 2 tahun dan jujur saja, saya terpesona melihat keragaman pendapat dan budaya di Yogya yang gak pernah saya temui di Jakarta. Saya selalu mengatakan pada kawan-kawan di Jakarta, kalau ingin melihat Indonesia, lihatlah Yogya, karena Yogya, walau berada di Jawa, tetapi akan mudah kau temui orang-orang dari Papua hingga Aceh, lebih mudah daripada di Jakarta.

    Dari sisi sultan HB IX,
    jujur aja saya terkejut saat berkunjung ke keraton dan ternyata Sultan HB IX adalah seorang pramuka dan bisa masak! Saya juga terkejut melihat hasil-hasil foto hitam putih karya beliau.

  • Embun
    November 2, 2008 at 3:52 pm

    Setuju dab. Yogya (aka Jogja) sangat eksentrik di mata non-Yogya.

    Banyak cerita kesaktian dan kewakitaan pemimpin Yogya khususnya HB-IX. Raja yang sangat membumi. JANGAN PERNAH membandingkan HB-IX dengan Soeharto. Jauuuuuuuh….
    Seperti legenda Kali Code, dimana sultan cukup berdiri sidakap hanya untuk menenangkan arus liar banjir kali code.

    Jika petani di Jawa Barat saat ditanya Bung Karno bilang, ‘Saya rela ndak makan nasi, asal dipimpin oleh Bapak’, maka abdi dalem di Yogya berkata, ‘Kulo saged ndherek kamukten ngarsaning ingkang sinuhun kemawon sampun rumawos kabegjan, yen to namung dados abdi dalem‘.

    Adakah yang bertanya kepada para menteri dan pembantu Soeharto soal loyalitas?? Bisa disebut hartono, harmoko, moerdiono atau siapa??? kemana mereka saat 1998?

    —— YOGYA KINI —
    Penuh PKL, angkot, pedagang VCD bajakan, sopwer bajakan, hacker, carder, sarkem, baliho, iklan politik, rebutan balung kere, dan sebagainya.

    Dengan segala dinamikanya, tetapi saya tetap melihat Yogyakarta adalah daerah istimewa. Jangan dipertanyakan lagi. Tetap istimewa. Walaupun mungkin tersisa romatisme sejarah dan budaya. Istimewa tetap istimewa.
    Siapa yang bisa menolak anggapan bahwa Yogya sumber segala kreatifitas, seni, gudangnya seniman?
    Adakah ‘Gudheg’ selain Yogya? Adakah Malioboro lain?

    Jika seluruh masyarakat Yogya menghendaki tetap berbentuk kesultanan, apakah hal itu tidak bisa disebut demokratis?

    Adakah yang mau bertanya ke ratu Elishabet atau Pangeran Charles, mengapa Inggris dengan segala modernisasi yang ada tetap mempertahankan sistem monarkhi? sekedar nostalgia?

    omong-omong, Sultan Yogya dengan ketuakelas lebih dipercaya mana?

    *** gak penting ***

  • AGUS S.YAnto
    November 3, 2008 at 8:38 am

    Sebagai orang jawa saya sangat setuju sultan menjadi Presiden, kemampuan sudah terbukti. inilah satrio piningit yang selama ini diidam-idamkan oleh rakyat. paling tidak bila selama ini Sri Sultan sudah dapat memimpin Jogya dengan baik, tentunya dapat juga memimpin Indonesia dengan baik pula. Tapi ngomong-ngomong, sampai saat ini saya belum tahu bagaiman cara menjadi Relawan Sri Sultan untuk menjadi Sri Sultan, adakah yang tahu, tolong info saya dong di alamat : suryawijaya_ud@yahoo.co.id

  • Keistimewaan Jogjakarta « Budayawan Muda
    November 8, 2008 at 8:42 pm

    […] yaitu kerajaan dengan Sultan sebagai pemimpinnya. Kemudian Bung Karno juga membalasnya dengan piagam kedudukan Jogjakarta: Kami Presiden Republik Indonesia menetapkan […]

1 2

Leave a Reply

*