Haters dan Lovers dalam ruang digital demokrasi

Selama satu tahun pemerintahan Jokowi – JK tetap membuat percakapan di social media yang menyorot kinerjanya terus bergemuruh. Ruang diskusi di jagad maya ternyata memperlihatkan apa yang menjadi kekuatiran selama ini, bahwa pilpres menyisakan bom waktu polarisasi yang sangat tajam.

Media sosial telah menyediakan ruang ruang publik di dunia maya untuk mendiskusikan berbagai hal, termasuk politik. Media sosial, menurut Jae Kook Lee (2014) dalam Social Media, Network Heterogeneity, and Opinion Polarization, membuat orang bisa dengan bebas tanpa sekat untuk memaparkan pandangan yang berbeda. Namun, di sisi lain, muncul pula kekhawatiran media sosial justru menghasilkan masyarakat yang kian terpecah belah akibat polarisasi pandangan yang semakin hari semakin keras.

Sebagaimana dikutip dari Kompas. Dari hasil penelusuran di layanan analisis media sosial Topsy, ada 18.950 kicauan yang memuat tagar #JokowiGagalTotal. Sementara tagar #JokowiNotUs di-tweet 13.903 kali sebulan terakhir. Sebagai respons dari tagar-tagar di atas, lantas muncul tagar yang mendukung Jokowi-Kalla, seperti #MaafkanHaters dan #SupportPresidenRI. Topsy mencatat tagar #MaafkanHaters di-tweet 7.198 kali selama 16 September hingga 16 Oktober. Sementara tagar #SupportPresidenRI dikicau 40.222 kali.

Perbedaan pandangan terhadap Pemerintahan Jokowi JK, membuat media sosial sekarang tidak menjadi ruang ekspresi yang yang mengedepankan rasionalitas kritis, tapi sudah menjadi ruang ekspresi hanya untuk saling cela antar para pendukung. Bahkan mencaci maki, menyerang dengan ungkapan kasar. Penilaian bukan lagi pada logika, tapi berdasarkan suka atau tidak.

Pada akhirnya merujuk pada kecenderungan seseorang untuk mencari informasi yang sesuai dengan pandangan mereka. Media sosial menyediakan kemungkinan itu dengan adanya fitur fitur untuk mengikuti orang-orang yang disukai sekaligus membuang mereka yang berbeda pandangan. Lama-kelamaan, seseorang semakin terisolasi dalam kelompok masing-masing di dunia maya sehingga memunculkan pandangan yang semakin ekstrem.

Peter Dahlgren (2009) dalam Media and Political Engagement menyebut polarisasi itu adalah “cyberghettos” atau bermakna perkampungan terisolasi dalam dunia maya. Anatoliy Grudz dan Jeffrey Roy (2014) dalam Investigating Political Polarization on Twitter: A Canadian Perspective menggunakan istilah “ Echo Chamber “ ( ruang gema ), karena internet menciptakan ruang gema yang berputar di situ situ saja mengelilingi sebuah kelompok pengguna.

Dari penelusuran acak terhadap kicauan antar netizen tampak ada kecenderungan akun yang berkomentar positif terhadap pemerintah terhubung dengan akun akun dengan berkarakter sama. Sementara akun yang kontra pemerintah lebih banyak terhubung dengan akun yang juga sering menyuarakan opini yang sama.

Dalam bukunya Filter Bubble ( 2011 ), Eli Pariser menulis tentang bagaimana mesin pencari dan jejaring sosial menyaring perbedaan pendapat dan akhirnya hanya memunculkan dalam gelembung filter yang diinginkan penggunanya.

Misalnya, seorang bernama Omar yang sangat anti dengan Jokowi JK. Dengan berita mengenai anti Jokowi JK, dia hanya like atau mengkomentari atau mengRT dari postingan Angon, Bapit, Ponco yang anti Jokowi. Dengan pula berita dari Jontor selalu ia share. Setiap ada tautan dari Tempo, Metro atau dia tidak hiraukan. Ini berlangsung terus selama berminggu minggu.
Algoritma jejaring social akan memastikan news feed yang muncul dari teman teman dekat si Omar, karena sering dishare, di like, atau di RT . Ini menjelaskan kemungkinan yang paling besar muncul hanya status postingan Angon, Bapit dan Ponco.

bubleSementara Suher yang mendukung Jokowi, walaupun berteman dengan Omar, Angon dan Ponco, statusnya mungkin jarang muncul di news feed si Omar. . Kenapa? Karena baik Angon, Bapit, Ponco juga tidak pernah like atau comment di status Suher. Algoritmapun kemudian menyimpulkan bahwa Suher teman jauh.
Akhirnya si Omar jadi sangat jarang menjumpai opini2 yang berlawanan, membuatnya terisolasi di bubbles/gelembung2 ide/keyakinan kelompoknya sendiri. Demikian pula yang terjadi pada kelompok pro Jokowi atau hatersnya. Percakapan mereka hanya akan membuat terisolasi dalam kelompoknya sendiri. Ini yang disebut dengan konsep filter bubble, diperkenalkan oleh Eli Pariser pada 2011.

Apa kira2 efek negatifnya?

Pertama. Bisa menciptakan pemahaman paling benar sendiri dan bebal terhadap kritik. Ini karena selalu disodori opini dan pandangan anti Jokowi, maka Omar semakin jauh dari opini dan pandangan di luar itu. Walaupun si Suher menulis hal konstruktif dari Jokowi, tidak akan sampai ke newsfeed si Omar. Akhirnya semakin lama semakin terbentuk pemikiran pokoknya Jokowi selalu salah.

Kedua. False-consensus effect. Misalnya Omar ditanya tentang penerimaan publik terhadap kinerja Jokowi. Kemungkinan besar dia akan menjawab, bahwa penerimaan publik sangat kecewa karena selama ini yang dia lihat dalam feedsnya adalah kekecewaan dan kebencian terhadap Jokowi.
Ini yang disebut false-consensus effect , kecenderungan orang untuk mudah percaya diri bahwa orang lain semua sepaham dengan dia. Dalam kondisi biasa saja efek ini umum berlaku, apalagi kalau diperburuk dengan filter bubble.

Inilah yang menjadi ancaman akibat filter bubble. Kita memang butuh generasi yang dewasa, objektif, serta berpikiran terbuka termasuk ber-demokrasi di ruang digital, namun netizen harus mampu memanfaatkan teknologi yang ada untuk tidak menelan mentah-mentah informasi yang disebar di media sosial. Walaupun bagaimana, kita harus sepakat bahwa debat politik di dunia digital perlu lebih produktif dan lebih cerdas.

You Might Also Like

3 Comments

  • kunderemp
    November 18, 2015 at 7:05 am

    Wah, kultwit-nya akhirnya jadi tulisan.

  • Fatra
    November 24, 2015 at 9:37 am

    Izin share Pak

  • ibas
    October 10, 2023 at 8:32 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*