Warok & Gemblak

Suatu hari di tahun 1973. Sudarno asal Desa Kacangan, Kecamatan Sawo – Ponorogo, waktu itu masih berusia 10 tahun. Ia curiga akan terjadi sesuatu yang merubah jalan hidupnya kelak, ketika beberapa warok datang mengamati dirinya seusai pulang sekolah. Hampir tiga bulan, ia ditunggui di pagar luar sekolah. Sesuatu yang membuatnya ketakutan. Tidak salah. Para Warok sudah menilai layak tidaknya bocah Sudarno dipinang menjadi Gemblak.

Selama itu, teman temannya sudah mengejeknya sebagai calon Gemblak. Ia marah dan tidak terima sehingga melempar teman temannya dengan batu. Ia bahkan tidak bisa meminta perlindungan orang tuanya, Kehidupan keluarganya yang teramat miskin, membuat orang tuanya tak bisa menolak imbalan 2 ekor sapi dewasa untuk kontrak Gemblak selama 3 tahun.

Sudarno tidak terima dengan takdir ini, Ia berontak, membuang isi lemari pakaiannya. Dengan kalap ia memaculi lantai rumahnya yang masih tanah sehingga berantakan. Airmatanya tak berarti karena ia harus menjalani perintah orang tuanya, demi penghidupan keluarganya.
Hingga suatu watu ia diajak memancing oleh Sang warok. Anehnya, setiba di rumah orang tuanya, ia merasa ingin cepat cepat keluar dari rumahnya dan pergi bersama Warok yang telah membelinya. Kelak ia menduga bahwa si warok telah memberinya guna guna agar ia mau menjadi gemblak.

Sejak itu Sudarno menjadi milik perkumpulan Warok. Istilah ini dinamakan Gemblak Kumpulan. Ia dikontrak sebagai gemblak dari sekumpulan orang orang yang menjadi warok. Para warok berpatungan untuk memiliki gemblak. Artinya beberapa hari sekali, Sudarno kecil dipindahtangankan dari satu warok ke warok lainnya selama 3 tahun, sesuai isi perjanjian.

Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut wajar, bahkan diterima masyarakat. Warok bisa mempunyai satu atau banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 10-17 tahun berparas elok dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan. Kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Dalam tradisi turun temurun, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan.
Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah.
Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka per satu atau dua tahun, warok memberikannya seekor sapi.

Lain cerita Mbah Basir asal Desa Siman yang menjadi gemblak pada tahun 1957 sampai 1963. Saat itu ia masih berusia 10 tahun dan menjadi gemblak ekslusif hanya buat Dasuki asal Desa Totokan , seorang warok yang menjadi pemilik sebuah komunitas reog. Bagi seorang warok, ini disebut ngondolan. Memiliki sepenuhnya gemblak itu tanpa harus dipindahkan ke warok yang lain. Berbeda dengan Sudarno yang maharnya berupa sapi. Basir muda hanya disekolahkan dan dirawat.

Basir tinggal bersama 3 orang gemblak lainnya dalam rumah Warok Dasuki yang waktu itu sudah mempunyai isteri, tapi belum memiliki anak. Setiap malam Dasuki tidur bersama gemblak gemblaknya, sementara istrinya tidur sendiri di kamar belakang yang terpisah.
Selain disekolahkan, Basir juga diajarkan menari dan berlatih kesenian reog. Ia memulai dengan menjadi penari jathilan.

Baik Sudarno atau Basir, mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan warok. Mereka dididik tata krama dalam berpakaian, bersikap di meja makan sampai bagaimana melayani waroknya. Mereka umumnya menyebut warok yang memelihara dengan panggilan Bapak.
Gemblak sekaligus menjadi semacam asisten pribadi yang dibawa kemana mana. Kegiatan pasar atau undangan hajatan perkawinan merupakan saat untuk memamerkan gemblaknya kepada masyarakat dan warok yang lain.

Sudarno mengingat, ia selalu dibonceng sepeda fonger oleh sang Warok. Ia bercelana pendek dan berpakaian lengan panjang yang ujung lengannya dikancing, Tak lupa asesoris kacamata biru bergagang kulit penyu.
Sementara Basir mengenakan baju linen warna pink, dan sudah memakai jam tangan. Sesuatu yang masih langka bagi anak seusianya.
Dalam acara ini, gemblak wajib membawakan rokok berpak pak, yang nanti bisa ditawarkan kepada tamu tamu lainnya atau ke bapak waroknya sendiri. Gemblak juga sudah diajarkan merokok sejak ia menjadi gemblak.

Bagi seorang warok , memiliki gemblak adalah simbol status. Banyak cara yang harus ditempuh untuk bisa mendapatkan gemblak idaman yang sudah dincarnya. Demi sebuah perhelatan, seorang warok bisa menyewa gemblak pujaan yang dimiliki warok lain selama beberapa jam, untuk dibawa dan dipamerkan selama hajatan tersebut.
Mbah Sisok kini 85 tahun, seorang bekas warok yang kini menjadi pengrajin reog asal Desa Kauman. Dulu ia pernah menanggung biaya sunat calon gemblaknya sambil menggelar pagelaran wayang kulit yang tergolong mewah pada jamannya. Itu belum termasuk mahar seekor sapi dewasa untuk 2 tahun.
Beberapa kasus, sering terjadi perkelahian antar warok untuk memperebutkan gemblak, bahkan yang berujung kematian salah satu warok.
Ada juga Warok yang menjadi perampok agar memiliki dana yang cukup untuk menebus gemblak.

Mbah Tobroni ( 75 th ), salah satu tokoh warok yang masih tersisa, pernah memiliki empat orang gemblak pada tahun 1990an. Ia menyekolahkan semuanya sampai lulus SMA. Kini Jingkang, menjadi anggota Marinir, Rengga menjadi guru di Pondok Pesantren, Agus – yang menurutnya paling tampan – menjadi pedagang mas. Terakhir Anto, yang disesali karena menjadi buron polisi.
Tobroni pernah menikah tiga kali. Ia masih memiliki grup kesenian reog dan hidup bersama isteri yang ketiga sambil mengelola sebuah restaurant. Hari hari tuanya dinikmati dengan menunggang motor Harley Davidsonnya dan memelihara burung perkutut kontes.
Ia adalah tokoh masyarakat terpandang di Ponorogo. Salah seorang anak perempuannya menjadi wakil ketua DRPRD di sana.

Tidak mudah membayangkan apa yang terjadi dalam kehidupan gemblak. Mereka sangat dicemburui oleh warok pemiliknya, terutama jika mereka menunjukan ketertarikan kepada lawan jenisnya. Basir muda harus dimarahi dan dicubit ketika hanya melirik kepada seorang gadis yang ditemui di sebuah warung dawet. Apalagi waktu itu Basir juga menjadi primadona reog, yang selalu dielu elukan penonton.
Ia mengingat, ketika sedang berjalan melintas desa. Para petani yang sedang bekerja di sawah, harus menghentikan kegiatan memacul hanya untuk melihat sang gemblak primadona dari dekat.

Untuk itu, warok Dasuki selalu secara reguler memberikan kemenyan kecil yang sudah di jampi jampi untuk dimakan sedikit demi sedikit oleh Basir, dan 3 orang gemblak lainnya yang tingga bersama. Ini agar sang Gemblak selalu betah dan ‘ mencintai ‘ bapak waroknya.
Mbah Mulud ( 80 tahun ) asal Desa Kutu Kulon, dulu mempunyai cara unik ada agar kelakian sang gemblak tidak berfungsi secara normal. Dengan ilmu, ia mematikan burung si gemblak. Ketika masa kontraknya habis, si gemblak dibuat normal kembali.

Sampai batas waktu perjanjian, Warok mengembalikan Gemblak ke rumah orang tuanya atau bisa memperpanjang masa kontrak. Beberapa kasus ketika Gemblak sudah menginjak dewasa, sang warok mencarikan istri untuk gemblaknya agar bisa lepas. Ini biasa terjadi ketika Gemblak tak mau dilepaskan dari kehidupan Warok. Mereka ada yang benar benar akhirnya ‘ mencintai ‘ bapak waroknya. Sehingga perpisahan bisa membuat kesedihan yang mendalam.
Ada beberapa alasan mengapa Warok melepas ikatan gemblaknya. Pertama, karena memang ingin mencari gemblak baru. Kedua, Warok memutuskan pensiun dan kembali menjadi orang normal atau menikah untuk memiliki keturunan.

Kehidupan gemblak telah merampas kemerdekaan masa kecil mereka. Jika anak anak sebayanya masih suka bermain layang layang. Para gemblak sudah dibuat cepat dewasa. Mulai dibiasakan merokok sampai memahami hubungan yang biasa dilakukan orang dewasa.
Dalam wawancara ini para warok dan gemblak menolak jika dikatakan ada praktek sodomi dalam hubungan mereka. Bisa jadi hal ini memang ditutupi, karena menjadi issue yang sensitive. Disamping karena masyarakat modern mencap stigma homoseksual sebagai penyimpangan.
Umumnya para warok mengakui hanya memeluk ketika tidur , sambil membelai dan menciumi Gemblaknya.

Mbah Gani ( 70 tahun ) bekas warok asal Desa Plunturan, Kecamatan Pulung mengakui jika harus melakukan penetrasi, ia menjepitkan kemaluannya yang sudah keras diantara paha gemblaknya. Lalu ia membersihkan air spermanya yang berceceran di tubuh Gemblaknya dengan kain.
Hubungan seksual yang terjadi memang hanya menjadi rahasia malam antara Warok dan Gemblaknya. Tertutup dan terasing. Praktek sodomi sangat dimungkinkan, mengingat Gemblak dalam posisi yang tak bisa menolak.

Seperti yang dikatakan Mbah Basir. Hanya satu yang dibenak Gemblak, yakni patuh dan taat kepada bapak Waroknya.
Sudarno kecilpun, harus menyimpan rasa jijiknya ketika harus melayani Warok yang jelek, kemproh dan kotor. Tapi ia diam saja, membiarkan jerit hatinya tersimpan dalam kamar peraduan.

Jaman yang terus berubah serta pemahamaan norma agama membuat praktek Warok – Gemblak hampir sulit ditemui lagi di kawasan Ponorogo. Warok jaman sekarang lebih diartikan sebagai seniman reog saja. Bukan dalam arti pendekar yang menggembleng dirinya untuk ilmu kanuragan. Walau secara tertutup bisa saja ditemui secara diam diam.

Kehidupan mereka memang sangat absurd, bagaimana sebuah realitas hubungan warok gemblak bisa tumbuh. dalam tatanan masyarakat tradisional. Bahkan dengan penerimaan masyarakat – waktu itu – yang menganggap bagian dari sebuah budaya.

Sudarno yang kini berjualan gorengan didepan toko swalayan, tak pernah merasa apa yang dilakukan sebagai bentuk aib. Ia bangga bisa membantu kehidupan keluarganya saat itu, walau dengan cara yang paling hina sekalipun.

You Might Also Like

86 Comments

  • si unyil
    April 18, 2012 at 3:47 am

    wahh,,mungkin di kota reyog masih tersisa banyak orang bisex…klo ingin tau orang bisex,,q punya knalan orang bisex,,mgkn dah jd korban warok masa dulunya,,,dia usia 50an,,tp gk ber kluarga,,dia suka nya ama brondong,,,pngen tau byk info,,,share di emailku,,TOPPRABOWO@YAHOO.CO.ID

  • warok88
    April 27, 2012 at 7:51 pm

    wah, mantab artikelnya… salam dari wong ponorogo

  • ANGKRINGAN GEMBLAK PONOROGO
    May 11, 2012 at 1:56 pm

    Heeeem “BYUH BYUH ORA NDLOMOK ANE” HENTHOOO HENTHOOOOO….
    Terimakasih buat mas Iman Brotoseno dan salam kenal.  http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1167 menarik ulasan tentang GEMBLAK dan WAROK..saya kelahiran 80 an dan mungkin kurang mengerti tentang sejarah dan kehidupan Masyarakat Ponorogo era WAROK dan GEMBLAK pada masanya. Terlepas dari hal tersebut saya mempunyai pendapat pribadi berkaitan dengan WAROK adalah sebutan bagi Masyarakat Ponorogo tentunya WAROK yang seperti apa disini masyarakat yang memposisikannya. Sudut pandang saya GEMBLAK tidak lebih dari sebatas anak angkat/asuh nah yang menjadi sangat di sayangkan adalah ketika masyarakat kita ( pada masa itu era WAROK dan GEMBLAK dan bahkan sekarang ) lebih suka menelan mentah mentah sebuah kebiasaan/tradisi/budaya tanpa mau memahami memfilter terlebih dulu. WAROK sudut pandang saya adalah orang yang mumpuni dalam segala hal dan tentunya menjadi contoh yang baik”…WAROK ketika melakukan laku untuk mendapatkan kesaktiannya tidak boleh berhubungan dengan istrinya….???? Itu yang sebenarnya perlu kita pertanyakan sejak kapan?  Dan kata siapa? Dan apakah semua WAROK seperti itu..?..
    BYUH BYUH ORA NDLOMOK ANE DULUUUUUUUUR”
    sedikit berbagi saya dulu waktu SMU pernah belajar beladiri pencak silat yang di dalamnya terdapat aturan selama melakukan ritual/proses penggemblengan tidak boleh bermain wanita waktu itu saya tidak percaya ( ketika itu setengah hari  sebelum latihan di mulai saya sempat bercanda dengan temen wanita masih sebatas wajar saya hanya memegang tangannya tidak lebih dari itu, sore harinya dalam proses latihan beladiri ada sesion Tarung/sabung dan waktu itu saya masih ingat betul saya memukul lawan saya tepat di ulu hatinya dan dia jatuh pertandingan di berhentikan. Seperti biasa seusai pertandingan kita di suruh saling memijit untuk menghilangkan kram dan bekas bekas memar pukulan tetapi anehnya disini bukan lawan saya yang memar tetapi telapak saya yang hijau lebam tentunya bukan karna keseleo dan tidak bisa di gerakkan saya mulai mengingat mungkin ini karna sebelum latihan saya bercanda dengan temen wanita dan tangan ini sempat memegang tangan temen wanita tersebut dari pengalaman itu saya mulai bertanya apakah ini yang di sebut WAROK ketika sedang NGLAKONI…sejak itu saya tidak lagi berhubungan dengan temen temen perempuan (bukan berarti saya harus berhubungan dengan laki laki) tetapi menahan NAFSU memperdalam spritual dan menghindari segala perbuatan yang tidak baik dan hasilnya BYUH BYUH ORA NDLOMOK/LUAAAR BIASA saya bisa menyelesaikan laku saya dan banyak hal yang bisa saya pelajari dari proses tersebut…
    Duluuur mari kita berfikir lebih bijak dengan budaya/tradisi kita WAROK dan GEMBLAK mari kita luruskan dan kita wariskan budaya yang baik dari sekarang jangan kita dokma masyarakat kita dengan sesuatau hal yang menyimpang kalau bukan kita siapa lagi yang membenahi Sejarah Budaya Tradisi ini untuk kita wariskan ke anak cucu..
    Duluuuuur saya ASLI DLONDONGE WONG PONOROGO DIAPURANE WONG SOMOROTO, BYUH BYUH ORA NDLOMOK ANE..Nuwun.
    Salam Angkringan Gemblak Ponorogo.

  • anang
    August 4, 2012 at 6:57 pm

    Pas banget mas…saya sebagai putra asli ponorogo masih mengalami kehidupan seperti itu dahulu..tahun 1966 an…bahkan sering dilirik warok-2 di kampungku..tapi karena saya dari keluarga yang cukup terpandang ya mereka cuma terbatas naksir dan senang saja.(usiaku kini sdh 50 th) …saat itu..beberapa teman saya memang ada yang jadi gemblak…yang tidak mau bahkan diikat tangannya oleh ayahnya dan dikroto (dikasih semut merah)… wah-wah… kasian banget ..umumnya para gemblak yang diasuh warok yang kurang bijaksana masa tuanya ..hidupnya kurang baik… karena terlalu dimanja…shg kurang mandiri…. terlepas semua itu tulisan mas sangat baik… sangat bijak dan menghargai sensifitas budaya…
    Semoga masih terus bisa menggali sejarah Ponorogo..
    Thanks

  • kas man
    September 2, 2012 at 7:11 am

    budaya leluhur yg harus kita pelihara……

  • wangsasanjaya
    October 16, 2012 at 11:47 pm

    jadi pingin jd gemblak tp sayang sy dah tua 33 tahun hehehe tp jujur tulisannya menarik

  • hendi
    February 18, 2013 at 9:55 am

    tulisan mas iman brotoseno… sangat sangat sangat mirip dengan kehidupan waktu kecilku tahun 70′-80′ an ketika masih SD (tp bukan aku yg jadi gemblak..:-) ).
    waktu SD aku punya teman 4 (empat) yg jadi gemblak, hanya satu yg tahu dia sekarang jadi apa n seperti apa, sedang yg tiga belum tahu dmn mereka sekarang….

    salam,
    hendi (wong somoroto)

  • hendi
    February 18, 2013 at 9:57 am

    BUAT mas wangsasanjaya:
    kenapa mas kok pengin jd gemblak? ciuuuuusssssssssss nih heheeeeeeeeee….

    hendisetiadi@yahoo.com

  • chacha
    March 4, 2013 at 9:17 pm

    keren mas tulisannya, pencerahan buat aku yang mau bikin tugas neh

  • shemax
    March 21, 2013 at 10:14 pm

    tulisanya bagus!
    tapi sekarang jaman udah kebalik gan! banyak anak kecil yang ngelairin anak kecil, jaman dulu wanita masih terjaga betul kehormatanya,,,,,,,,,,,,,

  • Yoga
    May 27, 2013 at 11:12 am

    siapa yang mau budaya yang mengekang kebebasan yang melegalkan tindakan asusila dan membangggakannya… apabila itu benar terjadi alangkah indahnya siksa yang akan menghampiri dan menunggu kita kelak, percayalah tidak ada tradisi yang baik jika itu berkenaan ddengan mengorbankan sesorang terlebih anak.

  • Mbah Pei
    October 26, 2013 at 8:21 am

    henttoooh,hentoh jan bcah iki ra ndlomok tenan riwayate gemblak KKU tapi kurang sithik tulisane
    jenenge gemblak karo riwayate Dimas Yono Nggadhing

  • indah ella
    December 13, 2013 at 11:15 pm

    maaf… klo boleh tw ada sumber buku nya gak? klo ada di share ya… saya butuh buat skripsi. terimakasih

  • dendi
    January 27, 2014 at 12:16 am

    btw, itu yg minta dishare ke email pribadi dll, homo ya? apalagi ada yg pgn jd gemblak? Piye iki?

  • rocky_jkt
    June 4, 2014 at 5:17 pm

    sy pernah membaca artikel sejenis di.majalah intisari 9-7 thn yll sy lupa persisnya.

    lepas dr setuju atau tidak itulah budaya lokal. mau apalagi?

    tahukah anda:
    dalam budaya lokal arab seorang suami dihalalkan melakukan hubungan badan dengan istri dan budak.
    makanya hingga kini ada buruh migran yg diperkosa majikan tidak pernah dituntut sbg kasus pemerkosaan, krn budaya setempat menghalalkan hal itu.

  • rina
    June 16, 2014 at 11:01 pm

    interesting, buat bahan belajar
    makasih mas 🙂

  • Pantoro Tri
    October 15, 2014 at 11:31 pm

    Whoa,.. siapa yang mau tak jadikan gemblak sini,.. haha

  • Ndarie riyanto
    July 12, 2015 at 8:30 am

    Sbg seorang ibu yg punya anak usia 12 an, miris sekali sy membaca praktek per gemblak an. Sbg ortu rsnya kt ikt menjerumuskan ank dlm khdpn tak wajar. Bila sy hdp di lingkungan mrk dan ank sy akan diambil sbg gemblak…sy memilih unt lari dr daerah tsb bersama anak…hiii…ngeriii

  • RONI
    August 11, 2015 at 11:06 pm

    WAROK ITU DAPAT ILMU KARENA SUMBER KEKUATANNYA PADA KHODAM, DAN KHODAMNYA TIDAK SUKA PEREMPUAN, SEHINGGA IA HARUS BERHUBUNGAN DENGAN LELAKI REMAJA. JAMAN SEBELUM ISLAM DATANG SUMBER KEKUATAN GAIB DARI PARA KHODAM. LIHAT SAJA MANTRA WAROK PASTI AKAN MENYEBUT SALAH SATU KHODAM YANG MEMEGANG MANTRA ITU, YA JADILAH BEGITU.

  • elisabeth
    January 24, 2016 at 5:21 pm

    memotret sisi indonesia yang lain dari lensa praktik lgbt dalam reog

  • Logical Fallacies 101 | to wander, to wonder.
    March 23, 2016 at 8:15 pm

    […] berbahaya!!!” (Tidak benar. LGBT ada dalam kebudayaan yang ditemukan di Indonesia, mulai dari warok-gemblak sampai lima gender dalam kebudayaan […]

  • aonim
    May 13, 2016 at 3:09 pm

    siapa yg mengiginkan kenikmatan, bagi para pria yang suka onani, sex fantasi silahkan email.sipirkendali@yahoo.com

  • anom obm
    May 29, 2016 at 2:10 pm

    pak pantoro tri, saya mau di gemblak…salam kenal….085785750747 nenek2, bapak2, om2, pak lek pak lek

  • daral ahtahwid
    June 22, 2016 at 7:23 pm

    rumahmu dimana mas anom obm?

  • anom obm
    July 12, 2016 at 12:21 pm

    saya di ngawi pak…….sms donk…

  • Randy
    September 21, 2016 at 8:55 am

    Haha ada ni gemblak tampan 24 thn

  • Logical Fallacies 101 – to wander, to wonder
    November 25, 2016 at 1:48 am

    […] berbahaya!!!” (Tidak benar. LGBT ada dalam kebudayaan yang ditemukan di Indonesia, mulai dari warok-gemblak sampai lima gender dalam kebudayaan […]

  • ari
    December 17, 2016 at 9:35 pm

    Sy mau jd gemblak, 083846898340

  • Kenapa Harus Menolak Mahasiswa Bertato dan LGBT, UPI? – @aditryan
    June 19, 2017 at 11:28 am

    […] Yang banyak dijadikan referensi di antaranya adalah Bissu, Calabai, dan Calalai di Bugis, dan juga Warok dan Gemblak di Ponorogo. Dari dua contoh budaya tersebut saja, klaim bahwa LGBT adalah ideologi Barat itu sudah […]

  • DIMAS
    May 30, 2018 at 10:34 am

    Saya mau jadi gemblak 085755074007

  • DIMAS
    August 3, 2018 at 1:06 pm

    Saya mau jadi gemblak BLITAR whatsapp 085755074007

  • Aria Gutama
    January 28, 2019 at 3:15 pm

    sangat menarik besok ane pingin nih kalau libur kuliah 3 bulan ke ponorogo belajar reog sekaligus mencari keberadaan warok dan gemblak masih adakah saat ini untuk kajian pendalaman seni ane.dimas sudah jadi gemblakkah anda bisa kenalan ga buat tambah kenalan.

  • Aria Gutama
    January 28, 2019 at 3:24 pm

    ane ko rasanya juga pengen jadi gemblak.ada yang bisa bantu ane mencari referensi.wa/sms085602268839.

  • banyupati
    May 31, 2019 at 8:19 am

    Salah paham pengertian warok … !

  • Mr_Tanokura
    July 11, 2019 at 4:01 pm

    Artikelnya bagus, saya kok pingin jugabjadi gemblak ya? Hehe usia udah 31. Bagus artikelnya. Alangkah baiknya jika budayanya di lestarikan. Dalam pertunjukan reog aslinya tak satupun ada wanita, melainkan laki laki semuanya. Warok, bujagganong, reog dan gemblak (jathilan) umumnya semuanya laki-laki. Jadi pingin ke ponorogo nih, pingin bincang langsung sama warok dan gemblaknya

  • Adi
    October 21, 2019 at 8:59 pm

    Pengen punya warok akirnya haha w.a 08113635007
    tinggal di blitar

1 2

Leave a Reply

*