Upacara bakar batu

Suara anak babi itu menjerit jerit menyayat ketika dipanggul oleh Rumbe, seorang warga suku Dani, Lembah Baliem. Suaranya terdengar seperti lengkingan anjing.
Mungkin si babi itu sudah mencium bau kematian. Yali Mabel sang kepala suku sudah bersiap di ujung sana, dengan anak panahnya yang terhunus. Dua anjing mengkuti terus Rumbe ke tempat penjagalan yang dikelilingi warga Dusun Jiwika. Sementara berhadapan dengan mereka – di sisi seberang – beberapa orang sudah menyelesaikan tumpukan batu terakhir, sebagai tempat pembakaran.

Rumbe memegang kaki babi itu, sementara temannya memegang telinga babinya. Mereka membuat jarak untuk merenggangkan tubuh sang babi sambil menunggu Kepala suku membidik dengan panahnya. Suara babi terus melengking tak henti. Anjing anjing terus mengendus ngendus tanah. Suara warga mendadak senyap saat anak panah melesat, menembus jantung babi malang itu.
Ia terus meronta ronta ketika Yali Mabel menarik sambil memutar mutar anak panahnya, dari tubuh. Anjing anjing berebutan menjilat darah babi yang berceceran di tanah. Begitu anak panah tercabut, tubuh babi dilepas terjerembab di tanah. Mati, diam tak bersuara.
Seketika, orang orang menyanyikan lagu lagu pesta. Hari ini upacara bakar batu telah dimulai prosesinya.

Pegunungan Jayawijaya terasa sangat menggetarkan di lihat dari dalam pesawat jenis ATR yang membawa kami ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Selimut kabut bagai sabuk melingkari disekelilingnya. Mata dunia mulai memperhatikan Lembah Baliem, ketika sebuah pesawat C 47 Dakota jatuh pada masa perang dunia tahun 1945. Tiga orang kebangsaan Amerika yang selamat dalam kecelakaan itu, menyebut tempat itu sebagai ‘ Shangri-la ‘.
Padahal jauh sebelumnya pada tahun 1938, Lembah Baliem ditemukan Mr. Archbold, seorang berkebangsaan Amerika yang memimpin ekspedisi ornithological. Mereka melaporkan lembah ketinggian 1800 kaki ini dihuni oleh suku suku asing. Majalah National Geographic melaporkan penemuan ini dalam edisi Maret 1941.
Lembah ini sangat subur dan dikelilingi di seluruh oleh puncak puncak menjulang setinggi 2.500 sampai 4.000 meter. Kesuburannya membuat penduduk lembah telah bertani selama lebih dari 9.000 tahun, dan
baru ditemukan oleh peradaban modern pada tahun 1938.

Ada tiga suku utama yang menghuni Lembah Baliem: Suku Dani di dataran paling rendah, lalu Suku Lani di barat dan Suku Yali di selatan-timur.
Setiap suku memiliki budaya yang berbeda. Satu cara yang pasti dan menarik untuk membedakan suku-suku tersebut adalah dari Koteka, atau penis labu, yang dipakai oleh kaum laki lakinya.

Suku Dani menggunakan jenis Koteka yang panjang tipis, Lani berbentuk ukuran lebar bulat dan Suku Yali menggunakan Koteka yang terpanjang dari semuanya dengan rotan yang melingkar di pinggang.
Biasanya wanita lajang – Suku Dani atau Lani- mengenakan rok kulit pendek dibawah pantat, sementara perempuan yang sudah menikah mengenakan rok serat anggrek. Kadang dihiasi dengan jerami, dan tas anyaman yang disebut “noken” di taruh di punggung mereka.
Dani dan Lani yang berkaitan erat – berbicara dalam dialek yang berbeda dari bahasa yang sama tetapi mampu saling memahami. Sementara Yali, berbicara bahasa yang sama sekali berbeda dengan suku lainnya Mereka tinggal di dalam hutan perawan yang jaraknya jauh dan terletak di dataran lebih tinggi. Bisa butuh waktu perjalanan 5 hari melalui darat untuk mencapainya.
Sebelum tahun 1970, suku Yali tertutup dari dunia luar dan ditenggarai masih kanibal sebelum para misionaris memperkenalkan agama Kristen dan membuka kepada dunia luar.

Suku Dani menempati lembah yang paling subur bertani selama ribuan tahun telah mengenal tanaman umbi umbian, pisang, kacang, ketimun dan beberapa jenis sayuran. Mereka bekerja terampil dan menggali parit-parit yang panjang untuk irigasi dan sudah berpikir meninggalkan tanah kosong di antara tanaman.
Biasanya yang membersihkan lahan dan mengolah tanah untuk panen pertama adalah pekerjaan laki-laki secara tradisional . Sementara penanaman, penyiangan dan panen akan dilakukan oleh perempuan.
Bagi masyarakat Dani, wanita dan pria tidak tinggal bersama sama dalam satu rumah. Para laki laki Dani tinggal bersama dalam rumah yang disebut ‘ Honay ‘.
Sedangkan wanita ,baik yang sudah diperistri tinggal bersama anak anak mereka di rumah panjang yang juga menjadi rumah dapur mereka.

Tidak dimungkiri, Suku Dani adalah suku yang paling popular diantara suku suku penghuni lembah Baliem. Kita bisa melihat ‘ mummi ‘ yang sudah beratus tahun di desa Aima dan Jiwika di lembah ini.
Suku Dani dulu juga terkenal karena kebiasaan jika seseorang meninggal di desa, maka ruas jari dari dari saudara perempuanya yang masih hidup akan dipotong. Kini perlahan misionaris berusaha menghilangkan kebiasaan ini, namun sisa sisa perempuan yang ruas jarinya terpotong masih banyak dijumpai di sana.

Upacara Bakar batu merupakan ‘highlight ‘ paling utama dari Suku Dani. Kami akan melakukannya di desa Jiwika. sekitar 20 km utara dari Wamena.
Yali, sang kepala suku akan menyiapkan semuanya. Mereka akan memakai kostum terbaiknya, taring babi dan bulu bulu burung. Begitu kami memasuki kampung teriakan teriakan menyambut tamu dari jauh, sambil melakukan proses tarian perang.
Beberapa wanita melumuri tubuhnya dengan lumpur, sebagai tanda berkabung karena salah satu saudaranya baru saja meninggal.

Sebelumnya mereka sudah menyiapkan tumpukan kayu kayu dan menaruh batu batu diatasnya. Salah satu anggota suku menggosokan rotan untuk membuat api yang membakar batu batu hingga panas.
Setelah itu babi itu itu angkat di letakan di atas batu panas, untuk membuang rambut dan bulu bulu dikulitnya. Dalam proses setengah matang, babi itu di tarus dibelah dan dikeluarkan isi perutnya. Beberapa orang memasukan bumbu bumbu , termasuk isi buah merah dan daun daunan.
Disisi lainnya, sebuah lubang besar di tengah tengah halaman perkampungan, sudah ditutupi oleh daun daunan. Termasuk daun pisang dan beberapa pakis. Kemudian batu batu yang panas tadi, diambil dengan penjempit kayu dimasukan kedalam lubang tadi. Lalu diikuti ubi jalar, sayuran lalu batu lagi dan babi diatasnya.
Paling akhir semuanya ditutupi oleh rumput rumputan dan bermacam macam tanaman rambat. Selama satu setengah jam berikutnya sambil menunggu matang, para wanita duduk duduk menyanyi lagu lagu.

Jaman dulu upacara ini menjadi ritual untuk menghormati tamu , namun jaman sekarang, para tamu harus membayarnya jika ingin melihatnya. Menjadi komoditi komersial. Cukup mahal harga mahar seekor babi yang akan dikurbankan. Seekor babi kecil bisa seharga Rp 5 juta dan babi dewasa yang besar mencapai Rp 20 juta.
Kepala suku Yali yang mengatur semua transaksi dan penentuan hari serta jam jam upacara.

Babi yang sudah matang kemudian diambil dan dipotong potong sehingga seluruh warga desa mendapat jatah. Para tamu bisa bersama sama makan dagingnya dan umbi umbian yang ikut dibakar tadi.
Tentu saja saya tidak mencicipinya, dan mereka cukup paham bahwa semua tamu tidak bisa memakan daging babi.

Hari semakin sore, habis sudah jamuan makan tadi. Anjing anjing mengais ngais sisa makanan dari lubang pembakaran. Masyarakat Dani kembali larut dalam kehidupan sehari harinya. Beberapa laki laki dan wanita duduk duduk sambil merokok di halaman. Tak perduli.
Angin pegunungan berhembus semakin dingin. Kami meninggalkan Desa Jiwika, Lembah Baliem menuju kota Wamena. Beberapa anak anak mengantar kami ke batas desa. Tentu saja berharap kami memberi sejumlah uang.

You Might Also Like

16 Comments

  • gunawan raharjo
    March 10, 2010 at 9:22 pm

    mas…suku lani itu bukan bagian dari suku dani ya ? setahu saya suku dani terbagi menjadi beberapa lagi seperti suku lani, suku ekari, suku moni..itu yang arah barat…kalo yang selatan ada suku dunga, amungme, damal…maaf kalo salah ya !

  • zam
    March 10, 2010 at 11:32 pm

    bapa, kurang dua juta, bapa..

    :p

  • DV
    March 11, 2010 at 5:54 am

    babi bakar… yummy! 🙂
    Kok hitam ya, mas? Celeng kah itu?

  • SURIN WELANGON
    March 11, 2010 at 7:17 pm

    membaca perjalananmu mas sepeti aku membaca mantra – mantra soka.

  • Firad
    March 12, 2010 at 9:34 am

    masyarakat papua yang unik, dan membuatnya begitu berbeda dengan ras di sebelah barat negeri ini. Namun tetap Indonesia

  • sarah
    March 12, 2010 at 9:34 am

    Nggak nyicipin mas ?

  • edratna
    March 12, 2010 at 8:58 pm

    Biasanya, sambil menunggu yang dimasak matang dan siap dimakan…maka setiap orang akan menari mengelilingi api unggun untuk bakar batu tsb. Dan saya ikutan menari …apalagi dingin menggigit di Wamena jika malam hari….
    Mas Iman nggak ikutan menari……?

  • Nazieb
    March 13, 2010 at 12:58 am

    Ha, cerdas juga ide untuk “menjual” upacara adat itu 😉

  • lady
    March 13, 2010 at 1:47 pm

    ya ya.. apapun masyarakatnya, uang telah menjadi idola.

  • siska
    March 15, 2010 at 10:53 pm

    hmm mahal juga harga babi itu *berpikir bisnis babi*

  • Yoyo
    March 18, 2010 at 12:50 pm

    weleh…….para penggemar celeng…… 🙂

  • mamah wulung
    April 24, 2010 at 11:38 pm

    rindu wamena

  • antik
    June 15, 2010 at 10:53 am

    salam kenal.. saya tertarik dg blog2 anda,,

    seru juga kehidupan mas ini.. 🙂

  • franco
    September 12, 2010 at 3:42 pm

    pengen pulang ke wamena..
    lulus langsung cabut deh…
    ud lama gag ikut bakar batu….
    aw
    aw
    aw

  • aggustinus way
    January 4, 2011 at 9:54 am

    Salam kenal, tks untuk oleh2 ceritanya selama mengikuti upacara bakar batu, memberikan informasi yang baik tentang kearifan lokal dan kekayaan budaya nusantara.

  • Sari Musdar
    March 9, 2014 at 9:07 pm

    Babi di Papua kebanyakan besar-besar seperti sapi dan warnanya hitam keabu-abuan.

    kebetulan saya pernah kerja di area freeport dan sering main ke desa sekitarnya terutama ke Banti Waa dimana suku Amungme, mee, Damal, Dani dan nduga tinggal
    Alhamdulilah ya kalau suku amungme belum komersial seperti itu, kadang-kadang kami diundang ke upacara bakar batu oleh kolega Suku Amungme misalnya setelah perang suku atau ada korban meninggal
    Nice artikel, bikin saya kangen papua 🙂

Leave a Reply

*