Tentang Hatta

Agustus 1932. Udara lembab dan panas begitu menyengat para penumpang kapal “ Rotterdamse Llyod “ yang baru saja bersandar di pelabuhan Batavia setelah menempuh perjalanan panjang dari Negeri Belanda. Seorang pemuda berusia 30 tahun, merapal kerinduan tanah airnya. Hatta, apa yang kau lihat dari atas kapal ? Kemiskinan yang tergambar dalam hilir mudik koeli koeli telanjang dada mengangkut barang ? Aroma pemberontakan menyeruak ke dadamu yang selama 11 tahun merantau, menuntut ilmu di negeri sang penjajah. Studimu selesai dan gelar doktor telah ditangan, namun kau tak bisa menahan diri untuk melakukan sesuatu untuk bangsamu yang tertindas .

Teriakan teriakan inspektur Polisi bercampur hiruk pikuk pelabuhan, memanggil penumpang yang baru turun untuk melakukan pengecekan barang barang yang dibawa. Seorang intel Belanda membisiki sang inspektur polisi, sambil melihat ke Hatta yang berdiri mengantri bersama penumpang lainnya. Kau tahu bahwa hidupmu tak menjadi lebih mudah dengan kedatanganmu ke tanah air. Suasana kolonial memang berbeda dengan negeri dingin tersebut.

Bayang bayang masa lalunya berkecamuk tiba tiba. Kau yang ditinggal mati ayahmu sejak berusia delapan bulan, dan setiap pagi diantar naik bendi kakekmu – Ilyas Baginda Marah – bersekolah di sekolah dasar Belanda.
Kau juga teringat masa kecilmu saat berusia 10 tahun. Wajah wajah marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang orang yang lewat. Sekitar 10 kilometer dari kota kelahirannya. Di Kampung Kamang rakyat berontak karena menolak membayar pajak. Terjadi konflik berdarah. 12 orang marsose tewas dan ratusan penduduk ditembak mati. Banyak orang ditangkap, termasuk Rais, pamanmu. Ia melambaikan tangannya dirantai dari jendela kereta api yang membawanya dari Payakumbuh ke Padang. Ini adalah dalih pemerintah kolonial memakai pemberontakan Kamang untuk menangkap Rais, karena ia pernah menulis kritik tentang kelakukan pejabat Belanda dalam surat kabar ‘ Utusan Malayu ‘ di Padang.
Hatta kecil melihat dengan jelas karena ia menunggu kereta api yang lewat di dekat rumah.

Wajah wajah pucat berkulit putih kemudian mendominasi pikiranmu. Masa masa perjuangannya bersama ‘ Perhimpunan Indonesia ‘ di negeri Belanda. Kau memang seorang yang gemar membaca. Dari oase ilmu pengetahuan yang kerap dilahap, melahirkan tulisan dan pemikiran tentang bangsanya. Tulisanmu yang menggegerkan berjudul “ Indonesia di tengah tengah revolusi Asia “ di muat dalam buku peringatan 15 tahun berdirinya Perhimpunan Indonesia pada tahun 1923.
Siapa yang mengira dari sebuah brosur yang ditulis Tan Malaka tahun 1925, Naar de Republiek Indonesie ( Menuju Republik Indonesia ), Kau semakin terpengaruh dengan ide ide kemerdekaan negerimu. Dalam brosur itu Tan Malaka meramalkan kemungkinan pecahnya perang pasific, yang akan memberikan kesempatan Indonesia melepaskan penjajahan Belanda.

Hatta ,kau dan generasimu telah menemukan nasionalisme awal abad 20. Demikian kau menunjuk pada sejarah yang memperlihatkan bahwa bangsa tidak tergantung pada asal usul keturunan, tidak satu agama dan bahasa, tetapi pada kesadaran sebagai suatu kelompok yang bersatu.
Kau merujuk pada Renan yang berpendapat bahwa bangsa adalah, ‘ satu semangat, satu prinsip batin, perasaan bersama ‘.
Bangsa Indonesia telah lahir, dan Perhimpunan Indonesia mempunyai tugas mempercepat kelahirannnya. Itulah yang terjadi dalam Kongres Demokrasi Internasional di Bierville, Perancis tahun 1926. Kau bersikeras dan berhasil menuntut pengakuan sidang mempergunakan kata ‘ Indonesia ‘ bukan ‘ Hindia Belanda ‘. Ini kemenangan moral kau dan kawan kawanmu saat itu, apalagi wakil Belanda yang hadir, menolaknya.
Keteguhan hati yang menjadi dasar tiga dasar pemikiranmu, yaitu Non koperasi, percaya pada diri sendiri dan persatuan.

Hatta. Pembelaanmu ‘ Indonesie Vri “ – Indonesia Merdeka, didepan pengadilan Den Haag tahun 1927 telah menggemparkan mata dan hati kaum terjajah. Menjadi bahan bacaan yang digemari kalangan pergerakan di Indonesia.
Kau menyebutkan bahwa ini bagaikan kewajaran perlawanan rakyat terjajah terhadap pihak penjajah sebagaimana yang pernah dilakukan Belanda terhadap Spanyol yang menguasai selama 80 tahun.

Gelegar suara cap pemerikaan dokumen mengagetkan. Butuh 3 hari buat barang barang bawaanmu dari Belanda yang terdiri dari buku buku dan bacaan dalam 16 peti besi, masing masing berukuran setengah meter kubik. Semua bisa lolos kecuali majalah ‘ Indonesia Merdeka ‘.
Namun kau sudah memikirkan sebelumnya. Beberapa eksemplar majalah ini sudah dititipkan kepada kawan kawanmu yang bekerja sebagai tukang mesin di kapal .

Saat itu kau mencari cari penjemputmu di pelabuhan. Pamanmu yang selama ini membiayai sekolah di Betawi dan Rotterdam. Dia adalah Mak Etek Ayub Rais. Seorang saudagar yang memimpin firma Malaya Import Maatschappij dan toko Djohan Djohor, pernah menjadi buah bibir di seantero kota, karena harga jualnya yang murah sehingga memaksa toko toko milik Cina di Pasar baru, Senen dan Kramat terpaksa menurunkan harganya.

Kau pasti teringat. Mak Etek Ayub yang pertama kali mengajakmu ke toko buku di Harmoni, saat kedatanganmu di Batavia, setamat sekolahmu di Padang. Ia membelikan 3 buah buku tentang sosial dan ekonomi. ‘ Staathuishoudkunde – karangan N G Pierson, ‘ De Socialisten – karya HP Quack ‘ dan ‘ Het Jaar 2000 – karya Belamy ‘.
“ Itulah buku buku yang bermula kumiliki yang menjadi dasar perpustakaanku kelak ‘ tulismu kemudian hari.
Mak Etek Ayub bersama abang iparmu, Sutan Lembaq Tuah sama sekali tak tak takut dengan intaian mata mata intel Belanda karena berani menjemputmu di pelabuhan.

Pamanmu, ini menawarkan jabatan sekretaris direksi di perusahaannya. Ia juga menampung semua buku buku yang kau bawa dari Belanda, di kamar khusus yang otomatis menjadi kamar kerjamu juga.
Namun kau memilih berkutat di pergerakan nasional. Pendidikan Nasional Indonesia. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi Sudjadi, seorang penghubung setiamu di tanah air sejak kau bersekolah di negeri Belanda. Sejak 1925 ia selalu berkorepondensi teratur denganmu. Memberikan berita berita dari tanah air. Sudjadi pegawai kantor keuangan pemerintah di Batavia yang kemudian konsekuen dengan politik non koperasi akhirnya berhenti menjadi pegawai negeri.

Boleh dikatakan antara tahun 1925 sampai dirimu ditangkap dan dibuang ke Digoel tahun 1934. Sudjadi merupakan teman dekatmu.
Ini mungkin perjalanan panjang dialektika pikiranmu yang terus optimis dengan perubahan. Sebagai pembaca marx yang baik kau percaya pada dialektika dan perubahan, sehingga kau terus optimis dari negeri yang terpisah ribuan kilometer. Walau tak semuanya berjalan mulus.

Mungkin ini kekecewaanmu yang pertama ketika usulmu agar para intelektual di tanah air mendirikan ‘ Syarikat Rakyat Nasional Indonesia ‘ ternyata tidak mendapat sambutan dari kalangan Algemeene Studieclub ( Kelompok Studi Umum ) yang berdiri di Bandung 29 November 1925 atas prakarsa Sukarno, Anwari, Iskaq dan Tjipto Mangunkusumo.
Kau menginginkan sebuah partai radikal, non koperasi, yang berhaluan kebangsaan yang dapat menggerakan massa untuk cita cita kemerdekaan. Sebuah partai sebagai pendidik massa. Sementara Sukarno, kelak sahabatmu juga, seorang pendorong agitasi masa, yang berbeda dengan sikapmu untuk membentuk kader kader terdidik dalam organisasi. Kelak mereka malah mendirikan PNI.

Kau memang seorang demokratis sejati. Sesungguhpun partai yang kau cita citakan tidak tercermin dalam PNI, namun kau menerima sebagai kenyataan yang perlu didukung. Kau sadar, jauh dari dari Indonesia. Berbeda dengan Soekarno yang secara psikologi lebih memahami keadaan sehari hari di Indonesia.
Walau berbeda kebijakan dengan pemimpin PNI. Kau tetap menjadi garda terdepan yang membela pergerakan nasional mereka di negeri Belanda.

Perkembangan pergerakan nasional di tanah air membuatmu semakin kecewa justru PNI dibubarkan setelah appel Sukarno dan kawan kawan ditolak pengadilan tinggi.
Kaupun masih mengimpikan menjadi anggota PNI bila kembali ke Tanah Air. Kini hanya jeritan dalam suratmu,
“ PNI ditikam dengan keris sendiri dan dikuburkan selagi jiwanya masih teguh. Hati siapa yang tak luka melihat partainya dibubarkan, sebelum hak dipertahankan sampai sehabis habis daya upaya ? “

Kritikmu menuai kecaman dari dalam negeri. Yamin bahkan mengatakan bahwa Hatta, de eeuwige student – mahasiswa abadi itu – sebaiknya pulang saja dan berjuang di tanah air, daripada hanya mengkritik dari jauh.
Bagimu, konsistensi perjuangan yang selalu kau pegang. Berjuang adalah berkurban. Ini tetap diperlihatkan setelah kau pulang. Kau selalu menganjurkan jangan jadi pemimpin bila takut berkurban.
Sedikitpun kau tak gentar meneruskan PNI baru sekaligus menerbitkan harian ‘ Daulat Ra’yat “. Nama ini benar benar mencerminkan pahammu tentang demokrasi. Bahwa bukan pemimpin yang menentukan segala galanya, melainkan rakyat.

Ingatkah kau pertemuan pertama dengan Sukarno. Tanggal 25 September 1932. Kau tak pernah mengenal pemimpin pergerakan ini, kecuali membaca dari surat surat kabar dan korepondensi dengan teman temanmu.
Sukarno bersama Sartono dari Partindo, sementara kau seorang diri dari PNI baru, karena Syahrir menolak untuk ikut hadir. Pertemuan ini membuka kemungkinan Partindo dan PNI baru melebur jadi satu pergerakan. Walau akhirnya gagal, karena Sukarno lebih suka memilih cara Partindo yang memilih mengembangkan sayapnya dengan rapat umum dimana mana.

Selama 3 bulan sejak kedatanganmu di Batavia. Semua menyaksikan debat debatmu dengan Soekarno, mengisi halaman halaman koran Daulat Ra’jat, Menjala, Api Ra’jat dan Fikiran Rakjat.
Lihat tulisan Soekarno terhadapmu, dalam “ Jawab saja pada saudara Mohammad Hatta “ dalam harian Fikiran Ra’jat tahun 1933. Sebuah serangan keras yang mengatakan kau telah meninggalkan prinsip non kooperasi.

Barangkali juga Pemerintah Belanda mengganggap cara kau menyusun organisasi dengan mendidik kesadaran rakyat secara bertahap melalui kader, lebih berbahaya daripada cara Soekarno yang agitatif dan bombastis. Sehingga ia dibuang ke tempat yang lebih menakutkan daripada Soekarno di Flores dan kemudian Bengkulu.

Ketika dibuang ke tanah kematian Digoel yang dipenuhi nyamuk nyamuk pencabut nyawa. Di negeri yang kau bilang belum ada peradaban. Kau tak bergeming dari ketakutan. “ Siapa yang takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi air “ . Demikian kau mengingatkan resiko berpolitik.
Juga saat kau dipindahkan lagi ke Pulau Banda. Satu satunya kecemasanmu, adalah bagaimana membawa buku bukumu sebagai sumber oase ilmu pengetahuan yang tak habis habis.

Pembuangan ini juga merupakan pengabdianmu memberikan pencerdasan masalah politik, ekonomi, sisologi bahkan filsafat kepada tahanan politik lainnya. Khusus filsafat. Ini membuat melepasakan para tahanan dari pengaruh tempat dan waktu. Siapa yang hidup dalam dunia pikiran dapat melepaskan diri daripada gangguan hidup seperti di Digoel.
Siapa sangka, kelak kumpulan pelajaran filsafat ini diterbitkan menjadi buku ‘ Alam Pikiran Yunani ‘ yang menjadi mas kawin – yang tak terpikirkan oleh orang lain – kau berikan kepada gadis Rahmi ?

Nasionalismemu adalah kebangsaan diatas segala galanya. Sehingga dengan cepat kau mengambil keputusan menghilangkan 7 kata kata – dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk pemeluknya – setelah berkonsultasi dengan pemuka Islam, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo dan Teuku Moh Hassan. Bagimu Indonesia yang utuh lebih penting daripada negeri yang tercerai berai.
Sejak pidato Soepomo tgl 31 Mei 1945, kau sudah meminta agar agama dipisahkan dengan negara. Walau Soepomo menyinggung yang dimaksud negara dan agama bersatu padu, karena Islam itu sebuah sistem agama, sosial, politik yang bersandar atas Al Qur’an sebagai sumber dari segala susunan hidup manusia.

Tapi kau tak mengkuatirkan karena sifat mayoritas umat Islam di Indonesia. Kau berpendapat bahwa syariat Islam di Indonesia tidak akan lenyap jika dimasukkan dalam perundang undangan yang bisa dibicarakan dan disahkan dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Ada warisan yang kau berikan untuk negeri ini. Kau memaksakan kehendak untuk kebebasan kebebasan demokratis – hak menyatakan pendapat dan hak berserikat – ditetapkan dalam Undang Undang Dasar. Sebagaimana dalam rapat BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, ketika Sukarno dan Soepomo justru menolak. Sukarno mengimpikan kedaulatan rakyat bukan kedaulatan individu. Dengan alasan rakyat lebih membutuhkan keadilan sosial. Lebih jauh Sukarno menyitir kebebasan kebebasan itu tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan.
Barangkali mereka tidak bisa membayangkan bahwa setelah penjajah diusir,para pemimpin dan negara menjadi penindas bangsanya sendiri.

Jelas kau, Hatta. Lebih kuatir jika ada kekuasaan tidak terbatas kepada negara yang menjadikan suatu negara kekuasaan.
Inilah demokrasi yang kau usung, dalam pemantapan hak asasi manusia untuk melindungi mereka yang paling lemah dalam masyarakat, sekaligus membatasi kesewenangan mereka yang kuat.
Kau tidak mau mempertentangkan keadilan sosial dan hak hak demokratis. Kau menyadari sesuatu yang penting. Keadilan sosial, dan implikasinya kesejahteraan rakyat dengan kedaulatan rakyat. Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakan. Ini sesuai pasal 27 dalam UUD 1945 tentang hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagai manusia. Sekaligus dengan isi pasal 33 UUD tentang perekonomian rakyat sebagai dasar keadilan sosial.
Pasal pasal “ Hak berkumpul dan berserikat “ serta “ penguasaan negara atas sumber daya alam “ merupakan warisanmu yang akan menjaga demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.

Memahami kau, Hatta, Bukanlah hal yang sulit, karena sikapnya yang konsisten dan disiplin. Saat di Digoel kau sudah mengatur kehidupan secara rutin dengan jadwal jam jam tetap. Waktu shalat, makan, membaca/menulis, minum teh sore, menerima tamu, berkebun, memasak dan sebagainya. Jadwal menerima tamu kau cantumkam di depan rumah, sehingga menimbulkan rasa tidak enak dari kawan kawanmu sendiri. Tapi kau konsisten.
Demikian pula ketika di Banda. Jadwal ini membuat dirimu dianggap ‘ jam ‘ atau indicator waktu oleh penduduk sekitar.

Kau tak pernah mengeluh dengan kewajibanmu. Setelah kemerdekaan, kau menjadi adminstratur republik sampai menulis pidato Sukarno pada ulang tahun proklamasi dan acara kenegaraan.
Buya Hamka menggambarkanmu sebagai seorang yang keras. Marah kalau orang terlambat dari janji. Lebih dari itu kau orang yang jujur dan sederhana.

Selama 7 bulan – Mei 1947 sampai Januari 1948 – kau berada di Sumatera Barat untuk meningkatkan perjuangan rakyat di sana. sekaligus menjadi operator pengumpulan harta dari wilayah Sumatera untuk biaya perjuangan.
Residen Sumatera Barat, Mohamamd Rasyid menyetor perhiasan emas yang diserahkan pada dirimu. Kemudian barang perhiasan ini kau serahkan lagi kepada Komodor Halim Perdanakusumah untuk membeli pesawat di luar negeri.
Ada sebagian yang kau kirim untuk Mayor John Lie , yang kehabisan uang di Singapura. Sedikitpun kau tak tergoda mengambil bagian perhiasan itu.

Kau, juga menolak keputusan Kabinet Sukiman ( November 1951 ) untuk menaikan gaji Presiden dan Wapres dari Rp 3000 ,- menjadi Rp 5000,- sebulan. Jika harus naik. Sedikit saja. Demikian argumenmu.
Ketika semua orang lupa dengan sisa uang rakyat Sumatera sebagai sumbangan membeli senjata dan pesawat terbang. Uang sisa sejumlah S $ 67.575,64 yang masih dipegang konsul Jenderal di Singapura, kau ingatkan Menteri keuangan Sumitro Djojohadikusumo untuk memasukan ke kas negara.

Sikapmu yang anti korupsi sudah terlihat ketika kau dengan keras menyoroti korupsi distribusi beras dalam sidang kabinet di Jogja bulan Juni 1947.
Kau juga menegur Menteri Perekonomian Burhanudin ( NU ) karena alokasi distribusi gula Jawa Barat kepada NV Srigula sebanyak 1000 ton. Keputusan ini telah menimbulkan ketidakadilan karena alokasi ini berlipat ganda daripada alokasi yang telah diberikan kepada distributor lama.
“ Apabila alokasi baru diberikan dengan merampas bagian orang lain, itu bertentangan dengan keadilan Islam. Saudara sebagai seorang menteri dari Partai Islam hendaknya dapat memahami ini “

Masih ada hal relevan yang ditarik dengan issu issue kekinian. Saya teringat bagaimana kau menegur HR Rasuna Said yang mengirim surat padmu tanggal 24 Maret 1958. Ia mencemaskan terhadap kristenisasi barat, yang dianggapnya hanya sebagai kamuflase dari pertentangan barat ke komunis. Kau membalas, bahwa Rangkayo terlalu mencari cari alasan kalau pergolakan di tanah air dihubungkan dengan tujuan barat untuk manghancurkan Islam. Ini bukan urusan Kristenisasi. Ini urusan daerah dan pusat.

Kau marah dengan pemberontakan PRRI/ Permesta yang merusak sendi sendi kenegaraan. Bagaimanapun separatisme tidak bisa ditolerir. Tapi kau juga kecewa dengan penyelesaian Sukarno, Nasution dan Djuanda yang tidak memahami aspirasi daerah.
Ingatkah kau berdebat dengan Sukarno dalam sidang kabinet Perdana Menteri Burhanudin Harahap karena kasus pembangkangan pelantikan wakil KSAU di Cililitan tanggal 14 Desember 1955.
Kau membantah ucapan Sukarno yang meminta bicara kepada para militer sebagai bapak dan anak.
“ Apa ? Bicara sebagai bapak anak ? Tidak bisa ! Anak minta maaf dulu, baru kita bicara. Ik spreek niet met een rebel ( saya tidak berbicara dengan pemberontak ) “

Setelah kau berhenti jadi Presiden, uang pensiunmu sudah hampir habis untuk membayar listrik dan kebutuhan bulanan, tapi kau tetap menolak menjadi komisaris perusahaan dengan gaji besar. “ Apa kata rakyat nanti “ demikian katamu.
Kau memang hidup diantara cita cita dan idealisme. Sayangnya kau kecewa karena suaramu di zaman Sukarno tidak didengar. Sementara di jaman Soeharto dianggap angin lalu. Memang sejak jaman pergerakan kebangsaan dulu. Kau sering bergumam mengulangi kata kata Schiller :
“ Suatu abad besar telah lahir.
Namun ia menemukan generasi kerdil “

Kau Hatta, bukan generasi kerdil. Kekecewaanmu tak akan pernah mengingkari apa yang telah kau lakukan buat bangsa ini. Kau memang sendiri dan pantas kecewa. Tapi menurutku kau tidak gagal.

You Might Also Like

13 Comments

  • saifulmuhajir
    September 3, 2013 at 6:39 pm

    *mewek dan speechless

  • Wieda
    September 3, 2013 at 6:57 pm

    Bung Hatta idolaku sejak aku kecil…..

  • cya
    September 3, 2013 at 8:21 pm

    Tulisan yang membuatku merasa, seakan Hatta ada di sini.

    *mewek

  • venus
    September 4, 2013 at 11:10 am

    fiuuhh.. merinding 😐

  • Amril Taufik Gobel
    September 4, 2013 at 12:26 pm

    Luar biasa, tulisan yg keren dan bernas mas Iman. Saya terharu membacanya.

  • Enny
    September 7, 2013 at 6:02 am

    Terharu…..indah sekali tulisanmu mas.

  • Kata-kata Cinta
    September 16, 2013 at 12:53 pm

    inspiratif,,, T-T

  • Sistem Ketatanegaraan Indonesia
    September 16, 2013 at 12:54 pm

    MENGHARUKAN,,, keren

  • dodo
    September 16, 2013 at 11:20 pm

    Keren… semoga bisa dijadikan pilem… hehehe…
    keren banget….

  • rahmat mustafa
    September 19, 2013 at 6:47 pm

    Saya sering berandai2….jika saja sejarah berkata lain bahwa Hatta yg presiden, sjahrir perdana menteri… Soekarno cukup jadi menteri propaganda (baca= penerangan)….

  • rumah adat
    November 22, 2014 at 9:14 am

    bung hatta, the silent hero

  • demokrasi indonesia
    November 22, 2014 at 9:18 am

    saya suka pribadi bung hatta

  • ibas
    October 10, 2023 at 9:14 am

    good article, thank you

Leave a Reply

*